Ilustrasi: Jonpey
“MANAKALA baik perempuan, maka baiklah negeri. Sebaliknya, manakala buruk perempuan, buruklah negeri.” Kalimat-kalimat bersayap itu diucapkan oleh Megawati Sukarnoputri dalam pidato kebudayaan kala memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2015.
Megawati kemudian mengatakan bahwa ia “…sudah meletakkan dasar-dasar keberpihakan terhadap perjuangan kaum perempuan” lewat beragam produk hukum selama menjabat presiden. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) adalah salah satu yang dia sebut sebagai rancangan produk hukum yang perlu ditelurkan–yang tak sempat dirampungkannya.
“Saya yakin, kita semua berharap adanya pemenuhan janji-janji politik itu,” ucapnya.
Janji politik seperti RUU PPRT tentu sangat penting. Kelahiran produk hukum tersebut akan selalu dinantikan oleh mereka yang membutuhkan. Ini disebabkan tak pernah ada produk hukum–termasuk hukum perburuhan kita–yang secara spesifik melindungi kepentingan PRT. Praktis selama ini kondisi PRT terkatung-katung.
Naskah RUU PPRT pertama kali diinisiasi pada 2004 oleh berbagai lembaga dan organisasi ke DPR. Artinya, RUU ini sudah mendekam di parlemen lebih dari 19 tahun. Berbagai revisi juga telah dilakoni. Sampai sekarang, masyarakat sipil terkhusus PRT terus mengupayakan agar RUU itu segera disahkan sebab substansial bagi kelangsungan pekerjaan mereka.
Selain itu, pada 16 Juni 2011, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengadopsi Konvensi Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi PRT yang mewajibkan negara mengambil langkah-langkah agar PRT dapat bekerja secara layak. Seribu sayang, sama halnya dengan RUU PPRT, elite-elite politik tidak pernah ambil sikap proaktif, bahkan cenderung reaktif.
Kerja Berdarah-darah
Sudah 19 tahun RUU PPRT mangkrak. Namun pedihnya segala bentuk kekerasan dalam bekerja tentu sudah PRT alami lebih lama dari itu.
Dalam laporan Toward a better estimation of total population of domestic workers in Indonesia (2018, hlm. 26), ILO mencatat jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta pada 2015–semakin bertambah pada akhir 2022. Jumlah itu membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah PRT terbanyak. Sebanyak 84,27% dari mereka adalah perempuan.
Namun, kuantitas PRT tidak diikuti dengan kualitas perlindungan kerja bagi mereka. Sedari awal, PRT tidak pernah terlindungi seutuhnya oleh payung hukum perburuhan. Karena itu, posisinya rentan terhadap segala diskriminasi dan kekerasan. Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT mendokumentasikan setidaknya terdapat 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT sepanjang 2017-2022.
Bagong Suyanto dalam artikel “Perlindungan PRT, Siapa Peduli” (Kompas, 6 Februari 2023) mencatat, kekerasan yang dialami oleh PRT tergolong ke dalam beberapa jenis. Jenis pertama (sebesar 41%) adalah kekerasan psikis, antara lain berwujud pelecehan, penyekapan, dan perendahan. Jenis lainnya adalah kekerasan ekonomi (37%), seperti tidak diberi upah layak, korban PHK karena sakit, dan tidak mendapatkan tunjangan dasar. Sebanyak 22% berupa kasus multikekerasan, luka parah, hingga pencederaan.
Hasil kerja PRT acapkali dianggap rendahan. Pendiri JALA PRT Lita Anggraini dalam wawancara dengan Project Multatuli mengatakan bahwa PRT bukan unskilled labor atau pekerja informal, tetapi pekerja yang di-informal-kan. Pekerjaan domestik distempel sebagai “pekerjaan yang tak membutuhkan ilmu pengetahuan dan keterampilan.” Stigma-stigma itulah yang melahirkan ragam bentuk diskriminasi terhadap profesi PRT.
Tak hanya stigma, beban kerja juga menghantui mereka. Nihilnya peraturan hukum mengakibatkan tiada batasan yang jelas dalam mengatur porsi pekerjaan PRT. Hal ini juga disebabkan lingkup kerja PRT bersifat domestik, apalagi negara tidak bisa mengawasi karena tak ada regulasi. Hubungan kerja antara PRT dengan si pemberi kerja yang bersifat informal juga tidak dilindungi oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan–selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan.
Eksploitasi kerja berlebihan menjadi hal yang lumrah. Laporan Kementerian Ketenagakerjaan yang dikutip Bagong Suyanto merekam bahwa PRT yang menginap di rumah majikan justru “…rawan diperlakukan salah karena harus bekerja lebih dari 40 jam per minggu.” Di samping itu, Yohanes Mega Hendarto dalam artikel “Mengapa Perlu UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga?” (Kompas, 1 November 2021) mengutip laporan Kemnaker bahwa telah terjadi tren kenaikan PRT dengan jam kerja lebih dari 12 jam per hari.
Draf terakhir RUU PPRT mengelompokkan pekerjaan yang menjadi ranah kerja PRT menjadi delapan jenis saja. Namun, selama produk hukum itu belum disahkan, PRT rentan melakukan pekerjaan–yang sebenarnya bukan tanggung jawab mereka–di luar delapan jenis itu atas perintah si pemberi kerja. Satu contoh adalah seorang pekerja rumah tangga bernama Wina, sebagaimana pengakuannya dalam wawancara dengan Project Multatuli. Dia mengatakan beban kerjanya bertambah di luar kesepakatan awal, yakni harus pula membersihkan kolam renang hingga memotong rumput.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Teralienasi dari Hukum Perburuhan
PRT adalah pekerja. Definisi luas “pekerja” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Dokumen Peraturan tentang Pekerja Rumah Tangga di Indonesia terbitan ILO (2006, hlm. 10) juga menyebut majikan dari PRT didefinisikan sebagai pemberi kerja. Posisi pemberi kerja sendiri termaktub dalam Pasal 1 angka 4 UU yang sama, dengan pengertian “Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah […].” Status PRT sebagai pekerja kemudian dipertebal kembali dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2015 (selanjutnya disebut Permenaker).
Namun, kedudukan PRT tak dapat sepenuhnya terlindungi hukum perburuhan. Hal ini dapat dilihat ketika berbicara mengenai hubungan kerja. Hubungan kerja dalam konteks PRT bersifat informal, sedangkan Pasal 1 angka 15 UU tersebut mengacu pada hubungan kerja formal. Terbukti dengan adanya cakupan perjanjian kerja yang harus “memenuhi unsur pekerjaan, upah, dan perintah yang jelas.”
Borok-borok penelantaran hak PRT tak hanya di situ saja. Dalam Pasal 35 ayat 2, misalnya, disebutkan bahwa pemberi kerja “…wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja.” Fakta lapangan tidak membuktikan itu. Dalam penelitiannya, Yafi Azhari dan Abdul Halim menemukan bahwa PRT telah rapuh sejak perekrutan. Perekrutan itu terbagi menjadi dua jenis. Pertama, berasal dari perantara informal seperti kerabat/calo. Kedua, melalui agen penyalur. Bukti kerentanan ditunjukkan dalam beberapa kasus, misalnya ketika calo meminta komisi kepada PRT. Ini misalnya dialami seorang PRT berinisial NN yang sempat diliput Kompas TV. NN mengaku tidak memegang kontrak, dan bahkan diancam upah ditahan jika meminta majikan baru.
Bukti lain Permenaker tetap rentan bagi PRT terdapat dalam Pasal 5. Di sana tertulis, “Pengguna [pemberi kerja] dan PRT wajib membuat Perjanjian Kerja tertulis atau lisan yang memuat hak dan kewajiban dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak […].” Sifat vulnerabilitas dalam pasal tersebut terdapat dalam bentuk perjanjian kerja secara lisan, yang notabene dapat mengaburkan ketentuan-ketentuan pekerjaan bagi PRT. Ini kemudian diperkuat oleh dokumen ILO yang menyatakan mayoritas PRT tak punya kontrak tertulis dengan majikan mereka mengenai ranah kerja yang akan dilakukan, ketentuan durasi kerja, dan upah. Hal ini disebabkan pada sifat pekerjaan yang privat sehingga rawan terjadinya “penyalahgunaan kekuasaan” oleh pemberi kerja. Ditambah lagi, hal ini akan menjadi sulit untuk dibuktikan apabila terjadi sengketa (Azhari & Halim, 2021).
Solusi dari Yatini Sulistyowati dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dalam lokakarya yang didokumentasikan dalam Perlindungan PRT Melalui Kontrak Kerja (2017) menjadi relevan. Secara garis besar, ia mengajukan penyelesaian dengan kontrak kerja yang dibuat secara tertulis dan minimal rangkap dua untuk dimiliki masing-masing pihak (Sulistyowati, 2017).
Soal ketentuan upah pun tidak jernih. PRT jelas menjadi pihak yang dirugikan dalam masalah upah. Permenaker No. 2 Tahun 2015 sama sekali tidak menetapkan regulasi upah minimum. Hanya tertulis “…mendapatkan upah sesuai Perjanjian Kerja” dalam Pasal 7 huruf c. Tanpa adanya payung hukum, si pemberi kerja memiliki otoritas absolut untuk menentukan besaran upah yang diberikan, dan umumnya seminimal mungkin. Hal ini terlihat dari upah nominal PRT yang acapkali di bawah standar upah minimum regional walau mengalami kenaikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata upah PRT sebesar Rp437.416 pada Desember 2022. Dengan upah sesedikit itu, mereka tentu akan sukar untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi di kota-kota besar.
(Harus) Terus Menyala
Jalan untuk mengesahkan RUU PPRT sebenarnya sudah dekat. Harian Kompas mencatat, proses pembahasan RUU PPRT sudah rampung di Badan Legislasi DPR. Pada 21 Marer lalu, DPR mengesahkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR untuk segera diselesaikan. Namun, hingga sekarang belum ada pembahasan lebih rinci. Memang satu-satunya cara untuk terus memaksa parlemen adalah dengan aksi “politik-serikat”.
Berjamurnya serikat-serikat PRT seperti JALA PRT, Serikat PRT Sapulidi, Perempuan Mahardhika, SPRT Merdeka, dan berbagai cabang serikat di berbagai kota-kabupaten di Indonesia harus disambut baik. Itu menandakan bahwa daya gedor PRT dewasa ini semakin besar. Berkelindan dengan itu, PRT di Indonesia menanjak kesadaran politiknya. Politik yang diusung bukan tidak jelas bentuknya, melainkan politik kelas sebagai kelas buruh sebagai kesatuan.***
Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada