Tambang Mengisap Hidup dan Asa Warga Pulau Obi (Bagian 2)

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Bisnis.com


Artikel sebelumnya: Ambisi Mobil Listrik dan Hari-Hari Menderita di Pulau Obi

KAPAL nelayan yang keluar dari Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, sekarang lebih mudah dihitung daripada jumlah pekerja smelter milik Harita Group, pemilik konsesi terluas di pulau ini, termasuk di Desa Kawasi.

Situasinya tentu tidak ujug-ujug demikian. Awalnya, nelayan adalah profesi yang paling mudah ditemui (dan ibu-ibu berkebun). Ini sesuatu yang lazim di daerah yang perairannya luas.

Salah satu nelayan yang masih bertahan adalah Anis, pria usia 60-an yang tinggal di Desa Kawasi sejak 2006. Hari itu dia termangu di depan pintu rumah setelah kembali dari laut. Hasil tangkapannya, seperti hari yang sudah-sudah, tidak seberapa. Jangankan dibagi untuk tetangga, memenuhi urusan perut diri sendiri saja masih sulit.

Penyebabnya tidak lain karena air laut yang sudah tercemar perusahaan.

“Sekarang sudah susah karena ikan tidak liat umpan, gelap. Kalau dulunya kita jauh besi sepenggal ke bawah ada umpan dia langsung tarik, sekarang ya setengah mati,” kata Anis kepada saya akhir Januari 2022.

Memang limbah-limbah dari perusahaan itu sering kali dialirkan ke laut. Di salah satu sisi perusahaan yang langsung bersentuhan dengan laut, misalnya, limbah disalurkan lewat pipa.

Diduga limbah itu berasal dari sedimentasi limbah ore nikel (nikel mentah) anak usaha Harita Group, PT Trimegah Bangun Persada, dan PT Gane Permai Sentosa–sekarang perusahaan bertambah satu, PT Halmahera Persada Lygend (HPL), yang juga anak usaha Harita Group. Bentuknya lumpur sehingga membuat lautan berwarna cokelat kemerahan.

Dalam beberapa kali kesempatan, saat musim hujan, pemandangan bibir pantai akan semakin mengerikan. Laut berwarna cokelat kemerahan akan terlihat sejauh mata memandang. Limbah-limbah diperkirakan terbawa arus.

“Karena limbah to, lautan merah,” ucapnya. “Sebatas perusahaan dari sana itu sampe di Haul Sagu (tempat PT Wanatiara Persada, perusahaan pengolahan biji nikel dengan investor asal Cina sama seperti Harita). Kalau kita ke pulau lain, kan, jernih karena tidak ada perusahaan.

Dahulu Anis sering melaut subuh dan pulang menjelang zuhur dengan tangkapan mencapai 20 hingga 30 kilogram ikan. Sekarang, jika beruntung, penghasilan per hari bisa mencapai Rp500 ribu. Jika tidak maka hanya cukup untuk makan.

“Sekarang, ya, 2 kilo saja sudah sudah boleh pulang. Sudah setengah mati mau taruh makan ini. Karena ikan tidak lihat umpan, karena dia kabur, kabur air merah,” keluh Anis.

Meski sering gigit jari, Anis tak punya pilihan selain bertahan dengan keahlian yang ia tempa semenjak keluar dari Bitung, Sulawesi Utara, puluhan tahun lalu. Dia dan istri tidak mungkin menjadi, misalnya, karyawan di perusahaan tambang sebab usia yang sudah tidak muda lagi. “Saya nelayan,” tegasnya. “Saya nelayan. Saya mancing.”

Kekecewaan Anis semakin dapat saya pahami usai ikut berlayar menemani Parigi (nama disamarkan) dengan kapal ketinting. Sudah beberapa hari dia tidak pergi memancing, dan kalau terus begitu, katanya, sebentar lagi “bisa marah mama.”

Dahulu Parigi bisa menangkap dengan membuat rompong, bangunan di tengah laut yang bisa jadi rumah ikan. Ditinggal semalam saja, ikan sudah banyak berkumpul dan dia tinggal angkut ikan yang dimau. Tapi sekarang, dengan pesisir pantai yang makin jorok dengan lumpur, hal itu hampir tidak mungkin lagi.

Di sekitar Pulau Obi, dekat pintu masuk PT HPL, Parigi dan rekannya menebar jala. Dia sibuk memainkan dayung membentuk lingkaran di air laut yang warnanya tercampur dengan tanah, sedangkan rekannya sibuk terus menjulur jaring. Hasilnya tak seberapa, paling banyak hanya 10 ikan kecil.

“Kita lanjut lagi ya,” katanya sedikit memaksa. Saya paham, di satu sisi dia tidak enak mengajak saya–yang tak terbiasa melaut–terapung selama hampir enam jam, tapi di lain sisi dia punya anak istri yang harus diberi makan.

Sampailah kami di Pulau Malamala. Jaraknya mungkin tak sampai satu jam dari pintu masuk Harita. Di sini belum ada perusahaan yang beroperasi. Setelah mengamati permukaan beberapa menit, Parigi langsung memukulkan dayungnya berkali-kali ke permukaan air. Dia menggiring ikan masuk ke dalam jaring. Tidak sampai 15 menit, 1,5 ember sudah terisi ikan–meski kecil-kecil. Ikan jenis tude itu kami santap malam itu.

“Kalau dulu, bisa lebih besar lagi, tidak harus ke Malamala juga,” ucap Parigi.

Nelayan Pulau Obi dari Desa Kawasi kian tersingkir. Mereka yang masih muda dan bertenaga juga tidak ingin bekerja seperti itu. Mereka menjadi buruh tambang atau pengolahan nikel–yang sebagian besar dikuasai Harita Group. Sekretaris Desa Kawasi Frans Datang mengaku kepada saya bahwa di daerahnya “nelayan sudah anggap su tidak ada kalau untuk warga kita.”

Dari 971 (2019) warga yang terdaftar di Kawasi, mayoritas hanya berkebun dan menjadi karyawan perusahaan. Frans memperkirakan sebanyak 60% warga yang masih bisa bekerja sudah direkrut perusahaan–termasuk di antaranya banyak anak muda. Dalam catatan lain, memang sekitar 66,7% penduduk Kawasi pekerjaannya erat dengan pertambangan.

Petani dan nelayan yang dahulu sempat banyak sekarang jumlahnya menurun drastis. Dalam catatan perusahaan di semester I (2021) saja ada 932 karyawan PT TBP. Jumlah ini meningkat 675 orang atau sebanyak 263% dari laporan semester sebelumnya.

Frans mengaku bahwa pada tahun 2016, ketika perusahaan menghentikan pekerjaan sementara, kondisi warga jadi lebih sulit. Mereka kembali jadi nelayan, tapi tidak ada lagi yang membeli hasil tangkapan. Sebaliknya, ketika perusahaan ada, ikan terjual berkilo-kilo karena disantap oleh karyawan. Bedanya, ikan-ikan itu justru berasal dari nelayan kawasan lain seperti dari desa tetangga, Desa Soligi.

“Dengan hadirnya perusahaan ini, yang kita punya, hasil tani [seperti] singkong, pisang, sekarang bisa diuangkan,” katanya yakin.

Perkataan Frans mungkin ada benarnya, setidaknya bagi dia sendiri. Rumahnya yang berasal dari hasil menjual lahan dan menjadi sekretaris desa terlihat layak dibanding warga lain–yang lantainya hanya sekadar beton tanpa keramik apa pun. Dia juga punya dua mobil sekelas Toyota Hi-Lux yang harganya tak kurang dari Rp250 juta–terparkir depan rumah. Dari empat anak, tiga di antaranya sudah berhasil disekolahkan sampai bangku kuliah.

Masalahnya tidak semua warga seperti Frans. Sebagian lain harus ikhlas anaknya jadi buruh tambang di Harita. Frans sendiri tak mau anaknya jadi seperti itu karena penghasilan di Kawasi sebenarnya tidak banyak–kontradiktif dengan pernyataan sebelumnya.

“Jadi biarpun masih kuliah didahulukan di sana juga pun,” kata Frans.


Cemaran Laut

Biota laut di sekitar Pulau Obi sudah terindikasi tercemar logam. Dalam penelitian Kontaminasi Logam Nikel (Ni) pada Struktur Jaringan Ikan (2021), Ketua Peneliti Pusat Studi Aquakultur Universitas Khairun, Muhammad Aris, menyebut di Desa Kawasi dan Soligi kandungan logam sudah terbilang tinggi. Salah satu dugaannya, itu berasal dari limbah proses bijih nikel yang dibuang ke laut.

Nikel sebenarnya termasuk logam dengan kandungan merusak yang ringan. Namun, jika jumlahnya masif, maka akan berpengaruh pada habitat laut juga. “Kontaminasi logam berat menyebabkan terjadinya gangguan secara fisiologis pada ikan. Gangguan ini membuat ikan harus beradaptasi dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada organ-organ ikan seperti insang, hati, otot, usus, dan lainnya,” catat Aris.

Penelitian lain bertajuk Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut di Perairan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara (2019) menemukan ada 12 biota laut yang diduga tercemar dari logam akibat aktivitas pertambangan. Mulai dari bai, kakap batu (Lutjanus griseus), kakap kalur (Lutjanus sp.), dan kakap merah (Lutjanus campechanus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttasus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kima (Tridacna), kuwe (C. Ignobilis), lencam (Lethrinidae), mata bulan (Megalops cyprinoides), selar atau tude (Selaroides leptolepis), dan tongkol (Euthynnus affinis).

Ikan yang dijadikan bahan riset dibedah dan di dalamnya ditemukan organ-organ yang sudah rusak. Meski logam banyak jenisnya dan sulit dideteksi, Aris percaya salah satunya adalah nikel yang berasal dari pertambangan.

“Dari hasil penelitian, saya temukan kondisi ikan di sana itu sudah rusak. Sudah buruk. Kalau dugaan kami, kuat itu semua sudah terpapar logam,” kata Aris kepada saya, Oktober 2022.

Selain ikan, Aris juga menggunakan kerang kima sebagai tolok ukur baku mutu air di sekitar Pulau Obi. Kerang kima yang populasinya terus menurun menjadi “bioindikator lingkungan perairan karena dapat mengakumulasi logam berat lebih besar dari organisme perairan lainnya.”

Air di Pulau Obi ditemukan sudah masuk kategori di atas baku mutu. Hal ini terlihat dari nilai pH setinggi 8,64 yang masuk kategori terlalu basa. Dalam kesempatan lain saya menemukan pH air sekitaran Obi masuk dalam tingkat pH 9 ke atas. Dalam salah satu tulisan yang dipublikasi Safe Drinking Water Foundation (SDWF), pH air 8,64 sudah hampir masuk kategori baking soda, bukan lagi air laut. Angka 9 ke atas bisa dikatakan mengandung banyak magnesium.

Tidak semua yang ada di atas baku mutu artinya baik. Dari 10 parameter yang ditetapkan Aris, ada 7 yang masuk dalam kategori di atas baku mutu dan 2 di bawah baku mutu, sedang satu lagi sesuai dengan baku mutu.

Selain pH, suhu air, kandungan amonia, nitrat, tingkat konsentrasi ortofosfat, logam besi, nikel ada di atas baku mutu laut. Sedangkan kandungan oksigen terlarut dan salinitas di bawah baku mutu. Hanya tingkat kecerahan air saja yang sesuai dengan baku mutu berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Untuk baku mutu pH air, pemerintah mematok kisaran 6-8,5 untuk air sungai dan 6-9 untuk air laut. Dalam sampel yang saya ambil di sungai, angkanya sudah melebihi ambang batas tersebut. Sedang untuk amonia, pemerintah mematok angka paling tinggi di 0,5. Penelitian Aris menunjukkan amonia di sekitar Pulau Obi sebesar 0,4 atau di atas baku mutu–ketika penelitian keluar, acuan yang digunakan masih Peraturan Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004.

Kandungan logam seperti besi (0,6) dan nikel (0,06) yang bisa memengaruhi degenerasi dan nekrosis sel kerang kima dalam penemuan Aris selaras dengan aturan pemerintah kiwari. Dua kandungan logam itu berada di atas baku mutu yang ditetapkan: besi (0,3) dan nikel (0,05).

“Lautnya sudah tercemar begitu. Termasuk ikannya juga sudah rusak,” lanjutnya. Dia sama sekali tidak mendukung ikan di sana jadi lauk-pauk. “Bahaya. Bayangkan itu logam masuk tubuh lama-lama terakumulasi. Apa tidak meninggal?”

Aris meneliti tentang mutu air di Pulau Obi dengan biaya dari perusahaan tambang. Begitu hasil penelitian merugikan donor, pendanaan dicabut. Perusahaan geram, padahal yang Aris ingin adalah mencari solusi dari permasalahan ini.

Kini Aris paham bahwa solusi paling sederhana adalah menghentikan aktivitas pertambangan. “Tapi tidak mungkin, toh?” lanjutnya pesimistis.

Sebetulnya ada solusi kedua, yaitu membangun pipa besar dan panjang ke dalam laut sampai pembuangannya bersih. Tapi ini pun tetap berisiko.

“Peringatan Pencemaran Logam Berat Berdasarkan Indeks Saprobik di Perairan Pulau Obi, Maluku Utara,” judul penelitian lain dari Aris, kali ini bersama Tamrin dari kampus yang sama, menemukan bahwa di Akegula, Kampung Baru, Kawasi, dan Soligi–keempatnya berada di Pulau Obi–analisis saprobik indeks (SI) sebesar 1,0 dan tropik saprobik indeks (TSI) 1,3. Untuk kategori TSI, Kawasi berada di peringkat paling tinggi dan masuk kategori “tercemar ringan sampai sedang”.

Meski “ringan sampai sedang”, Aris menekankan bahwa penelitiannya “mengungkapkan peringatan dini terkait pencemaran logam berat.” “Hal ini perlu dicermati mengingat sifat logam berat sulit didegradasi sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan dan biota perairan serta keberadaannya secara alami sulit dihilangkan.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Ditebus dengan ISPA

Bayi yang usianya hanya beberapa bulan itu menangis kencang. Suaranya bikin si mamak panik. Dia segera membuka sedikit kain yang menutupi badan agar si bayi bisa melepas dahaga. Beberapa hari sebelumnya si bayi diam saja dan orang tuanya malah lebih pusing. Dia diam tapi napasnya tersengal.

Pondok bersalin desa (polindes) tak mampu mengobati sesak napas bayi laki-laki itu karena ketiadaan alat. Si bocah diperkirakan ada masalah di paru-paru dan terkena bronkitis. Prediksi tersebut benar saat si anak diperiksa di RSUD Labuha. Dokter menyarankan si anak diberi alat bantu pernapasan di rumah. Icha, si mamak, tak mampu membeli. Alhasil, pengobatan tradisional seperti pemijatan badan dan doa-doa yang rutin dilakukan.

“Ya, bagaimana lagi, harusnya perusahaan to yang tanggung,” kata Icha kesal.

Penyebab anak Icha sakit diduga kuat adalah debu hasil aktivitas perusahaan. Dengan pohon-pohon yang mulai gundul di sekitar desa dan jalan tanah di depan rumah warga, tidak ada lagi yang jadi penghalang debu untuk masuk rongga hidung warga setiap hari.

Mantri, petugas jaga di polindes yang sudah tinggal di Desa Kawasi sejak 2009, tak perlu berpikir dua kali untuk mengatakan bahwa infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah kesehatan paling utama di Kawasi. Di tahun 2021 saja, jumlah penderita ISPA mencapai lebih dari 700 orang.

Kebanyakan dari pasien adalah balita. Mantri mencatat ada 124 bayi berusia antara 0-1 yang mendatangi polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Balita umur 1-5 tahun tercatat sebanyak 283. Menyusul berikutnya adalah kelompok usia 20-44 tahun sejumlah 179 orang.

“Ya debu,” kata Mantri. “Karena banyak aktivitas [perusahaan], toh.”

Lily Mangundap, warga lain, merasa anaknya tinggal tunggu waktu untuk sakit juga. Dia punya empat anak dan si bungsu berusia di bawah 10. Tiap hari dia menyapu debu yang masuk ke rumah. “Tadi sore saya sudah sapu, nanti jam 12 sudah bisa begini: kita bisa tulis-tulis di papan (karena debu tebal),” ucap Lily. “Besok pagi kalau kita sapu, itu macam kita tidak pernah sapu saja. Debu minta ampun.”

Lily merasa perusahaan datang hanya untuk mengeruk hutan demi kekayaan tanpa peduli apa yang terjadi. Toh smelter nikel yang digenjot untuk menghasilkan batu baterai mobil listrik itu pun tidak berdampak langsung kepada masyarakat.

Dia memang sempat terbantu karena diberi kesempatan beberapa kali untuk mendatangi klinik perusahaan yang ada di atas perbukitan. Namun, lama-kelamaan, dokter mengeluh karena Lily dan anaknya bukan pekerja tambang.

“Bu, ini kan klinik perusahaan. Ibu kenapa tidak panggil bupati saja bikin rumah sakit di kampung sana?” kata Lily menirukan dokter. Mendengar itu suami Lily, marah. “Bapak ini sampai emosi. Saya tahan. Kalau sampai pukul dokter, nanti anak ini siapa yang layani.”

Lily pun menjawab: “Iya, betul ini klinik perusahaan. Tapi tahu tidak gara-gara ada perusahaan di sini saya punya anak sakit-sakit?”

Lily termasuk beruntung karena dia punya toko kelontong yang cukup laris. Dari hasil penjualan dia bisa membeli alat bantu pernapasan untuk anaknya.

“Kalau saya bisa memilih, pabrik itu taruh agak jauh, jangan di sini. Supaya kita punya kesempatan buka usaha. Dia menyerap tenaga kerja banyak, tapi tidak bikin kita sakit-sakitan.”

Soal ISPA ini, Harita melalui Manajer Komunikasi Anie Rahmi menyampaikan: “Secara rutin perusahaan sudah melakukan pemantauan udara sesuai dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dan menunjukkan hasil bahwa udara sesuai dengan baku mutu.” Dia tidak menyinggung banyaknya warga yang mendera ISPA.

Deru debu di Kawasi memang sudah memberi nafkah bagi ribuan orang, tapi ratusan di belakangnya harus rela bernapas tersengal-sengal.


Laporan ini merupakan hasil fellowship Pasopati Hijaukan Program Pembangunan bersama Auriga Nusantara.


Felix Nathaniel, meliput isu nasional sebagai reporter dan penulis di Tirto.id sejak 2016

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.