Ambisi Mobil Listrik dan Hari-Hari Menderita di Pulau Obi (Bagian 1)

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Antaranews


PEPOHONAN ditumbangkan. Tanah dikeruk meninggalkan lubang-lubang raksasa. Alat-alat berat bekerja bergantian di sekelilingnya. Tidak jauh dari sana mesin-mesin lain sibuk membangun sarana penunjang. Pertambangan nikel itu membuat pulau yang dulu hijau tampak seperti bukit gersang. Banyak hutan dan kebun sudah tergerus.

Tentu hasil kegiatan Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara ini menambah pemasukan negara. Tapi nasib penduduk pulau belum tentu jadi baik.

“Sampai sekarang tidak ada perubahan,” kata Lily Mangundap kepada saya, November tahun lalu. Bahkan lebih parahnya lagi adalah warga merasakan digusur. “Itu belum ada izin dari kita, dari kita pemilik, masyarakat ini. Tidak sepakat soal harga, langsung digusur saja.”

Lily adalah warga Kawasi, desa tertua di Pulau Obi. Di sana ada dermaga paling besar yang biasa jadi tempat berlabuh kapal-kapal dari berbagai wilayah–meski yang bersandar kalah ramai dengan truk dan mesin ekskavator perusahaan di sekitarnya.

Desa ini adalah wilayah perusahaan melakukan penambangan. Hanya satu sisi desa yang terbuka, itu pun karena berbatasan dengan laut.

Bila mengelilingi pulau, di bibir pantai yang dekat desa, kita dengan mudah melihat tulisan besar di antara aktivitas pertambangan bertuliskan “Welcome to Harita”. Harita yang dimaksud adalah Harita Group, pemilik konsesi terluas di Pulau Obi, termasuk di Desa Kawasi. Dari tepi desa saja tidak mungkin aktivitas perusahaan lolos dari pandangan mata.

Berdasar catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, di Kawasi ada delapan perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan. Harita membawahi dua perusahaan besar, yakni PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT Gane Permai Sentosa (GPS). Di samping itu ada tiga lain yang juga terafiliasi dengan Harita yaitu PT Megah Surya Pertiwi (MSP), PT Halmahera Persada Lygend (HPAL), dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF).

Dua perusahaan lain di Pulau Obi, PT Aneka Tambang (Antam) dan PT Telaga Bhakti, tidak masuk area Kawasi kendati lokasinya dekat.

Aktivitas petambangan di Obi sudah dimulai sekitar 2007. Awalnya PT Antam-lah yang menginjakkan kaki. Mulai Dekade 2010, giliran Harita yang beraksi.

Dalam Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan PT TBP semester I 2021, baik PT MSP dan PT HPAL beroperasi di daerah PT TBP–satu naungan dengan Grup Harita. Keduanya punya area kerja kurang lebih 376,50 hektare dan 655,54 hektare. Sedangkan PT HJF seluas 118 hektare. Lokasi pengolahan nikel oleh PT TBP sendiri sekitar 504,40 hektare. Namun, berdasarkan SK Bupati Halmahera Selatan Nomor 18 tahun 2010, sebenarnya konsesi lahan PT TBP mencapai 4.247 hektare. Sedangkan PT TBP dalam keterangannya menyebut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mereka miliki sejak 2010 seluas 5.523,99 hektare.

PT TBP menargetkan selama 13 tahun beroperasi mereka mampu meningkatkan produksi dari 6 juta menjadi 15,2 juta ton bijih nikel per tahun. Hasilnya nanti bisa diolah oleh PT HPAL dalam bentuk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP)–yang target hasilnya sebanyak 365 ribu ton per tahun.

Rencana menambah cuan oleh Harita adalah kabar buruk bagi Lily dan sejumlah warga. Mereka tidak terima tanahnya diambil perusahaan untuk perluasan, apalagi dengan harga yang tak sepadan.

Lily dan suami, Andrias, punya berbagai tanaman mulai dari kelapa hingga jambu mete. Harganya dihitung-hitung mencapai Rp700 juta. Tapi perusahaan hanya mau ganti rugi total Rp38 juta. Tidak ada tawar-menawar.

Bupati setuju dengan harga yang ditawarkan ke warga dengan anggapan bahwa tanah itu punya negara. Namun Andrias dan Lily punya pendapat lain. Menurutnya pemerintah dan perusahaan hanya ingin mencari solusi mudah dengan memberi harga murah.

“Bukannya kita ini mau melawan pemerintah. Bukan. Tapi sekurang-kurangnya bupati itu sebelum dia bikin keputusan minimal datang ke sini. Buka rapat dengan masyarakat,” kata Lily. Dahinya mengerut ketika memutar ulang kisah itu.

Lily ingat pihak perusahaan datang medio 2016 saat dia sibuk menjaga toko kelontong. Andrias yang sedang tidur pun dibangunkan. Mereka langsung disuruh tanda tangan dengan harga yang sudah tertera. Orang perusahaan bilang saat itu para tetangga juga sudah tanda tangan. Ketika Lily mau konfirmasi, orang perusahaan tiba-tiba mengurungkan niatnya.

“Langsung saya tahu dari situ bahwa dia bohong.”

Lahan Lily dan Andreas yang diganti Rp38 juta itu luasnya 5,8 hektare. Sebagai perbandingan, tanah lain yang luasnya 15×20 meter saja dihargai Rp15-20 juta pada 2018–menurut ingatan keduanya.

“Saya bilang bahwa ini terlalu murah, terlalu murah. Begini, saya tanya begini: Rp38 juta itu dapat dari mana? Hitungannya dapat dari mana? Terus dia bilang: ‘ya dari ibu punya jumlah tanaman itu’.”

Total lahan yang dimiliki pasangan ini sekitar 33 hektare. Mereka tidak tahu berapa banyak yang sudah dipakai tanpa izin selain 5,8 hektare tersebut.

Suatu hari tahun 2018, perusahaan serta perangkat desa memutuskan berunding dengan Lily dan suami di rumah sekretaris desa. “Kita diundang. Jadi kita duduk begini, pihak perusahaan sebelah sana, terus pemerintah di depan. Pemerintah desa itu yang hadir itu Pak Sekdes,” ungkap Lily.

Tapi yang terjadi bukan perundingan. Di sana hanya ada adu ngotot antara perusahaan dengan warga. Perusahaan berkukuh dengan SK bupati, sedang warga tetap tak ikhlas lahannya diganti dengan harga murah.

Pada saat itulah Lily mengaku diancam oleh Sekdes bernama Frans Datang. “Masyarakat siapa yang melawan akan berurusan dengan polisi,” kata Frans sepenuturan Lily. “Saya ingat sampai hari ini. Saya tidak lupa, karena itu semacam trauma.”

Di hari itu pula Andrias dan Frans–yang merupakan saudara kandung–ribut sampai aparat memukul Andrias menggunakan popor senjata. Sejak itu pula hubungan mereka tak lagi sama.

“Kalau sampai terjadi apa-apa di lahan-lahan kita di sana, saya tidak cari perusahaan. Saya cari kamu, saya pe ade (adik saya!). Berarti kamu yang kasih izin sampai berani gusur kita punya lahan-lahan di sini,” ucap Andrias waktu itu pada adiknya.


Tidak Ramah bagi Kawasi

Pada tahun 2021, Indonesia resmi mencatatkan diri sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Data US Geological Survey menyebut negara ini menyumbang 1 juta metrik ton atau setara 37,04% nikel dunia.

Potensi nikel yang besar ini menjadi perhatian negara, termasuk juga pertambangan bijih nikel di Pulau Obi. Data dari ESDM menyebut Indonesia setidaknya menghasilkan 2,47 juta ton pada 2021. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) punya target lebih tinggi lagi untuk memproduksi nikel di tahun 2022, yaitu hingga 2,58 juta ton.

Pabrik high pressure acid leach (HPAL) yang dikelola PT HPAL masuk ke dalam proyek strategi nasional dan diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan Juni 2021 silam. Dia sengaja datang untuk meresmikan pabrik yang digenjot pembangunannya pada tahun 2018 dengan suntikan dana sebesar 1,5 miliar dolar AS. Bagi Luhut, kehadiran PT HPAL sangat baik.

Harita Group dan perusahaan asal Cina, Zhejiang Lygend Investment Co., Ltd (ZLI), menguasai HPAL. ZLI melalui anak perusahaan Ningboy Lygend Mining Co. sebesar 36,9% dan Harita lewat PT TBP punya saham mayoritas 63,1%.

Smelter hidrometalurgi ini difungsikan khusus untuk mengolah bijih nikel menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP)–Sampai November 2021, PT HPAL setidaknya telah mengekspor 60 ribu ton MHP–dan turunannya berupa nikel sulfat (NiSO4) dan cobalt sulfat (CoSO4). Semuanya adalah bahan baku yang bisa digunakan untuk menghasilkan baterai mobil listrik.

Mobil listrik digadang-gadang sebagai masa depan. Proyeksi sementara, pada tahun 2030 akan ada permintaan mobil listrik sebanyak 31,1 juta unit. Di Indonesia, pemerintah punya target memproduksi kendaraan listrik sebanyak 3,05 juta unit.

“Industri ini ikut berkontribusi mewujudkan cita-cita upaya penurunan kadar emisi dari penggunaan kendaraan berbahan fosil,” kata Luhut. “Ini aset bangsa. Kita harus lindungi namun lingkungan harus dijaga.”

Satu yang tak disinggung Luhut adalah desa di bawah pabrik-pabrik tersebut. Kehidupan dan lingkungan mereka tinggal bukan lagi harus “dijaga” melainkan “diperbaiki” karena sudah rusak.

Setiap hari Lily dan warga lain harus berkutat dengan debu dari aktivitas perusahaan. Perataan pohon untuk jalan produksi, misalnya, mengganti udara segar dengan debu jalanan yang hanya berupa tanah cokelat dan memperparah krisis iklim. Penggundulan hutan adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim sejauh ini.

Ketika Luhut datang, dia seakan tidak merasakan bagaimana debu-debu mengelilingi Kawasi. Tapi bagi Lily, jika saja Sang Menteri tinggal di rumah warga yang di bawah pabrik, pengalamannya akan berbeda.

“Lihat saja debu-debu ini sampai tutup begini,” kata Lily menunjukkan pintu depan rumahnya. Dia menyapunya baru beberapa jam lalu, tapi debu datang lagi. “Karena sudah botak, tidak ada saringan lagi. Pohon-pohon ini tidak ada, saya anggap alam ini punya saringan su tidak ada.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Bertahan Hidup di Lingkungan yang Sakit

“Felix mau mandi?” tanya pemilik rumah tempat saya menginap.

“Iya mama, memang kenapa?”

“Oh tidak, soalnya biasa ada yang tidak mau mandi karena air kami begitu.”

“Begitu” yang dimaksud adalah kotor dan tercemar.

Warga Pulau Obi punya beberapa sumber air. Pertama adalah Air Cermin. Dinamakan demikian karena airnya begitu jernih dan nelayan sering kali berhenti di sana untuk beristirahat dan menuntaskan dahaga. Sekarang sumber air itu sudah hilang. Tak ada yang tahu pasti kapan tepatnya sumber air raib, tapi yang pasti Air Cermin sudah tak lagi tampak sejak pertambangan ramai mulai 2010.

Kedua adalah Danau Karo. Letaknya jauh dari desa dan sekarang sudah masuk ke area perusahaan. Hanya perusahaan yang bisa mengakses air bersih di Danau Karo.

Dalam penelitian Analisa Potensi Air Danau Karo Pulau Obi Halmahera (2020), Teddy W. Sudinda menghitung debit air bulanan Danau Karo selama periode 2014-2018. Dia berkesimpulan bahwa pembukaan lahan di area sekitar seharusnya dihindari karena akan mengurangi debit air dan “menimbulkan erosi yang mengakibatkan kekeruhan air pada Danau Karo.” Tidak hanya itu, karena kebutuhan air yang besar, maka “bisa dipastikan kemampuan Danau Karo kurang dan harus dicari sumber lain untuk mengatasi kekurangan yang ada.”

Selain itu ada juga Sungai Ake Lamo, Sungai Loji, dan Sungai Toduku. Yang paling besar dan dekat berbatasan dengan permukiman warga adalah Sungai Toduku. Letaknya sekitar 500 meter dari desa. Mata air yang berasal dari Danau Karo mengalir deras ke Sungai Toduku. Air dari sumber air diteruskan ke desa dengan pipa. Pipa yang digunakan berukuran 4,5 inci sebanyak 3 buah, pipa 2 inci 4 buah, dan pipa ukuran 3 inci 2 buah.

Berdasar artikel Satmoko Yudo dan Taty Hernaningsih dari Pusat Teknologi Lingkungan-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Gedung Geostech berjudul Kondisi Kualitas dan Kebutuhan Air Desa Kawasi di Kawasan pertambangan Nikel Pulau Obi (2021), sumber air tersebut masih layak atau masuk kategori bersih. Itu bisa jadi benar. Tetapi yang jadi masalah adalah air yang mengalir di sungai tersebut dan kemudian mengarah ke laut. Sungai tersebut berwarna cokelat dan agak oranye–diduga akibat sedimentasi ore nikel.

Ada warga yang tidak mau mengambil risiko. Hasil survei menyatakan sebanyak 40% warga Kawasi memilih menggunakan air galon kemasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, lalu sebanyak 13,3% memilih menggali sumur. Mereka yang masih menggunakan mata air tersebut untuk minum sebanyak 46,7%. Dari yang membeli air galon kemasan, sebanyak 70% menggunakan 100 hingga 200 liter air galon per bulan.

Anis, warga yang sudah tinggal di Pulau Obi sejak 2006, mengaku bahwa sebelum perusahaan masuk air masih bersih dan bisa diminum langsung dari sumbernya. Setelah perusahaan datang, mereka harus merogoh uang lebih hanya untuk masalah air. “Makannya ndak enak begini. Kayaknya kita timba di galon itu karena tanah merah-merah di dalam, masuk,” ucapnya. “Perusahaan masuk ini, masyarakat lebih siksa, air juga kotor.”

Tidak ada warga asli di Pulau Obi. Tapi pulau yang awalnya tanpa penghuni ini ditempati paling lama oleh orang dari Galela-Tobelo, sebagian lagi dari Wakatobi atau dari Ambon, Maluku.

Ibu Rodi, seorang guru di madrasah Desa Kawasi, berasal dari Wakatobi. Dia datang bersama suaminya, seorang nelayan, tahun 2009.

Rodi melihat permasalahan air bersih sudah menjadi sesuatu yang serius di desa sejak 2017. Indikatornya adalah ketika itu tidak semua warga bisa mendapat air bersih dari mata air. Pipa-pipa tidak seluruhnya tersalurkan ke rumah warga.

Rodi termasuk salah satu yang kebetulan bisa mendapat akses air bersih ke mata air. Dia kemudian menampung air banyak-banyak agar bisa dijual. Awalnya dia hanya bisa menjual sekitar 20 galon per hari. Sekarang, jumlahnya meningkat hingga lima kali lipat. Sebulan, dia bisa menjual sampai 3 ribu galon.

“Kadang-kadang air mati di tengah masyarakat itu, kadang pesan 5 untuk mandi, kadang pesan 1 untuk isi mesin diesel. Di seberang banyak yang tidak mendapat air bersih, mereka pakai sumur. Kadang-kadang mereka beli air itu 10 galon,” kata Rodi kepada saya Januari tahun lalu.

Kembali sedikit ke penelitian Satmoko dan Tety, mereka memperkirakan kebutuhan air bersih warga Kawasi tahun 2020 sebanyak 74.147 liter/hari. Jika sebanyak 40% menggunakan air galon dan 1 galon berisi 19 liter air, maka setidaknya ada 1.561 galon yang diperjualbelikan setiap hari. Dengan harga satu galon Rp10 ribu, maka warga harus menguras uang sebesar 15,6 juta hanya untuk memenuhi kebutuhan air bersih setiap hari.

“Padahal kalau untuk minum paling hanya 1 galon,” lanjut Rodi.

Bagi Rodi, perusahaan belum tuntas membantu perkara air bersih milik warga. Meski mendapatkan untung dari hasil penjualan air bersih, Rodi sebenarnya lebih senang jika akses air bersih bisa merata ke seluruh desa, meski berarti penghasilan dari jual air akan menurun atau bahkan hilang sama sekali. “Enggak apa-apa itu lebih bagus demi kesejahteraan semua.”

Selain masalah air bersih, warga sampai sekarang juga masih kesulitan dengan perkara listrik. Siang hari terasa gelap di rumah-rumah. Sunyi. Hanya sebagian yang punya genset, tentu dengan biaya operasional yang tidak kecil.

Rumah Rodi juga salah satu yang tidak mendapatkan akses listrik. Dia harus merogoh Rp 1 juta/bulan hanya untuk listrik. Jika masyarakat beruntung, perusahaan akan menyalakan listrik pada malam hari dari pukul 18.00 hingga 06.00. Namun, selama hampir seminggu saya di Kawasi, listrik tidak pernah menyala penuh selama 12 jam.

Inilah ironi dari tempat yang membuat bahan baku untuk baterai mobil listrik. “Baterai listrik buat apa? Kita torang di sini saja listrik susah,” keluh Rodi. Warga sampai sekarang belum pernah merasakan listrik seharian penuh, hanya listrik di perusahaan saja yang menyala 24 jam.

Tak heran jika mereka menganggap Harita hanya akronim dari “hari-hari menderita”.


Warga “Dipaksa” Pindah

Di tengah krisis air bersih, debu, dan konflik lahan, Lily dan Andrias bersama lima keluarga lain mau tak mau pasrah. Sampailah mereka pada klimaks: hanya mendapat uang Rp150 juta untuk dibagi enam.

Jika tidak mau menerima juga, mereka diancam penjara dengan UU Minerba. Polisi, menurut Lily, menuding bahwa ia dan suaminya memprovokasi warga untuk mencegah perusahaan beraktivitas di lahan yang sudah dibeli.

Ketika itu Andrias hanya bisa diam karena baru pertama kali tahu ada aturan yang bisa merebut lahan mereka tanpa diskusi terlebih dahulu.

“Bapak tahu tidak UU Minerba poin 9, atau entah poin berapa itu. Dia bilang di situ dikatakan bahwa barang siapa menghalang-halangi kegiatan di area pertambangan akan ditindak pidana 5 tahun penjara. ‘Bapak mau saya pidanakan?’ Dia bilang begitu,” kenang Lily.

Tentu saja diancam begitu Andrias ciut, apalagi pemidanaan bukan isapan jempol. Satu warga bernama Dominggus yang juga mantan perangkat desa sudah sempat mendekam di rumah tahanan setelah ditangkap di Gresik, Jawa Timur. Perkaranya karena dianggap mangkir dari laporan polisi setelah dia melindungi lahannya dari kerja-kerja mesin berat perusahaan.

Pemerintah desa tidak bisa diandalkan. Frans dianggap berpihak kepada perusahaan dan mengkhianati saudara kandungnya sendiri. Dia mendesak agar Andrias mau menerima ganti rugi. Ketika polisi datang, mereka menuding Andrias melanggar UU Minerba karena menghalangi kegiatan di areal pertambangan. Andrias sudah berpikir dia akan diancam penjara.

“Saya kasihan lihat bapak. Jadi saya bilang, ‘Ah, maaf, ya, Pak Kapolsek. Kita ini masyarakat biasa, saya ini tra sekolah. Mungkin tidak sekolah jadi saya tidak tahu UU ini. Sampai hari ini, rambut saya ini (putih), saya baru dengar UU Minerba. Saya tidak tahu UU apa itu. Saya hanya berdasarkan masuk akal dan tidak masuk akal’,” lanjutnya.

Sekarang, kondisi Andrias sedang stroke. Dan di tengah kemalangan itu, masalah lahan masih juga belum menemui titik terang. Dia dan warga Kawasi kemudian dihantam masalah lain. Selain lahan, rumah mereka ikut jadi sasaran.

Lily dan sebagian warga Kawasi tahu bahwa ada permukiman baru yang tengah dibangun oleh perusahaan. Letaknya sekitar lima kilometer dari desa sekarang dan berjarak sekitar 1 kilometer dari pantai. Rumah-rumah sudah berdiri rapi. Warga tidak dilibatkan dalam keputusan pembangunan kawasan seluas 80 hektare lebih itu.

Pemerintah Halmahera Selatan menandatangani nota kesepahaman dengan Harita pada tahun 2019 untuk relokasi warga ke daerah tersebut. Menurut sebagian warga, daerah itu bekas rawa dan tanaman sagu–yang kemudian ditebang dan dijadikan alas tempat mereka bakal tinggal.

Rumah itu juga tak sebanding dengan rumah saat ini. Dibandingkan salah satu rumah warga tempat saya menginap, misalnya. Meski tidak mewah, dindingnya berupa beton meski yang tidak rata dan ditutupi dengan kertas motif yang sering kita temui di pembungkus kado. Selain punya halaman, rumah itu mampu menampung dua rumah tangga dengan tiga kamar tidur, dapur, dan ruang tengah yang disambi jadi ruang makan. Adapun di permukiman baru, bangunannya kecil; hanya dua kamar tidur.

Sebab itulah, Anis, nelayan Kawasi, bersikeras tak mau pindah.

“Terserah mereka mau ukur, mau bilang pindah kampung saja, tidak tarada mau pindah. Kampung ini, kan, kampung pertama seluruh Pulau Obi, desa ini yang desa yang tertua. Jadi perusahaan datang ke belakang. Kalau dia bikin pabrik harus jauh dari kampung. Ini kampung tara jadi pindah, masyarakat banyak, baik Islam baik Kristen tidak mau pindah,” tegasnya.

Pemerintah Halmahera Selatan pernah berargumen bahwa lingkungan tempat tinggal warga sudah kumuh dan rawan bencana. Mereka berada di titik nol meter dari atas permukaan laut sehingga terancam tsunami. Lagi pula, banyak kendaraan berat yang melintas di area tersebut sehingga lingkungan tidak lagi sehat.

Ketika saya konfirmasi, Kepala Seksi Perencanaan dan Pengkajian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Selatan Ridwan La Tjadi tak mau berkomentar soal masalah relokasi. Untuk masalah air yang jadi berwarna merah, Ridwan mengklaim bahwa itu soal biasa; bahkan tak ada hal aneh. “Setiap habis hujan, biasanya air laut merah karena memang tanah di Kawasi itu [berwarna] merah,” katanya.

Saya juga bicara dengan Sekretaris Desa Kawasi Frans Datang. Menurutnya sebagian warga masih terbelah, antara yang ingin pindah dan tidak. Dia sendiri setuju dengan keputusan pindah. Frans mengatakan mau tidak mau Desa Kawasi akan menjadi korban kepungan perusahaan tambang. Sebagai imbalan, katanya, di tempat baru mereka harus mendapatkan kesejahteraan–harapan yang bagi sebagian warga sulit dibayangkan akan menjadi kenyataan.

“Kawasi pasti berubah,” kata Frans. “Dampaknya itu debu, jadi relokasi, ya sudahlah. […] Kalau pemerintahnya juga mengharuskan direlokasikan untuk pertambangan, kan, bagus juga.”

Ketika saya mengonfirmasi hasil temuan ke Dinas Lingkungan Hidup yang ada di Kota Bacan, semuanya menolak untuk berkomentar. Ditanya soal keberadaan kepala dinas pun mereka tak mau menjawab. “Kepala dinas sibuk,” kata salah satu staf.

Manajer Komunikasi Perusahaan Grup Harita, Anie Rahmi, menyatakan secara tertulis bahwa perusahaan telah mengelola pertambangan yang sesuai dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Adanya air berwarna merah dianggap perusahaan sebagai hasil sedimentasi belaka dan diperparah karena curah hujan yang tinggi.

“Tapi bukan merupakan limbah dari proses produksi,” kata Anie kepada saya akhir November lalu.

Perusahaan juga mengaku telah membayar ganti rugi tanaman warga di sekitar area pertambangan. Sedangkan untuk tanah sendiri tak dianggap karena sejak awal kepemilikannya atas nama perusahaan.

Untuk masalah relokasi, Harita mengklaim hanya mengikuti arahan dari program Pemda Halmahera Selatan–membangun permukiman baru.

“Tidak ada pemaksaan sama sekali terhadap warga. Mengingat ini adalah program pemerintah daerah, maka hal-hal terkait relokasi diatur oleh pemerintah daerah dengan perusahaan,” dia menambahkan.

(Bersambung…)


Laporan ini merupakan hasil fellowship Pasopati Hijaukan Program Pembangunan bersama Auriga Nusantara.


Felix Nathaniel, meliput isu nasional sebagai reporter dan penulis di Tirto.id sejak 2016

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.