Kegagalan Historis Membangun Polisi (di) Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


Nah, Mantri Polisi, bagaimana itu pencuri kerbau Soeket? Apa kau belum dapat keterangan. Masalah ini seyogyanya jangan dimasukkan ke dalam buku laporan. Sebab kalau terlalu lama pencuri itu tidak bisa tertangkap, lebih baik perkara itu dibekukan saja. Kalau tidak dibekukan, saya khawatir nantinya akan membikin banyak pertanyaan dari atas, yang bikin susah. Laporan Soeket kita menganggap tidak ada saja, toh ai tidak mungkin berani melaporkan perkara ini ke pembesar-pembesar yang ada di atas.

Percakapan di atas menjadi pembuka dalam fragmen Hikayat Kadiroen karya Semaoen yang dicetak pada tahun 1920. Kadiroen, seorang agen polisi muda pada Algemene Politie, bertekad mengusut tuntas perkara kehilangan kerbau milik petani miskin bernama Soeket. Perkara itu amat tak diacuhkan oleh wedana polisi atasan Kadiroen karena tidak akan mendatangkan cuan. Sosok Kadiroen yang digambarkan sebagai pribadi bumiputra terdidik, memiliki integritas dan berpihak pada bangsanya menjadi anomali bagi polisi kolonial.

Kisah Kadiroen ini merupakan satir terbaik yang ditulis oleh Semaoen. Ia bukan hanya menyindir polisi kolonial pada umumnya, namun juga Negara Kolonial Hindia Belanda. Wibawa negara kolonial itu berada di pundak opas-opas polisi kolonial. Mengutip kata P. J. A. Idenburg, “Nederlandsch Indie werd een regime van Politiestaat” (‘Hindia Belanda menjadi negara rezim polisi’) (Idenburg, 1966: 76). 

Sebenarnya tak perlu berkunjung jauh ke masa Hindia Belanda karena citra negatif itu menjadi sisi koin yang tak terpisahkan dari kata “polisi” hingga sekarang. Kekerasan, penyalahgunaan wewenang hingga koruptif ada di tubuh mereka. Masih belum lekang dalam ingatan kita bagaimana polisi dengan beringas menangani unjuk rasa menentang omnibus law pada tahun 2020; penganiayaan terhadap mahasiswa di Makassar dalam unjuk rasa tahun 2021; hingga kasus penembakan di kilometer 50 Tol Cikampek. Semua itu menjadi catatan kekerasan polisi yang terus diingat oleh masyarakat.

Bahkan kasus mereka tidak hanya yang menyangkut masyarakat sipil, tapi juga internal. Dari yang terlihat lumrah seperti Kapolres Nunukan AKBP Saeful Anwar yang menendang anak buah hingga yang spektakuler kasus yang menjerat Irjen Ferdy Sambo.

Publik seakan tidak kehabisan bahan untuk memperbincangkan kebobrokan polisi dan, seperti kisah klasik, Polri akan terus bermain untuk membangun citra.  


Bunyi Lama, Nyanyian Baru: Rust en Orde ke Tata Tentrem Kerta Raharja

Pada Februari 1924, seorang komisaris polisi kolonial bernama Helsdingen menerbitkan laporan dengan judul Rapport nopens de werking van de organisatie der politie op de grootse hoofdplaatsen van Java (‘Laporan Tentang Kinerja Lembaga Kepolisian di Tiga Kota Terbesar Jawa’). Laporan itu, sebagaimana dikutip oleh Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: dari Kepedulian dan Ketakutan, merangkum tiga masalah yang menjangkiti polisi: korup, sewenang-wenang, serta menjadi alat politik penguasa (Bloembergen, 2014: 34).

Penyakit tersebut tak bisa dilepas dari sejarah pembentukan polisi itu sendiri yang pada dasarnya memang untuk mengamankan aset dan kepentingan pemerintah kolonial. Cikal bakal mereka adalah schout (‘penjaga malam’) yang dipersenjatai dan bertugas sebagai watchdog residen maupun wedana yang tinggal di rumah besar. Kebanyakan dari bumiputra yang dipekerjakan mendapat upah sangat rendah sehingga mencari penghidupan lain di siang hari. Di kemudian hari, keadan ini menjadi cikal bakal perilaku koruptif dan sewenang-wenang. Karakter buruk dari para opas ini rupanya terbawa hingga polisi diinstitusionalisasikan dalam gerbong pemerintah kolonial.

Tidak hanya problematika ini yang kemudian menjadi momok dalam tubuh polisi kolonial. Penangkapan yang tidak berdasar dan penyiksaan dalam proses penyidikan menjadi laporan harian yang dikeluhkan penduduk bumiputra pada residen.

Laporan ini yang kemudian menjadi dasar bagi Departement van Binnenlands Bestuur untuk melakukan reorganisasi kepolisian kolonial: membatasi kewenangan mereka dalam hukum dan membatasi akses politikus dalam komando polisi di daerah. Penyidikan dan penyelidikan suatu djoestisi (‘perkara’) harus bersama atau sepengetahuan jaksa wilayah sehingga meminimalisasi salah tangkap, bahkan yang lebih berbahaya seperti pengadilan jalanan. Sepanjang 1933-1942, “bersih-bersih” instansi ini disinyalir telah mengembalikan marwah dan wibawa polisi kolonial yang penuh kebijaksanaan (Idenburg, 1982: 11).

Akan tetapi masalah belum selesai sampai di situ. Polisi kolonial semakin jelas menjadi andjing pengoeasa untuk menjalankan agenda politik mereka. Polisi Kolonial terutama Dinas Intelijen Politik (Politiek Inlichtingen Dienst/PID) menjadi momok mengerikan bagi kaum pergerakan bumiputra. P. J. A. Idenburg, mantan Menteri Pendidikan Hindia Belanda, pernah berkomentar tentang PID dalam tulisan kilas baliknya tahun 1961 berjudul Het Nederlands Antwoord op het Indonesische Nationalisme (‘Tanggapan Belanda Atas Nasionalisme Indonesia’) seperti ini:

“PID bukan saja bertugas untuk mengumpulkan bahan-bahan informasi politik yang penting mengenai perorangan, perkumpulan, gerakan dan lain sebagainya, tetapi juga memelihara tugas harian pengamatan terhadap kelakuan tokoh-tokoh dan organisasi politik aktif dan juga mengawasi ucapan-ucapan di depan umum di dalam rapat-rapat. Apabila batas-batas secara hukum diizinkan terlampaui, maka dinas kepolisian ini harus bertindak, seringkali dengan peringatan, tetapi jika perlu dengan tindakan lebih jauh” (H. Baudet, 1987: 166).

Pasca Kemerdekaan, Sukarno menunjuk R. S. Soekanto untuk membentuk kepolisian nasional. Ia mewanti-wanti kepolisian negara harus berbeda dengan kepolisian kolonial bentukan Belanda atau Keisatsu bentukan Jepang. Polisi kolonial bentukan Belanda menjadi kepanjangan tangan politik penguasa, sementara Jepang lebih menanamkan karakter militer pada masa pendudukan.

Masalahnya adalah ketika itu masih masa revolusi fisik yang mau tak mau menjadikan polisi sebagai kombatan di lini depan konfrontasi. Soekanto khawatir jika berlarut dalam medan pertempuran sedangkan karakter sipil belum tertanam kuat, mereka akan kesulitan menyesuaikan diri di masa damai kala menghadapi masyarakat. Pemikiran Soekanto sangat mendasar: ia ingin polisi memiliki karakter kuat untuk bisa melayani masyarakat. Seperti polisi pada umumnya, mereka selalu dihadapkan pada situasi biner stick and carrot sehingga tidak menyisakan sedikit ruang kontemplasi sebagai masyarakat sipil.

J. Skolnick mengatakan ada dua unsur yang memengaruhi karakter polisi, yakni unsur bahaya dan unsur kewenangan. Unsur bahaya membuat polisi selalu curiga, sedangkan unsur kewenangan suatu waktu bisa berubah menjadi kesewenang-wenangan.

Dua akademikus kepolisian Amerika Serikat Robert Baldwin dan Richard Kinsey dalam Police, Power, and Politics (1982) mengatakan polisi bertindak sebagai vigilance actor in society (‘vigilantor masyarakat’). Artinya, polisi adalah komunitas khusus dalam masyarakat sipil yang dipercaya memberantas kejahatan dengan kejahatan. Untuk menjalankan tugas itu mereka membutuhkan kekuasaan (power) maupun wewenang (authority). Kuasa (power) ini merupakan legitimasi atas wewenang yang diberikan kepada mereka. Wewenang atau bevoegdheid dideskripsikan sebagai kekuatan hukum (rechtsmacht). Dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan (Hadjon, 1997: 1). Dalam logika sederhana, wewenang berjalan beriringan dengan tanggung jawab.

Landasan filosofis dan etik pun mulai dirumuskan untuk membangun karakter Polri. Prof. Dr. Prijono, yang saat itu mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), mengemukakan sebuah istilah yang dapat menjadi pedoman hidup anggota kepolisian negara, yakni Tri Brata (Markas Besar Kepolisian Negara, 1971: 59). Tri Brata disadur dari bahasa Sanskerta yakni bratha (‘jalan hidup’) yang diucapkan oleh Rama dalam epik Ramayana. Soeparno Soeriatmadja menjabarkan lebih luas pemikiran Prijono itu: “Tri Brata adalah bagian dari delapan ajaran kehidupan (Asta Brata) yang berisikan sila atau darma sebagai seorang ksatria utama, sebagai pedoman hidup seorang raja (pemimpin)” (Soeriaatmadja, 1969: 9).

Setelah Tri Brata, Tata Tentrem Kerta Raharja menjadi doktrin polisi, yang bermakna untuk mencapai suatu raharja (‘kemakmuran’) diperlukan tata (‘keteraturan’) dan tentrem (‘ketentraman’) dalam suatu negara. Doktrin ini sepintas mengingatkan kita pada doktrin polisi kolonial, yakni: veiligheid, rust en orde (‘ketentraman dan keteraturan’) demi tercapainya Pax Neerlandica (‘Kedamaian Hindia Belanda’).

Secara epistemik, gagasan para pendiri kepolisian penuh dengan keluhuran. Secara empiris, panggung sejarah berkata lain.


Dekolonialisasi dan Demiliterisasi yang Gagal: Mimpi Buruk Polri

Pada peringatan Hari Kepolisian 1956, Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta memberikan amanat sembari menyampaikan kritik halus pada Polri. Hatta bertutur bahwa kepolisian pada zaman penjajahan dahulu adalah alat politik dari pemerintah kolonial. Pada masa kemerdekaan ini, polisi harus menjadi pembimbing dan teman rakyat supaya bisa menyelenggarakan keamanan yang diinginkan oleh rakyat (Kedaulatan Rakyat, 2 Juli 1956). Sentilan Hatta bukannya tidak berdasar. Ia mengamati betul “main mata” anggota polisi dengan politisi republik hingga keterlibatan partai polisi (Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia atau P3RI) dalam Pemilihan Umum 1955.

Belum selesai perkara pembentukan karakter polisi sipil yang kuat, Polri malah diintegrasikan dalam tubuh angkatan bersenjata pada 1960. Melalui TAP MPRS No. II tahun 1960, status Kepolisian Negara menjadi setara dengan Angkatan Darat, Laut dan Udara, dalam satu tubuh bernama Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Status ini jelas membuat polisi sipil berubah menjadi aparat bersenjata yang berbeda fungsi dan tugas pokoknya. Status ini kemudian menguat setelah lahirnya Undang-undang Pokok Kepolisian No. 13 tahun 1961, yang disahkan oleh DPR-GR pada 19 Juni 1961. Sebutan Menteri/Kepala Kepolisian Negara juga ditetapkan menjadi Menteri/Kepala Staf Kepolisian.

Status Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pada masa Orde Baru bisa dibilang “hidup segan, mati tak mau”. Posisi Polri yang berada di bawah kendali Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) membuatnya ter-militer-kan dan fungsi kepolisian sipil tidak bisa berjalan optimal. David Wise dalam The American Police State: the Government Against the People (hlm. 45) memaparkan, selama polisi ditempatkan dalam struktur militer, bias tugas dan fungsi akan terjadi. Tentara yang berjalan pada koridor tugas to kill jelas berbeda dengan polisi yang bertugas to protect. Asimilasi militerisasi ini membuat polisi gagap merespons masyarakat sipil sehingga justru menjadi musuh.

Secara politis, Polri juga dianggap “anak bawang” dibandingkan “kakak-kakaknya” yakni TNI AD, AL dan AU. Urusan yang menyangkut keamanan dan ketertiban kebanyakan diambil alih oleh Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), sementara urusan yang bersifat intelijen diambil Badan Intelijen Strategis ABRI (BAIS). Tugas polisi, menurut Awaloeddin Djamin, praktis hanya mengatur lalu lintas dan mengejar copet di pasar (Djamin, 1995: 65).

Intervensi yang kuat dari ABRI membuat banyak perkara pidana tidak sampai ke meja persidangan. Kasus smokel (‘penyelundupan’) mobil impor di Tanjung Priok yang ditangani Hoegeng Iman Santoso, misalnya, terhenti lalu diambil alih oleh Kopkamtib pada 1970. Menurut Aris Santoso dalam Hoegeng: Oase Menyejukan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, penyelidikan kasus tersebut kemungkinan besar menyeret salah satu kolega Cendana. Hoegeng bersikukuh tetap ingin melanjutkan proses penyidikan dan akhirnya dia diberhentikan oleh Suharto setahun setelah kejadian. Hoegeng yang di-dewa-kan sebagai sosok ideal polisi Indonesia–hingga saat ini Polri terus mencari sosok “Hoegeng Muda”- nyatanya takluk oleh keputusan politik otoriter Orde Baru.

Memasuki tahun 1990-an, Suharto mulai mengalami sindrom yang sama dengan pendahulunya. Ia menilai bahwa ABRI sudah mulai menunjukan absence of loyalty. Maka dimulailah manuver merapat pada kelompok Islam. Selepas tersingkirnya Benny Moerdani dari episentrum kekuasaan Orde Baru, ABRI perlahan tapi pasti mulai mencari dan menggalang kekuatan politik di belakang Soeharto.

Memento mori ini oleh Polri diupayakan agar menjangkau sosok politik lain di luar radar TNI. Nama yang muncul adalah Megawati Soekarnoputri yang saat itu sudah dinilai sebagai “ancaman” Orde Baru dan diintimidasi secara politik. Saat itu TNI memandang Megawati sebagai sosok persona non grata. Beberapa perwira Polri merapat ke Megawati setelah gaung dan potensinya sebagai kekuatan penantang Soeharto tampak. Persamaan senasib sepenanggungan menjadi alasan kuat yang membuat sesama “anak tiri Orde Baru” itu menjalin relasi.

Konflik internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menjadi bola panas yang kemudian mengakibatkan pecahnya peristiwa penyerangan kantor PDI pada 27 Juli 1996. Kompas 28 Juli 1996 menurunkan laporan mengenai penyerangan yang diduga dilakukan oleh aparat militer berpakaian preman atas perintah Sutiyoso. Beberapa hari sebelumnya, Megawati telah diperingatkan oleh perwira-perwira Polri yang berpihak kepadanya mengenai prakiraan intelijen di lapangan. Peristiwa Kudatuli ini menjadi pupuk subur relasi antara Megawati dan perwira polisi.

Angin segar Reformasi yang dibawa Habibie nyatanya belum bertiup ke Polri. Pemisahan Polri dari ABRI masih sebatas rencana di atas kertas. Pengalihan Polri dari ABRI ke Departemen Pertahanan Keamanan belum membuat polisi menjadi profesional seutuhnya (Sutrisno, 2016: 64). Pengalihan status kepolisian di bawah kendali Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) hanya mencontoh Gendarmerie Nationale milik Prancis yang masih bersifat paramiliteristik. Habibie sebatas memindahkan frasa “militer” menjadi “paramiliter” sehingga hasilnya old wines in the new bottles.

Gus Dur yang menjabat presiden setelah Habibie gagal merangkul Polri ke dalam kekuasaannya. Megawati mengamati celah ketidakharmonisan hubungan Gus Dur dengan Polri itu. Genderang perang ditabuh Megawati saat menandatangani pembelian senjata serbu AK-47 untuk Polri. Gus Dur pun geram. “Pembelian itu dilakukan tanpa meminta izin Presiden, tetapi hanya dengan meminta persetujuan Wapres. Ini jelas mengadu domba Presiden dan Wapres,” tulis Virdika Rizky Utama dalam Menjerat Gus Dur (hlm. 289). Pengadaan senjata serbu AK-47 juga terkesan serampangan karena dinilai menyalahi spesifikasi senjata yang dibutuhkan oleh aparat sipil.

Polemik Gus Dur dan Pori mencapai titik nadir saat muncul perintah penangkapan Kapolri Surojo Bimantoro. Gus Dur mencopot dan mengganti Bimantoro dengan wakilnya, Chaeruddin Ismail. Bimantoro bergeming dan menggalang dukungan dari beberapa perwira tinggi Polri lain. Seperti yang dituliskan Tirto, polemik ini kemudian menjadi alasan kuat pemakzulan Gus Dur.

Megawati yang semenjak awal sudah riding the wave langsung merangkul Polri tatkala dilantik sebagai presiden. Seperti diberitakan Kompas, Surojo Bimantoro dikembalikan jabatannya sebagai Kapolri. Sidarto Danusubroto, seorang pensiunan perwira tinggi Polri, disinyalir menjadi pialang hubungan Megawati dan Polri. Ia memulai karier politik sebagai anggota dewan saat puteri Bung Besar berada di tampuk kepemimpinan. Sidarto adalah mantan ajudan Presiden Sukarno di akhir masa kekuasaannya, antara 1967-1968. Ia secara halus mengakui hal ini dalam autobiografi berjudul 80 Tahun Sidarto Danusubroto: Jalan Terjal Perubahan

Megawati menghadiahkan Polri berupa Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Disebut hadiah karena UU ini secara substantif menegaskan pemisahan entitas bisnis Polri dari unit bisnis ABRI. Polri secara independen memisahkan dapur mereka dari TNI. Induk Koperasi Primer Kepolisian (Inkoppol) dan Yayasan Brata Bhakti milik Polri akan berhadapan secara head-to-head dengan Induk Koperasi Primer Angkatan Darat (Inkopad) dan tak ketinggalan Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI Angkatan Darat serta angkatan lainnya (Samego, 1998: 34).

Tapi lebih dari urusan dapur, UU ini juga mengatur kedudukan Polri yang langsung berada di bawah komando presiden. Implikasi politik dari terbitnya UU di atas adalah menguatnya peran Polri: sebagai instansi yang sejajar dengan TNI, Kejaksaan dan Mahkamah Agung.

Reglement ini singkatnya menegaskan bahwa polisi merupakan alat politik penguasa tertinggi di negeri ini.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Polisi sebagai Tangan Kuat Penguasa

Satjipto Rahardjo dalam Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia sudah mewanti-wanti bahwa legitimasi bevoegdheid (‘wewenang’) yang besar untuk Polri harus diiringi pengawasan dan penguatan oleh presiden. Wacana pengembangan karakter polisi sipil sebagai badan distingtif seharusnya muncul, kaidah dan moral dibangun, standar pun disusun menyusul dikeluarkannya undang-undang ini (Kunarto, 1999: 120-121). Kalau tidak, Polri akan terjebak menjadi de sterke arm van de overheid (‘tangan kuat penguasa’). Sayangnya itulah yang terjadi.  

Di akhir masa kekuasaannya, saat memperebutkan kursi presiden pada Pemilu 2004, Megawati masih berusaha menjegal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan kekuatan Polri. Politik teritorial Suharto yang mengerahkan Babinsa TNI AD digantikan dengan politik elektoral Megawati yang mengerahkan Bhabinkamtibmas Polri untuk mengamankan konstituen. Pengamat Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane mengungkapkan bahwa Polri sudah dikooptasi oleh PDIP saat Pemilu 2004 melalui cara yang persuasif atas instruksi Megawati.

Sebelum itu status darurat militer yang diberlakukan di Aceh serta konflik sektarian di Poso dan Ambon membuat Megawati memiliki alasan untuk menambah jumlah personel dan anggaran Polri hingga seratus persen. Untuk mengatasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Megawati mengirimkan 30 ribu personel TNI dan 12 ribu personel Polri selama operasi militer pasca-Reformasi. 

Di masa kekuasaan Joko Widodo, Polri menjadi alat negara kepercayaan yang mangkus dan serba guna. Ini tentu tidak terlepas dari pengaruh Megawati sebagai penasihat utama. Usaha menjadikan Budi Gunawan yang tidak lain ajudan Megawati sebagai Kapolri dinilai tak lebih untuk mengakomodasi kepentingan Polri. Keberhasilan menanggapi respons penguasa atas masalah yang dihadapi menjadikan daya tawar Polri pada posisi tertinggi. Sentimen rasial Pilkada DKI yang menghasilkan demo berjilid-jilid sampai Bom Sarinah yang menarik atensi publik mengantarkan Tito Karnavian sebagai Trunojoyo 1–istilah untuk Kapolri–hingga Menteri Dalam Negeri. Power besar Polri lagi-lagi terlihat saat Firli Bahuri berhasil mendisiplinkan KPK dari unsur “Taliban”. Anggaran Polri yang menembus angka Rp104,7 triliun pada 2020 membuktikan loyalitas Polri pada Jokowi–vice versa.

Polri masih menjadi anak emas di periode kedua Jokowi. Kasus yang menjerat Ferdy Sambo rupanya hanya membuat Jokowi emosi sesaat. Tragedi Kanjuruhan mempertegas bahwa kekerasan yang dilakukan oleh Polri semakin banal. Manuver Kapolri Listyo Sigit Prabowo terkesan sebatas membangun citra dan persepsi baik di masyarakat tanpa pernah menyentuh problem fundamental dalam institusi yang dipimpinnya. Skandal besar para perwira tinggi Polri yang ikut terseret dalam kasus Sambo masih bergulir di masyarakat.

Tinta sejarah untuk menuliskan Polri di bawah masa kepemimpinan Jokowi memang belum kering, namun jiwa zaman (zeitgeist) akan terus berhenti pada sumbu keajegan. Polisi dan politik tidak bisa dilepaskan, menghasilkan kewenangan yang begitu besar tanpa kontrol sosial. Pengawasan yang dilimpahkan kepada penguasa membuat pudar bahkan pupusnya senses of belonging masyarakat terhadap Polri.

Pada akhirnya, apa yang dikeluhkan oleh Komisaris Polisi Hindia Belanda di Batavia, C. J. Boon, pada akhir tahun 1915 terdengar kembali: “Pusat pemerintahan (Batavia) menjadi kota terkorup di Hindia, terutama kepolisiannya.” Jakarta sebagai episentrum kekuasaan mewarisi pendahulunya. Nothing new under the same sun.


Referensi

Abrar Yusha dan Ramadhan K.H. Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Baldwin, R. dan Richard Kinsey. Police, Power, and Politics. London: Quarter Books Ltd, 1982.

Indria Samego. Bila ABRI Berbisnis. Bandung: Mizan, 1998.

Philipus M. Hadjon. “Tentang Wewenang” dalam Yuridika No. 5-6 Edisi XII, Tahun 1997.

P. J. A. Idenburg. “Tanggapan Belanda Atas Nasionalisme Indonesia”, dalam H. Baudet dan I.J Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987.

Mardjono Reksodiputro. “Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia”, dalam Jurnal Polisi Indonesia, Vo. 7, tahun 2005.

Marieke Bloembergen. Polisi Zaman Hindia Belanda; Dari Kepedulian dan Ketakutan, .Jakarta: Kompas-KITLV, 2011.

Markas Besar Angkatan Kepolisian. Almanak Seperempat Abad Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta: Mabak, 1971.

Memet Tanumidjaja. Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1971.

Satjipto Rahardjo. Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2002.

Semaoen. Hikayat Kadiroen. Semarang : Bentang Budaya, 2000.

Soeparno Soeriaatmadja. Tri Brata. Jakarta: Yayasan Subarkah Mintaraga, 1969.

Suparmin Hadiman. Lintasan Perjalanan Kepolisian RI Sejak Proklamasi-1950. Jakarta: Gadhesa Pura Mas, 1985.

Virdhika R. Utama. Menjerat Gus Dur. Jakarta: Numedia Digital Press, 2020.

Wise, David. The American Police State ; The Government Against the People. New York: Random House, 1988.


Bambang Widyonarko, peneliti lepas yang mendalami peranan polisi dalam lingkup era Revolusi (1945-1950). Saat ini juga bekerja sebagai asisten peneliti lapangan untuk Nederland Institute for Military History (NIMH).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.