Mitos Kebersamaan dalam Acara Informal di Jawa

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Wikimedia Commons


ACARA informal di Jawa memiliki beberapa variasi kegiatan. Pertama, ritual yang terkait dengan siklus kehidupan. Salah satunya adalah upacara untuk mendoakan ibu hamil dan keselamatan bayi pada bulan kedua, keempat, ketujuh dan kesembilan masa kandungan. Kemudian pernikahan. Biasanya acara dimulai dari prosesi mantu/lamaran/nontoni (keluarga calon pengantin pria mengunjungi rumah calon pengantin wanita), diikuti dengan kepanggihan (pertemuan antara calon pengantin), dan akhirnya pernikahan itu sendiri. 

Ada juga ritual terkait pemakaman dan mendoakan orang yang sudah wafat setelah tiga, tujuh, empat puluh, seratus dan seribu hari (Permanasari, 2017). 

Kedua, terkait kegiatan sosial-ekonomi di desa. Beberapa di antaranya adalah ritual penentuan hari yang tepat untuk memulai masa tanam dan ungkapan syukur atas hasil panen. Kemudian ada bersih desa, yakni ritual untuk menghormati sosok “yang menjaga desa” sekaligus membersihkan daerah dari pengaruh jahat. Bentuk ritual lain yang banyak dilakukan adalah resik kubur, yaitu upacara membersihkan kuburan atau makam mendiang sosok penting di desa (Permanasari, 2017). 

Semua jenis kegiatan informal di Jawa ini secara umum sering disebut sebagai selametan/selamatan. 

Besar kecilnya sebuah acara informal didasarkan pada empat kriteria. Pertama, banyaknya beras yang dihabiskan. Kedua, asal usul dan jumlah tamu yang diundang. Tamu yang banyak dan kebanyakan dari luar daerah menunjukkan bahwa kegiatan itu adalah acara besar (Kutanegara, 2014). Ketiga, jumlah kendaraan pribadi yang ada di tempat parkir saat acara. Terakhir, status kelas sosial tamu yang datang. Semakin banyak pejabat atau kelas atas yang datang, semakin besar perayaan dan “kehormatan” sebuah acara informal. 

Pihak-pihak yang datang saat acara informal juga menunjukkan kedudukan kelas sosial penyelenggara, pengaruh politik dan juga prestise (Nooteboom, 2015). 

Tak heran jika acara informal terkait dengan citra tentang kesuksesan. Orang tua yang dianggap sukses adalah yang dilihat mampu melahirkan dan membesarkan anak, menyekolahkan, mencarikan pekerjaan, menikahkan, sampai mewariskan rumah. Dan banyak di antaranya yang dirayakan dengan acara meriah.


Transaksional

Semua kegiatan informal, dalam perspektif kulturalis, digambarkan sebagai bentuk “solidaritas”, ”kebersamaan”, “saling berbagi”, dan “kepedulian”. Namun, dilihat dari perspektif kelas, itu adalah ikatan transaksional yang rapuh antara rakyat kecil dengan kelas di atasnya (Robison, 1981). Ikatan tersebut terutama terwujud dalam akomodasi antara rakyat kecil dengan kelas atas (terutama petani kaya, produsen komoditas kecil ataupun tuan tanah) dalam urusan ekonomi politik. 

Ikatan seperti itu bertahan karena tak adanya kesadaran kelas sebagai akibat dari pembantaian gerakan perdesaan yang menopang perjuangan reforma agraria pada 1965-1966, kemenangan militer di bawah rezim Orde Baru, dukungan kekuasaan Soeharto terhadap rekosentrasi kepemilikan tanah serta akumulasi modal secara instan. Upaya rezim Orba untuk mengendalikan organisasi buruh di perkotaan dan memastikan tingkat upah tetap rendah untuk kepentingan akumulasi juga menyebabkan ikatan transaksional seperti itu menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa bagi rakyat kecil untuk bertahan hidup (Robison, 1981).

Namun toh ikatan yang rapuh dalam kegiatan informal tak lantas benar-benar mencukupi kebutuhan hidup rakyat kecil karena terkait dengan penguasaan atas lahan, modal dan aset. Apa yang terjadi justru sebaliknya. Satu contoh kecil adalah mekanisme memberi logistik–paling umum beras–dalam setiap persiapan acara informal. Mereka yang tak memiliki stok harus membeli dulu dengan harga tinggi (Koning, 2007). 

Pengeluaran untuk acara informal jelas membebani rakyat kecil, apalagi jika itu merupakan kegiatan pasca-pemakaman anggota keluarga usia produktif. Serangkaian acara informal untuk anggota rumah tangga yang dewasa saja setidaknya membutuhkan biaya senilai satu ekor sapi (Nooteboom, 2015). 

Ikatan transaksional dalam kegiatan informal rentan juga menumbuhkan diskriminasi sosial. Mereka yang mau memberikan berbagai sumber daya dan menjadi bagian dari ikatan transaksional akan semakin mendapatkan keuntungan seperti informasi bisnis yang ada di sekitar dan menjalin koneksi kuat dengan penguasa desa. Saat terdapat proyek pembangunan desa, kelas atas yang mau menjadi bagian dari ikatan seperti inilah yang akan didahulukan dilibatkan (Nooteboom, 2007). Mereka bahkan bisa menguasai lebih banyak lahan karena itu menjadi jaminan pinjaman untuk mengadakan kegiatan informal. 

Di sisi lain, rakyat kecil yang terpaksa harus berhemat dan tak dapat berkontribusi banyak dalam kegiatan informal rentan terkena stigma sebagai “orang pelit” dan dijauhi secara sosial. 

Ikatan dalam kegiatan informal sebenarnya terkait erat dengan penentuan tentang siapa yang boleh (mampu) terlibat dan tidak serta mekanisme pertukaran seperti apa yang dipilih. Kegiatan informal seperti arisan–sebuah “asosiasi kredit informal”–dengan sistem lotre misalnya. Arisan biasanya tak diikuti oleh rakyat kecil kebanyakan, tapi setidaknya petani menengah, produsen komoditas kecil dan sejenisnya. Latar belakang sosial peserta arisan tersebut dapat dilihat dari penggunaan uang yang didapat, yaitu modal awal menyewa tanah, membeli alat pertanian, merenovasi rumah, sampai modal awal membeli motor (Koning, 2007). 

Acara informal seperti pengajian dan perayaan momentum penting terkait agama seperti puasa Ramadan, Idulfitri, dan lain-lain juga pada dasarnya terikat dengan relasi kelas. Studi yang dilakukan oleh Purwanto (2004) di salah satu desa tempat industri kecil di sektor garmen, misalnya, menunjukkan bahwa para bos pabrik/kelas atas berperan penting tak hanya dalam kegiatan ekonomi, melainkan juga sebagai pemimpin pengajian, donatur acara perayaan tertentu, dan lain-lain. Hal tersebut terutama disebabkan kelas atas memiliki akses untuk beribadah haji dan umrah dan kedudukan sosial lainnya. 

Purwanto melihat hubungan antara majikan dan buruh dalam acara informal sebagai “relasi kelas yang harmonis” yang dipengaruhi oleh budaya Jawa. Ini menurutnya mencegah terjadinya konflik kelas terbuka dan karenanya dianggap sebagai “ikatan baik”. 

Sesungguhnya ikatan kelas yang berkelindan dengan acara-acara informal keagamaan seperti yang dikaji oleh Purwanto justru menyudutkan buruh; membuat mereka takut untuk menyuarakan masalah hidup dan memperburuk kesejahteraan. Kontrak kerja kerap tak tertulis sehingga menyebabkan besaran upah borongan tak disebutkan terlebih dahulu oleh majikan. Kelindan dengan kegiatan informal membuat buruh menjadi sungkan menanyakan soal itu. Akhirnya mereka hanya memilih tak lagi mengambil borongan dari majikan nakal, mencari alasan untuk menyelesaikan atau menunda penyelesaian pekerjaan (Purwanto, 2004).


Sumbangan

Dalam tiap-tiap acara informal ada mekanisme sumbangan, yang pada dasarnya adalah sesuatu yang dipinjam. Beras, barang ataupun uang yang diberikan pada acara pernikahan menjadi dana yang digunakan untuk menutupi biaya konsumsi, undangan, pakaian dan lain-lain. 

Tapi sumbangan tidak benar-benar merupakan sumbangan. Setiap barang/bantuan/uang yang pernah diberikan kepada si penyelenggara kegiatan informal diharapkan dikembalikan kepada pemberinya juga (Koning, 2007). Artinya, mekanisme sumbangan didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan barang/uang dengan nilai yang sama saat yang memberi giliran mengadakan kegiatan informal.

Mekanisme sumbangan menyebabkan rakyat kecil menjadi terlalu bergantung pada kelas penguasa desa. Mereka juga jadi harus memberikan kesetiaan secara politis sebagai ganti dari pengembalian pinjaman. Akibatnya, rakyat kecil rentan menjadi objek mobilisasi suara menjelang pilkades. 

Saat acara informal diselenggarakan, undangan berusaha dengan segala cara untuk memberikan sumbangan yang layak. Sumbangan tak murni bersifat saling berbagi karena setiap uang dan hadiah yang diberikan dicatat secara cermat dalam buku tamu dan disimpan. Apabila catatannya hilang, mereka akan mencoba mengingat siapa yang memberikan. Tujuannya agar si penerima tahu siapa dan berapa banyak dia akan memberikan sesuatu di kesempatan yang akan datang–alias saat menjadi pemberi. Tapi sering kali terjadi mereka yang pernah diberikan sumbangan tak memberikan kembali saat yang pernah memberi menyelenggarakan acara informal. 

Karena ada sumbangan, tetangga yang miskin dan teman atau kerabat yang “tak dapat berkontribusi” menjadi malu untuk datang. Sumbangan dapat semakin mengancam kesejahteraan rumah tangga jika dalam waktu berdekatan terdapat beberapa acara informal. 

Orang miskin yang jarang atau tak pernah memberikan sumbangan ataupun mengadakan acara informal sering kali harus menghadapi kesulitan hidup karena tak ada yang mau memberinya bantuan (Nooteboom, 2015). 

Jika berada di dekat tempat tinggal penyelenggara, orang miskin akan mencoba membantu dengan memasak, melayani tamu atau mengatur kegiatan untuk mendapatkan makanan gratis. Tekanan sosial pada akhirnya membuat rakyat miskin-lah yang harus mengerjakan pekerjaan kasar seperti mengangkat barang, memasang tenda, memasak, melayani, dan lain-lain. Struktur pengetahuan mereka bahkan memakai istilah umume ‘yang sudah menjadi kebiasaan’ untuk memberi penekanan bahwa tak seorang pun boleh tidak mengikuti patokan tersebut (Kutanegara, 2014).

Tata cara sumbangan pada dasarnya tergantung oleh jenis acara informalnya, apakah itu hajatan besar (ewuh gedhen) atau kecil (among-among). Apabila ewuh gedhen yang diselenggarakan, biasanya penyelenggara menerima dan mengharapkan sumbangan berupa uang maupun bahan makanan/barang. Sebaliknya, saat among-among, penyelenggara tak mendapatkan sumbangan (Kutanegara, 2002). Kriteria besar kecilnya acara informal juga memengaruhi banyaknya sumbangan yang didapat dan akhirnya membuat rakyat yang sebenarnya hidup pas-pasan nekat menyelenggarakan ewuh gedhen dengan harapan mendapatkan sumbangan yang banyak. 

Mekanisme sumbangan membebani penghidupan, tetapi di sisi lain mereka takut dikucilkan, digosipkan dan distigma sebagai “anti-sosial” jika tidak memberikan.  

Rakyat miskin adalah pihak yang paling tertekan dalam relasi sosial seperti ini, apalagi saat sedang banyak acara informal. Itu membuat mereka harus mengerahkan tenaga dan menyumbang uang meskipun untuk makan sehari-hari cuma seadanya (Kutanegara, 2002). 


Krisis

Represi sosial dalam acara informal semakin nyata saat hidup bertambah sulit seperti pada pasca-krisis ekonomi 1998. Studi di salah satu desa di Jawa Timur yang dilakukan oleh Nooteboom (2003), misalnya, menunjukkan bahwa krisis membuat orang miskin harus membayar “pengembalian” lebih besar dari sumbangan yang pernah mereka dapatkan. Rumah tangga yang menghadapi biaya “pengembalian” yang lebih rendah dibandingkan sumbangan yang diberikan pada akhirnya akan memilih untuk memotong pengeluaran untuk barang di luar kebutuhan primer (Nooteboom & Kutanegara, 2002). 

Studi lain yang dilakukan Nooteboom dan Kutanegara (2002) menunjukkan bahwa rakyat kecil menganggap krisis tak hanya terjadi pada 1998 saja. Mereka merasa selama ini telah hidup dalam jeratan krisis. 

Rakyat kecil tak terkejut dengan fluktuasi harga karena selama ini mereka juga terbiasa dengan masalah itu. Beberapa rakyat kecil bahkan harus menjual kendaraan pribadi, ternak ataupun barang elektronik untuk menutupi kerugian pertanian. 

Bantuan beras murah dari pemerintah sedikit mengganjal perut rakyat miskin di tengah krisis. Sokongan makanan ataupun pinjaman transaksional dari kegiatan informal juga pada dasarnya kecil dan terbatas sehingga tak mampu menangani dampak kesengsaraan akibat krisis. 

Buruh informal dari perkotaan yang kembali ke desa harus menghadapi hidup yang sulit. Kerja upahan juga semakin sedikit selama krisis dan beralih ke mobilisasi tenaga kerja cuma-cuma ataupun dibayar menggunakan hasil panen–yang tentunya menguntungkan pemilik lahan dan petani kaya (Kutanegara & Nooteboom, 2000). 

Sebaliknya, mereka yang memproduksi beras, jagung dan ternak dalam jumlah besar diuntungkan oleh kenaikan harga akibat krisis. Mereka yang tak hanya memiliki lahan tetapi juga usaha sampingan seperti warung juga menikmati peningkatan pendapatan sebagai buah dari lonjakan harga sewa lahan dan kebutuhan pokok. Mereka bahkan mampu merenovasi rumah dan membeli beberapa perabotan serta kendaraan pribadi (Kutanegara & Nooteboom, 2000). Mereka terus mengalami mobilitas sosial vertikal. 

Krisis bahkan semakin membuka realita konflik kelas yang selama ini ditutup-tutupi dengan merebaknya desas desus dari rakyat kecil atas kondisi penghidupan kelas atas (Nooteboom & Kutanegara, 2002). Namun krisis tak lantas membuat rakyat miskin menyadari sengkarut pemiskinan di balik acara informal. 

Krisis hanya menghentikan acara informal untuk sementara waktu atau tetap dibuat tapi dengan lebih sederhana–tergantung kelas sosialnya. Mereka hanya menyelenggarakannya dengan keluarga terdekat atau tetangga yang dekat. Perencanaan penyelenggaraan juga “dirahasiakan” sehingga rakyat lain menjadi tak perlu memberikan sumbangan (Kutanegara, 2017)

Selamatan tetap diadakan, tapi dalam skala kecil pasca-krisis. Penduduk juga tak bisa membawa pulang makanan seperti sebelumnya. Kelas atas juga enggan meningkatkan kontribusi mereka karena tak adanya kepastian ekonomi dan lebih memilih menabung, tapi di sisi lain beberapa dari mereka mendapat keuntungan dari orang miskin yang menggadaikan atau menjual ternak dengan harga murah untuk mendapatkan uang tunai (Nooteboom, 2003). 


Penutup

Struktur pengetahuan yang ditanamkan pada kegiatan informal menganggap seseorang beradab jika mau ngajeni (menghormati) mereka yang “lebih tinggi derajatnya,” nrimo (pasrah terhadap keadaan dan tidak iri), memperlakukan orang dengan “kesetaraan” tetapi harus melihat perbedaan pangkat dan status (podo-podo) dan lain-lain. Rakyat mau tak mau harus mengikuti patokan tersebut. 

Akibatnya, mereka dilalaikan dari masalah struktural yang membelit penghidupan. Rakyat kecil dicekoki anggapan bahwa masalah kesejahteraan adalah soal individu. Dampaknya, mereka ingin mobilitas sosial vertikal secara individual untuk bisa mengikuti penghidupannya kelas atas (Kutanegara, 2014). Ini pada dasarnya adalah instrumen kelas atas untuk terus membungkam rakyat kecil dan tak berani mempertanyakan kondisi kelasnya (Purwanto, 2004).

Represi sosial untuk mendorong rakyat kecil mau menjadi bagian dari acara informal didasarkan pada struktur pengetahuan yang membayangkan semua yang ada di lingkungan sosial berdekatan (dari segi jarak dan waktu) memiliki satu “ikatan sosial”. Akibatnya, sekali pun rakyat kecil tak pernah dilibatkan dalam penentuan aturan mainnya, apalagi jika mereka seorang “pendatang”, maka harus mau mengikuti acara informal (Marianti, 2002). 

Studi yang dilakukan oleh Marianti (2002) menunjukkan bahwa sebenarnya rakyat kecil tak rela harus meninggalkan pekerjaan atau mengeluarkan ongkos transportasi untuk hadir, tapi mau tak mau datang juga apalagi kalau kerabatnya yang menyelenggarakan. Hanya mereka yang berada jauh dari tempat tinggal penyelenggara saja yang mengurungkan hadir meskipun ditawari pengganti ongkos. 

Acara informal yang terus bertahan, terutama yang terkait pemakaman, adalah buah dari lemahnya pelayanan publik dalam penanganan pemulasaran jenazah sehingga rakyat harus mengurus prosesi pemakaman sendiri–yang kemudian “dibumbui” dengan acara informal. 

Ikatan sosial transaksional yang rapuh dalam acara informal kenyataannya lebih banyak menimbulkan diskriminasi kelas, represi sosial dan tak lantas memperbaiki apalagi meningkatkan kesejahteraan dari rakyat kecil. Ingar bingar acara informal terus dipelihara oleh kelas atas untuk terus mengakumulasi modal dan mencegah munculnya desakan dari rakyat kecil untuk mendorong adanya redistribusi kesejahteraan, peningkatan dan perluasan pelayanan publik serta jaminan sosial. 

Acara informal pada dasarnya menjadi panggung bagi kelas atas untuk menunjukan kekuatan ekonomi politiknya di hadapan rakyat kecil sekaligus mendorong mereka untuk percaya bahwa masalah penghidupan adalah soal individu. Panggung sandiwara itu menjadi instrumen bagi kelas atas untuk membangun imajinasi bahwa setiap individu harus mengikuti standar-standar yang ada apabila ingin sejahtera tanpa memperhatikan aspek perbedaan akses, ketimpangan aset dan lain-lain. 


Daftar Pustaka

Koning, J. (2007). Exclusion, Inclusion and Social Security in Central Java. In J. Koning & F. Hüsken (Eds.), Ropewalking and Safety Nets Local Ways of Managing Insecurities in Indonesia (pp. 27–55). Brill.

Kutanegara, P. M. (2002). Peran dan Makna Sumbangan dalam Masyarakat Pedesaan Jawa. Populasi, 13(2), 40–59.

Kutanegara, P. M. (2014). From Labor to Cash: Gender, Transformation and Rewang among Poor People In Rural Java, Indonesia (pp. 1–18). https://nwugender.files.wordpress.com/2014/12/made.pdf

Kutanegara, P. M. (2017). Sriharjo During the 1998 Economic Crisis and Nation-Wide Recession. In P. M. Kutanegara (Ed.), Poverty, Crises and Social Solidarity in Sriharjo, Rural Java (pp. 103–160). PT Kanisius.

Kutanegara, P. M., & Nooteboom, G. (2000). Forgotten Villages? The Effects Of The Crisis In Rural Java And The Role Of The Government. Populasi, 11(2), 23–60.

Marianti, R. (2002). The Intertwined Safety Net Family and Neighbourly Support in a Funeral. In R. Marianti (Ed.), Surviving Spouses: Support for Widows in Malang, East Java (pp. 137–160). University of Amsterdam.

Nooteboom, G. (2003). A Matter Of Style: Social Security and Livelihood in Upland East Java. Katholieke Universiteit Nijmegen.

Nooteboom, G. (2007). Styles Matter: Livelihood and Insecurity in the East Javanese Uplands. In J. Koning & F. Hüsken (Eds.), Ropewalking and Safety Nets Local Ways of Managing Insecurities in Indonesia (pp. 175–199). Brill.

Nooteboom, G. (2015). Bonds of Protection; Structures of Exclusion Social Security in East Java. In G. Nooteboom (Ed.), Forgotten People: Poverty, Risk and Social Security in Indonesia The Case of the Madurese (pp. 92–143). Brill.

Nooteboom, G., & Kutanegara, P. M. (2002). ‘Will The Storm Soon Be Over?’ Winners and Losers in the 1997 Crisis in Rural Java. Moussons, 6, 3–36.

Permanasari, M. D. (2017). Banana Plants as a Cultural Resource in Javanese Culture. Journal of the International Center for Cultural Resource Studies, 3, 1–22.

Purwanto, E. (2004). The Juragan, the Buruh, and the Dynamics of Production Relations. In E. Purwanto (Ed.), Ups and Downs in Rural Javanese Industry The Dynamics of Work and Life off Small-Scale Garment Manufacturers and Their Families (pp. 137–182). the University of Amsterdam.

Robison, R. (1981). Culture, Politics, And Economy In The Political History Of The New Order. Indonesia, 31, 1–29.


Anggalih Bayu Muh Kamim, alumnus Departemen Politik & Pemerintahan Fisipol UGM

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.