“Arsitektur Kebisingan”: Gagasan dan Praktik Pembebasan Seni/Seni Pembebasan

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Koleksi Studio Klampisan


“APA yang lebih berharga, seni atau kehidupan?” (aktivis Just Stop Oil)[i]

Rabu (11/10/2022) malam, puluhan manusia berkerumun di sisi timur Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember (Unej). Mereka akan memasuki ruang pertunjukan “Arsitektur Kebisingan”. “Arsitektur Kebisingan” diselenggarakan oleh Studio Klampisan Banyuwangi yang bekerja sama dengan Teater Gelanggang Jember; sebuah proyek seni yang lolos program Open Call: Jakarta International Literary Festival 2022, Komite Sastra Dewan Kesenian Jember.

Sekitar pukul 19:30, pintu besi pada tembok tinggi yang memisahkan kompleks Unej dari permukiman Gang Jawa Tujuh dibuka. Kerumunan membentuk barisan panjang dua lajur sepanjang kurang lebih 200 meter, berjejal melewati pintu dan keluar di jalanan kecil beraspal menuju tangga yang disiapkan guna memanjat dinding untuk kembali masuk ke sisi lain kompleks Unej. Wajah-wajah itu beberapa kali berpapasan dengan pengendara sepeda motor dan berada di bawah tatapan sejumlah warga kampung.

Di balik tembok, sekitar 25 meter dari pijakan tangga terakhir, ada ruang pertunjukan yang tidak memisahkan tontonan dan penonton. Di dalam ruang pertunjukan tanpa dinding itu para penampil, properti, serta penonton membaur. Hampir seluruh ruang pertunjukan adalah panggung tontonan sekaligus ruang penonton. Adegan saling tatap antara tokoh-tokoh panggung dan penonton berlangsung sepanjang pertunjukan dalam terang cahaya lampu yang konstan.

“Arsitektur Kebisingan” dibuat dengan maksud menyingkapkan lapisan-lapisan arsip sosial yang terpendam dalam tubuh sejumlah warga di Jalan Jawa. Ia menghadirkan representasi situasi lalu lintas sehari-hari yang tersendat dari sejumlah sepeda motor bersama geraman dan asap yang mengepul dari knalpotnya. Ruang pertunjukan pecah oleh testimoni demi testimoni, montase adegan-adegan visual—baik karakter-karakter panggung maupun penonton dan situasi simpang siur seperti hari kerja pada jam sibuk.

Tak pelak, “Arsitektur Kebisingan” adalah bentuk pemanggungan, praktik gagasan seni pembebasan/pembebasan seni yang merobohkan dinding imajiner antara penonton dan tontonan; antara komunitas/realitas dan representasinya. Penonton dalam “Arsitektur Kebisingan” diskenariokan dengan mengacu pada plot Brechtian sekaligus plot Artaudian. Mereka berjarak dari tontonan namun dicegah untuk tidak dapat mengidentifikasikan diri pada tokoh-tokoh panggung sebagaimana pada teater epik Brechtian. Penonton juga dirancang terlibat sebagai tokoh-tokoh panggung, beberapa kali didorong untuk menjalin interaksi dengan karakter-karakter panggung sebagaimana prinsip teater kekejaman (cruelty) Artaudian.

Pada sejumlah adegan, penonton dibuat sadar bahwa apa yang sedang mereka saksikan adalah tontonan dengan kehadiran sutradara di atas panggung yang secara langsung mengarahkan karakter penampil. Pada sisi lain, penonton tidak dipisahkan secara spasial dari tontonan, bahkan pada sejumlah adegan (terutama pada adegan-adegan awal) dirangsang untuk bercakap-cakap langsung dengan para penampil.

Pada prinsipnya, perobohan dinding imajiner yang memisahkan antara penonton dan tontonan merupakan upaya mengganti relasi hierarkis dengan relasi yang setara; membebaskan penonton dari tawanan kepasifan dan ketidaktahuan akan proses produksi pemanggungan. Pengubahan status penonton tersebut diasumsikan dapat menghasilkan dampak ganda. Pertama, penonton tidak lagi ditundukan oleh plot dramatik sehingga tidak dapat mengidentifikasikan diri pada tokoh panggung; Kedua, status ketidaktahuan penonton atas proses produksi pemanggungan dihapuskan karena proses itu juga berlangsung di atas panggung, sepengetahuan penonton. Dengan demikian, penonton dianggap ikut aktif terlibat membangun peristiwa di atas panggung.

Di dalam ruang pertunjukan tidak ada lagi tontonan dan penonton. Begitu relasi biner yang hierarkis antara penonton dan tontonan hancur, pemanggungan menjelma sebagai suatu peristiwa kolektif yang nyata dan ruang pertunjukan menjadi ruang komunitas kolektif.

Pada “Arsitektur Kebisingan,” kehadiran komunitas itu, keterlibatan sejumlah warga dan/sekaligus pekerja yang memerankan diri mereka sendiri di ruang pertunjukan, tampak nyata. Apalagi sebagian besar penonton yang hadir adalah para mahasiswa dan sejumlah warga Jember yang hampir dapat dipastikan pernah berinteraksi dengan para karakter panggung dalam kehidupan nyata.

“Arsitektur Kebisingan” seperti hendak memberikan pengalaman atas realitas komunal yang bertentangan dengan pengalaman atas representasi realitas komunal. Alih-alih mengacu komunitas kawasan Jalan Jawa sebagai model, “Arsitektur Kebisingan” memboyong kawasan Jalan Jawa itu sendiri ke dalam ruang pertunjukan, sampai memberikan pengalaman “asli”—pengalaman berpikir dan merasa di dalam suatu komunitas yang diasumsikan nyata—dengan menghapus relasi biner hierarkis serta mengakhiri permainan simulakra antara subjek nyata dan subjek panggung. “Arsitektur Kebisingan” seolah lantang mengumumkan runtuhnya rezim representasi.

Namun, apakah membebaskan seni dari rezim representasi serta merta juga menghadirkan seni pembebasan?


Pembebasan Seni

Barangkali bakal ada yang mendebat: “Bagaimanapun, komunitas Jalan Jawa yang dipanggungkan dalam ‘Arsitektur Kebisingan’ bukanlah komunitas nyata. Pemanggungan selalu saja merupakan seni yang diproduksi melalui prosedur-prosedur artistik dan etik untuk menciptakan kekhususan bentuknya.” Tapi pokok dari pembebasan seni/seni pembebasan bukanlah persoalan realitas nyata versus realitas panggung, melainkan antara bagaimana suatu produk seni diproduksi dan dipersepsi (dengan pikiran dan perasaan).

Pembebasan seni selalu saja merupakan penentangan terhadap prinsip representasi mimetik yang menjadi dasar korespondensi antara cara membuat (poiesis) dan cara mempersepsi (aisthesis) seni. Oleh karena itu pembebasan seni dengan sendirinya selalu berada di dalam rezim estetik. Menurut Jacques Ranciere, rezim estetik ditandai oleh putusnya relasi korespondensif antara poiesis dan aisthesis yang menyertai runtuhnya prinsip representasi mimetik.

Prinsip representasi mencakup inventio (penemuan/penentuan karakter), dispositio (tindakan karakter), dan elocutio (cara/gaya bicara karakter) yang diikatkan pada decorum (kaidah sosial)—ibarat grammar (tata bahasa) yang mendasari cara membuat dan mempersepsi sekaligus menghubungkan keduanya secara korespondensif.

Berdasarkan pembacaan atas Poetics karya Aristoteles, Ranciere dalam Mute Speech (2011) menyatakan ada empat prinsip representasi.[ii] Pertama, prinsip fiksi atau story (cerita) yang merupakan suatu aransemen tindakan yang merelasikan antara subjek yang bertindak (inventio) dan tindakannya (dispositio). Aransemen atau pengaturan tindakan ini harus sesuai dengan prinsip kedua, yakni genre (epik, tragedi, satir, dan komedi) yang merupakan pemilahan antara jenis subjek dan jenis tindakan (tinggi dan rendah). Pemilahan jenis subjek dan jenis tindakan mengacu pada prinsip ketiga, decorum (kaidah/norma sosial), agar imitasi subjek dan tindakan subjek sesuai dengan realitas sosial. Elocutio yang merupakan prinsip keempat harus selaras pada decorum dan prinsip fiksi: “Gaya, atau kunci diskursus ditentukan oleh keadaan dan situasi tertentu seseorang pada saat berbicara”.[iii] Gagasan pembebasan seni, estetik, muncul bersama perubahan realitas sosial yang merupakan bahan mentah untuk model seni mimetik dalam prinsip representasi.

Perubahan dari masyarakat yang relatif terintegrasi menjadi massa modern yang terindividuasi menghasilkan keterputusan relasi korespondensif antara poiesis dan aisthesis. Bagi massa modern, seni secara mendasar tidak lagi dibuat untuk mencerminkan masyarakat, tapi sebagai medium ekspresi personalitas individu. Pada sisi lain, seni dipersepsi secara individual untuk memenuhi kebutuhan sensibilitasnya sendiri. Namun, individu juga merupakan produk sosial dan kreativitas individu selalu berangkat dari aspirasi pemikiran dan pemerasaan atas kehidupan sosial yang melingkupinya.

Kondisi semacam ini membentuk celah atau jarak pada relasi antara seni dan khalayak (penonton) seni.

Celah yang dibentuk oleh pecahnya masyarakat menjadi massa membuat grammar, yang di dalam dirinya sendiri menyimpan komunitas kolektif, secara efektif kehilangan fungsinya sebagai piranti pembacaan/pemaknaan bersama dan mengimplikasikan refleksi sosial di dalam seni tertangguhkan. Tidak efektifnya grammar secara fungsional berarti lonceng kematian bagi katarsis yang merupakan buhul pengikat antara seni dan realitas, antara tontonan dan dunia. Matinya katarsis membuat fungsi seni sebagai tuntunan (pendidikan) tercabik dan melemparnya menjadi sekadar tontonan waktu luang.

Kengerian dalam drama tragedi di atas panggung, misalnya, tidak lagi memicu timbulnya rasa mual yang mendorong pemilahan antara kebajikan (virtue) dan kekejaman (vile)—yang dapat memengaruhi perilaku di luar ruang pertunjukan. Pada seni sebagai tontonan waktu luang, rasa ngeri telah dilepaskan dari kengerian. Rangkaian kesatuan antara seni (tontonan), khalayak (penonton), dan dunia telah rusak. Prinsip representasi sebagai suatu rezim seni telah kehabisan waktunya untuk hidup.

Saat ini estetik sebagai pembebasan seni mempunyai reputasi yang buruk. Nasihat Pierre Bourdieu yang berangkat dari kritik atas netralitas estetik Kantian dan anggapan bahwa estetik adalah konsep akal-akalan kaum borjuasi (intelektual/filsuf)[iv] yang buta akan posisi sosialnya telah menopang dan memprovokasi gerakan anti-estetik di mana-mana, bahkan sampai pada “pembunuhan” seni. Pembebasan seni kemudian mengarah pada penyingkiran estetik dan perjuangan untuk menghapus sempadan antara seni tinggi dan seni kacangan. Pembebasan seni paling radikal dari jenis ini bahkan menghapus pembedaan antara seni dan bukan seni.

Pada akhirnya seni kehilangan bentuk khasnya yang berlandas pada pengetahuan dan keterampilan kepengrajinan (craftsmanship). Siapa pun dapat menjadi seniman dan apa pun dapat menjadi seni! Seni seolah-olah dibuat menjadi universal.

Problemnya, universalisasi seni semacam ini bukan hanya melucuti seni sebagai objek yang berfungsi sebagai medium refleksi sosial. Lebih dari itu, seni yang berhenti sebagai objek pada gilirannya juga akan berhenti sebagai subjek penyebab untuk suatu akibat tertentu. Seni kehilangan tujuannya. Jika pun gagasan pembebasan seni anti-estetik menetapkan tujuannya sebagai seni pembebas, tujuan tersebut tidak berangkat dari seni sebagai objek.

Dalam “Estetika Partisipatoris”-nya Martin Suryajaya, misalnya, objek seni telah diganti dengan relasi-relasi sosial, mengubah seni sebagai kehidupan itu sendiri beserta tujuan-tujuannya sendiri untuk menghapuskan sempadan antara seni tinggi dan seni kacangan. Elemen audio visual seni yang melahirkan khalayak/penonton seni digantikan oleh superioritas tindakan-tindakan langsung.

Bagaimanapun, pembebasan seni dengan sendirinya menyimpan visi seni pembebasan di dalamnya dan selalu merupakan upaya untuk menautkan kembali seni dengan realitas sosial tanpa prinsip representasi yang fungsinya telah impoten. Pembebasan seni dengan demikian bukan hanya pembebasan seni dari rezim representasi yang mengimplikasikan penciptaan seni anti-mimetik. Lebih dari itu, pembebasan seni selalu sudah mengandung agenda pembebasan sosial. Namun gagasan anti-estetik telah mendorong pembebasan seni lebih jauh dengan menolak seni sebagai objek. Seni bukan lagi cerminan realitas sosial, seni didorong untuk menjadi realitas sosial itu sendiri. Seni bukan medium, tetapi realitas itu sendiri.

Apakah pembebasan seni anti-estetik—dengan menolak prinsip representasi; menolak seni sebagai objek dan menolak seni sebagai medium untuk refleksi realitas; mengubah mode puitik menjadi mode prosaik—adalah seni pembebasan sesungguhnya?


Seni Pembebasan

Secara simultan, “Arsitektur Kebisingan” merupakan monumen dan vibrasi komunitas kolektif kawasan Jalan Jawa. Tubuh karakter penampil yang juga merupakan tubuh-tubuh warga menyimpan ingatan kawasan Jalan Jawa, yang secara visual tampak pada bentuk dan tanda-tanda ketubuhan. Ini mengonfirmasi bahwa mereka adalah para orang-orang yang hidup di kawasan Jalan Jawa. Ruang pertunjukan “Arsitektur Hujan” secara auditory merupakan ruang mengartikulasikan suara sehari-hari kawasan Jalan Jawa dan suara dari arsip-arsip sosial yang dibongkar.

Salah satu arsip yang dibongkar di dalam ruang pertunjukan “Arsitektur Kebisingan” adalah peristiwa merebaknya wabah Hepatitis A di Jember bertahun lalu. Secara mendalam, wabah ini memengaruhi pendapatan ekonomi warga yang berprofesi sebagai pedagang warung makan kaki lima. Cara penularan Hepatitis A yang salah satunya melalui penggunaan alat makan bersama yang tidak tercuci dengan baik menempatkan warung makan kaki lima sebagai lokasi yang berpotensi menjadi pusat penularan.

Memang, tak dapat dimungkiri, wabah Hepatitis A yang hampir setiap tahun merebak di Jember (angka kasusnya naik turun) menempatkan kawasan-kawasan keramaian dan para pelajar-mahasiswa sebagai lokasi penularan dan subjek penular-tertular. Namun, bagi pedagang warung makan kaki lima kawasan Jalan Jawa, wabah ini bukan hanya musibah kesehatan, pun juga bahala ekonomi.

Pembongkaran ingatan tentang wabah Hepatitis A diartikulasikan oleh penampil dengan gaya testimoni di ruang pertunjukan. Ia menempatkan diri sendiri sebagai korban dan kambing hitam atas merebaknya wabah. Kampanye-kampanye untuk mencegah penularan, yang juga mencakup imbauan untuk tidak bergantian menggunakan alat makan, dianggap merugikan secara ekonomi bagi para pedagang. Jumlah pelanggan berkurang drastis dan para pedagang dianggap sumber musibah.

Ratapan dan protes dalam ruang pertunjukan tersebut mungkin dapat memengaruhi para pendengar dan menganggap kampanye-kampanye untuk mencegah penularan wabah adalah suatu kejahatan.

Seni pembebasan yang dipraktikan dalam “Arsitektur Kebisingan”, tak pelak, merupakan upaya mengartikulasikan dan mengamplifikasi suara-suara ratapan dan protes mereka yang terpinggirkan atau tertindas. “Arsitektur Kebisingan” berfungsi seperti megafon bagi suara-suara pedagang kaki lima yang tak terdengar atau ditelan oleh keterpinggiran mereka sendiri.

Kesadaran yang dibangun dalam ruang pertunjukan didasarkan pada hak bersuara yang sama, bukan hak untuk hidup lebih baik. Kebebasan bersuara yang dirancang dan dipanggungkan dalam “Arsitektur Kebisingan” bukan seperti proses penyingkapan psikologis dalam asosiasi bebas psikoanalisis yang bertujuan melacak dan menemukan lokasi trauma dalam wilayah ketaksadaran. Sebaliknya, “Arsitektur Kebisingan” menetralkan dan menguatkan “penyimpangan” dengan memobilisasi “penyimpangan” para pedagang kaki lima menjadi perasaan dan pemikiran kolektif.

Secara lugas boleh dikatakan, seni pembebasan “Arsitektur Kebisingan” tak dirancang sebagai pemanggungan yang dapat memberikan dampak pada kehidupan di luar panggung. Penggandaan kehidupan sehari-hari di dalam kehidupan panggung semacam itu membuat ruang pertunjukan hanya berfungsi untuk menggarisbawahi sepilihan peristiwa sehari-hari. Padahal seni pembebasan bukan seperti inset untuk memperbesar cuplikan tertentu dari gambar kehidupan sehari-hari.

Sebelum kita lanjutkan, ada baiknya kita jernihkan terlebih dahulu istilah “penyimpangan” pada paragraf sebelumnya. Penyimpangan yang dimaksudkan adalah ketidaksesuaian antara kampanye pencegahan Hepatitis A yang bertujuan untuk memelihara dan merawat kehidupan bersama dengan respons pemaknaan para pedagang kaki lima yang lebih berlandaskan pada kepentingan keuntungan dan kehidupan personal atau keluarganya. Respons ini mungkin berakar pada pemilahan kerja ala kapitalistik yang memisahkan ranah privat dan sosial. Kerja privat secara dominan dimaknai untuk memperoleh keuntungan personal, sedangkan kerja sosial sebagai sumbangan tenaga atau material tanpa pamrih. Padahal, kerja, secara simultan, merupakan kerja privat sekaligus kerja sosial. Seorang pedagang yang menganggap pekerjaannya hanya sebagai kerja privat akan berupaya memaksimalkan keuntungan tanpa memedulikan keamanan atau keselamatan konsumen.

Dalam pembahasan “penyimpangan” ini, saya dengan sengaja mengenyampingkan apa yang telah atau tidak dilakukan pemerintah (Kabupaten Jember) kepada para pedagang kaki lima yang menjadi pihak paling menderita secara ekonomi pada saat wabah melanda. Saya juga mengesampingkan apa yang telah atau tidak dilakukan pedagang kaki lima berkait dengan imbauan meningkatkan kebersihan alat makan yang digunakan. Keduanya memang tidak ada dalam ruang pertunjukan.

Kini kita kembali pada topik bahasan sebelumnya. Seni pembebasan secara umum dimaknai sebagai relasi antara aktivitas menonton (dalam ruang pertunjukan) dan aktivitas setelah menonton (realitas sehari-hari) dalam hubungan kausalitas; sebab-akibat. Tontonan dituntut dapat mengubah cara berpikir dan merasa penonton di luar ruang pertunjukan. Namun, seni pembebasan yang mengandalkan relasi kausalitas antara tontonan dan dunia adalah seni pembebasan yang menganggap diri sebagai medium. Ia beroperasi berdasarkan skenario naratif untuk memunculkan katarsis yang adalah milik rezim representasi. Jarak yang terbentang antara seni pembebasan dan pembebasan seni seperti jarak antara kehidupan dan kematian.

Ada dua pilihan dilematis. Pilihan membebaskan seni berarti tidak menempatkan seni sebagai pembebas. Sebaliknya, pilihan seni sebagai pembebas akan membuat seni tidak terbebaskan. Tampaknya, berdasarkan uraian paragraf-paragraf sebelumnya, “Arsitektur Kebisingan” yang menolak seni sebagai medium memilih yang pertama.

Tetapi ada titik pijak lain sebagai dasar untuk menetapkan bahwa pembebasan seni dengan sendirinya juga seni pembebasan. Pembebasan seni adalah membebaskan seni dari komodifikasi seni; membebaskan seni dari barang tontonan. Oleh karena itu, pembebasan seni secara otomatis sekaligus seni pembebasan, sebab pembebasan seni menghancurkan fetishism (pemberhalaan) seni yang tidak hanya memilah antara seni tinggi dan seni picisan dalam pasar seni, pun juga karena pemilahan tersebut mengimplikasikan pemilahan sosial (elite mengonsumsi seni tinggi sedangkan jelata seni picisan) yang tidak setara. Pada konteks ini, seni pembebasan secara formal ditujukan untuk menghancurkan sempadan antara seni tinggi dan seni picisan.

Namun, seni pembebasan semacam ini sesungguhnya tidak hanya menghancurkan sempadan. Bertolak dari asumsi bahwa seni tinggi merupakan proyeksi dari selera dan pemikiran ilusif kaum elite berkait keindahan estetik, seni pembebasan juga menyasar penghancuran seni tinggi. Dengan kata lain, seni pembebasan hendak menghancurkan dominasi kaum elite dengan melucuti privilese kulturalnya (pengetahuan) atas dunia seni.

Secara radikal, seni pembebasan merelatifkan definisi seni. Seni tidak lagi didasarkan pada properti objektifnya, tapi pada konsensus sosial sehingga apa pun bisa didefinisikan sebagai seni sepanjang suatu kelompok sosial menyebutnya demikian. Seni pembebasan tidak hanya menempatkan seni picisan dalam satu ruang dengan seni tinggi, tapi juga mengakomodasi aspirasi “pengetahuan” jelata yang berbasis pada pengalaman sehari-hari. Penentangan terhadap keindahan dan sublimasi yang mengimplikasikan seni kehilangan kekhususan bentuknya berjalan seiring dengan pembebasan suara-suara jelata (pembebasan suara-suara tertindas atau yang dibungkam, jika mau lebih heroik). Dengan demikian, seni pembebasan membebaskan bentuk sekaligus isi seni, sehingga seolah-olah mengakhiri problem dualitas seni: masalah antara bentuk dan isi.

Jika kita anggap “Arsitektur Kebisingan” mengikuti gagasan seni pembebasan yang berlandas pada pembebasan seni dari komodifikasi, maka ia merupakan praksis dari pembebasan seni sekaligus seni pembebasan. “Arsitektur Kebisingan” bukan saja membebaskan seni dari bentuk khususnya (sebagai medium cerminan sosial), pun juga seni yang membebaskan suara-suara jelata. Pembongkaran arsip-arsip sosial yang terpendam dalam tubuh-tubuh melalui mulut karakter-karakter yang sekaligus warga-warga komunitas nyata.

Namun problem seni pembebasan semacam ini justru terletak pada kekhasannya sendiri yang menolak pembebasan sebagai aksi untuk mencapai perubahan.

Suara-suara ratapan dan protes terhadap penanganan publik atas wabah Hepatitis A, yang diartikulasikan dalam “Arsitektur Kebisingan” sebagai pengalaman sehari-hari, justru mempertebal ketidaktahuan proses penularan wabah dan/atau pengabaian atas persoalan publik. Pemanggungan tidak berpotensi membawa warga dan penonton melampaui ruang dan waktu sosialnya sehari-hari seperti sebelumnya. Sebaliknya, hal ini bahkan berpotensi menjadikan ketidaktahuan atau pengabaian sebagai hak. Tanpa melampaui ruang dan waktu sosial sehari-hari, cara berpikir dan cara merasa warga dan penonton tidak akan beranjak menuju pada pengetahuan dan solidaritas kolektif.

Pada akhirnya gagasan pembebasan seni, baik yang anti-representasi maupun yang anti-komodifikasi, membawa seni pembebasan pada jalan buntu. Sementara mode katarsis telah kehabisan waktu sosialnya. Kita ibaratnya telah berada di dalam perut binatang buas, tindakan konfrontatif atau pun konfirmatif akhirnya akan sama: dicerna dan jadi tahi. Satu-satunya alternatif barangkali adalah keluar dari perut mereka. Artinya, kita harus menghapus pemilahan ruang-waktu yang sudah ditentukan agar cara berpikir dan merasa yang didasarkan pada pengetahuan dan solidaritas kolektif dapat menjadi properti umum.

Karena itu, menyelesaikan problem pembebasan seni/seni pembebasan bukan dengan cara menghancurkan keindahan estetik (rezim estetik sendiri lahir dengan melengserkan rezim representasi),[v] namun membuat keindahan estetik dapat dipikirkan dan dirasakan secara umum.

Analoginya begini: seluruh gerbong kereta harus dibikin tanpa pemilahan kelas, bukan membuat seluruhnya seperti kelas ekonomi tapi VVIP. Membebaskan setiap dan semua individu dari fetisisme seni tidak mungkin terwujud dengan membuang seni dari kesenian, tetapi dengan menarik semua produk seni tinggi dari pasar dan membuatnya tersedia secara umum. Dalam pandangannya yang sinis terhadap revolusi proletariat yang bergerak pasca-Revolusi Prancis, saat borjuasi telah merengkuh dominasi politik yang disertai masalah-masalah sejarah dan seni yang kehilangan segala kemaknaan publiknya dan menjadi properti bagi lingkaran kecil para sarjana, Mikhail Lifshitz menulis: ”Kelas pekerja tidak risau dengan pergeseran minat sosial dari puisi ke prosa. Sangat bertentangan, dengan cepat revolusi ’yang indah’ dapat digantikan oleh revolusi ’yang buruk’, dengan cepat pesona permukaan ilusi-ilusi demokrasi dapat dilepaskan dari kepentingan-kepentingan material.”[vi]

Seperti politik pada umumnya, yang diperlukan untuk politik seni dan seni politik adalah memulihkan telos, tujuan di seberang, yang dapat mengarahkan kita untuk menavigasi perjalanan hari ini.***


[i] Pernyataan tersebut diutarakan setelah melempar sup tomat pada lukisan Tournesols karya Vincent Van Gogh yang dipajang di Galeri Nasional di London. Dua aktivis tersebut juga melekatkan diri sendiri di dinding galeri. Dengan melakukan itu, mereka menaruh diri sendiri sebagai produk seni. Tindakan tersebut mengisyaratkan bahwa seni sesungguhnya adalah kehidupan itu sendiri.

[ii] Baca Jacques Ranciere, Mute Speech  (terj. James Swenson, Columbia University Press, 2011) terutama Bab 1, “From Representation to Expression”, hal. 41 – 51. Prinsip representasi ini merupakan salah satu konsep kunci dalam pemikiran Ranciere mengenai seni. Oleh karena itu, konsep prinsip representasi juga dapat dibaca pada buku-buku Ranciere yang lain, sebagai misal, The Distribution of the Sensible: The Politics of Aesthetics (terjemaham Gabriel Rockhill, 2011)  pada hal. 12 – 30, atau The Flesh of Words: The Politics of Writing (terj. Charlotte Mendell, 2004) terutama pada hal. 146 – 164. Untuk komparasi kritis antara estetik dan prinsip representasi mungkin dapat dibaca dalam, misalnya, bagian Pengantar hal. 1 -15 dalam Aesthetics and Its Discontents (terjemahan Steven Corcoran, 2009).

[iii] Kutipan ini adalah kutipan Ranciere atas Charles Batteux, baca Mute Speech, hal. 45.

[iv] Kritik Ranciere atas konsep estetik Bourdieu yang dikonstruksi melalui sudut pandang sosiologis (baca Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of State, terj. Richard Nice, Harvard University Press, 1984) dapat dibaca pada “Thinking Between Disciplines: An Aesthetics of Knowledge”, dalam Parrhesia, Number 1, 2006, hal. 1 – 12.

[v] Immanuel Kant (Critique of Judgement) mengonseptualisasi keindahan estetik sebagai penilaian subjektif yang berada di luar presentasi objek. Namun, keindahan estetik hanya mungkin melalui pemerasaan atas objek yang hadir. Artinya, perasaan akan keindahan bukan hanya persoalan menyukai yang berkait dengan keinginan atau hasrat, pun mencakup penerimaan atas berkah/hadiah. “Warna hijau padang rumput merupakan sensasi objektif, yakni pemersepsian atas suatu objek rasa,  tetapi warna penerimaan merupakan sensasi subjektif, perasaan tidak terpantik dari objek yang dihadirkan, tetapi melalui objek yang dianggap sebagai objek kesukaan”. Menurut Jacques Ranciere (The Emancipated Spectator), Kant mendefinisikan keindahan sebagai suatu objek kesenangan universal yang terpisah dari konsep apapun. Universalitas keindahan estetik bukan klaim unversalitas yang didasarkan pada konsep, tetapi klaim yang harus mencakup universalitas subjektif.  Oleh karena itu, kesenangan estetik memproyeksikan terputusnya relasi korespondensif antara poiesis (cara/konsep membuat) dan aisthesis (cara mempersepsi) yang tercakup dalam prinsip representasi.

[vi] Mikhail Lifshitz, The Philosophy of Art of Karl Marx, terj. Ralph B. Winn, Pluto Press Limited, 1973, hal. 9 – 10.


Dwi Pranoto adalah kritikus sastra

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.