Peneliti Tapi Tak Memikirkan Apa Yang Krusial dari Penelitian: Sebuah Refleksi

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: charliehr.com


SEBAGIAN besar peneliti di Indonesia, apalagi yang tergabung dalam institusi riset milik pemerintah tempat saya bekerja, sebetulnya cenderung tak punya ruang berpikir yang memadai.

Bagaimana tidak? Di institusi tempat saya bekerja, para peneliti selalu dituntut untuk menerbitkan artikel ilmiah dengan cepat. Artikel yang bisa diterbitkan di jurnal-jurnal akademik bereputasi tinggi, atau bab buku, juga buku di penerbit bertaraf internasional. Sampai-sampai ada slogan ”terbitkan publikasi atau tersingkir”—yang menunjukkan kuantitas sebagai hal terpenting dari sebuah penelitian. 

Ironisnya, hal-hal yang paling krusial dari proses bernama penelitian malah dilupakan (dan cenderung diabaikan). Saya resah dengan proses penelitian seperti ini: kian lama kian instan dan menjadi aktivitas yang bersifat robotik sehingga tak menyisakan cukup ruang bagi para peneliti untuk berpikir dan merefleksikan penelitian itu sendiri.

Refleksi ini saya tulis berdasarkan pengalaman berkecimpung sebagai peneliti bidang ilmu sosial dan ilmu politik selama 7,5 tahun di sebuah lembaga riset milik pemerintah Indonesia. 


Penelitian tidak pernah bersifat netral—tidak terkecuali di bidang ilmu sosial. Beberapa kajian akademik sudah membahasnya.[1] Linda Tuhiwai Smith (2021) bahkan menyatakan bahwa bagi masyarakat asli yang tinggal di tempat-tempat terpencil, penelitian tak ubahnya sebuah “kata kotor” karena sering kali digunakan sebagai alat opresi kelas berkuasa.

Meski hasil penelitian bisa berdampak besar, para peneliti cenderung melupakan (dan malah mengabaikan) hal-hal yang paling krusial. Dari mulai untuk apa melakukan riset, untuk (kepentingan) siapa riset dilakukan, proses risetnya itu sendiri (metode apa yang digunakan, kenapa memilih metode atau suatu teori atau pendekatan dan bukan yang lain, dan lain-lain) sangat jarang dipikirkan secara mendalam, apalagi direfleksikan.

Membongkar metode riset, yang  selama ini mungkin saja hanya bersifat ekstraktif[2] (dan saya duga kebanyakan penelitian memang demikian), mungkin tak pernah terpikirkan. Mungkin karena abai, tidak peduli, tapi yang jelas juga dikondisikan secara struktural. Para peneliti di tempat saya bekerja terlalu disibukkan dengan pemenuhan angka kredit, yang tanpanya akan sangat mustahil bertahan di tengah lingkungan sejawat (baca: mendapatkan tunjangan kinerja utuh dan hidup dengan upah layak).


Bertahun-tahun menjadi peneliti di lingkungan akademik, di bidang riset, tapi tak pernah memikirkan metodologi penelitian secara mendalam dapat membuat seseorang jadi peneliti yang tumpul. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Kalau tidak bergabung dengan komunitas akar rumput di luar gedung kantor nan dingin itu, mungkin saya tak akan memikirkan apalagi bisa menuliskan refleksi ini.

Bagaimana tidak. Di lembaga riset milik negara tempat saya bekerja ini, penelitian menjelma aktivitas yang robotik: tiap awal tahun ajukan proposal penelitian, lalu meneliti (dapat saya katakan: cenderung seadanya), dan hasilnya terbit di akhir tahun. Apa isi penelitiannya, mengapa melakukan penelitian, untuk (kepentingan) siapa/apa penelitian dilakukan, bagaimana metodenya, mengapa memilih metode tertentu, bagaimana positionality/posisionalitas (pemaknaan posisi) periset dengan subjek penelitian, dan sebagainya, cenderung tidak terlalu dipikirkan dengan matang.

Semua itu sangat krusial. Ambil contoh dalam hal positionality. Antara peneliti dan subjek peneliti jelas terdapat hubungan kekuasaan yang tidak setara. Hal ini tampak jelas, misalnya, dalam penelitian yang dilakukan di daerah terpencil dengan subjek penelitian masyarakat perdesaan dengan akses pendidikan tinggi yang sangat terbatas. 

Dalam situasi ini, sebagai peneliti, kita harus terus-menerus mempertanyakan positionality kita dengan subjek selama proses penelitian (termasuk hingga proses diseminasi hasil riset). Hal tersebut penting dilakukan oleh peneliti untuk menjamin hasil penelitian tidak sekadar mengekstraksi serta mengapropriasi pengetahuan yang dimiliki subjek. Banyak peneliti sekadar mengekstraksi pengetahuan yang telah ada tersebut tanpa memikirkan hubungan posisionalitasnya dengan subjek penelitian.

Peneliti mengasumsikan dapat menggali, mengekstraksi sebanyak-banyaknya data/keterangan dari subjek penelitian sembari melupakan kenyataan bahwa subjek penelitian juga memiliki pengetahuan. Hal itu terjadi karena peneliti cenderung masih sering mengasumsikan bahwa mereka adalah pencipta/pembuat pengetahuan. 

Contoh dari pemahaman bahwa peneliti adalah pencipta/pembuat pengetahuan juga dapat dilihat dari ketiadaan hubungan yang berkelanjutan antara mereka dengan subjek penelitian. Di dalam kebanyakan penelitian, setelah penelitian selesai, tak ada proses perkembangan ilmu pengetahuan yang berkelanjutan antara peneliti dan subjek penelitian. Setelah riset dilakukan dan hasilnya terbit di akhir tahun, angka kredit aman, selesai. 

Adapun diseminasi hasil penelitian sering kali hanya berbentuk formalitas—semacam forum sosialisasi—tanpa interaksi timbal balik yang berarti dengan subjek penelitian. Lebih jauh, pencantuman penghargaan dalam bentuk pengakuan—yang merupakan bentuk penghormatan dasar—pada subjek penelitian dalam hasil penelitian juga kerap kali dilupakan.

Penelitian yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang kompleks disederhanakan menjadi suatu hal yang bersifat instan. Tujuan penelitian untuk menciptakan perubahan-perubahan sosial yang transformatif untuk masyarakat dan alam semesta pun kian jauh panggang dari api. 

Memang tak semua penelitian ditujukan untuk menciptakan perubahan sosial yang transformatif. Ada yang bersifat untuk perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri (biasanya berada di level teoritis), ada yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan spesifik, misalnya pembuatan rekomendasi kebijakan. Akan tetapi, terlepas dari tujuan-tujuan itu, penelitian kini tak ubah sebuah rutinitas, yang harus dijalani seorang peneliti, meski robotik, meski instan, meski seadanya. 

Meminjam istilah anak-anak muda saat ini: mengsedih.


Sebagai peneliti ilmu sosial dan politik, saya dan rekan-rekan sejawat memang memiliki apa yang disebut Althusser sebagai “otonomi relatif”. Akan tetapi, tata kelola penelitian di institusi tempat saya bekerja cenderung membatasi saya menggunakan otonomi tersebut. Sebagai contoh, adanya kelompok-kelompok penelitian yang ajeg (sudah seperti pakem yang cenderung sulit diubah) cenderung menghambat perkembangan riset di bidang yang saya tekuni—riset tentang persoalan gender dan pembangunan dari sudut pandang ekonomi politik feminis—karena tidak ada kelompok penelitian soal itu.

Soal pembentukkan kelompok-kelompok penelitian itu lagi-lagi mungkin tak pernah terpikirkan untuk dievaluasi atau diperbaharui berdasarkan perkembangan terbaru. Toh yang penting, kan, tulisan terbit. Apakah kelompok-kelompok penelitian yang sudah ajeg itu sudah menjawab perkembangan terkini ilmu pengetahuan atau tidak, belum menjadi salah satu sumber kekhawatiran utama.

Entah apa tujuan sebenarnya dari banyak-banyak menerbitkan tulisan selain tak menyisakan ruang bagi peneliti untuk membaca, berpikir, dan merefleksikan apa yang sudah diteliti, diterbitkan, dengan seksama. Hingga saat ini pun saya masih heran. Belum lagi persoalan bagaimana publikasi-publikasi—yang dihasilkan oleh para peneliti—tersebut kemudian cenderung tidak terdata apalagi terarsipkan dengan baik. 

Pun di tengah komodifikasi dunia riset dan akademik saat ini, yang dapat mengakses serta membaca hasil-hasil penelitian masih sangat terbatas pada kalangan tertentu.

Saya sendiri bahkan selalu mengakses jurnal akademik melalui platform yang ditemukan oleh pahlawan kita semua, Alexandra Asanovna Elbakyan, karena kantor tempat saya bekerja tak berlangganan jurnal-jurnal akademik secara luas. Baru beberapa waktu belakangan ini-lah, kantor saya (katanya) berlangganan beberapa jurnal akademik. Itu pun masih dengan beberapa syarat dan ketentuan.

Tapi, ya, selain aksesnya, membaca jurnal akademik dengan saksama pun memang sulit. Bagaimana tidak. Para peneliti yang bekerja di institusi tempat saya bekerja lebih disibukkan dengan tetek bengek birokrasi yang sebetulnya dapat diurus, dikelola secara profesional oleh pekerja yang ahli di bidangnya. Para rekan sejawat saya lebih disibukkan mengurus (dan mengadvokasi) anggaran penelitian yang secuil, dipusingkan dengan pengelolaan lembaga yang amburadul, dan sebagainya.

Hasilnya, peneliti di Indonesia—sebagaimana warga lain—dibuat sulit memikirkan hal-hal yang bermakna lebih substantif seperti tentang apa makna penelitian, metodologi apa yang sebaiknya digunakan, dan sebagainya. Kita terus dibuat ruwet dengan urusan-urusan seputar birokrasi dan pengelolaan yang payah. Ya seputar itu saja.


“Tapi, kan, jadi peneliti itu keren. Sering tampil di TV.”

Justru di situlah masalahnya. Saking tak adanya ruang memadai untuk berpikir, beberapa peneliti bahkan tak keberatan dimintai berpendapat soal apa pun, meski ia bukan pakarnya. Terkadang saya ingin menghentikan sejenak dunia ini dan mengajak “hey, ayo duduk dan berpikir sebentar.” Tapi, apa daya, yang penting publisitas dan popularitas. Supaya terkenal sehingga mudah mendapat proyek penelitian.

Ya, beberapa penelitian kini memang menjelma proyekan. Sarana mencari pemasukan. Temanya dan harus selesai dalam waktu cepat? Tak masalah. Semua bisa dilakukan. Yang penting saldo aman dan kembali lagi: tulisan terbit. Makin banyak publikasi, makin keren. Soal isi, urusan belakangan. 

Komodifikasi ilmu pengetahuan juga jadi sumber masalah. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam persoalan indeksasi jurnal. Para peneliti di tempat saya bekerja dituntut untuk menerbitkan tulisan-tulisannya di jurnal-jurnal akademik level internasional terindeks Scopus dengan cepat. Di level nasional juga sama. Tinggal mengganti kata “Scopus” dengan “Sinta”.

Akibatnya, sebagai bagian dari kapitalisme pendidikan, rezim “Scopus” dan “Sinta” telah sangat menentukan posisi kerja seseorang di dunia akademik. Seseorang yang telah menerbitkan artikel ilmiah di jurnal terindeks Scopus akan dianggap lebih mumpuni dari yang lain. Ini memunculkan ketimpangan penghargaan atas kerja antara yang “mumpuni” dan yang belum menerbitkan tulisan di jurnal terindeks global tersebut.

Selain itu, rezim “Scopus” dan “Sinta” juga membuat pilihan para peneliti menjadi kian terbatas. Banyak jurnal akademik tidak terindeks Scopus memiliki kualitas publikasi yang tinggi (secara substantif) dengan kredensialitas peninjau yang mumpuni. Namun, jika belum terbit di jurnal terindeks Scopus, kredibilitas kita sebagai peneliti cenderung diragukan. Seolah belum sah menjadi seorang peneliti jika belum menerbitkan tulisan di jurnal terindeks Scopus. Singkatnya, nilai sebuah publikasi pun ditentukan dari terbit atau tidaknya di jurnal ilmiah terindeks Scopus, bukan dari substansi/isi penelitian itu sendiri.

Belum lagi soal pemisahan ilmu-ilmu sosial dari ilmu-ilmu alam yang menempatkan yang terakhir sebagai bidang yang lebih unggul. Juga masalah politik kantor yang dihadapi para peneliti yang kritis, yang menginginkan perubahan sosial.

Sungguh membuat frustrasi.


Jadi peneliti di Indonesia itu berat. Dilan pun mungkin tak mau.

Tata kelola kehidupan penelitian di Indonesia cenderung membuat kita menjadi peneliti tumpul yang dibuat sangat susah berpikir dengan bebas dan substantif, apalagi merefleksikan apa yang telah dilakukan dan untuk apa meneliti serta sebagainya. Mungkin itu adalah kemewahan yang harus didapat dengan cara pergi dari lingkungan kerja penelitian itu sendiri.

Regulasi-regulasi yang ada selama ini cenderung memberatkan peneliti dengan beban birokrasi riset yang bertele-tele dan sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan. Meski saat ini belum ada kebijakan yang mengharuskan atau melarang tema riset tertentu, namun kekhawatiran mengenai hal ini tentu tidak terelakkan.


Kalau seorang peneliti tidak memiliki ruang yang cukup untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya dipikirkan oleh seorang peneliti, untuk apa, ya, jadi peneliti?***

 


[1] Lihat di antaranya Vedi R. Hadiz & Daniel Dhakidae (eds.) (2006). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT. Equinox Publishing Indonesia

[2] Lihat Lisa Tilley (2017). Resisting Piratic Method by Doing Research Otherwise.” Sociology, Vol. 51(1) 27–42.

 


Kepustakaan

Hadiz, Vedi R. & Daniel Dhakidae (eds.) (2006). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT. Equinox Publishing Indonesia

Smith, Linda Tuhiwai, (2021). Decolonizing methodologies: Research and indigenous peoples. Zed Books Ltd.

Tilley, Lisa (2017). Resisting Piratic Method by Doing Research Otherwise.” Sociology, Vol. 51(1) 27–42.

 


F. Fildzah Izzati, Mahasiswi MPhil/PhD Development Studies – SOAS, University of London.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.