Membongkar Mitos Gotong Royong

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: commons.wikimedia.org


MODAL sosial, atau dalam bahasa sehari-hari lebih dikenal sebagai “gotong royong”, selama ini dianggap sebagai kearifan lokal. Berdasarkan studi terhadap masyarakat Gayo dan Jawa, Bowen (1986) menunjukkan bahwa gotong royong terus berupaya dikonstruksikan ulang secara sosial melalui tiga proses yang menyejarah, yakni: upaya struktur memahami realitas sekitarnya, yang dalam prosesnya banyak disalahpahami; pembangunan nasional yang dilakukan dengan berdasarkan pada miskonsepsi tersebut; masuknya intervensi negara ke perdesaan melalui mobilisasi tenaga kerja.  

Ketiga proses tersebut memunculkan pemahaman bahwa hubungan sosial di desa, terutama di Jawa, “harmonis” dan timbal balik”. Karena itu penduduk desa didorong untuk “tak mementingkan dirinya sendiri.” Pemaknaan yang bermasalah tersebut dimanfaatkan oleh rezim untuk membuat rakyat merasa memiliki “kewajiban moral” untuk menjadi bagian dari proses mobilisasi tenaga kerja tersebut.

Bowen kemudian membongkar pemahaman tersebut, pertama-tama lewat akar makna gotong royong itu sendiri. Gotong royong, katanya, berasal dari kata kerja bahasa Jawa yakni ngotong yang artinya ‘beban yang ditanggung bersama-sama’. Dalam hal ini menurutnya terdapat tiga bentuk gotong royong, yakni mobilisasi tenaga kerja atas dasar kepatuhan; bantuan sosial informal yang dilakukan atas dasar “rasa saling membutuhkan; dan terakhir pembagian peran atas dasar kelas sosial. 

Pola yang pertama menekankan pada kerja tanpa upah untuk hal-hal terkait dengan pembangunan dan perbaikan fasilitas umum yang dimanfaatkan seluruh masyarakat. Keikutsertaan pada proses sosial tersebut didasarkan pada “rasa sungkan”–yang dijadikan semacam cambuk bagi siapa pun yang tak mau mengikutinya. 

Makna yang kedua mengacu pada kewajiban sosial tiap individu untuk ikut serta dalam kegiatan seremonial seperti pernikahan anak, kematian kerabat, dan lain-lain. Keterlibatan individu dalam kegiatan tersebut pada dasarnya dilakukan atas pertimbangan bahwa dia sewaktu-waktu juga membutuhkan sokongan tenaga kerja dari orang di sekitarnya maupun dukungan material untuk menyelenggarakan acara yang sama. Artinya individu terlibat karena pamrih atau atas desakan kebutuhan sosial yang sama. Orang memberi karena mengharapkan sewaktu-waktu mendapatkan perlakuan sosial ataupun materi serupa.

Makna yang ketiga mengacu pada mobilisasi tenaga kerja tanpa pengupahan, terutama dalam hal produksi pertanian. Hal ini dilakukan oleh kelas atas terhadap kelas bawah. Wujud konkretnya adalah perintah dari pejabat desa yang memerintahkan rakyat biasa untuk membenahi saluran irigasi penopang pertanian. 

Pengerahan tenaga kerja di sini, berbeda dengan pola yang pertama, melekat pada pekerjaan rakyat sebagai buruh tani, kuli, ataupun petani penggarap yang terikat relasi ekonomi politik dengan petani kaya atau pemilik tanah.  

Menurut Suwignyo (2019), berbagai bentuk pengerahan tenaga kerja di atas berakar sejak masa Mataram Kuno. Ketika itu tujuan mobilisasi adalah pembangunan tempat ibadah, istana, dan bangunan lain yang berkaitan dengan kepentingan keagamaan dan kerajaan.

Dapat dikatakan bahwa akar dari mekanisme sosial tersebut adalah peminggiran kelas bawah oleh kelas atas. Kaum sudra/kawula melakukan “kerja wajib” untuk kasta ksatria sebagai ganti pembayaran upeti atau sanksi atas tindakan kejahatan. 

Berdirinya kerajaan Islam tidak membuat mekanisme ini hilang. Relasi sosial yang bergantung pada kepemilikan tanah tersebut terus berlangsung sampai abad ke-17. Kemudian, sejak abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda menjalankan kerja wajib serupa dengan nama heerendienst, dibebankan kepada para petani penggarap, penyewa lahan, maupun pemilik tanah.

Penjajahan fasis Jepang justru semakin mengintensifkan pola pengerahan tenaga kerja tersebut melalui kinro hoshi. Dikatakan semakin dalam karena ia tidak lagi terkait dengan penguasaan tanah. Di masa ini untuk pertama kalinya seluruh elemen rakyat dikerahkan sebagai tenaga kerja tanpa pengupahan. 

Hal ini berbeda dengan romusha. Dalam romusha, yang dikerahkan untuk keperluan infrastruktur penunjang militer dalam Perang Asia Timur Raya, adalah orang dewasa yang masih dianggap memiliki kekuatan fisik memadai. Mereka juga mendapat gaji dan suplai makanan. Kinro hoshi bahkan mendorong masyarakat untuk menyediakan konsumsi dan peralatan sendiri. Bahkan anak-anak sekolah dilibatkan dalam pekerjaan ringan seperti mengumpulkan kerikil dan pasir untuk pembangunan jalan (Kurasawa, 2015).

Setelah proklamasi kemerdekaan, elite nasional seperti Soekarno membungkus diskursus “gotong royong” sebagai identitas nasional. Dalihnya adalah untuk mencegah perpecahan politik dan pemberontakan militer. 

Saat terjadi krisis ekonomi 1960-an, “gotong royong” dielu-elukan sebagai instrumen persatuan nasional untuk mencegah terjadinya ketidakpuasan rakyat. 

“Gotong royong” semakin menjadi alat kepentingan kelas atas pada masa Orde Baru dengan cakupan kegiatan yang semakin luas. Pada masa ini urusan hidup yang seharusnya diselenggarakan negara justru dipelintir menjadi tanggungan masing-masing individu. 

Sampai sini, dapat disimpulkan bahwa mekanisme tersebut alih-alih mampu menyejahterakan rakyat justru menambah beban sosial mereka (Suwignyo, 2019).

Sejak tahun 1990-an, seiring dengan perkembangan konsep modal sosial yang didorong oleh Bank Dunia, “gotong royong” mulai dilirik menjadi instrumen rekayasa sosial untuk mengatasi berbagai masalah publik yang tak mampu diselesaikan dengan mekanisme pasar. Instrumen ini dipakai untuk membuat rakyat tak mempertanyakan upaya redistribusi kekayaan yang seharusnya dilakukan pemilik kuasa dan menggugat ketidakadilan ekonomi dalam relasi kelas atas dan bawah.

Konsep “modal sosial” sendiri berawal dari karya Robert Putnam pada tahun 1993. Modal sosial mengacu pada jaringan sosial, norma, dan kepercayaan yang saling terhubung (Bebbington et.al., 2004). Bank Dunia memandang modal sosial adalah “kekuatan yang berasal dan berada di dalam diri komunitas” yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong masyarakat menyelesaikan masalah publik dengan kemampuannya sendiri. 

Konsep modal sosial terus dipakai di era Reformasi lewat program-program yang didanai oleh Bank Dunia. Tujuannya tetap sama, yaitu mengintervensi masyarakat di level akar rumput untuk mengerahkan berbagai sumber daya desa dan diikuti dengan berbagai kewajiban administratif yang diklaim “akuntabel” dan “perencanaan partisipatif”. 

Program yang sangat terkenal di awal Reformasi misalnya Kecamatan Development Program (KDP). Ini adalah program penyaluran dana ke desa-desa melalui forum kecamatan. Dana yang digunakan pada program tersebut pada dasarnya adalah utang dari Bank Dunia yang disalurkan oleh pemerintah Indonesia. 

Dalam program ini elite-elite warga seperti tokoh agama, kepala desa, dan tokoh masyarakat dianggap sebagai perwakilan sahih masyarakat yang mengurusi manajemen program di akar rumput. Fasilitator biasanya akan melakukan pendampingan sampai level dusun. Mereka umumnya akan mendorong masyarakat untuk menyampaikan proposal pembangunan. Semua usul kemudian akan disusun berdasarkan prioritas dalam forum kecamatan. 

Sepintas mekanisme ini terlihat demokratis. Tetapi sebenarnya peraturan administratif yang rigid dalam program itu sendiri cenderung kembali memelintir urusan penghidupan sebagai kesalahan rakyat sebagai individu (Carrol, 2009). Misalnya evaluasi atas indikator kesenjangan. Ia dimaknai karena sikap apatis, tak ada rasa saling percaya, dan tak berhasilnya dialog dalam pembangunan.  Kurangnya rasa saling percaya di antara rakyat dianggap sebagai biang keladi buruknya infrastruktur. 

Alih-alih memperbaiki pelayanan negara yang buruk, perancang program justru ingin meromantisasi kapasitas masyarakat untuk “mengelola dirinya sendiri”–yang dianggap telah dihancurkan oleh otoritarianisme Orde Baru. Upaya romantisasi tersebut sebenarnya sangat sesuai dengan akar sosial dari “gotong royong” yang memang mewajarkan rakyat untuk “menolong dirinya sendiri” dalam mencukupi kebutuhan hidup. 

Bank Dunia ingin memastikan rakyat dapat kembali mampu “menolong dirinya sendiri”. Dari sana diharapkan mereka dapat memiliki daya beli yang baik. Kemampuan masyarakat “untuk menopang dirinya sendiri” dibayangkan akan mampu mendorong tumbuhnya investasi sosial dari bawah secara “partisipatif”. Kemampuan “menolong diri sendiri” juga dibayangkan Bank Dunia akan selaras dengan upaya untuk mengurangi gelontoran anggaran pemerintah dalam pelayanan publik dan perbaikan kesejahteraan. Artinya, mekanisme sosial tersebut adalah bagian dari upaya privatisasi sektor-sektor publik (Li, 2006).

Singkatnya, di balik segala jargon yang tampak baik, di balik itu ada upaya besar untuk mengembalikan tatanan sosial yang dapat menyokong kembali gairah pasar setelah krisis ekonomi 1998 (Carrol, 2009). Dengan kata lain, pada dasarnya adalah upaya pasar untuk sembuh dari sakitnya.

Kembali ke KDP. KDP kemudian bertransformasi menjadi PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri) di era Susilo Bambang Yudhoyono. Ia melakukan reformasi atas kebijakan kesejahteraan sosial pada 2007.  PNPM dioperasikan dengan mekanisme yang hampir sama: melalui tahapan diskusi, pengusulan proposal, pemeringkatan prioritas, dan penetapan program. Desa-desa pada dasarnya seperti dalam skema KDP: harus saling bersaing agar usulan programnya-lah yang disetujui. 

PNPM hanya kembali mendorong komunitas miskin untuk mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan harus saling berkompetisi dengan sesama rakyat. Komunitas didisiplinkan untuk mengikuti kerangka kerja administratif yang disusun oleh Bank Dunia dan diharuskan mampu merencanakan dan melaksanakan program seefisien mungkin. 

Penduduk memang menghadiri pertemuan yang diselenggarakan, tetapi sama sekali tidak ada penyerapan aspirasi. Yang ada adalah sekadar mendengarkan dan mau tak mau menyetujui usulan dari elite warga dan arahan fasilitator program (Choi, 2016). 

Dana Desa yang diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dijalankan dengan logika yang sama, yaitu memastikan masyarakat desa mampu menjawab sendiri masalah kesejahteraannya. 

Romantisasi kolektivitas desa yang tercermin dalam “gotong royong” lagi-lagi menjadi pijakan untuk memandang bahwa “partisipasi” masyarakat desa dibayangkan akan mampu menyelesaikan masalah kesejahteraan. Akan tetapi, seperti yang terjadi pada program-program sebelumnya, rakyat kecil nyatanya tak mampu terlibat dalam proses perumusan program. Hal tersebut disebabkan karena mereka tak memiliki daya tawar kuat untuk berhadapan dengan kelas atas perdesaan yang mendominasi forum. Pendisiplinan administrasi seperti dalam KDP maupun PNPM juga menyebabkan suara dari kaum bawah tak pernah didengar.

Dari sini terlihat jelas: mekanisme “rakyat harus mampu menopang dirinya sendiri”, alih-alih memperbaiki penghidupan, justru menyebabkan mereka terus-terusan menjadi objek pengerahan tenaga kerja secara cuma-cuma oleh kelas atas. 

“Gotong royong” pada akhirnya hanyalah mantra yang digunakan oleh kelas atas untuk membiarkan rakyat kecil hidup dalam ketertindasan tanpa harus menuntut redistribusi ekonomi dari kelas sosial di atasnya. “Gotong royong” menjadi tak lebih dari pewajaran ketiadaan minimnya pelayanan publik dan jaminan kesejahteraan yang memadai bagi kelas bawah. Sementara konsep “modal sosial” yang mengooptasi mekanisme “apa-apa ditanggung sendiri-sendiri” pada dasarnya tak lebih dari upaya membudayakan kemiskinan dan kesengsaraan bagi kelas bawah. 

Akhirnya, pemahaman atas akar sosial menjadi penting bagi kita rakyat kecil, agar tak mudah menjadi korban tipu daya slogan-slogan yang kerap dikatakan kelas atas.


Kepustakaan

Bowen, John.”On the Political Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia,” The Journal of Asian Studies, Vol. 45, No. 3 (May, 1986), pp. 545-561.

Suwignyo, Agus.” Gotong royong as social citizenship in Indonesia, 1940s to 1990s,” Journal of Southeast Asian Studies (2019), pp. 1-22.

Kurasawa, Aiko. Kuasa Jepang di jawa : Perubahan sosial di pedesaan 1942 – 1945 (Depok: Komunitas Bambu, 2015).

Bebbington, Anthony et.al.,.” Exploring Social Capital Debates at the World Bank,” The Journal of Development Studies, Vol.40, No.5 (June 2004), pp.33 – 64.

Carrol, Toby.” ‘Social Development’ as Neoliberal Trojan Horse: The World Bank and the Kecamatan Development Program in Indonesia,” Development and Change, Vol. 40, Vol. 3 (2009), pp. 447–466.

Li, Tania Murray.” Neo-Liberal Strategies of Government through Community: The Social Development Program of the World Bank in Indonesia,” IILJ Working Paper 2006/2 Global Administrative Law Series, pp. 1-41.

Choi, Ina.” Socializing Neoliberalism: A Case Study of the National Community Empowerment Program (PNPM) in Central Java,” Southeast Asia Review, Volume 26, No. 1 (2016), pp. 89-134.


Anggalih Bayu Muh Kamim, alumnus Departemen Politik & Pemerintahan FISIPOL UGM

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.