Tiga Perspektif Pembangunan Agraria

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


KERAGAMAN bukan berarti kaya. Ini juga berlaku pada pendekatan perspektif agraria; tidak serta merta keragaman pandangan memiliki manfaat yang signifikan untuk memahami pembangunan agraria. Beberapa perspektif di antaranya justru mengaburkan akar permasalahan ketimpangan agraria dan kemiskinan di perdesaan.

Sebagian besar masyarakat desa di negara-negara Selatan memiliki corak agraris yang kental. Dalam sejarahnya, negeri-negeri ini lebih banyak mengandalkan pertanian dan budak.[1] Sebagian besar wilayah Amerika Tengah-Selatan, Asia Selatan (India), Tiongkok, dan Asia Tenggara, memiliki fokus orientasi pembangunan perdesaan.[2] Untuk wilayah perdesaan yang didominasi oleh daratan, mayoritas anggota masyarakatnya bekerja di sektor agraria seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lainnya. Sementara itu, wilayah perdesaan pesisir memiliki karakter masyarakat yang juga sebagian bekerja di sektor agraria seperti perikanan darat dan budi daya perairan. Kondisi ini membuat sektor agraria memperoleh perhatian besar dalam pembangunan pedesaan. Oleh karena itu, pembahasan mengenai dinamika pembangunan agraria penting untuk melihat permasalahan di perdesaan.

Dinamika pembangunan agraria di perdesaan memiliki pengaruh pada pola hubungan sosial-ekonomi yang terbentuk antar individu dan kelompok. Struktur sosial-ekonomi umumnya membahas mengenai kepemilikan sumber daya, relasi kerja/produksi, hingga pola reproduksi dari individu dan atau kelompok. Untuk melihat bagaimana dinamika agraria dan hubungannya dengan struktur sosial-ekonomi di perdesaan, sejauh ini terdapat tiga perspektif yang dominan, yang akan jadi pembahasan inti artikel ini, yakni (1) Perspektif Kelembagaan; (2) Perspektif Populisme Agraria; dan (3) Perspektif Ekonomi-Politik Agraria. Tulisan ini juga akan memberikan analisis ringkas mengenai dampak dari beragam perspektif tersebut dalam menyelesaikan permasalahan sosial-ekonomi di perdesaan.


Perspektif Kelembagaan

Perspektif ini melihat aspek kelembagaan dan organisasi di perdesaan sebagai hal penting untuk pembangunan. Aspek ini menekankan pembangunan kelembagaan di perdesaan sebagai salah satu kunci untuk pengembangan masyarakat desa (Clark, Southern, dan Beer, 2007). Organisasi/kelembagaan dipandang penting sebagai wadah bagi individu dan kelompok untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan.

Perspektif kelembagaan ini kerap digunakan sebagai  Pemerintah, sebagai wujud organisasi negara yang terbesar, akan lebih mudah melakukan intervensi kebijakan dan pembangunan kepada masyarakat jika membentuk suatu kelompok atau lembaga. Dalam kerja-kerja pembangunan, hal tersebut dianggap cukup efisien secara waktu dan biaya. ORNOP/NGO yang juga merupakan salah satu aktor pembangunan, melakukan aktivitasnya dengan pendampingan pada kelompok dan atau komunitas. Mengingat mereka memiliki sumber daya yang terbatas maka kerja-kerja sebagaian besar para ORNOP/NGO ini dilakukan dalam kerangka proyek dan cenderung sampai pada tataran permukaan saja.

Pada tataran praktik, perspektif kelembagaan mendorong pembentukan kelembagaan desa seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Kelompok Tani (Poktan), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), beragam macam Koperasi, dan kelompok sosial lainnya. Wadah-wadah tersebut dibentuk untuk kepentingan berkomunikasi, berdiskusi, dan menjadi wadah penerima bantuan dari pemerintah dan atau donor untuk kesejahteraan kelompok/anggota.

Selain itu, perspektif ini menaruh perhatian pada perbaikan aspek tata kelola dan manajerial di suatu kelembagaan. Permasalahan ketimpangan dan kemiskinan di perdesaan dianggap sebagai permasalahan kelembagaan desa yang belum mampu memberikan kesejahteraan secara merata. Kegagalan tersebut terwujud dalam permasalahan seperti elite capture, pembajakan program pembangunan, korupsi, money politics, hingga malpraktik demokrasi lokal.


Populisme Agraria

Perspektif Populisme Agraria cukup populer di kalangan umum. Perspektif ini memandang bahwa permasalahan kemiskinan di perdesaan adalah faktor gagalnya rumah tangga petani dalam mengelola produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan konsumsi. Tokoh utama perspektif ini adalah Alexander V. Chayanov yang dalam bukunya The Theory of Peasant Economy ([1966] 1986) membahas teori ekonomi petani dengan kerangka Labour-Consumer Ratio. Kerangka tersebut menggambarkan bahwa kesejahteraan rumah tangga petani dihitung dari jumlah pekerja (orang dewasa usia produktif bekerja) yang tersedia di dalam rumah tangga dan kebutuhan konsumen (pekerja dan tanggungannya, seperti anak-anak, saudara dan orang tua yang sudah tidak bekerja) dalam unit rumah tangganya.

Konsep populisme agraria Chayanov tampaknya menggiring pandangan ideal kesejahteraan keluarga petani melalui teori ekonomi petani. Chayanov memandang keluarga petani memiliki watak subsisten dalam proses pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangganya. Hal demikian dikuatkan oleh Theodore Shanin (1973) yang berpendapat bahwa pandangan Chayanov memberikan gambaran dari ekonomi keluarga petani secara ideal dan tidak ‘mengenal’ praktik akumulasi. Karakteristik petani yang digambarkan Chayanov cenderung menerapkan budaya kooperatif, kolektif, serta menjunjung tinggi solidaritas sosial. Konsep petani demikian, menurut studi Chayanov, cukup dominan ditemui di perdesaan Rusia setelah Revolusi 1917. Kala itu, perkembangan gerakan koperasi petani tumbuh di tengah perkembangan industrialisasi dan ekonomi modern.

Dari pandangan tentang karakteristik petani yang telah dijelaskan di paragraf sebelumnya, permasalahan petani dan kemiskinan di perdesaan berfokus pada kerugian yang dialami oleh subjek, dalam hal ini adalah ‘petani’ dengan karakteristik idealnya. Salah satu wujud permasalahan yang muncul adalah industri ekstraktif yang merampas lahan serta kesejahteraan para petani. Selain itu, perspektif ini juga memandang permasalahan sosial agraria bermuara pada tidak hadirnya kebijakan atau kehendak politik dari negara untuk menyejahterakan petani. Hal demikian yang selanjutnya membentuk framing bahwa petani sebagai subjek yang tertindas oleh korporasi dan atau negara.  . Narasi tersebut termanifestasi dalam pandangan ‘Petani vs. Negara dan Korporasi’, di mana petani ditempatkan sebagai kelompok sosial yang dirugikan dari aktivitas korporasi dan pemerintah.

Contoh lain, yakni penerapan ‘kebijakan sertifikasi lahan’ yang dikampanyekan sebagai bentuk keberpihakan negara pada kepentingan petani, padahal realitasnya sertifikasi tersebut menjadi penguat kepemilikan lahan individu yang kemudian mendorong proses komodifikasi tanah. Proses sertifikasi justru mendorong pembentukan pasar tanah, yang memudahkan jual-beli tanah. Akibatnya, fungsi tanah yang dulunya adalah sumber daya bersama bergeser menjadi komoditas yang dipertukarkan di pasar.

Perspektif ini hendak melihat bahwa secara populer, permasalahan agraria tidak terlepas dari pandangan petani sebagai entitas sosial yang kerap dirugikan akibat ketidakhadiran negara atau ketidakberpihakan kebijakan negara kepada petani. Selain itu, aktivitas korporasi yang cenderung melakukan eksploitasi terhadap lahan juga menjadi masalah yang dipotret populisme agraria sebagai permasalahan petani.


Perspektif Ekonomi-politik Agraria

Perspektif terakhir ini memiliki fokus pada analisis aspek politik dan ekonomi dalam melihat permasalahan agraria. Aspek ekonomi yang dianalisis adalah mengenai penguasaan atas sumber-sumber ekonomi yang kemudian menentukan kekuasaan politik. Tradisi ekonomi-politik ini sebenarnya sudah lama ada sejak perkembangan perdebatan teori ekonomi klasik. Namun perspektif ini baru menemukan gaungnya kembali setelah Henry Bernstein mengajukan beberapa pertanyaan kunci untuk memahami ekonomi-politik di sektor agraria, yang terangkum dalam bukunya yang berjudul Class Dynamics and Agrarian Change (2010). Bernstein menekankan pembacaan ekonomi-politik agraria pada aspek kepemilikan alat produksi, relasi produksi, distribusi hasil produksi dan proses reproduksi.

Melalui perspektif ini, kita dituntun untuk memahami bahwa masyarakat di sektor agraria sesungguhnya memiliki ragam klasifikasi kelas sosial. Karena itu, perspektif ini kerap disebut sebagai pendekatan diferensiasi kelas sosial. Tesis utamanya menyatakan perbedaan kelas sosial memiliki implikasi pada perbedaan watak dan corak produksi, dari akses terhadap kepemilikan alat produksi, relasi kerja/produksi, pembagian hasil produksi, dan pola reproduksi yang dilakukan (Bernstein, 2010). Perbedaan kelas sosial ini selanjutnya membentuk relasi antagonistik dan ekspolitatif antara satu kelas dengan kelas sosial lainnya.

Dari ketiga perspektif yang telah dijelaskan di atas, penulis memiliki beberapa catatan kritis. Persepektif kelembagaan, misalnya, mengabaikan analisis aspek ekonomi seperti relasi produksi dan reproduksi dan lebih menitikberatkan pada analisis manajerial organisasi. Tidak berbeda jauh, perspektif populisme agraria juga tidak memberi perhatian lebih pada sumber-sumber ekonomi seperti alat produksi, relasi produksi, distribusi hasil produksi hingga pola reproduksi. Karenanya perspektif populisme agraria ini cenderung berpandangan bahwa petani merupakan sebuah entitas sosial yang homogen alih-alih sebagai kelas sosial majemuk berdasarkan kemampuan sosial-ekonominya. Akibatnya, narasi yang muncul dalam konflik agraria hanya melihat aspek permukaan pada tataran ‘makro’, seperti petani berhadapan dengan korporasi industri, kebijakan negara, dan lainnya. Sementara untuk perspektif ekopol agraria, kritik lebih tertuju pada praktik yang masih berkiblat pada sejarah agraria di negara-negara Utara. Padahal, negara-negara Selatan juga memiliki sejarah perkembangan dinamika masyarakat agraria dengan konteks yang berbeda.

Dari pemaparan ketiga perspektif di atas, penulis mengamati bahwa perspektif kelembagaan dan populisme agraria cukup dominan digunakan di Indonesia. Ada dua faktor yang menyebabkan kedua perspektif menjadi dominan: pertama, perspektif ekonomi-politik agraria telah meredup semenjak genosida politik tahun 1965 di Indonesia. Dalam sejarahnya, tradisi penelitian berbasis kelas sosial dan permasalahan kemiskinan struktural di perdesaan telah meredup semenjak Barisan Tani Indonesia (BTI) dibubarkan oleh penguasa militer saat itu, karena dianggap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh makar. Ben White (2016) dalam riset berjudul Remembering the Indonesian Peasants’ Front and Plantation Workers’ Union (1945–1966) menunjukkan pengaruh besar BTI dalam membangun wacana tradisi penelitian dan gerakan sosial berbasis kelas di sektor agraria. Kedua, selain faktor historis, kuatnya donor internasional memberikan pengaruh pada corak penelitian dan juga pola advokasi baik dari NGO maupun Lembaga pemerintahan dalam merespons permasalahan di sektor agraria. Donor dari kelembagaan internasional cenderung mempromosikan perspektif kelembagaan dan populisme agraria.

Permasalahannya, dominasi perspektif kelembagaan dan populisme agraria yang menekankan pada aspek institusional dan subjek justru mengaburkan pembacaan ketimpangan sosial yang parah dan kemiskinan akut di perdesaan secara struktural. Absennya tradisi penelitian berbasis kelas sosial menjadi salah satu permasalahan mendasar dalam membangun wacana kritis dan progresif. Oleh karena itu, kerja-kerja penelitian masyarakat agraria berbasis kelas (ekonomi-politik) ini perlu digencarkan untuk menandingi wacana dominan tentang kelembagaan dan populisme agraria saat ini.***


Catatan Akhir

[1] “Life in the South: Ordered Society and Economy of the Southern States.” Study.com. March 27, 2013. https://study.com/academy/lesson/life-in-the-south-ordered-society-and-economy-of-the-southern-states.html.

[2] Rockenbauch, T., & Sakdapolrak, P. (2017). Social networks and the resilience of rural communities in the Global South: a critical review and conceptual reflections. Ecology and Society22 (1).


Kepustakaan

Bernstein, H. (2010). Class dynamics of agrarian change (Vol. 1). Kumarian Press.

Clark, D., Southern, R., & Beer, J. (2007). Rural governance, community empowerment and the new institutionalism: A case study of the Isle of Wight. Journal of Rural Studies, 23(2), 254-266.

Chayanov, A.V. ([1966] 1986). A.V. Chayanov on the Theory of Peasant Economy. eds. D. Thorner, B. Kerblay and R.E.F. Smith, second edition. Madison, WI: University of Wisconsin Press

Shanin, T. (1973). “The Nature and Logic of the Peasant Economy: A Generalisation.” Journal of Peasant Studies 1(1): 63–80

White, B. (2016). Remembering the Indonesian peasants’ front and plantation workers’ union (1945–1966). The Journal of Peasant Studies43(1), 1-16.


Sinergy Aditya Airlangga adalah Tenaga Pengajar di Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP, Universitas Brawijaya

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.