Ilusi “Bos Bagi Diri Sendiri”: Dunia Algoritma dan Prekariat Digital

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


PADA 21 Maret 2019, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, merilis laporan riset tentang dampak sosial-ekonomi Go-Jek bagi perekonomian Indonesia 2018. Salah satu hasil penelitian itu menyebutkan bahwa “Go-Jek mengurangi tekanan pengangguran dengan memperluas kesempatan kerja” dan “kualitas hidup mitra pengemudi meningkat.”

Menariknya, usai dirilisnya hasil penelitian tersebut terjadi gelombang demo pengemudi Go-Jek di berbagai kota di Indonesia sepanjang 2019: 5 Agustus di Jakarta, 21 Agustus di Purwokerto, 29 Agustus di Lampung, 3 September di Jakarta, Aceh, dan Pontianak, dan akhirnya 16 Desember di Solo.

Apa yang sesungguhnya terjadi?


Harapan dan kenyataan

Boleh jadi, soal perubahan besaran bonus yang menjadi tuntutan pengemudi adalah masalah manajemen internal Go-Jek. Namun, apa yang dikeluhkan oleh pengemudi Go-Jek bisa diamini oleh banyak dari kita semua yang mengais rezeki lewat aplikasi daring dan piranti teknologi informasi: pekerja telemarketing, pekerja media, penerjemah daring, dan sebagainya. Mereka bergantung pada teknologi informasi dalam pekerjaan masing-masing.

Ada semacam harapan bahwa dunia algoritma membuat hidup kita semua menjadi lebih mudah, nyaman, dan pastinya murah terjangkau. Harapan demikian tentu didasarkan pengandaian bahwa kemajuan ekonomi dan perkembangan teknologi terkini yang mempermudah kehidupan sehari-hari. Apalagi, selama dua dasawarsa terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh dengan cepat. Pertumbuhan ekonomi tersebut, yang digadang-gadang akan mendorong kekuatan ekonomi Indonesia menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, membuncahkan harapan kita semua akan kehidupan yang lebih baik berbasis teknologi informasi. Di negara manapun, pertumbuhan ekonomi memang akan menggelembungkan berbagai harapan sosial-politik masyarakatnya.

Sayangnya, di balik kisah sukses dunia algoritma, teknologi informasi ternyata juga menghadirkan berbagai kisah kerentanan. Meski sering digembor-gemborkan, berbagai peluang dan keuntungan teknologi informasi tidak serta-merta menjadikan perubahan hidup yang lebih mudah, nyaman, dan murah. Ada berbagai tangan dan tenaga manusia yang terus-terusan tergerus akibat pekerjaan yang menuntut mereka siap 7×24 jam lewat aplikasi teknologi informasi.

Selain itu, perangkat hukum kita belum sepenuhnya menjamin perlindungan bagi mereka. Meski bekerja penuh-waktu sekalipun (di luar jam kerja normal pula!), mereka tidak tergolong sebagai “buruh” menurut aturan hukum yang berlaku. Perusahaan dan dunia industri yang mempekerjakan mereka menggunakan istilah “mitra kerja”, “freelancer”, “pekerja independen”, atau berbagai istilah lain, yang bersifat mengaburkan status dan hubungan kerja yang tercipta. Akibatnya, mereka (dibikin) tidak berada dalam perlindungan hukum perburuhan (baik UU no. 13/2003 maupun UU no. 11/2020).

Alih-alih menjadi “bos bagi diri sendiri”, teknologi informasi mendikte kehidupan mereka. Alih-alih sejahtera, pekerjaan mereka menjadi serabutan dan tidak ada jaminan kepastian kerja.


Pola pembangunan terpepat

Apa yang dialami banyak pekerja tersebut adalah konsekuensi dari pola pembangunan ekonomi yang ditempuh negara kita.

Sampai akhir dasawarsa 1990-an, pembangunan ekonomi Indonesia ditopang oleh sejumlah industri yang berorientasi ekspor. Terutama, misalnya, pabrik garmen, tekstil dan sepatu, yang menghasilkan barang-barang kebutuhan sandang untuk diekspor ke luar negeri. Industri tersebut memperkerjakan buruh-buruh (mayoritas buruh perempuan) yang diupah murah, melakukan pekerjaan monoton, dan umumnya kontrak (istilah hukumnya: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Upah murah, buruh yang patuh, dan pasar kerja yang lentur adalah andalan pertumbuhan ekonomi Orde Ba(r)u, yang sesuai ciri utama “negara pembangunan” (developmental state).

Seiring dengan perubahan sosial-politik sejak 1998 dan perkembangan dunia teknologi informasi, pola pembangunan ekonomi Indonesia juga mengalami perubahan, atau malah lebih tepatnya: dipaksa berubah.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama dua dasawarsa terakhir memang mengesankan. Namun, angka pertumbuhan tersebut masih jauh di bawah negara-negara tetangga. Pertumbuhan ekonomi di tingkat regional, ASEAN+ 3 (ASEAN, Jepang, Korea dan Tiongkok) mengalami kenaikan, dan bahkan lebih baik daripada berbagai belahan dunia lainnya. Kompetisi dan pertandingan ekonomi di tingkat regional ini diamini sebagai hal lumrah. Oleh karena itu pula, Indonesia dipaksa bersaing untuk tetap dapat mempertahankan pertumbuhan ekonominya, seiring kian ketatnya persaingan regional. Terlebih, di Indonesia, pertumbuhan ekonomi diyakini menjamin stabilitas politik, sehingga elit-elit politik kita merasa perlu mendendangkan mantra-mantra ekonomi (sekalipun dengan suara sumbang!).

Tekanan persaingan tingkat regional ini dipacu oleh pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melesat. Jika sebelumnya negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat perlu setidaknya 100-150 tahun untuk menjadi negara maju, dan kemudian disusul oleh Jepang dan Korea yang berhasil mencapainya dalam 50 tahun, maka kini Tiongkok hanya perlu 30 tahun untuk menyusul ketertinggalannya. Sering dianggap sebagai “keajaiban ekonomi”, pertumbuhan ekonomi yang makin cepat (atau dipercepat) ini sesungguhnya adalah akibat dari tekanan persaingan global dan kemajuan teknologi. Mengekor kemajuan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, negara-negara ASEAN juga dipaksa untuk menyusul ketertinggalannya lewat pertumbuhan ekonomi yang dipercepat tersebut.

Ini adalah ciri utama dari pola pembangunan terkini, yang lazim disebut “compressed development”, atau “pembangunan terpepat”. Pertumbuhan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat selama 100-150 tahun menghasilkan perkembangan yang berjalan seiring dengan perubahan sosial masyarakatnya, begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi Jepang dan Korea. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang dipercepat tersebut mendorong perubahan-perubahan sosial yang juga semakin dipercepat dan malah dipepatkan dalam jangka waktu yang lebih pendek (atau bahkan sangat pendek), sehingga berbagai institusi sosial pendukung tidak (bisa) tumbuh beriringan. Begitu juga, pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN yang dipaksa semakin cepat akibat berada dalam kerangka persaingan regional.


Informalisasi ekonomi

Akibat dari pola pembangunan terpepat tersebut adalah informalisasi ekonomi dan deindustrialisasi yang meluas.

Selama ini diyakini bahwa industrialisasi akan mendorong orang untuk bekerja di sektor formal. Seiring demikian, pengangguran akan berkurang dan sektor informal akan semakin mengecil.

Pengalaman pertumbuhan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat juga menyatakan demikian. Setidaknya, hingga akhir 1980-an. Setelah itu, Eropa dan Amerika Serikat mengalami deindustrialisasi, dan jumlah buruh yang bekerja di industri manufaktur berkurang hingga menjadi sekitar 30%.

Menyusul ketertinggalannya, Tiongkok mengalami industrialisasi besar-besaran. Namun, pengalaman pertumbuhannya berbeda dari apa yang dialami Eropa dan Amerika Serikat (dan juga Jepang dan Korea). Alih-alih berkembangnya sektor formal, yang terjadi adalah makin meluasnya sektor informal. Alih-alih industri makin berkembang, yang terjadi adalah deindustrialisasi yang berjalan berbarengan pada saat yang sama dan dengan skala yang tidak kecil. Akibatnya pula, jumlah buruh yang bekerja di industri manufaktur lebih rendah daripada Eropa dan Amerika Serikat, dan tidak pernah lebih dari 20%. Buruh manufaktur adalah tulang punggung gerakan buruh. Namun, karena jumlahnya kecil, mereka tidak punya corong suara yang mampu membawa perubahan sosial seperti yang sudah dialami Eropa dan Amerika Serikat pada masa sebelumnya.

Indonesia (dan negara-negara ASEAN) yang mengekor pola pembangunan terpepat tersebut, juga mendapati dirinya mengalami informalisasi ekonomi dan deindustrialisasi yang meluas. Informalisasi ekonomi ini semakin meluas seiring dengan kemajuan teknologi, terutama teknologi informasi. Jumlah buruh yang bekerja di sektor manufaktur juga hanya sekitar 15-18%, dan tidak mampu menampung jumlah pencari kerja yang tiap tahunnya naik (akibat bonus demografi). Tak heran, banyak anak muda didorong (dipaksa?) untuk menjadi “mitra kerja” dalam dunia algoritma, yang sesungguhnya adalah pekerja informal.


Apa yang seharusnya dilakukan? 

Informalisasi ekonomi dan deindustrialisasi meluas yang dialami Indonesia, akibat pola pembangunan terpepat, telah menghasilkan generasi anak muda yang bekerja serabutan dan tidak memiliki kepastian kerja, tapi semakin bergantung pada teknologi informasi, untuk mengais rezeki. Banyak anak muda kita terjebak dalam perangkap dunia algoritma yang tidak peduli untuk meningkatkan ketrampilan dan keahlian mereka. Mereka (dipaksa) menjadi prekariat digital. Meski menyadari hal tersebut, mereka telah terperangkap sebagai tumbal pola pembangunan terpepat.

Buruh industri manufaktur punya pengalaman berserikat, sehingga serikat buruh dapat terbentuk di kalangan mereka, dan juga dijamin oleh perangkat hukum perburuhan. Lewat serikat pula, buruh manufaktur dapat membela kepentingan mereka dan melawan penindasan akibat pola pembangunan berorientasi ekspor selama 1980-1990-an.

Sayangnya, anak muda yang kian banyak bekerja di dunia algoritma tidak memiliki pengalaman berserikat sehingga mendirikan serikat di kalangan mereka hari ini menjadi hal yang sulit, jika tidak dikatakan mustahil. Demikian juga, mendirikan serikat di kalangan pengemudi ojol seperti menjaring angin. Beberapa tahun terakhir ini, sejumlah anak muda telah berupaya membentuk perkumpulan ataupun ikatan di kalangan pekerja digital. Namun, sifatnya masih sangat lentur dan mengurusi advokasi kasus. Masih belum terbentuk serikat yang berlandaskan tuntutan kelas dan perubahan sosial masyarakat.

Karena itu, pengalaman berserikat secara nyata perlu diperluas sehingga menjadi modal utama anak muda yang bekerja di dunia algoritma. Pola berserikat juga perlu mengalami perubahan guna mampu menghadapi berbagai dampak pembangunan terpepat.***


Jafar Suryomenggolo menetap di Paris (Perancis). Beberapa bukunya adalah Kiri Asia Tenggara (Marjin Kiri, 2021), Pancaroba Tropika (INSIST Press, 2021), Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal (Marjin Kiri, 2015), dan Kebangkitan Gerakan Buruh (Marjin Kiri, 2014). 


 

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.