Lupa Aturan Main

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi oleh Jonpey


PADA Februari 2013, sebuah keputusan bersejarah diketok: Kementerian Perempuan Prancis menyatakan Dekrit November 1799 tidak lagi berlaku. Dektrit itu menyatakan larangan bagi perempuan untuk mengenakan celana panjang.

Sepanjang sejarahnya, Prancis sedikit sekali mengubah aturan ini, yakni pada 1892 dan 1909. Hanya ketika bersepeda atau berkuda perempuan dibolehkan menanggalkan rok dan menggantinya dengan celana—itu pun harus minta ijin polisi.

Dalam konteks tertentu, penghapusan Dekrit menjadi penting, mengingat rok masih dipandang sebagai pakaian standar bagi pejabat dan politisi perempuan di pelbagai lembaga negara. Pada akhir 1970an, Chantal Leblanc, anggota parlemen dari Partai Komunis Prancis, sempat sekali dilarang memasuki gedung DPR Prancis karena tak memakai rok. Bertahun-tahun kemudian, Leblanc diingat sebagai seorang dari segelintir warga DPR perempuan yang mengenakan pantalon.

Apakah selama 200 tahun tidak ada perempuan Prancis yang nekat bercelana panjang? Bagi kebanyakan orang, penghapusan itu terlambat. Selama dua abad, tak terhitung banyaknya pelanggaran atas Dektrit. Pasca-Perang Dunia II, ketika semakin banyak perempuan bekerja di sektor-sektor yang sebelumnya didominasi laki-laki, rok semakin usang. Puncaknya, pada hari-hari setelah protes akbar Mei 1968, perempuan yang mengenakan celana panjang—atau pakaian laki-laki secara keseluruhan—adalah pemandangan lumrah.

Barangkali tak berlebihan jika sebagian orang menyamakan penghapusan Dektrit 1799 dengan pengakuan Gereja Katolik bahwa teori Galileo sepenuhnya benar. Masalahnya, Vatikan baru mengakui bahwa bumi mengelili matahari pada 1992, tepatnya 359 tahun setelah mereka memenjarakan Galileo dengan tuduhan bid’ah.

Dekrit November 1799, dengan kata lain, telah lama tidak relevan ketika dihapus pada 2013. Dalam kurun 200 tahun itu memang ada beberapa perjuangan legal untuk meninjau kembali Dektrit. Namun, yang lebih punya daya desak tinggi rupanya adalah pelanggaran-pelanggaran sehari-hari yang tak terhitung jumlahnya, yang kerap dilakukan secara sporadis dan perseorangan, tapi tapi tak jarang juga dilakukan beramai-ramai dalam aksi-aksi protes berskala besar. Berkat pelanggaran-pelanggaran inilah Dektrit ditinggalkan. Polisi pun malu jika harus menahan perempuan dengan alasan pakaian.

Satu pelajaran penting dari sini adalah normalisasi pelanggaran. Ini tidak hanya berlaku untuk aturan berpakaian, tapi di banyak area hukum lainnya. Salah satunya isu penodaan agama.

Hampir seluruh negara Eropa hari ini memiliki pasal yang bisa memenjarakan orang dengan tuduhan penodaan agama. Belanda baru menghapusnya pada 2012, disusul tiga tahun kemudian oleh Norwegia dan Islandia. Belakangan, seiring dengan maraknya aksi teror berdalih ‘pembalasan atas penista agama’ di Eropa, debat tentang hukum penodaan agama kembali muncul. Namun, puluhan tahun lamanya, setidaknya sejak 1960an, pasal-pasal ini amat jarang dipakai. Di Denmark, orang yang dituntut dengan pasal penodaan agama pada 1970an, dengan mudahnya dibebaskan dari dakwaan.

Otoritas keagamaan tradisional di Eropa memang telah lama tergerus, sehingga wajar jika pasal-pasal penodaan agama akhirnya diabaikan. Tapi sungguh keliru jika Anda membayangkan proses ini berlangsung seketika berkat rasionalitas pemuka agama, politisi, pembuat kebijakan, dan aparat negara. Sekularisme diperjuangkan dengan darah dan barikade—juga oleh lelucon dan pembangkangan kecil-kecilan. Pemuka agama, politisi, pembuat kebijakan, dan aparat semua dipaksa untuk beradaptasi dengan pelanggaran-pelanggaran hukum oleh khalayak, yang seringkali dipraktikkan dalam keseharian, tapi kadang muncul sebagai ledakan protes yang merepotkan aparat.

Di alam demokrasi, tidakkah lebih repot untuk mengirimkan puluhan ribu orang ke dalam penjara karena satu pelanggaran ketimbang membatalkan aturan yang menyalahkan pelanggaran itu?

***

Pada Maret 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangi sebuah keppres yang mengganti istilah “Cina” menjadi “Tionghoa”. Kata “Cina” dinilai diskriminatif dan merugikan minoritas warga Tionghoa yang telah menjadi korban persekusi di Indonesia bertahun-tahun lamanya.

Namun, tak sampai tiga tahun kemudian, “Cina” kembali digunakan beramai-ramai sejak 2 Desember 2016. Hanya dalam semalam, Gerakan 212, sebuah gerakan protes yang didorong oleh sentimen rasial dan dijustifikasi oleh keresahan ekonomi, mengobrak-abrik Keppres dan sekian banyak upaya yang telah ditempuh untuk mengakhiri diskriminasi rasial.

Sejak itu para politikus lebih leluasa memainkan kartu ras baik secara subtil maupun terang-terangan. Sejak itu Gerakan 212 sukses menciptakan voting bloc yang memainkan isu ras dan agama di setiap pemilihan atas nama “syariah” dan “pribumi”.

Kita sudah paham bagaimana Gerakan 212 adalah gerakan reaksioner. Tidak ada nilai yang bisa dibela dari gerakan ini. Namun, jika ada yang bisa dipelajari dari 212, maka itu adalah pelanggaran norma sosial dan hukum secara kolektif melalui gerakan massa. Anda dipersilakan merisak ‘Cina’. Anda diperbolehkan menyerang apapun yang bukan ‘pribumi’. Dan akhirnya, pada 2 Desember 2016 dan setelahnya, Anda diharuskan mengambil sikap apakah untuk berada di dalam atau di luar ‘umat’.

Lima tahun setelah aksi 212, Keppres SBY dan semua aturan polisi yang melarang ujaran kebencian masih berlaku. Tapi siapa yang ingat?

***

Hanya beberapa bulan setelah protes besar-besaran #ReformasiDikorupsi pada September 2019, UU Cipta Kerja disahkan. Dalam situasi pandemi yang mempersulit protes, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa keberatan atas undang-undang yang akrab disebut Omnibus Law tersebut bisa diajukan melalui Mahkamah Konstitusi.

Setahun kemudian, November 2021, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Ciptaker tidak konstitusional. Respons cepat Jokowi: materi dan substansi UU Ciptaker tetap berlaku.

Sampai di sini kita perlu mengingat kembali kapan saja negara kalah di hadapan hukum namun terus melanjutkan kebijakan-kebijakan yang bermasalah. Pada 2009, Mahkamah Agung melarang pelaksanaan Ujian Nasional. Ujian Nasional baru dihentikan pada 2020 … karena pandemi. Setahun kemudian, UU Badan Hukum Pendidikan yang menempatkan lembaga pendidikan sebagai bisnis komersil dinilai inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Setahun kemudian, muncul UU Dikti yang substansinya sama dengan UU BHP. Pada awal 2017, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan warga Bukit Duri terkait penggusuran permukiman untuk normalisasi Kali Ciliwung. Basuki Tjahaja Purnama, yang saat itu masih menjabat gubernur DKI Jakarta, menyatakan akan tetap melanjutkan proyek Ciliwung. Ini baru beberapa contoh kecil.

Advokasi-advokasi hukum yang telah dilakukan pun mentah. Pada akhirnya ia hanya membuktikan bahwa negara salah dan menyalahi hukum. Dan tentu naif jika Anda percaya negara akan setop melanggar hukum hanya karena pengadilan menyatakan bahwa negara telah melanggar hukum.

Kita mengamini bahwa hukum adalah instrumen kuasa. Dengan kesadaran itu kita selalu bersiasat lewat hukum dengan harapan keadilan akan datang dari meja hijau. Tapi itu segenap upaya itu rupanya tidak menjamin bahwa kita mengingat sebuah aturan main: penyelenggaraan hukum sangat bergantung pada alat-alat kekerasan negara … atau oleh massa yang terorganisir. Untuk pilihan kedua, jalan yang perlu ditempuh adalah menyusun daya dan kuasa dari bawah, lantas merawatnya dalam aksi-aksi massa bernapas panjang dan tindakan-tindakan keseharian yang mampu mendelegitimasi produk-produk hukum yang rusak.

Penyelenggaraan—atau sebaliknya, pelanggaran—hukum sangat bergantung pada alat-alat kekerasan negara atau pada massa yang terorganisir. Prinsip ini bahkan dipahami dengan baik oleh negara, dipahami dengan sempurna oleh pemilik modal, lalu dipraktikkan oleh kedua belah pihak melalui tangan aparat.

Bukankah pemberlakuan Omnibus Law adalah puncak pembangkangan terorganisir para pemodal terhadap aturan-aturan perburuhan yang telah mereka langgar selama bertahun-tahun?***


Bagus Anwar adalah pemerhati sosial politik


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.