Masalah Kelas Menengah: Tanggapan untuk Coen Husain Pontoh

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Parindra (KITLV Photo Archive)


Tulisan ini adalah bagian ketujuh dari perdebatan yang dimulai oleh tulisan Abdil Mughis Mudhoffir di Project Multatuli berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi” (9 Juni 2021). Bagian kedua adalah tanggapan Coen Pontoh berjudul “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir” (16 Juni). Redaksi juga menerbitkan terjemahan tulisan Eduard Lazarus berjudul “Kiri Indonesia: Dihantui Warisan Anti-Komunis dan “Masyarakat Sipil” yang sebelumnya terbit di Jacobin sebagai bagian ketiga untuk perdebatan ini (29 Juni). Bagian keempat adalah respons Abdil Mughis bertajuk “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis Liberal Dominan di Indonesia” (16 Agustus 2021)  yang kemudian dibalas oleh Coen lewat “Ekspresi Kelas Menengah Sebagai Sebuah Kelas” (24 September). Terakhir, Dwi Pranoto menerbitkan tanggapannya untuk Abdil Mughis berjudul “Mungkinkah Institusionalisme Historis Membangkitkan Politik Kelas?” (27 Oktober 2021).


PADA artikel tanggapan saya untuk Abdil Mughis Mudhoffir, “Mungkinkah Institusionalisme Historis Membangkitkan Politik Kelas?”, saya sudah sedikit membahas tentang kelas menengah. Kelas menengah, sebagai kelompok sosial yang berada di antara proletariat dan borjuasi, sulit diidentifikasi dan dideskripsikan secara tepat. Problem yang bertolak dari posisi dilematis kelas menengah dalam struktur masyarakat kapitalis ini berimplikasi kepada trayektori dari politik kelas atau politik anti-kapitalis itu sendiri.

Menurut Mudhoffir, dalam “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis-Liberal Dominan di Indonesia?”, aktivisme borjuis-liberal adalah corak dominan artikulasi politik kelas menengah di Indonesia. Berdasarkan perspektif institusionalisme historis, Mudhoffir memandang ekspresi dan peran-peran sosial-politik kelas menengah dan aktivisme borjuis-liberalnya ditentukan oleh pola-pola interaksi antar lembaga dan organisasi sosial yang terbentuk dalam kontinuitas historis yang irregular. Yang luput dari analisis Mudhoffir adalah kelas menengah tidak mungkin melepaskan diri dari penjara kesejarahannya sendiri untuk membangun politik kelas yang progresif.

Secara agak mirip, walaupun dalam konteks yang berbeda, Coen Husain Pontoh berpendapat bahwa secara metodologis argumentasi dan penjelasan Mudhoffir berimplikasi bahwa kelas menengah harus melawan dirinya sendiri untuk melepaskan diri dari kungkungan ilmu-ilmu sosial borjuis. Menurut Pontoh, “kebuntuan teoritik” ini berasal dari problem metodologis dari penjelasan Mudhoffir, yang menggeser konsep kelas dan perjuangan kelas ke konsep ideologi dan perjuangan ideologis. Menurut Pontoh, argumen ini mereduksi problem kelas menengah menjadi problem ideologi, bukan problem struktural sebuah kelas yang posisinya terjepit di antara kelas borjuasi dan kelas pekerja.

Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan bahwa secara ideologis kelas menengah terombang-ambing di antara pertarungan antara borjuasi dan proletariat. Mengutip Poulantzas, Pontoh kemudian menyimpulkan bahwa kelas menengah berbeda dari kelas borjuasi dan kelas proletariat, tetapi pada saat bersamaan memiliki kesamaan dengan dua kelas tersebut pada konteks-konteks tertentu. Tetapi, Pontoh justru melihat kelas menengah, di level ideologis, cenderung takut kepada transformasi radikal dalam masyarakat. Oleh karena itu, kelas menengah lebih cenderung berada di sisi borjuasi selama mereka diberikan sejumlah kompensasi, yaitu 1) ‘distribusi’ kekuasaan politik, 2) kemungkinan promosi sosial–berambisi menjadi borjuis–dan karena itu, 3) penerapan mekanisme dan prinsip meritokrasi.[1]

Meskipun Pontoh bertolak dari argumen tentang watak ambivalen kelas menengah, tetapi watak ambivalen itu sendiri tidak serta merta terproyeksi sebagai orientasi politik yang ambigu. Ambivalensi kelas menengah yang diungkapkan Pontoh bertentangan dengan, kecenderungan kuat kelas menengah untuk membentuk afiliasi dengan borjuasi guna mempertahankan struktur kelas masyarakat kapitalis.

Tetapi, argumen tentang ambivalensi kelas menengah ini melupakan formulasi Marx tentang perkembangan kapitalisme dan investigasi Marx tentang peran dan fungsi kelas menengah dalam mode produksi kapitalis. Menurut Marx, perkembangan kapitalisme justru akan menggerus eksistensi kelas menengah (petty bourgeois dan new petty bourgeois) dan menenggelamkan mereka ke dalam kelas proletar. Dalam Manifesto of the Communist Party Marx menulis:

Strata menengah kecil yang eksis sebelumnya–para pedagang kecil, para pemilik toko, para pensiunan pedagang, para pengrajin dan kaum tani–semua kelas tersebut tenggelam karam dalam proletariat, sebagian karena modal kecil mereka tak mencukupi untuk menyelenggarakan industri berskala besar dan mati dalam persaingan dengan kapitalis yang lebih besar, sebagian karena keterampilan mereka dinilai tak berguna dalam metode-metode baru produksi. Jadi proletariat direkrut dari semua kelas populasi.[2]

Sebagaimana old petty bourgeois, new petty bourgeois juga mengalami takdir serupa, dihantam gelombang perkembangan dan kemajuan kapitalisme

Di negara-negara di mana peradaban modern berkembang, sebuah kelas menengah baru terbentuk, yang terombang-ambing antara proletariat dan borjuasi, dan terus-menerus memperbarui dirinya sendiri sebagai bagian suplementer dari masyarakat borjuis. Anggota-anggota kelas ini, bagaimanapun, secara konstan tersungkur ke dalam proletariat oleh gerak persaingan: demikianlah, bersama perkembangan industri berskala besar mereka pun merasakan makin mendekatnya masa mereka untuk digantikan oleh pengawas dan manajer, dalam perdagangan, manufaktur, dan pertanian.[3]

Namun demikian, penjelasan Marx tentang kelas menengah dalam Manifesto tidak dapat disimplifikasi bahwa posisi politik kelas menengah selalu merupakan sekutu proletariat. Sikap Marx dan Engels berkait persekutuan antara proletariat dan kelas menengah jelas terbaca dalam Address of the Central Committee to the Communist League (1850).

Pada saat kelas menengah (petty bourgeoisie) demokratik ditindas di mana-mana, mereka berkotbah untuk persatuan dan rekonsiliasi umum proletariat; mereka mengulurkan tangan pertemanan . . . Persatuan semacam itu akan menjadi keuntungan mereka sendiri dan menjadi kerugian penuh bagi proletariat. Proletariat akan kehilangan segala kemandirian yang dicapai dengan susah payah dan direduksi sekali lagi hanya menjadi lampiran sebagai pegawai demokrasi borjuis.

Sebelumnya, dalam pemaparan yang sama, Marx dan Engels sesungguhnya tidak menolak persekutuan antara proletariat dan kelas menengah, tapi membatasinya “. . . bekerja sama dengan mereka untuk melawan partai yang hendak mereka jatuhkan; menentang mereka kapanpun mereka ingin mengamankan posisi mereka[4].

Mengapa Pontoh mengakui ambivalensi kelas menengah tetapi lebih cenderung menempatkan kelas menengah lebih dekat ke sisi borjuasi? Barangkali jawabannya akan terungkap jika kita menyelidiki motif-motif di balik pandangan Pontoh yang menganggap kelas menengah sebagai kelas sosial yang solid. Di samping itu, kita perlu melacak dari mana sesungguhnya kutukan terhadap kelas menengah–menganggap kelas menengah sebagai reformis, reaksioner, dan tukang gebug borjuasi–berasal?


Kelas Menengah sebagai Kelas

Pontoh mendefinisikan kelas menengah sebagai kelas, ekuivalen dengan proletariat dan borjuasi. Dalam perdebatan dengan Mudhoffir, Pontoh menulis, “. . . saya ingin menunjukkan secara empirik ekspresi politik kelas menengah sebagai sebuah kelas dalam bentang sejarah perkembangan kapitalisme. Penekanan pada frase ‘kelas menengah sebagai sebuah kelas’ ini perlu dilakukan karena kelas bukanlah kumpulan dari individu, dan antagonisme kelas itu juga bukan kumpulan dari antagonisme individu”.[5]

Konsekuensi memandang kelas menengah sebagai kelas adalah menganggap kelas menengah mempunyai kesadaran kelas, yang merupakan transformasi kesadaran individu-individu yang mendasari pembentukan kelas menengah sebagai suatu kesatuan sosial. Untuk itu, kelas menengah harus mempunyai telos, suatu tujuan utama, yang merupakan orientasi politis objektif yang mewadahi dan melampaui kepentingan-kepentingan material individual. Orientasi politis objektif ini, tentu saja, harus berangkat dari kondisi khas yang nyata yang dialami kelas menengah dalam hubungan konfrontatif antara proletariat dan borjuasi. Kondisi khas nyata yang dialami kelas menengah adalah terancam oleh perkembangan kapitalisme dan terancam oleh cita-cita sosialisme.

Berdasarkan kondisi khas tersebut, maka terdapat dua orientasi politik bagi kelas menengah: mempertahankan diri dengan terus-menerus memperbaharui diri agar sesuai dengan perkembangan kapitalisme atau ‘bunuh diri,’ menghapuskan identitas untuk terserap ke dalam proletariat. Dengan demikian orientasi politik kelas menengah adalah orientasi politik yang secara internal sudah kontradiktif. Gerak perubahan kontradiktif sektor menengah masyarakat kapitalis ini sudah pasti akan menghalangi kelas menengah menjadi satu kesatuan sosial yang kohesif. Konsekuensinya, kontradiksi struktural ini juga akan mencegah kelas menengah untuk memiliki suatu sikap politik yang koheren dan konsisten vis-à-vis kapitalisme. Analisis mengenai kelas menengah, sebagaimana analisis mengenai kelas dan posisi politik borjuasi dan proletariat, haruslah dijangkarkan kepada hubungannya kepada relasi sosial produksi dalam mode produksi kapitalis.

Relasi kelas menengah dengan kelas-kelas lain memang bukan seperti relasi di antara proletariat dan borjuasi dalam relasi sosial produksi yang kontradiktif: antara kelas yang tak memiliki alat produksi dan menjual tenaganya dengan kelas yang mempunyai alat produksi dan membeli tenaga kerja. Kelas menengah memang tidak menguasai alat produksi dan menjual tenaganya kepada kapitalis sebagaimana kelas buruh. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat posisi kelas menengah identik dengan proletariat. Posisi kelas menengah ditentukan oleh peran dan fungsinya dalam relasi produksi dan relasi distribusi–keberadaanya disokong oleh pendapatan kapitalis–dalam mode produksi kapitalis.

Untuk menginvestigasi posisi kelas menengah dalam masyarakat kapitalis secara lebih lanjut, kita perlu menengok kembali konsepsi Marx tentang kerja produktif. Marx menginterpretasikan kategori kerja produktif secara luas, mencakup “semua yang dengan berbagai cara berkontribusi pada produksi komoditi, dari kerja aktual sampai manajer atau mekanik[6]. Dua kategori yang terakhir, manajer dan mekanik, bagaimanapun berada pada hubungan yang tak pasti dengan mayoritas pekerja. Manajer dan mekanik berperan sebagai pekerja produktif sekaligus pekerja non-produktif, berfungsi sebagai produsen sekaligus bantalan dalam relasi dominasi kapitalis. Secara teknis, mereka berfungsi memastikan terselenggaranya kerjasama koordinatif antar pekerja dalam proses produksi, sekaligus berfungsi mengontrol proses kerja dan mengendalikan kepentingan-kepentingan antagonis dalam hubungan antara pekerja dan kapitalis. Pada fungsi pertama, fungsi koordinasi, kerja manajer dan mekanik merepresentasikan jenis khusus pekerja upahan. Sedangkan fungsi kedua, fungsi kontrol, bagaimanapun, mereka bertugas memastikan berlangsungnya proses perampasan nilai lebih oleh kapitalis. Dalam konteks yang kedua ini, mereka berdiri pada posisi berhadap-hadapan dengan pekerja dalam hubungan atagonistik, sebagai agen langsung dominasi kapitalis atas pekerja.

Secara umum, kondisi khas manajer dan mekanik dalam relasi produksi ini juga dialami oleh para pekerja kelas menengah lain, seperti penjual, pekerja pada unit-unit pelayanan publik, dan pegawai birokrasi. Meskipun mereka dapat dipilah berdasarkan jenis pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dan dapat dipilah berdasarkan kategori pekerja produktif dan pekerja non-produktif, namun status mereka berdasarkan kepemilikan alat produksi tak berbeda, juga sama dengan mayoritas pekerja.

Kita ambil contoh saja mereka yang bekerja pada unit pelayanan publik, pekerja non-produktif, misalnya guru atau dosen. Sebagai pekerja non-produktif, guru tidak memproduksi nilai lebih secara langsung. Tapi harga kerjanya ditentukan oleh nilai pekerjaannya sekaligus oleh pengerahan tenaga–tak berbeda dengan pekerja lain–untuk menerapkan pekerjaan tersebut. Pada sisi lain, walaupun tidak memproduksi nilai lebih secara langsung, guru menambah pendapatan kapitalis dengan mereduksi ongkos untuk merealisasikan nilai lebih. Karenanya, guru juga melakukan sebagian kerja yang tak dibayar. Dalam konteks ini, mereduksi ongkos untuk realisasi nilai lebih, guru mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja untuk memasok dan terus memperbanyak pasokan tenaga kerja pada pasar tenaga kerja–yang juga menghasilkan persaingan ketat yang dapat mereduksi harga tenaga kerja pada pasar tenaga kerja–dan menghasilkan pikiran-pikiran yang menyokong dan memelihara kondisi-kondisi kultural yang sesuai dengan mode produksi kapitalis. Oleh karena itu, kalangan guru/dosen dan semua kategori kelas menengah, mengalami kondisi khas kelas menengah yang tertarik pada dua kutub yang berlawanan dalam relasi sosial produksi.

Sebagai pekerja yang tak memiliki/menguasai alat produksi dan menjual tenaganya, kelas menengah bergantung secara ekonomi pada kapitalis. Untuk alasan ini, kondisi kebergantungan ekonomi yang mereka alami tak berbeda dengan kondisi umum kelas pekerja. Ini membuat kelas menengah dapat diharapkan untuk mengidentifikasikan diri dengan aspek-aspek tertentu proletariat. Namun, sebagai pelayan kapitalis, kelas menengah juga cenderung mengidentifikasikan diri pada majikannya dan memandang rendah kelas pekerja. Pada kenyataannya, karena kelas menengah dibayar dari pendapatan tinggi kapitalis, mereka akhirnya menggantungkan penghidupannya pada perolehan keuntungan kapitalis sehingga membuat kecenderungan politik dan sosial mereka berada pada sisi borjuasi.

Kelas menengah yang terus ditarik pada arah yang berlawanan ini membuat orientasi politik kelas menengah tidak dapat dipastikan, kecuali mempunyai orientasi politis yang beragam dan berubah-ubah. Karena orientasi politis yang serba kontinen ini, kelas menengah tidak mempunyai basis obyektif untuk membangun solidaritas dan kesatuan sosial sebagai prasyarat politik kelas yang revolusioner. Oleh karenanya, mereka bukan merupakan kelas sebagai kelas dalam artian yang ketat. Bukan kelas yang ekuivalen dengan kelas proletar atau kelas borjuis. Lalu dari mana pemikiran yang mendefinisikan kelas menengah sebagai kelas?

Pemikiran mengenai definisi kelas menengah sebagai kelas mungkin sebagiannya berasal dari perdebatan sengit dan berlarut-larut antara kaum Marxis ortodoks dengan kaum Marxis revisionis yang berlangsung selama era Republik Weimar (1918–1933).[7] Kaum ortodoks yang secara kaku memandang kepemilikan alat produksi sebagai basis fundamental yang membentuk hubungan antagonis antara proletariat dan borjuasi mencakupkan kelas menengah sebagai bagian dari kaum proletar. Sebaliknya, kaum revisionis yang lebih berpijak pada perbedaan kualitatif status sosial antara proletar dengan kelas menengah membedakan kategori kelas menengah dan proletar.

Ledakan jumlah kelas menengah, terutama pekerja kerah putih, yang terjadi seiring dengan perkembangan-kemajuan metode produksi yang semakin mekanis dan kemudian semakin elektronis, disambut kaum ortodoks sebagai kekuatan besar proletariat. Di sisi lain, kaum revisionis berpendapat bahwa ledakan kelas menengah ini membuat proletariat tereduksi ke dalam kelas menengah. Saat kaum revisionis memenangkan posisi dalam tubuh Partai Sosial Demokratik Jerman, pemikiran kaum revisionis ini diadopsi sebagai strategi kelas menengah di bawah kepemimpinan Kurt Schumacher[8].

Secara gradual, dengan semakin membengkaknya jumlah kelas menengah, terutama di negara-negara maju seperti Amerika, pemikiran mengenai ‘hilangnya proletariat’ karena disapu oleh perkembangan-kemajuan kapitalisme semakin mengemuka.[9] Hilangnya proletariat ini dikompensasi dengan munculnya kelas menengah sebagai kelas yang berhadap-hadapan dengan kapitalis. Konsekuensi dari hilangnya proletariat, diiringi semakin menguatnya kriteria status sosial dan semakin melemahnya kriteria ekonomi sebagai basis fundamental pembelahan sosial dalam relasi produksi, adalah hilangnya watak revolusioner dalam gerakan perjuangan kelas dan tampilnya gairah reformasi.

Jika dalam kondisi perkembangan-kemajuan kapitalisme, kriteria status sosial menggiring kelas menengah menjadi sebuah kelas yang solid. Pada masa krisis kapitalisme, kelas menengah ditempatkan pada sisi borjuasi melalui penjelasan psikologis yang berakar dari fungsi ekonomi dan status sosial. Terpangkasnya pendapatan kelas menengah pada masa krisis kapitalisme mengakibatkan kelas menengah tak dapat memenuhi aspirasi gaya hidup borjuisnya. Menyusutnya pendapatan tersebut juga tak sesuai dengan posisi dan tuntutan kelas menengah yang berada di atas pekerja manual berdasar fungsi mereka dalam relasi produksi. Dua kondisi yang membuat kelas menengah cemas akan mengalami proletarianisasi tersebut mendorong reaksi (1) bersekutu dengan kapitalis untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat kapitalis dan (2) memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka sendiri sebagai sebuah kelas tatkala kapitalisme mengalami krisis.

Pendefinisian kelas menengah sebagai kelas berlangsung secara gradual dalam sejarah pemikiran sosialisme. Secara kasar kita bisa menyebut peran penting kaum revisionis era Republik Weimar sebagai pembuka jalan dalam perdebatan mengenai definisi tersebut. Diawali dengan penolakan atas doktrin ‘saintifik’ materialisme historis, gagasan sosialisme kaum revisionis ditegakan dengan menghapus relasi produksi sebagai pondasi struktur sosial masyarakat kapitalis. Sebagai gantinya mereka menawarkan pendekatan ‘etik’, ‘agama’, dan ‘kehendak bebas.’ Ketiga pendekatan tersebut menekankan pentingnya gerakan reformasi untuk mereduksi ekses-ekses kapitalisme.

Bagi sosialisme ‘etis’, perkembangan historis kapitalisme tidak mengarah ke sosialisme, karena kapitalisme dan sosialisme bukanlah proses historis yang sekuensial, namun berdampingan. Ilmuwan sosial, karenanya, tidak dapat memprediksi masa depan, tapi hanya dapat menyarankan perbaikan-perbaikan dalam tindakan-tindakan politik. Sosialis agama menganggap revolusi sebagai pelepasan kekuatan destruktif dan tidak manusiawi, dan karenanya harus ditolak. Pendekatan ketiga yang berbasis ‘kehendak bebas’ menekankan analisis sosiologis berkait dampak-dampak teknologi dalam perkembangan manusia–mungkin pendekatan ini bisa dibilang sebagai pendekatan kaum revisionis yang paling berpengaruh hingga saat ini. Sosialis ‘bebas’ menggeser perjuangan kelas ke perjuangan individual melawan birokrasi, monopoli, dan totalitarian negara.

Barangkali pemikir revisionis paling berpengaruh dalam pembentukan kelas menengah sebagai kelas adalah Max Weber. Konsep Max Weber mengenai (social) closure[10], merupakan mekanisme atau proses eksklusi dimana kelompok sosial tertentu mempertahankan monopoli atas keuntungan dan sumber-sumber keuntungan dengan menutup kelompok-kelompok lain untuk mengaksesnya, menjadi landasannya untuk mendefinisikan kelas. Dalam konteks ini, pendefinisian kelas menengah sebagai kelas dikarakterisasi oleh penguasaannya atas pendidikan dan keterampilan alih-alih posisinya dalam relasi sosial produksi. Kelas kapitalis dikarakterisasi oleh penguasaannya atas status sosial dan pendidikan serta sumber daya ekonomi, sedangkan kelas pekerja dikarakterisasi sebagai kelas yang tidak memiliki penguasaan atas sumber-sumber tersebut. Struktur kelas yang merepresentasikan relasi dominasi dan eksploitasi ini dipelihara dan dipaksakan (dilegitimasi) oleh kekuasaan dan norma-norma legal. Perjuangan kelas menengah, oleh karenanya, adalah perjuangan untuk mewujudkan distribusi kekuasaan dan perbaikan norma-norma legal–dengan kata lain perjuangan reformis. Berdasarkan konsep social closure, kelas menengah sebagai kelas dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan sosial yang kohesif dan mempunyai solidaritas kelas tersendiri dan karenanya mempunyai model perjuangan kelas tersendiri. Pendefinisian kelas menengah sebagai kelas, bagaimanapun, berasal dari motif memenangkan gagasan reformasi atas gagasan revolusi.[11]

Apa yang dibuang dengan mendefinisikan kelas menengah sebagai kelas adalah ambivalensi kelas menengah di antara dua kelas utama di dalam struktur masyarakat kapitalis. Dengan menekankan reformisme atau mekanisme meritokrasi sebagai ekspresi politik dominan kelas menengah, Pontoh mengabaikan permasalahan ambivalensi kelas menengah. Pendefinisian kelas dengan cara semacam ini rawan jatuh ke dalam perspektif revisionis atau reformis tentang kelas menengah. Apa yang perlu diingat adalah, argumen mengenai lokasi spesifik agen reformisme–kelas menengah sebagai kelas–itu didefinisikan dengan menolak doktrin materialisme historis, menolak relasi produksi sebagai pondasi terbentuknya struktur masyarakat kapitalis. Dengan mengunci mati kelas menengah sebagai kelas, Pontoh rawan terjebak dalam pemikiran revisionis dan abai dengan argumen Marx tentang kelas menengah itu sendiri. Tidak hanya itu, analisisnya bisa jadi tidak mampu memberikan jalan keluar untuk problem “politik yang tak punya masa depan alias buntu.”


Kutukan atas Kelas Menengah

Pontoh mengutuk kelas menengah sebagai “tukang pukul kelas borjuasi”, “reformis”, dan “reaksioner dan bertendensi fasis.” Saya kutip pernyataan Pontoh berkait kutukan ini agak panjang di sini:

. . . kondisi kapitalisme yang mengalami krisis (tingkat penyerapan keuntungan terus menurun, terjadi krisis hegemoni di kalangan kelas berkuasa, dan muncul perlawanan radikal dari bawah), kelas menengah yang menolak dilakukannya transformasi sosial yang radikal dari sistem kapitalisme ke sistem yang non-kapitalis justru menjadi ‘tukang pukul kelas borjuasi’ dalam menghadapi gelombang besar perlawanan kelas buruh dan petani.

Namun, perlu dicatat bahwa fungsi kelas menengah sebagai ‘tukang pukul borjuasi’ tidak hanya muncul ketika gerakan buruh (serikat buruh dan partai buruh) secara organisasional sangat kuat dan aksi-aksi perlawanan terhadap kelas kapitalis berpotensi menghancurkan sistem itu, seperti dalam kasus kemunculan fasisme di antara zaman Perang Dunia I dan II.

Berkenaan ekspresi politik kelas menengah yang reformis dan reaksioner, Pontoh menulis:

Pada masa kini, ketika gerakan kelas buruh dan petani sedang mengalami kemunduran dan kapitalisme tengah diguncang krisis, kekosongan politik dan ideologis itu diisi oleh kelas menengah yang menawarkan panacea bagi massa rakyat yang hidupnya semakin terpuruk di era kapitalisme neoliberal ini. Ekspresi politik kelas menengah itu muncul dalam dua bentuk: pertama, yang berwatak reformis seperti yang telah kita diskusikan sejauh ini; dan kedua adalah ekspresi politik yang reaksioner dan bertendensi fasis . . .

Menurut Pontoh, kelas menengah menjadi “tukang pukul kelas borjuasi” saat kondisi kapitalisme mengalami krisis. Argumen “kelas menengah sebagai tukang pukul borjuasi” karena penolakan mereka atas transformasi sosial radikal yang didorong oleh gerakan buruh yang sedang kuat, saya kira dapat kita terima. Tetapi, yang perlu ditanyakan dan dielaborasi lebih lanjut adalah ini: situasi objektif dan aktual apa yang dihadapi oleh kelas menengah saat gerakan buruh lemah sehingga kelas menengah bersedia menjadi tukang pukul borjuasi? Motif apa yang mendorong kelas menengah tetap setia pada borjuasi meski kapitalisme sedang krisis? Barangkali jawabannya dapat kita peroleh dengan menghubungkannya dengan kasus kemunculan fasisme seperti yang juga dibahas oleh Pontoh.

Studi mengenai peran penting kelas menengah dalam gerakan fasisme sangat melimpah. Secara umum, peran penting kelas menengah dalam fasisme bertolak dari krisis kapitalisme dan kemunduran gerakan proletariat dan dipengaruhi oleh tergerusnya penghasilan kelas menengah. Setidaknya, ada dua pendapat mengenai peran penting kelas menengah dalam fasisme yaitu sebagai kekuatan pendukung fasisme atau sebagai kekuatan inti fasisme.

Para pemikir Marxis pada umumnya menyuarakan pendapat yang pertama. Leon Trotsky yang memperingatkan kaum Kiri Jerman pada saat Hitler dengan Partai Sosialis Nasionalnya (Nazi) mulai berkuasa menulis, “Melihat dampak krisis, petty bourgeoisie berayun, bukan ke arah revolusi proletariat, tapi ke arah reaksi imperialis paling ekstrem (Nazi), dan tertarik ikut bersamanya adalah bagian-bagian terbesar dari proletariat”.[12] Menurut Trotsky, keberayunan kelas menengah ke sisi kapitalis disebabkan ketidakmampuan Partai Komunis untuk mengelola kondisi-kondisi revolusi yang diakibatkan oleh krisis kapitalisme.

Pada sisi yang sama, Daniel Guerin yang menganggap fasisme sebagai pengkhianatan borjuasi, berpendapat bahwa fasisme tak mungkin terbentuk kuat tanpa basis pendukung dari kelas menengah yang kecewa. Menurut Guerin, krisis kapitalis menggerus pendapatan kelas menengah, terutama pekerja kerah putih dan sebaliknya meningkatkan pendapatan pekerja manual industrial. Kondisi ini kemudian menciptakan ancaman atas status sosial mereka didasari oleh pengidentifisian diri pada gaya hidup borjuasi (privilese kelas yang ilusif).[13] Takut akan proletarianisasi yang menanti, mereka berusaha menghindari dengan cara apapun, menurut pada siapapun yang berjanji menyelamatkan mereka dari takdir. Oleh karenanya mereka menjadi “tulang punggung gerombolan fasis.”[14]

Di sisi yang lain, pandangan kelas menengah sebagai kekuatan inti fasisme secara umum dijelaskan dengan runtuhnya kondisi ekonomi ekonomi dan sosial, yang memicu kepanikan psikologis kelas menengah. Menurut Erich Fromm[15], krisis ekonomi, inflasi dan depresi, yang menguras habis tabungan yang dikumpulkan bertahun-tahun menghempaskan posisi ekonomi dan mengabrasi prestise kelas menengah, khususnya old petty bourgeoisie atau kelas menengah bawah, di bawah posisi kelas pekerja. “Di bawahnya tidak ada seorangpun yang dapat dilihat,”[16] kata Fromm. Bangkrutnya simbol otoritas sosial, monarki, atau negara, pada akhirnya berpengaruh pada benteng terakhir ikatan sosial kelas menengah, yakni keluarga, yang runtuh bersama tergerusnya simbol otoritas keluarga, sang bapak.

Kondisi-kondisi struktural tersebut memiliki implikasi psikologis yang serius pada kelas menengah, yang menjebloskan mereka pada kepanikan. Gabungan kebencian inheren terhadap sistem yang lahir dari posisi kelas menengah, yang terjepit di antara proletariat dan borjuasi, dan keadaan panik yang disebabkan oleh krisis tersebut menjadi lahan subur untuk tumbuhnya perilaku agresif terhadap dua kelas yang menghimpitnya, yang berujung kepada fasisme. “Ia (Hitler) adalah representasi khas kelas menengah bawah,” kata Fromm.[17]

Mengelaborasi Fromm, Franz L. Neumann juga berpandangan bahwa fasisme adalah gerakan kelas menengah.[18]Menurut Neumann, kelas menengah lama yang tinggal di pedesaan dihantam parah oleh krisis ekonomi kapitalis. Depresi menghancurkan modal mereka dan inflasi menguras tabungan mereka. Kesukaran-kesukaran tersebut menimbulkan ketakutan yang mendorong mereka ke dalam gerakan yang menjanjikan pemulihan fungsi ekonomi dan prestise sosial mereka. Di sisi lain, kelas menengah baru (para mekanik, teknisi, pengawas, dan pekerja kerah putih) yang tumbuh membengkak di tengah krisis juga mendorong penurunan pendapatan mereka, yang bahkan mencapai titik yang lebih rendah dari pekerja industrial terampil di sektor-sektor lain. Keadaan ini melahirkan pertentangan diametris antara prestise sosial dan status ekonomi di dalam psikologi kelas menengah. “Dikotomi antara status ekonomi dan prestise sosial ini menyediakan lahan subur untuk tumbuhnya Nazisme,” kata Neumann.[19]

Potensi reformis kelas menengah ditarik dari asumsi terhapusnya proletariat oleh perkembangan-kemajuan kapitalisme yang membuat jumlah kelas menengah membengkak luar biasa. Potensi reaksioner kelas menengah ditarik dari penafsiran atas fasisme yang tumbuh di tengah krisis parah kapitalisme. Teori-teori panic status kelas menengah sebagai salah satu pemicu tumbuh-kembangnya fasisme berkembang di dalam kajian-kajian sosiologi dan digunakan untuk menjelaskan perilaku-perilaku sosial agresif seperti Ku Klux Klan sampai Neo-Nazi. Tampaknya Pontoh, sadar atau tidak, juga berlandas pada teori panic status ini untuk menjelaskan atau mengafirmasi peran penting kelas menengah dalam gerakan post-fasis (pendukung Trump) Amerika, gerakan Hindutva di India, sampai Aksi Islamis 212.

Argumen tentang peranan penting kelas menengah dalam fasisme yang dihubungkan dengan latar belakang pekerjaan anggota Partai Nazi, saya kira, bermasalah. Problem dari data tersebut adalah hanya memuat jumlah dan persentase keanggotaan berdasarkan kelompok-kelompok pekerjaan tanpa menyertakan proporsinya terhadap keseluruhan populasi kelompok-kelompok pekerjaan tersebut. Hal ini menyulitkan untuk mengetahui, sebagai misal, apakah kelompok pekerjaan tertentu yang menjadi mayoritas dalam partai juga menggambarkan tendensi mayoritas dalam keseluruhan populasi? Sebaliknya, apakah kelompok pekerjaan tertentu yang minoritas dalam partai juga menggambarkan tendensi minoritas dalam keseluruhan populasi? Padahal, mengetahui proporsi keanggotaan kelas menengah terhadap keseluruhan populasi kelas menengah menjadi basis penting untuk menarik kesimpulan tentang peran penting kelas menengah dalam gerakan fasisme.

Di sisi lain, premis awal mengenai jatuhnya penghasilan kelas menengah (terutama pekerja kerah putih) dibandingkan pekerja manual industrial, menurut ilmuwan politik Richard Hamilton, tidak memiliki bukti empiris yang kuat. ‘Pendapatan riil banyak pekerja kerah putih meningkat saat krisis ekonomi memburuk,” ujar Hamilton.[20]Kecenderungan pendapatan riil yang dihitung antara 1929 sampai 1932 menunjukan bahwa pendapatan pekerja kerah putih naik sebesar 13 persen, sedangkan pendapatan pekerja manual turun sebesar tujuh persen. Asumsi pendapatan riil yang keliru, atau tidak didasarkan pada bukti empiris, membawa implikasi lemahnya penilaian keadaan ekonomi yang berkontribusi pada kecemasan mengenai prestise sosial.

Problem teori panic status kelas menengah yang berhubungan dengan ciri-ciri psikologis kelas menjadi meragukan saat dikonfirmasi dengan penelitian empiris tentang subyek oleh Theodor Adorno dan koleganya yang menyimpulkan bahwa sedikit hubungan yang konsisten antara latar belakang kelas dengan ciri-ciri psikologis personal yang mengarah ke karakter fasis.[21]

Kesulitan mendasar pendefinisian dan pendeskripsian kelas menengah sebagai kelas, sebuah kesatuan sosial yang kohesif, adalah karena tingginya tingkat heterogenitas di dalam kelas menengah itu sendiri. Kelas menengah terpilah dalam berbagai kelompok berdasarkan ciri-ciri ekonomi, sosiologis, psikologis, dan geografis yang berpengaruh pada kecenderungan orientasi politis dan ekspresi politis. Oleh karenanya, sanggahan Pontoh atas argumen Abdil Mughis Mudhoffir berdiri pada pijakan yang goyah, lemah. Dalam pandangan saya, orientasi politik kelas menengah yang cenderung berafiliasi dengan borjuasi tidak konsisten dengan watak ambivalen kelas menengah. Sedangkan generalisasi atas ekspresi politik kelas menengah yang didasarkan pada kondisi-kondisi objektif historis berpijak pada bukti-bukti empiris yang meragukan.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip pernyataan ironis James C. Scott yang merupakan pembelaan atas kutukan bertubi pada petty bourgeoisie di dalam panggung politik masyarakat kapitalis.

Borjuasi kecil, sebaliknya, bukan ikan bukan unggas (tidak jelas); mereka sebagian besarnya melarat, tapi kapitalismelarat. Dari waktu ke waktu mereka mungkin bersekutu dengan Kiri, tapi mereka adalah teman yang mudah dihembus angin. Secara mendasar persekutuan mereka tidak dapat diandalkan; kaki mereka berdiri di kedua markas, dan mereka berhasrat menjadi kapitalis besar.[22]***


Dwi Pranoto menulis esai-esai sosial-budaya


Catatan Akhir

[1] Sebetulnya dalam artikel tersebut Pontoh membagi ideologi kelas menengah menjadi tiga. Dua yang pertama berkait langsung dengan posisi kelas menengah dalam konflik antagonis antara proletariat dan kapitalis. Ideologi ketiga, tidak tercakup dalam bahasan saya, berkait pada kriteria psikologis subyek yang bertolak dari asumsi kondisi kerja kelas menengah yang relatif mengisolasi kelas tersebut dari interaksi dengan kelas pekerja dan kapitalis.

[2] Karl Marx & Frederick Engels, The Manifesto of the Communist Party, terjemahan Samuel Moore, hlm. 41, Progress Publishers, 1986. (terjemahan kutipan bahasa Indonesia oleh penulis).

[3] Ibid. hlm. 58. (terjemahan kutipan oleh penulis).

[4] Ibid. (terjemahan kutipan bahasa Indonesia oleh penulis).

[5] Coen Husain Pontoh, “Ekspresi Politik Kelas Menengah Sebagai Sebuah Kelas”, Indoprogress, 24 September 2021, https://indoprogress.com/2021/09/ekspresi-politik-kelas-menengah-sebagai-sebuah-kelas/ (diakses 26/9 2021, 16:11).

[6] Karl Marx, Theories of Surplus Value, Part I, hlm. 156-157, terjemahan Emile Burns, Progress Publishers, 1969. (terjemahan kutipan bahasa Indonesia oleh penulis).

[7] Perdebatan ini bukan hanya menghadap-hadapkan antara dua partai Marxis, Partai Sosial Demokratik Jerman dengan Partai Komunis Jerman, yang mempengaruhi pasang surut persekutuan keduanya. Tapi juga berlangsung sengit di dalam tubuh Partai Sosial Demokratik Jerman sendiri, sebagai partai berkuasa, yang mempengaruhi pengambilan kebijakan-kebijakan pemerintahan. Baca misalnya Ben Fowkes, The German Left and the Weimar Republic: A Selection of Documents, Brill, 2014.

[8] Pemikiran kaum revisionis mendapatkan momentumnya untuk mendominasi Partai Sosial Demokratik Jerman (SPD) dalam situasi kehancuran sosial, politik, dan ekonomi Jerman menyusul kekalahan total Adolf Hitler dalam Perang Dunia II. Rekonstruksi SPD di bawah kepemimpinan Kurt Schumacher harus menghadapi kondisi aktivitas politik yang lesu akibat bangkrutnya ekonomi pasca perang dan hilangnya jutaan pendukung SPD akibat pembagian negara Jerman menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur. Guna memulihkan kembali kebesaran SPD seperti sebelum perang, Kurt Schumacher merumuskan kembali tiga elemen penting ideologi sosial Marxisme: (1) motivasi sosialisme, (2) teori gerakan sosialis, dan (3) hubungan antara nasionalisme Jerman dengan sosialisme. Sebagai hasilnya, atas prakarsa Schumacher sendiri, SPD membatalkan identifikasi Partai dengan kelas pekerja dan kepentingan-kepentingan kelas pekerja. Pada 14 Januari 1946, di Stuttgart, Schumacher menantang kaum sosialis melaksanakan “tugas historis memenangkan dukungan kelas menengah”. Sasaran utamanya adalah “persekutuan besar antara pekerja kasar dan mental dengan kelas menengah dan para pemilik properti”. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai kebijakan SPD di bawah kepemimpinan Kurt Schumacher silahkan baca Stanley Vardys, “Germany’s Postwar Socialism: Nationalism and Kurt Schumacher (1945-52)”, dalam The Review of Politics, Vol.27, No.2, Cambridge University Press, 1965.

[9] Untuk penjelasan mengenai hilangnya kelas pekerja industrial (pekerja kasar dan tak terampil) silahkan baca Daniel Bell, The Coming of Post- Industrial Society, Basic Book, 1999.

[10] Untuk penjelasan lebih jauh mengenai konsep closure ini silahkan baca Max Weber,Economy and Society: an Outline of Interpretive Sociology, University of California Press, 1978; atau Raymond Murphy, Social Closure: The Theory of Monopolization and Exclusion, Clarendon Press, 1988.

[11] Barangkali salah satu eksponen revisionis mutakhir paling bersemangat adalah Erik Olin Wright. Dengan ambisius Wright berupaya mengintegrasikan analisis kelas Marxis, Weberian, dan sosiologis. Namun demikian, pendenifisian kelas menengah sebagai kelas versi Wright lebih dekat dengan definisi Weberian. Bertolak dari relasi dominasi dan eksploitasi yang mendinamisir relasi atribusi (kultural, pendidikan, dan geografis) individual, pendefinisan kelas menengah sebagai kelas digeser dari pondasi relasi produksi yang masih diacunya sebagai landasan pendefinisian kelas pekerja dan kapitalis. Untuk penjelasan lebih lanjut silahkan baca Erik Olin Wright, Understanding Class, Verso, 2015.

[12] Leon Trotsky, The Struggle Against Fascism in Germany, hlm.59, Pathfinder Press, Inc., 1977. (terjemahan kutipan oleh penulis).

[13] Daniel Guerin, Fascism and Big Business, terjemahan Mason Merr, Pathfinder Press, 2016. Baca terutama Bab “The Middle Classes as Fascism’s Mass Base, hlm. 53-83.

[14] Ibid. hlm. 54.

[15] Erich Fromm, Escape From Freedom, Avon Books, 1969. Baca terutama Bab “Psychology of Nazism”, hlm. 231-264.

[16] Ibid. hlm. 239.

[17] Ibid. hlm. 241.

[18] Franz L. Neumann, “Introduction” pada Daniel Lerner, The Nazi Elite, Stanford University Press, 1951.

[19] Ibid. hlm. VI.

[20] Richard F. Hamilton, Who Voted Hitler, hlm. 426, Princeton University Press, 1982.  Studi Hamilton ini menarik, membantah asumsi populer mengenai ketimpangan antara gaji dan upah, pendapatan pekerja kerah-putih lebih rendah dari pekerja manual/kasar, yang terlanjur kerap menjadi dasar kajian ekonomi, sosiologis, dan psikologis untuk mengutuk keterlibatan kelas menengah dalam gerakan fasisme. Melalui pemeriksaan dan pengolahan sejumlah data pendapatan, semisal data dari Liga Nasional Jerman untuk Pekerja Komersial, Hamilton menilai asumsi tersebut tidak didasarkan pada bukti-bukti empirik.

[21] Dalam studi klasik tentang psikologi subjek, Theodor Adono dan kolega-koleganya menyatakan bahwa preferensi politis personal mempunyai korelasi yang tidak konsisten dengan status keanggotaannya dalam sebuah kelompok sosial. Individu-individu kelas menengah–kelas menengah diasumsikan berideologi konservatif: berprasangka rasial, mendukung status quo/anti-perubahan,otoritarianisme–tidak otomatis bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai ideologis kelompoknya. Baca Theodor Adorno, Else Frenkel-Brunswik, Daniel J. Levinson, & R. Nevitt Sanford, The Authoritarian Personality, terutama hlm. 224-279, Harper and Brothers, 1950

[22] James C. Scott, Two Cheers for Anarchism, hlm. 86, Princeton University Press, 2012. (terjemahan kutipan bahasa Indonesia oleh penulis).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.