Luigi Nono: Komponis Kontemporer di Simpang Kiri Jalan

Print Friendly, PDF & Email

Illustrasi: Illustruth


AKTIVISME musik dari komponis kontemporer Italia, Luigi Nono (1924-1990), adalah salah satu contoh paling menarik dari hubungan antara musik dan politik pada paruh kedua abad ke-20. Nono dikenal sebagai komponis yang menggugat hegemoni borjuis. Sebagai seorang anggota Partai Komunis Italia atau Partito Comunista Italiano (PCI), dia menganggap musik sebagai alat untuk membentuk hegemoni sosialis. Nono sangat dipengaruhi pemikiran Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis asal Italia yang paling berpengaruh dan salah satu pendiri PCI pada 1921. Tema dan materi musik Nono bersumber dan berfokus pada realitas yang dihadapi oleh kelas pekerja.

Ketertarikan Nono pada politik kiri bermula saat dia bertemu dengan dua orang konduktor, Bruno Maderna dan Hermann Scherchen, yang kemudian menjadi sahabatnya. Nono bertemu Maderna pada 1946. Sosok tersebut berpengaruh besar pada teori dan praktik berkomposisi Nono, yang menjadi fondasi revolusioner dan estetikanya. Dua tahun berselang, 1948, Maderna mengenalkan Nono kepada Scherchen, seorang konduktor dan pemain viola asal Jerman. Scherchen merupakan musisi yang aktif dalam pergerakan politik kiri. Dialah yang mengenalkan Nono pada berbagai gerakan sayap kiri Eropa di luar Italia.

Pada 1950, berkat dorongan dua kawannya itu, Nono turut serta dalam Internationale Ferienkurse für Neue Musik(Kursus Musim Panas Internasional untuk Musik Baru) di Darmstadt, Jerman Barat (Impett, 2018). Kegiatan itu merupakan acara pertemuan tahunan komponis muda di Eropa untuk mempelajari musik serial, suatu metode penciptaan musik yang dipelopori oleh komponis Austria, Arnold Schoenberg, pada awal abad ke-20. Konsep itu kemudian dikembangkan oleh kedua muridnya, Anton Webern dan Alban Berg. Pasca perang, ide tentang musik serial dilanjutkan oleh komponis-komponis seperti Oliver Messiaen, Pierre Boulez, Karlheinz Stockhausen, dan Nono sendiri.

Prinsip utama musik serial adalah meniadakan hierarki yang berlaku dalam sistem diatonis. Sifat hierarkis pada musik memiliki tujuan agar suatu musik dapat dibangun di dalam satu tonalitas. Pada akhirnya, sebuah lagu atau musik, akan berdiri pada satu tangga nada tertentu, entah mayor atau minor. Serial dibuat untuk membongkar sistem itu. Premisnya adalah bahwa semua nada memiliki peran yang sama penting, dan sistem hierarki dapat membatasi berbagai kemungkinan baru di dalam musik. Untuk menghilangkan kesan tonalitas, dan pada gilirannya meniadakan hierarki di dalam musik, maka ia harus dibangun dalam satu susunan deret kromatik 12 nada.

Urut-urutan nadanya bisa diformulasikan sendiri oleh tiap komponis menjadi deret dasar. Urutan deret dasar itu dipilih bukan berdasarkan kebutuhan hierarkis, melainkan untuk memudahkan komponis memodifikasi susunan dasarnya dengan berbagai metode komposisi: dibalik secara vertikal (inversi), horizontal (retrogasi), dan berbagai metode balikan dan kombinasi campuran lainnya. Dengan begitu, konsep serial dapat mengakomodasi semua nada yang ada pada susunan kromatik tanpa terbentur batasan-batasan konvensional.

Musik yang dihasilkan melalui metode ini akan mengagetkan telinga awam. Melodinya tidak bergerak menuju satu lantunan yang mudah diidentifikasi, ritmenya sukar dicerna, dan dinamikanya bisa bergerak secara kontras tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang kemudian dicap orang sebagai musik kontemporer. Meski bunyinya terdengar kacau dan suram, musik serial sesungguhnya dibangun dengan rumusan serinci mungkin. Dan karena sifatnya yang hendak meniadakan tonalitas, musik serial juga dikenal sebagai musik atonal. Seiring waktu, serial juga dikembangkan: tidak hanya dibangun berdasarkan susunan deret 12 nada, tetapi juga deret dinamika, ritme, dan artikulasi.

Selain serial, abad ke-20 juga diwarnai dengan berbagai metode penciptaan musik baru seperti politonal, spektral, kompleksitas, hingga yang melibatkan perangkat komputer untuk pengolahan dan produksinya: musik elektronik, musik konkret, dan musik algoritma. Tiap-tiap cabang itu memiliki asal-muasal dan turunannya masing-masing. Hingga hari ini, abad ke-21, para komponis kontemporer di belahan dunia mana pun masih amat terpengaruh dengan berbagai terobosan tersebut, dan turut serta menjadi turunan, penerus, dan pengembangnya.

Kursus musik di Darmstadt juga merupakan sebuah upaya untuk membangun kembali kebudayaan musik yang porak-poranda akibat peperangan. Para komponis juga ikut terkena imbas. Tragedi itu menimbulkan trauma bagi banyak komponis Eropa. Di Austria, misalnya, Schoenberg, yang merupakan komponis berdarah Yahudi, harus hijrah ke Amerika untuk menyelamatkan diri. Lalu Webern mati ditembak tentara Amerika karena dikira seorang Nazi saat dirinya sedang asyik merokok di pinggir jalan. Namun, para komponis yang belajar di Darmstadt sebetulnya lebih mengedepankan aspek-aspek formalis ketimbang politis, kecuali Nono.

Pada 1952, Nono dan Maderna hendak bergabung ke PCI. Namun keduanya ditolak. Serialisme menjadi penyebab utamanya. PCI, seperti banyak partai komunis di dunia saat itu, berada di bawah kendali Uni Soviet. Serialisme telah dikecam sebagai musik borjuis dan formalis oleh berbagai lembaga seni di Soviet. Namun Nono ogah berputar balik. Dia bersikeras dan membujuk PCI cabang Venesia dengan berbagai ungkapan ketulusan dan komitmen mereka. Pimpinan partai akhirnya mengalah. Keduanya resmi bergabung.

Meski serialisme ditolak Soviet, Nono justru menganggap konsep itu sebagai ujung tombak musik avant-garde di Eropa. Bahkan serialisme dianggap Nono sebagai alat artistik yang mampu melawan hegemoni politik-budaya fasis dan borjuis yang masih belanjut. Ide Nono tersebut berangkat dari pemikiran Gramsci tentang hegemoni budaya. Para borjuis, misalnya, dalam pandangan Gramsci, mengembangkan hegemoni borjuis dengan menggunakan ideologi, bukan lewat kekerasan atau pemaksaan.

Ideologi itu direproduksi oleh media, universitas, dan lembaga keagamaan untuk “memproduksi persetujuan” (manufacturing consent), legitimasi, dan menyebarkan nilai dan norma palsu yang seakan-akan “masuk akal” bagi semua orang (Heywood, 1994). Berbeda dengan keyakinan Marxisme tradisional yang menempatkan ekonomi sebagai faktor dominan dalam kondisi menuju revolusi, Gramsci menempatkan faktor-faktor moral, intelektual, dan kultural sebagai aspek-aspek yang juga penting (Prastowo, 2008).

Untuk menantang hegemoni tersebut, Nono percaya bahwa seniman perlu melakukan intervensi dalam laku-laku artistiknya. Ia perlu menyelami realitas yang dihadapi oleh kelas pekerja agar karya seninya jadi bernafaskan politik proletariat. “Hubungan antara seniman dan massanya (khususnya kelas pekerja) tidak boleh lagi seperti hubungan antara profesor dengan muridnya, antara inisiator dengan orang awam. Para seniman itu harus terlebih dahulu menemukan diri mereka sendiri pada asal-muasal karya mereka,” kata Nono di dalam bukunya, Ecrits (1993).

Visi ini tercermin dalam karya-karya Nono. Il canto sospeso (1956), misalnya, sebuah kantata untuk solo vokal, paduan suara, dan orkestra, menggambarkan semangat itu. Teks dalam karya tersebut dibangun berdasarkan kumpulan surat perpisahan yang ditulis oleh para pejuang antifasis yang kemudian dieksekusi Nazi. Surat-surat itu dihimpun oleh Giulio Einaudi, seorang tokoh penerbitan buku yang begitu terkenal di Italia, lalu diterbitkan pada 1954 dengan judulLettere di condannati a morte della Resistenza europea”.

Pada 1961, karya opera besar pertama Nono, Intolleranza 1960, dipentaskan untuk pertama kalinya di Teatro La Fenice di Venesia. Opera ini bercerita tentang seorang buruh migran yang hendak mencari pekerjaan di wilayah selatan Italia. Namun, ia justru ditangkap, dipenjara, dan mengalami penyiksaan di kamp konsentrasi Nazi. Nono juga memasukkan berbagai slogan-slogan politik sayap kiri ke dalam karya itu. Pada pementasan perdananya, pertunjukan harus terganggu oleh teriakan-teriakan dari sekelompok neo-fasis yang menyusup ke acara tersebut.

Intolleranza 1960 juga merupakan karya besar pertama Nono yang memanfaatkan media-media baru seperti video, gambar, teks, dan audio elektronik. Selama masa produksi, Nono mulai mensintesiskan pemikirannya tentang bentuk dan isi. Ia merefleksikan ingatan masa kecilnya tentang lanskap Gereja Katedral Basilica di San Marco. Ia juga bereksperimen tentang tata letak dan ruang fisik pertunjukan, serta penggunaan berbagai atribut, dan menekankan aspek politisnya.

1961 juga merupakan tahun ketika Nono kecewa terhadap rekan sejawatnya, Hans Werner Henze, seorang komponis Jerman. Pada akhir tahun itu, Henze tengah melakukan pementasan ketiga karya opera terbarunya, Elegy for Young Lovers, di München, Jerman Barat. Baru setengah perjalanan, Nono sudah angkat kaki dari kursi penonton. Pada acara pesta usai pementasan, Henze bertanya kepada Nono mengapa dia bersikap seperti itu. Nono menjawabnya dengan sebuah bantingan meja makan yang turut menghancurkan sebuah porselen mahal. Sebagai teman lama, Henze mafhum dengan tingkah Nono: opera terbaru Henze itu tidak memiliki konten politik yang eksplisit (Mann, 2019).

Karya Nono lain yang menarik untuk disimak adalah La fabbrica illuminata (1964). Karya ini dibuat di dalam sebuah rekaman tape yang berisi berbagai fragmen suara dari aktivitas di pabrik baja, yang dihimpun oleh Nono dan Giuliano Scabia, seorang dramawan. Mereka pergi ke pabrik baja di kawasan Cornigliano, Genoa, untuk secara langsung mengumpulkan berbagai rekaman suara dan frasa yang diucapkan para pekerja, dan berbagai bunyi dari serangkaian proses produksi. Materi-materi itu kemudian diolah Nono di sebuah studio fonologi bernama Radio Audizioni Italiane(RAI) di Milan.

Nono memproses materi-materi tersebut secara elektronik dan menambahkan beberapa bunyi sintesis elektronik, yang dipadu dengan lantunan improvisasi vokal seorang penyanyi mezzo-soprano bernama Carla Henius, dan pada beberapa bagian karya juga diisi oleh sekelompok paduan suara. Melalui karya ini, Nono hendak menggambarkan bagaimana keras dan bisingnya situasi kerja di pabrik baja. Namun tanpa diduga, RAI yang telah mendanai proyek karya ini sejak awal menarik karya ini sebelum pementasan perdananya pada 1964. Karya tersebut dianggap mengandung muatan yang terlalu politis.

Karya lain yang memiliki kemiripan medium adalah Für Paul Dessau (1974). Pada karya ini Nono menggunakan rekaman pidato dari para pemimpin politik kiri: Vladimir Lenin (1870– 1924), Ernst Thälmann (1886–1944), Patrice Lumumba (1925–1961), Che Guevara (1928–1967), dan Fidel Castro (1926–2016). Nono mengambil beberapa frasa dari tiap rekaman itu dan menjadikannya sebagai materi utama karya tersebut. Potongan-potongan rekaman tersebut kemudian dikombinasikan dengan berbagai potongan musiknya: Il canto sospeso (1956); Non consumiamo Marx (1969); dan Como una ola de fuerza y luz (1971-1972).

Nono menerapkan metode stereo agar bunyi komposisi tersebut bisa keluar dari beberapa kanal pengeras suara. Dia menyalurkannya ke tiga kanal berbeda: kiri, tengah, dan kanan. Kanal tengah dikhususkan untuk bunyi potongan musiknya; kanal kiri dikhususkan untuk potongan pidato Lenin pada 1919 (dikutip dari What is Soviet Power? dan An Appeal to the Red Army) dan pidato Che Guevara pada 1963 (dikutip dari Solidarity with South Vietnam); dan kanal kanan dikhususkan untuk potongan pidato Thälmann di Moskow pada 1928, pidato terakhir Lumumba pada 1960, dan pidato Castro, Second Declaration of Havana, pada 1962.

Melalui karya-karyanya, Nono hendak membawa seni lebih dekat dengan realitas dan membukakan suatu dimensi baru. Dia menganggap aktivisme musik yang dilakukannya merupakan salah satu upaya untuk melawan penindasan dan ketidakadilan, sekaligus alat vital untuk membentuk hegemoni sosialis. Lebih jauh, menurut Nono, menciptakan musik untuk gerakan adalah kontribusi yang setara dengan partisipasi dalam demonstrasi, bentrok dengan polisi, atau bahkan perjuangan bersenjata (Velasco-Pufleau, 2018).

Namun, memasuki dekade 1980-an, musik Nono mengalami perubahan signifikan. Musiknya tidak lagi agitatif, melainkan tenang, reflektif dan kontemplatif. Meski tetap kontemporer dalam hal penyusunan komposisinya, unsur politik revolusionernya tidak segamblang karya-karya dari dekade-dekade sebelumnya. Kenyataan terus berubah dan Nono turut mengubah sikapnya sendiri (Mack, 2014). Pada fase ini, musik Nono terdengar lebih lembut dan statis, dan cenderung mengedepankan aspek-aspek musik instrumental ketimbang fase sebelumnya.

Konten revolusioner dalam musik Nono tua pun absen. Tapi, ini tidak disebabkan karena kendornya komitmen politis Nono, melainkan karena momen sejarah pada saat itu tidak memiliki potensi revolusioner seiring dengan kian menjamurnya neoliberalisme (Mann, 2019). Nono tetap menjadi anggota aktif PCI sampai hari meninggalnya pada 8 Mei 1990. Pada hari itu, kematian mendatangi Nono di rumah masa kecilnya di Zaterre al Ponte Longo, Venesia. Usianya saat enam puluh delapan tahun.

Nono telah dianggap sebagai salah satu komponis avant-garde terpenting abad ke-20. Bersama rekan-rekannya di Darmstadt, dia turut mengembangkan dan mengupayakan berbagai bahasa musikal baru agar dapat mengakomodasi keberagaman ide dan pengalaman di dalam tatanan dunia yang juga baru. Bagi banyak seniman kiri di dunia, Nono dianggap telah merancang suatu kerangka kerja tentang bagaimana merumuskan, menciptakan, dan menilai seni yang memiliki komitmen dan keberpihakan politis terhadap perjuangan kelas.***


Almer Sidqi adalah alumnus jurusan musikologi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia meminati kajian musik dan politik. Sekarang tinggal di Jakarta, bekerja sebagai jurnalis.


Kepustakaan

Crehan, Kate. Gramcis’s Common Sense. London, Duke University Press, 2016.

Heywood, Andrew. Political Ideas and Concepts: An Introduction. London, Macmillan, 1994.

Impett, Jonathan. “Confronting Modernism.” Routledge Handbook to Luigi Nono and Musical Thought. London, Routledge, 2021.

Mack, Dieter. Sejarah Musik Jilid 4. Yogyakarta, Pusat Musik Liturgi, 2014 (cetakan ketujuh).

Mann, Jack Albert. “A Musician for the Class Struggle.” Jacobinmag.com (2019). Diakses 18 Novmber 2021. https://www.jacobinmag.com/2019/07/luigi-nono-italian-composer-communist.

Prastowo, Yustinus. “Pemikiran Gramsci tentang Negara dan Civil society.” Indoprogress.com (2018). Diakses 18 November 2021. https://indoprogress.com/2008/07/pemikiran-gramsci-tentang-negara-dan-civil-society-2-selesai/.

Velasco-Pufleau, Luis. “On Luigi Nono’s Political Thought.” Music and Politics Journal, Volume XII, Issue 2, Summer 2018.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.