Breakroom adalah Cara Kapital Mengajarkan Kita Marah

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


SIAPA bilang amarah tak bisa berbuah keuntungan?

Ada masanya kelas menengah identik dengan sekelompok orang yang tidak suka kericuhan dan gandrung harmoni. Mereka kerap dipandang sebagai penghamba orde, pencari wisdom, pecandu mindfulness. Orang terdidik, demikian yang sering kita dengar, tidak semestinya sembrono mengumbar emosi. Hidup yang baik haruslah sesuai tata krama. Belajarlah menjadi stoik, sebab itu akan membantumu berlayar di dunia yang makin kacau.

Itu dulu, zaman ketika kita diminta percaya bahwa segala teater horor abad ke-20 sudah tutup tirai pada 1989. Komunisme ala Soviet habis. Tembok Berlin runtuh. Akhir Sejarah sudah tiba. Teknokrasi menggantikan ideologi. Dialog menggeser konfrontasi. Semua partai bergerak ke tengah. Dengan pemberlakuan pasar bebas di berbagai belahan dunia, mobilitas kelas adalah soal waktu. Partai atau serikat tak penting lagi bagi proletariat; pekerja lebih butuh stock options di perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja.

Tapi dekade 1990-an sekadar menanam bara di dalam sekam. Selama dua dasawarsa berikutnya warga dunia terhenyak dari mimpi Akhir Sejarah: dunia membara akibat kampanye teror dari kelompok-kelompok sipil dan negara, pengungsi di mana-mana, siklus krisis kapitalisme semakin pendek, dan akhirnya tibalah pandemi. Berkebalikan dengan segala spirit stoisisme dekade 1990-an, kemarahan adalah norma dua puluh tahun terakhir.

Pada 2008, Jepang terkena imbas krisis ekonomi dunia. GDP negeri sakura menurun. Ekspor anjlok. Angka pengangguran bertambah meski tidak seburuk Amerika Serikat yang jadi biang kerok krisis. Pada tahun yang sama, berdirilah The Venting Place di Tokyo.

Konsumen The Venting Place, lapor Telegraph, boleh memilih barang mana saja yang akan mereka hancurkan. “Harganya bisa 200 yen untuk cangkir kecil sampai 1.000 yen untuk piring besar.”

“Hidup sangat susah. Banyak hal membuat kita cemas. Aktivitas seperti ini menyegarkan. Saya bisa menjalani hari esok,” ujar Masaki Ogaware, seorang salesman, kepada Telegraph.

Konsep The Venting Place, yang muncul dari pengalaman resesi Jepang, kelak ditiru di berbagai kota lain di dunia, termasuk Breakroom di Jakarta yang belakangan ramai dibicarakan.

Di alam neoliberal, apapun termasuk kemarahan bisa mendatangkan untung. Partai-partai sayap kanan di banyak negara mendulang suara besar dengan menjual kemarahan terhadap minoritas. Para politisi Indonesia memimpikan elektabilitas yang lebih besar, lalu mereka mengadakan sidak dan marah-marah kepada bawahan di depan kamera.

Kaitan erat kemarahan dan politik bukan barang baru. Kumpulan esai Pankaj Mishra berjudul Age of Anger (2017), misalnya, mendokumentasikan bagaimana dunia modern hari ini dibentuk dan ditempa oleh amarah, mulai dari Perang Dunia I yang melahirkan black shirts di Italia, imigran terasing yang bergabung dengan kelompok teroris, hingga para pemimpin dunia yang berambisi merombak tatanan global dengan fondasi yang lebih brutal.

Tentu pebisnis The Venting Place berharap cuan dari orang-orang marah. Sayangnya, saluran kemarahan bukan sesuatu yang netral. Tiap kanal kemarahan mengajarkan kita cara yang khas untuk mengekspresikannya.

Ressentiment (rasa dengki, benci, dan bermusuhan) yang digali Mishra dari Rousseau—yang disebutnya sebagai “indignant outsider in Parisian salons”—lahir dari dunia yang kacau balau akibat kapitalisme industrial. Kapitalisme punya janji inklusif, namun dalam praktiknya mengasingkan sebagian besar orang dan memupuk kebencian dan amarah massal.

Tapi, pelbagai ekspresi marah itu tak selamanya menyasar ke jantung eksploitasi terhadap manusia dan alam. Partai-partai kiri memang mekar sepanjang abad ke-20 dan mengarahkan ressentiment kepada pemilik modal. Namun, sebagian orang lainnya memilih menyalurkan amarah sebagai pengikut Mussolini, dan sebagian lagi menjadi Timothy McVeigh atau Noordin M. Top. Yang satu ingin mendirikan Negara Islam, yang lain ingin mengusir Muslim dan membuat India menjadi sehindu-hindunya.

Semua kemarahan tersebut berkembang menjadi ideologis. Ia menjadi bahan bakar untuk berbagai proyek sosial yang melibatkan orang banyak, serta benih tatanan politik yang dimimpikan bersama—terlepas dari jenis dan kualitasnya. Kemarahan bersemayam di dalam individu. Tapi dalam ideologi, ia menjadi milik khalayak.

Dan inilah yang membuat Breakroom berbeda dari proyek-proyek ideologis: ia mengindividualisasikan kemarahan dengan tarif Rp50.000 hingga Rp100.000 per sekian menit. Orang-orang yang setiap hari diinjak di tempat kerja bisa menghempaskan amarah dengan memecahkan piring dan perabot rumah tangga lainnya agar, sebagaimana dikatakan sang salesman Jepang, “bisa menjalani hari esok.”

Kita sudah sangat sering menyimak berbagai macam kisah tentang kekerasan massal di ruang publik. Penembakan massal di sekolah-sekolah dan kantor-kantor di Amerika Serikat misalnya. Atau kerusuhan dan penjarahan pada Mei 1998 di Jakarta. Meski melibatkan faktor eksternal—misalnya bisnis senjata api di AS atau elemen-elemen rezim lama dalam kerusuhan di Indonesia—orang-orang marah ini pada dasarnya menghendaki spontanitas. Orang berharap kemarahannya lekas tuntas begitu ia bertindak—dengan cara apapun, dengan sponsor siapapun.

Tempat seperti Breakroom menawarkan kelekasan semacam itu tanpa darah orang lain—dan tanpa telinga orang lain.

Di dunia yang lebih lumrah, ketika Anda marah, orang lain bisa bersimpati dan boleh jadi merasakan kegelisahan yang sama. Dari sana bisa muncul percakapan, pertemanan, perkumpulan, dan mungkin juga aksi-aksi kolektif.

Situasinya berbeda di wahana penyalur kemarahan yang terkontrol seperti Breakroom. Pada akhirnya si orang marah mungkin akan lebih siap menjalani hari baru, atau bisa juga semakin akrab dengan pentungan dan akhirnya terbiasa memecahkan masalah dengan bahasa kekerasan. Yang jelas, tak ada yang mendengarnya. Kemarahannya pun menjadi urusan privat.

Bayangkan jika kelak banyak perusahaan menyediakan fasilitas marah-marah di tempat kerja. Anda, yang gajinya stagnan, tidak diharapkan untuk mogok dan protes. Anda akan dituntun untuk masuk ke sebuah ruangan di mana Anda akan menghancurkan puluhan printer. Bahkan foto bos Anda, ironisnya, mungkin juga akan dipajang dan perusahan memperbolehkan Anda untuk menggebukinya sampai habis berkeping-keping. Toh, itu lebih baik ketimbang Anda betul-betul memukuli atasan yang setiap hari merecoki kerja-kerja Anda.

Gambaran ini bukannya mustahil. Pada 1990, tidak ada orang yang membayangkan bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan mengurusi suasana batin pekerjanya dengan membuat program mindfulness untuk karyawan. Kini mindfulness adalah mantra yang lumrah keluar dari mulut CEO. Hasilnya adalah pembiasaan solusi instan: jika Anda mengeluh karena dibayar rendah untuk jam kerja yang panjang, Anda cukup meditasi. Jika Anda masih menggerutu bahkan marah, itu artinya Anda bukan pribadi yang mindful, tidak cocok dengan gambaran warganegara yang rasional, kosmopolit, terpelajar, mawas diri, dan mampu menjadi tuan bagi diri sendiri.

Baiklah, ujar si bos. “Sudah marah-marahnya? Setelah ini Bapak dan Ibu semua perlu belajar financial planning.” ***


Bagus Anwar adalah pemerhati sosial politik


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.