Pandemi COVID-19: Hidup-Mati Masyarakat di Tangan Pasar

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


Sudah banyak tulisan dimuat di IndoProgress yang membahas COVID-19. Suwardana dengan cermat menjabarkan kegagapansistem kesehatan Indonesia menghadapi krisis pandemi COVID-19.[1] Ada pula yang membahas respons negara sosialis terhadap pandemi. Francesco Hugo, misalnya, mengulas bagaimana sistem kesehatan publik di Kuba lebih siap menghadapi pandemi.[2]Tulisan ini akan membahas bagaimana kecenderungan pemerintah Indonesia gagal menghadapi pandemi karena memilih jalan ekonomi neoliberal. 


Mengingat Kembali Neoliberalisme

Untuk mengidentifikasi neoliberalisme di Indonesia, bahkan dalam situasi genting seperti pandemi, ada baiknya kita mengingat kembali sejarah dan karakteristik neoliberalisme. Neoliberalisme sudah berlangsung selama setengah abad setelah pertama kali dikemukakan oleh sekelompok intelektual yang terdiri dari ekonom, filsuf, dan sejarawan, yang menamakan dirinya the Mont Pelerin Society.[3] Adalah Hayek, Friedman, Mises, dan kawan-kawannya yang berpendapat bahwa kebebasan berpikir dan berpendapat terancam oleh merosotnya kepercayaan terhadap hak milik pribadi dan persaingan pasar. Dengan kata lain, kesejahteraan manusia (human well-being) dapat ditempuh dengan kebebasan berbisnis. Harvey menjelaskan kelompok-kelompok ini menentang teori-teori intervensionis negara dan kebijakan Keynesian yang mendukung subsidi. Mereka memandang negara memiliki keberpihakan atas kepentingan-kepentingan tertentu sehingga tidak akan mampu mengelola atau merespon gejala-gejala pasar.[4] Sebaliknya, peran negara justru mendukung praktik-praktik tersebut dengan mengatur struktur dan fungsi aparat negara, hukum, lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang berpihak pada pasar.[5] Harvey juga mengemukakan bahwa dalam sistem neoliberal, jika pasar tidak ada, seperti pada sektor-sektor publik yang berada di tangan negara, termasuk pendidikan, kesehatan, pengelolaan air dan jaminan sosial, maka negara harus memfasilitasi terciptanya pasar di sektor-sektor tersebut. Dengan kata lain, pemerintah harus memberi izin privatisasi atau hak milik pribadi masuk ke sektor-sektor publik.[6] Kapital harus dapat bergerak secara bebas antar sektor dan antar daerah.[7] Jika ada sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya, hal itu haruslah dimediasi lewat jalur hukum: pengadilan.[8]


Eksploitasi di Tengah Kesusahan Rakyat

Merujuk karakteristik di atas, kita dapat menemukan setidaknya beberapa aktivitas kapitalis neoliberal dalam wajahnya paling buruknya, yang mendudukkan pemerintah dalam situasi harus berpihak pada kapital meski dalam situasi darurat.

Pertama, perihal kesehatan publik. Seperti yang telah kita ketahui, sistem kesehatan Indonesia yang seharusnya menjadi layanan publik, secara berangsur-angsur diserahkan kepada kapital dan dibiarkan bekerja dalam logika akumulasi kapital. Hal ini tidak hanya diindikasikan oleh privatisasi dan menjamurnya bisnis-bisnis layanan kesehatan, tetapi juga dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang merevisi sederet Undang-Undang berkaitan dengan kesehatan, di antaranya Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial, Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Tenaga Kesehatan, dan Undang-Undang Pendidikan Dokter.[9] Dengan Omnibus Law ini, pemerintah membantu menciptakan iklim serta memudahkan jalan bagi pemilik kapital untuk mendirikan rumah sakit swasta dan bisnis-bisnis kesehatan lainnya demi mencapai surplus maksimal.[10]Peningkatan surplus tentunya dilakukan dengan menekan kelas pekerja (lewat pemangkasan upah dan pembatasan akses kepada layanan sosial, misalnya) dan memprioritaskan pelayanan bagi mereka yang mampu membayar. 

Sistem kesehatan kapitalis jelas bekerja terbalik dengan sistem kesehatan tanpa kelas yang diaplikasikan di Kuba, yang berpusat pada caring dan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat luas, termasuk kepada mereka yang berada di area-area pelosok. Sistem kesehatan Indonesia yang kapitalistik berorientasi hanya pada peningkatan surplus, tidak peduli situasinya segenting apa. Sistem inilah yang melahirkan banyak petugas kesehatan yang berjuang mengatasi pandemi tanpa dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD) yang memadai. Sistem ini juga yang membuat dokter dan perawat kelelahan, kewalahan, dan burnout menangani pandemi. 

Memang, logika kapitalis yang berpijak pada argumen bahwa harga diperkenankan naik setinggi mungkin ketika angka permintaan melonjak tinggi, adalah logika yang sama sekali tidak bisa kita andalkan dalam situasi krisis, termasuk pandemi COVID-19. Logika ini dipakai oleh para pengusaha oksigen dan obat-obatan yang bisa kita temui dalam marketplace ‘kesayangan’ anda.[11] Tinggal sebut si oren, si ijo, atau si merah. Kenaikan harga bahkan menyentuh angka 900%.[12] Hal yang sama juga dimanfaatkan oleh segelintir orang yang memiliki usaha kremasi. Di tengah permintaan yang tinggi seiring meroketnya kasus kematian karena COVID-19, beberapa pebisnis kremasi menaikkan harga jasanya berkali-kali lipat, dari Rp2,5 juta rupiah menjadi Rp65 juta rupiah.[13]

Lebih lanjut, corak kapitalis juga dominan ke dalam perusahaan-perusahaan milik negara atau biasa dikenal dengan BUMN. Menterinya yang juga pengusaha, Erick Thohir, berkolaborasi dengan Menteri Kesehatan saat ini, Budi Gunadi (juga seorang pengusaha), melalui perusahaan farmasi Kimia Farma membuat skema vaksin berbayar dengan mengimpor 15 juta dosis vaksin Sinopharm. Kimia Farma menarik tarif Rp375.000 untuk dua kali suntikan.[14] Vaksin ‘gotong royong’ ini diklaim memiliki efektivitas 78%, sedikit lebih tinggi dari vaksin yang banyak tersedia buat masyarakat. Vaksin berbayar ini difasilitasi pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 atas perubahan Permenkes sebelumnya tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19.[15] Awal Agustus 2021, Menteri Budi Gunadi kemudian mencabut Permenkes tentang vaksin bayar tersebut[16] setelah Koalisi Sipil melayangkan somasi yang ditujukan kepada dirinya.[17]  

Tingkah Kimia Farma seperti ini bukan kali pertama. Sebelumnya, Ia juga terlibat dalam negosiasi sengit dengan Kementerian Kesehatan terkait produksi obat Antiretroviral (ARV) yang diperuntukkan bagi orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Kimia Farma dan Indofarma saat itu bersikeras menarik tarif produksi ARV empat kali lipat lebih tinggi dibanding harga pasaran.[18] Konflik ini menyebabkan stok ARV di beberapa daerah sempat kosong, sehingga berdampak pada kesehatan dan kualitas hidup 600 ribu nyawa manusia. 

Kedua, di tengah kekacauan ini, kapitalis juga masih terus mencari akumulasi kapital melalui proyek-proyek pembangunan pemerintah. Terdapat setidaknya 41 proyek yang masuk dalam daftar strategis nasional 2020–2024 pemerintah, termasuk 10 destinasi wisata ‘Bali Baru’, pembangunan 31 smelter, energi terbarukan berbasis kelapa sawit, Ibu kota negara, hingga pembangunan waduk dan bendungan.[19]

Pembangunan-pembangunan ini jelas dihujani protes dari warga lokal. Pembangunan sirkuit Mandalika di Nusa Tenggara, misalnya, dengan atribut hukum dan aparat pemerintah melakukan penggusuran secara paksa terhadap masyarakat adat Sasak di dusun Ai Bunut, Lombok Tengah. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan masyarakat setempat menolak digusur dari kampung halamannya sendiri. Warga menolak lahannya dirampas dengan ganti rugi apapun karena mereka telah tinggal dan hidup di tanah tersebut selama puluhan bahkan ratusan tahun.[20] Perampasan tanah masyarakat adat Sasak pun diwarnai dengan intimidasi, kekerasan, dan ancaman.[21]Masalah di salah satu proyek wisata ‘Bali Baru’ ini sempat dibawa ke ranah hukum. Tapi, apalah fungsi hukum dalam tatanan neoliberal? Toh, warga kalah di pengadilan. 

Hal serupa juga dialami oleh masyarakat adat di Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur. Pemerintah nekat menjalankan proyek ‘Jurassic Park’ di Taman Nasional Komodo. Warga setempat yang hidup dan menjaga Komodo serta ekosistemnya secara turun menurun menolak keras pembangunan tersebut.[22] Foto yang menampilkan seekor Komodo yang sedang menghadang truk pun berhasil membuat pembangunan di area tersebut ditutup untuk umum.[23] Meski mendapat kecaman dari masyarakat (dan juga UNESCO) atas pembangunan yang mengancam lingkungan dan ekosistem komodo, pemerintah tetap ngotot. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang lagi-lagi juga seorang pengusaha, Sandiaga Uno menampik tuduhan tersebut. Pada 6 Agustus 2021, dalam akun twitter resminya Sandiaga mengatakan pembangunan Destinasi Super Prioritas Labuan Bajo telah mengedepankan aspek keberlanjutan dan tidak ketinggalan juga: aspek penciptaan lapangan kerja.

Baru-baru ini warga desa Wadas sedang berjuang di ruang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menggugat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, terkait pembangunan bendungan dan tambang andesit di Wadas. Pola yang sama, segelintir orang memaksa warga setempat keluar dari tanah mereka atas nama pembangunan yang konon dapat menciptakan efek ‘menetes ke bawah’,[24] menghapus kemiskinan, dan membawakan kesejahteraan. Cerita tentang warga Wadas, baik perempuan, orang muda, dan laki-laki, berbondong-bondong menjaga tanah mereka mati-matian dapat dilihat melalui kanal instagram di @wadas_melawan.


Warga Bantu Warga: Keterbatasan dan Potensi

Di tengah terhimpitnya masyarakat atas segala semua kesusahan yang dihasilkan oleh neoliberalisasi, tak ada pilihan selain menggalang kekuatan komunal. Selama pandemi, warga mulai melakukan inisiatif penggalangan dana, membangun dapur-dapur umum, dan menyediakan secara gratis paket-paket obat isoman dan alat pelindung diri (APD). 

Namun demikian, tanpa mengurangi rasa hormat atas nilai penting gerakan ini serta semangat juang kepedulian komunal, gerakan masyarakat Warga Bantu Warga bisa terjebak dengan karakteristik neoliberalisme yang saya sebutkan di awal. Sebab, ia seolah mengafirmasi bahwa persoalan hak-hak ekonomi bukan urusan pemerintah melainkan individu/masyarakat itu sendiri, bahwa masyarakat punya kebebasan untuk memutuskan dan bertanggungjawab mengurus hidupnya melalui pasar. 

Selain itu, alih-alih mengejar redistribusi kekayaan yang sebenarnya, dari segelintir orang di pucuk kelas atas sana, gerakan solidaritas ini berasal dari kantong-kantong masyarakat bawah yang juga sedang berjuang di tengah situasi yang serba sulit ini. Kelompok buruh misalnya, di tengah situasi kerja yang dibuat sangat fleksibel dan upah yang semakin kecil karena kerja paruh waktu saat pandemi, mereka bersolidaritas membantu buruh lain yang mengalami kesulitan lebih besar.

Dilihat dari perspektif neoliberal, praksis gerakan solidaritas semacam ini mengukuhkan keputusan pemerintah yang pada awal masa pandemi menghindari kebijakan lockdown/karantina wilayah. Presiden Jokowi memilih terminologi PSBB atau PPKM dan terminologi lain, asal bukan karantina wilayah/lockdown, agar terhindar dari tanggung jawab pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dan makanan hewan ternak selama masyarakat melakukan karantina wilayah. Kewajiban pemerintah ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Wilayah.[25]

Tak heran jika berbagai inisiatif yang didasari ketulusan warga ini mendapatkan apresiasi dari Pemerintah.[26] Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) bahkan memberikan penghargaan kepada inisiatif-inisiatif pelayanan publik di tengah COVID-19. Terdapat 144 inovasi berasal dari masyarakat sipil yang Kemenpan-RB catat pada 2020. 

Di sisi lain, penting kemudian untuk melihat sikap Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) yang dengan kritis menolak gimik dari pemerintah tersebut. Mereka menolak diberikan penghargaan oleh Kemenpan-RB. Safiatudina, perwakilan SPJ, mengatakan enggan menerima penghargaan tersebut karena gerakan SPJ hadir sebab pemerintah dinilai tak mampu memberikan akses kesehatan, pangan dan kesejahteraan masyarakat.[27] Sebuah sikap kritis yang juga tidak banyak ditemukan saat ini.

Namun, di luar segala keterbatasannya, inisiatif Warga Bantu Warga dan solidaritas komunal sejenis, memiliki potensi besar untuk menjadi momen pembangunan kesadaran kelas sehingga menjadi kekuatan politis baru. Jika dicerabut dari kerangka survivalisme, inisiatif-inisiatif ini bisa menjadi instrumen politik dalam kerangka praksis yang lebih luas dan berjangka panjang, misalnya menopang kehidupan sehari-hari saat berlangsung pemogokan massal. Inilah kemudian yang menjadi pekerjaan rumah bersama yang lebih besar: merumuskan kembali aksi-aksi kolektif yang bertaji dan mampu bertahan lama dengan instrumen-instrumen politik yang telah ditemukan dan diujicobakan. Benar bahwa sistem kapitalis tidak bisa diandalkan sama sekali terlebih dalam situasi krisis. Oleh karenanya, dibutuhkan upaya dan refleksi lebih lanjut untuk merumuskan strategi yang lebih sistematis untuk keluar darinya. 

Pemerintah sudah memilih untuk melayani kepentingan neoliberal. Ini tidak hanya terlihat dari sikapnya yang menghindari kebijakan lockdown/karantina wilayah, tetapi juga dari pilihan menempatkan orang-orang pro-investasi daripada pakar kesehatan publik sebagai pucuk pimpinan Satuan Tugas COVID-19. Misalnya, Airlangga Hartanto dan Luhut Pandjaitan.

Pandemi mengajarkan kita betapa keroposnya kapitalisme bahkan dalam wajah barunya: neoliberalisme. Sikap pemerintah untuk memilih berpihak pada akumulasi kapital alih-alih memenuhi kebutuhan masyarakat justru memperlihatkan kegagalan pemerintah yang paling fatal. Ia membiarkan 100 ribu orang meninggal dan jutaan keluarga terkatung-katung nasibnya. Inilah gambaran masyarakat yang dijanjikan neoliberalisme akan sejahtera dan bebas di tangan pasar. 


Astried Permata, Koordinator Umum Pamflet 2020-2022


[1] Gede Ngurah Rsi Suwardana, “Kegagalan Sistemis Indonesia Menghadapi Pandemi”, IndoProgress, diakses melalui https://indoprogress.com/2021/07/kegagalan-sistematis-indonesia-menghadapi-pandemi/

[2] Francesco Hugo, “Korona dan Kuba”, IndoProgess, diakses pada 6 Agustus 2021, melalui https://indoprogress.com/2020/04/korona-dan-kuba/

[3] David Harvey, “Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis”, Resist Book, Yogyakarta, 2009, hal. 32 – 33. 

[4] Ibid.

[5] David Harvey, “A Brief History of Neoliberalism”, Oxford University Press, New York. 2005

[6] David Harvey, “Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis”, Resist Book, Yogyakarta, 2009

[7] Ibid.

[8] Ibid. 

[9] Reza Sulaiman, “Bukan Hanya Buruh, Sektor Kesehatan Juga Terdampak Berat UU Cipta Kerja”, Suara.com, diakses pada 6 Agustus 2021, melalui https://www.suara.com/health/2020/10/09/205025/bukan-hanya-buruh-sektor-kesehatan-juga-terdampak-berat-uu-cipta-kerja?page=all

[10] Afandi, “Pengaturan Rumah Sakit dan Kesehatan di Omnibus Banyak yang Belum Selaras”, Muhammadiyah, diakses pada 6 Agustus 2021, melalui https://muhammadiyah.or.id/pengaturan-rumah-sakit-dan-kesehatan-di-omnibuslaw-banyak-yang-belum-selaras/

[11] Thomas Mola, “YLKI Desak Pemerintah Awasi Harga Obat, Vitamin, dan Oksigen”, Bisnis.com, diakses pada 6 Agustus 2021, melalui https://ekonomi.bisnis.com/read/20210711/12/1416258/ylki-desak-pemerintah-awasi-harga-obat-vitamin-dan-oksigen

[12] Dony Indra Ramadhan, “Terlalu!, Obat-Oksigen Dijual Mahal Via Online Saat PPKM Darurat”, Detik.com, diakses pada 6 Agustus 2021, melalui https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5635644/terlalu-obat-oksigen-dijual-mahal-via-online-saat-ppkm-darurat

[13] Lani Diana Wijaya, “Dugaan Kartel Kremasi Jenazah COVID-19 di Jakarta, Tarif Dipatok Rp 45-65 Juta”. Tempo.co, diakses pada 8 Agustus 2021, melalui https://metro.tempo.co/read/1484564/dugaan-kartel-kremasi-jenazah-covid-19-di-jakarta-tarif-dipatok-rp-45-65-juta/full&view=ok

[14] Muhammad Idris, “Kimia Farma Impor 15 Juta Vaksin Berbayar dari Sinopharm”, Kompas.com, diakses pada 6 Agustus 2021, melalui https://money.kompas.com/read/2021/07/14/060411626/kimia-farma-impor-15-juta-vaksin-berbayar-dari-sinopharm?page=all

[15] Ade Miranti Kurinia, “Jokowi Cabut Vaksinasi Berbayar, Ini Komentar Kimia Farma”, diakses pada 6 Agustus 2021, melalui https://money.kompas.com/read/2021/07/16/200527926/jokowi-cabut-vaksinasi-berbayar-ini-komentar-kimia-farma

[16] Haryanti Puspa, “Menkes Resmi Cabut Aturan Vaksinasi COVID-19 Berbayar untuk Individu”, Kompas.com, diakses pada 14 Agustus 2021, melalui https://nasional.kompas.com/read/2021/08/09/10293901/menkes-resmi-cabut-aturan-vaksinasi-covid-19-berbayar-untuk-individu?page=all

[17] CNN Indonesia, “Koalisi Sipil Somasi Menkes Cabut Aturan Vaksin Berbaya”, cnnindonesia.com, diakses pada 14 Agustus 2021, melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210730142018-20-674330/koalisi-sipil-somasi-menkes-cabut-aturan-vaksin-berbayar

[18] CNN Indonesia, “Gagal Lelang Pemerintah dan Ancaman Putus Obat untuk ODHA”, cnnindonesia.com, diakses pada 6 Agustus 2021, melalui https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190114122726-255-360623/gagal-lelang-pemerintah-dan-ancaman-putus-obat-untuk-odha

[19] Feni Freycinetia, “Ini Daftar 41 Proyek Prioritas yang akan Dibangun hingga 2024”, Bisnis.com, diakses pada 6 Agustus 2021, melalui https://ekonomi.bisnis.com/read/20200224/9/1205151/ini-daftar-41-proyek-prioritas-yang-akan-dibangun-hingga-2024

[20] CNN Indonesia, “Penolakan Warga dan Dugaan Proyek Mandalika Langgar HAM”, diakses pada 7 Agustus 2021, melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210408144705-20-627508/penolakan-warga-dan-dugaan-proyek-mandalika-langgar-ham

[21] BBC Indonesia, “Mandalika: Pembangunan Proyek Sirkuit Dituding Melanggar HAM, ‘Hak Belum Dipenuhi Tapi Pembangunan Jalan Terus, Ini Pemaksaan”, diakses pada 7 Agustsu 2021, melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56639620

[22] Tempo.co, “Komodo Adalah Saudara Kami: Penolakan Pembangunan Jurassic Park di Pulau Komodo”, diakses pada 7 Agustus 2021, melalui https://www.tempo.co/abc/5969/komodo-adalah-saudara-kami-penolakan-pembangunan-jurassic-park-di-pulau-komodo

[23] Dani Prabowo, “Setelah Viral Foto Komodo Hadang Truk, Jalur Pembangunan Jurassic Park Bakal Diamankan”, Kompas.com, diakses pada 7 Agustsu 2021, melalui https://nasional.kompas.com/read/2020/10/29/07371431/setelah-viral-foto-komodo-hadang-truk-jalur-pembangunan-jurassic-park-bakal?page=all

[24] David Harvey, “Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis”, Resist Book, Yogyakarta, 2009

[25] Sigar Aji Poerana, “Hak Rakyat Jika Terjadi Lockdown”, Hukumonline.com, diakses pada 8 Agustus 2021, melalui https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e74a69e9bf8d/hak-rakyat-jika-terjadi-i-lockdown-i-/

[26] Protal Informasi Indonesia, “Solidaritas Pangan, Gotong Royong Berbagi di Tengah Pandemi”, Indonesia.go.id, diakses pada 8 Agustus 2021, melalui https://indonesia.go.id/kategori/kuliner/2037/solidaritas-pangan-gotong-royong-berbagi-di-tengah-pandemi

[27] Kukuh Setyono, “Bagikan Nasi Saat Pandemi, SPJ Tolak Penghargaan Kementerian”, Gatra.com, diakses pada 8 Agustus 2021, melalui https://www.gatra.com/detail/news/497211/gaya-hidup/bagikan-nasi-saat-pandemi-spj-tolak-penghargaan-kementerian

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.