Marxisme dan Money Heist

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


SEBAGIAN besar kawan-kawan yang berlangganan Netflix kemungkinan besar sudah menonton atau minimal pernah dengar Money Heist, sebuah film serial Spanyol seru penuh aksi dan drama rilisan 2017 yang kini sudah mencapai dua musim. Maafkan jika spoiler, tapi saya perlu bercerita sedikit soal alur cerita film tersebut.

Semua berawal dari El Profesor yang menyusun rencana merampok kantor percetakan uang di Spanyol. Ia mengajak para kriminal terlatih yang menggunakan nama kota sebagai alias: Tokyo, Rio, Berlin, Denver, Nairobi, Moscow, Helsinki dan Oslo. Tak hanya merampok, mereka juga berniat mencetak uang hingga 2,4 miliar euro.

Rencana pun dieksekusi. Mereka menawan para pekerja bank dan berusaha mengulur waktu. Segenap aparat andal seperti Inspektur Raquel Carillo, Angel Rubio dan kepala intelijen militer Kolonel Luis Prieto tentu berusaha mencegahnya. Para perampok yang menggunakan topeng Salvador Dali lengkap dengan pakaian hazmat merah terkepung tak berdaya.

Mengapa para perampok ini rela membahayakan diri sendiri demi segepok kertas kecil bertuliskan euro tersebut? Pertanyaan yang sama dapat juga ditujukan untuk kita semua, meski memang lebih cocok diajukan seorang petapa ketimbang penulis artikel di kolom Logika seperti saya. Uang menginspirasi Pink Floyd membuat lagu di album Dark Side of The Moon; membuat Paulus dalam Timotius mengatakan bahwa kecintaan terhadapnya merupakan sumber dari kejahatan; dan tentu saja membuat Pablo Escobar kebingungan untuk menyimpannya. Bagaimana bisa benda tersebut mengendalikan kehidupan kita sedemikian rupa?

Pertanyaan di atas mau tak mau membawa kita kepada pencarian jawaban dalam rimba filsafat, sejarah dan ekonomi politik dengan segala macam fafifu wasweswos-nya. Kalau begitu, bagaimana jika kita bertanya ke Marx? Asumsi saya kawan-kawan semua sudah kenal beliau, mengingat Anda saat ini sedang berada di IndoPROGRESS dan sering membaca tulisan saya (ya, meski tidak semenarik alur cerita Money Heist…).

Seorang ekonom legendaris Austria, Joseph Schumpeter, mengatakan bahwa hanya ada dua paradigma pemikiran dalam perdebatan soal uang dalam sejarah ekonomi, yaitu pemikiran kartalis dan metalis. Sementara kartalis berpendapat bahwa uang adalah simbol semata, metalis berpendapat terdapat nilai intrinsik dalam uang yang itu berasal dari komoditas khususnya emas. Uang, dari perspektif ini, berbasis pada nilai intrinsiknya. Soal ini Anda bisa menyimak penjelasan kawan saya, Dicky Ermandara, dalam tulisan berjudul “Konsepsi Metalis atas Uang.”

Beberapa ahli berpendapat bahwa Marx cenderung lebih dekat kepada metalis. Namun Anitra Nelson dalam buku Marx’s Concept of Money (1999) menyatakan hal lain, yaitu bahwa teori Marx tentang uang bukanlah metalis atau kartalis, melainkan “uang komoditas”. Mengapa demikian? Sebab secara spesifik Marx membahas uang dalam Kapital Vol. 1 Bab 2 dan 3, yang  tak dapat dilepaskan dari bab pertama yang membahas komoditas serta nilai yang dihasilkan dari kerja. Di sinilah letak uniknya teori Marx tentang uang.

Marx mencatat fakta historis yang dijelaskan Jack Weatherford dalam buku The History of Money (1997). Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa sebelum hadirnya uang fiat, uang digital atau uang crypto seperti hari ini, manusia telah menggunakan bermacam bentuk “uang” untuk melakukan berbagai pertukaran, mulai dari ternak, kulit kerang, biji kakao, garam hingga logam. Ia menyebutnya dengan uang komoditas: uang yang tak hanya dapat digunakan sebagai alat tukar namun dapat dikonsumsi fisik-materialnya.

Masyarakat di Mesopotamia pada Zaman Perunggu pun telah mengenal logam sebagai alat tukar. Pada 600 SM, orang-orang Lydia menciptakan inovasi terbaik, yaitu koin emas dan perak. Mereka membentuk logam jadi sebesar jempol orang dewasa dengan berat yang seukur lalu untuk menjamin keaslian memberikannya stempel kepala singa. Berkat teknologi ini pedagang dimudahkan: dari mesti mengukur berat logam jadi hanya menghitung pecahan. Lalu tempat bertransaksi yang kelak dinamakan pasar pun hadir untuk pertama kalinya.

Dari uraian sejarah tersebut, Marx menyimpulkan bahwa uang mengkristal dari proses pertukaran. Uang adalah komoditas yang mengalami perubahan wujud dari bentuk relatifnya, yaitu ketika suatu nilai komoditas ditentukan oleh relasinya dengan nilai-guna komoditas lain, ke bentuk ekuivalen yang mana merupakan bentuk nilai komoditas yang hanya melaluinyalah nilai komoditas lain mendapatkan kesepadanannya. Uang pun jadi ekuivalen atau penyetara universal.

Marx menambahkan, hanya proses sosial dalam masyarakatlah yang dapat menentukan suatu komoditas tertentu menjadi ekuivalen yang universal. Puluhan, ratusan hingga ribuan transaksi dalam puluhan hingga ratusan dasawarsa sejarah masyarakat telah melahirkan salah satu komoditas yang diakui dan disetujui bersama sebagai alat tukar yaitu uang.


Lantas, apa yang memungkinkannya? Marx menjawabnya dari beberapa fungsi uang, yang antara lain sebagai ukuran dari nilai, sarana sirkulasi, sarana penimbunan, sarana pembayaran dan mata uang universal. Di sini kita akan membahas dua fungsi utama saja.

Pertama, uang sebagai ukuran dari nilai. Selain jadi tempat penyimpanan dan ekspresi material nilai, uang juga mampu menampilkan nilai-nilai dari komoditas lain yang disandingkan padanya. Meski bukan ia sendiri yang menyepadankan komoditas, namun nilai yang berasal dari kerja manusia dalam durasi waktu sosial tertentu yang imanen dalam dirinya sebagai komoditas emas yang menyepadankan pertukaran.

Uang atau emas di sini adalah ukuran nilai yang merupakan inkarnasi dari kerja manusia di satu sisi dan menjadi standar harga karena kuantitas logamnya dengan berat yang tetap di sisi lain. Emas memiliki nama-berat, seperti contohnya pound di Inggris, yang seiring proses historis lewat kesepakatan komunitas serta hukum mengubahnya menjadi sekadar nama-uang.

Sebuah logam 1 ons emas, misalnya, dibagi secara alikuot lewat hukum menjadi poundsterling, lalu dibagi lagi menjadi shilling dan penny. Uama-uang pun mewakili proses pertukaran meski masih mewakili nama-berat dari logamnya. Ketimbang menyebut sepasang sepatu setara 1 ons emas, orang-orang kemudian lebih menyebutnya dengan 1 poundsterling, 20 shillings atau 80 pennies. Dengan demikian komoditas diekspresikan nilainya lewat nama-uang dan uang menjadi satuan alat hitung ketika berhadapan dengan berbagai nilai dari beragam komoditas.

Nama-uang ini kentara di uang fiat atau kertas, yang sudah muncul sejak Dinasti Yuan dan Ming abad ke-13-17 namun tenar kembali pada abad ke-18 dan 19 di Koloni Amerika lewat Bills of Credits. Pada 1971, Richard Nixon membatalkan perjanjian Bretton Woods nama uang beserta nominalnya sehingga tak lagi berbasis kepada emas namun kepada kebijakan negara berdaulat.

Kita yang sehari-hari membelanjakan Rp25 ribu untuk nasi ayam geprek barangkali hanya menyadari nominal dari uang kertas tersebut tanpa mengenal kisah panjang yang ada di balik kertas sakti itu.

Kedua, sebagai sarana sirkulasi. Dalam hal ini uang memungkinkan transaksi pertukaran produk Komoditas–Komoditas (K-K) menjadi kelangsungan proses metamorfosis nilai melalui sirkulasi Komoditas–Uang–Komoditas (K-U-K). Lalu uang menciptakan pemisah antara proses menjual (K-U) dan membeli (U-K) yang mana dapat memecahkan keterbatasan proses transaksi. Uang pun melahirkan pemisahan yang tegas antara kategori sosial “penjual” dan “pembeli” hingga “kreditur” dan “debitur”. Bahkan pada akhirnya membawa kepada cikal bakal rumus umum akumulasi kapital yaitu Uang–Komoditas–Uang (U-K-U), yang saat ini dominan dalam relasi sosial masyarakat dan bergerak tiada henti.

Semua dapat diseukurkan sehingga dapat dipertukarkan; yang tak terjual dijual dan yang tak terbeli pun terbeli. Uang mengubah tatanan masyarakat yang tadinya dikuasai raja-raja dan pemuka agama menjadi dimiliki oleh bankir dan pedagang kaya raya.

Tapi orang-orang yang bukan merupakan golongan mereka pun, misalnya buruh tani, buruh nelayan hingga buruh perkotaan terikat pada kebutuhan atas uang. Mengapa demikian? Menurut Marx ini adalah salah satu gejala fetisisme uang. Apa itu? Pencinta bantal guling dan kain jarik? Tentu saja bukan.

Fetisisme merupakan kondisi ketika sebuah benda diyakini memiliki kekuatan supranatural. Sedangkan fetisisme uang, menurut Marx, dapat ditelusuri dari fetisisme komoditas, yaitu kondisi ketika relasi antar benda atau komoditas lebih tampak secara empiris ketimbang relasi sosial antar manusia yang sesungguhnya merupakan prasyarat dari benda-benda itu sendiri. Ini membuat komoditas seakan memiliki nilai dengan sendirinya dan bergerak dalam sirkulasi dengan kekuatannya sendiri. Jadi uang yang hadir di sekeliling kita saat ini, walau secara historis kitalah yang membuatnya, seakan mengondisikan hidup kita.

Dalam masyarakat yang cara mempertahankan hidupnya lewat produksi massal komoditas beserta konsumsinya, kita yang tak mampu memiliki alat produksi untuk konsumsi mesti hidup dengan membeli komoditas dari mereka yang memiliki alat produksi. Untuk membelinya kita mesti punya uang dan untuk mendapatkannya kita harus masuk ke dalam relasi kerja upahan.

Mereka yang tak masuk ke dalam relasi upahan ini juga mesti punya uang untuk bertahan, sehingga cara lain dalam memperoleh uang pun mereka temukan. Sebagian orang melakukan penipuan, pemerasan, perampasan, pencurian hingga perampokan untuk mendapatkan uang. Bonnie dan Clyde merampok, Al Capone mengorganisir bisnis illegal, Miguel Angel Felix Gallardo menyatukan kartel hingga Charles Ponzi dan Bernie Madoff menipu orang banyak. Begitu pula El Profesor dan kawan-kawan perampok Money Heist. Meski ia pribadi merampok demi mimpi dan idealismenya, rekan-rekan perampok lainnya tak demikian. Mereka merampok uang untuk menjadi kaya dan hidup bahagia.


Demikianlah. Ada tiga pesan yang tampaknya bisa kita petik dari obrolan panjang kali ini.

Pertama, keberadaan uang dihasilkan dari kontradiksi antara kerja-konkrit dan kerja-abstrak yang menghasilkan kontradiksi antara nilai-guna dan nilai-tukar atau nilai yang ada di dalam komoditas itu sendiri. Ketika relasi pertukaran, nilai komoditas dapat mewujud sebagai bentuk nilai relatif dan bentuk nilai ekuivalen. Dari yang kedua inilah komoditas yang menjadi uang lahir.

Kedua, eksistensi uang hanya dimungkinkan apabila ada material untuk menubuhnya nilai dan juga sirkulasi nilai melalui transaksi pertukaran. Sebab uang hanyalah sarana untuk nilai berpindah dari satu komoditas ke komoditas yang lain. Selain itu, keabsahannya pun hanya diakui apabila segenap masyarakat tertentu menggunakannya dan menyetujuinya sebagai uang.

Ketiga, dalam bentuk masyarakat yang bertopang pada produksi masal komoditas dan perniagaan, uang menjadi lingua franca kehidupan. Ia yang dibuat oleh manusia kini seakan hidup dan mengendalikan kembali sang penciptanya. Hanya mereka yang menguasai alat produksilah yang sanggup menaklukan dan mengembangbiakkannya. Proletariat atau mereka yang tak memiliki apa pun selain tenaga kerjanya untuk ditukarkan dengan uang hidupnya dikendalikan oleh uang dan tentu saja para penakluknya, yaitu kapitalis.

La Casa de Papel memberikan kita gambaran bahwa uang, khususnya uang fiat, dibuat dan keberadaannya mengandaikan negara. Sebaliknya negara pun bergantung kepada uang. Itulah sebabnya El Profesor dan kawan-kawan merasa bangga ketika mencurinya. Sampai-sampai menyanyikan “Bella Ciao” karena merasa seperti partisan yang melawan penindasan. Namun yang paling penting, film ini juga menjadi contoh bahwa sistem kapitalisme melahirkan ketimpangan ekonomi yang beranak cucu menjadi kriminalitas. Segala cara dihalalkan untuk mendapatkan uang, bahkan jika harus dicium oleh timah panas dan mengorbankan nyawa. Bukankah kita, kelas pekerja, juga demikian? Rela dieksploitasi, bekerja gila-gilaan, diupah seadanya dan menderita demi mendapatkan uang? Lagi pula, memangnya kita bisa makan uang?

Money Heist menegaskan kebenaran satu ungkapan: Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya (dalam dunia dengan corak produksi kapitalisme) butuh uang.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.