Ayat-Ayat Menentang Penjajah
Ayat-Ayat Menentang Penjajah

Ayat-Ayat Menentang Penjajahan

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.”

(Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 11-12)


KITA seringkali disuguhi cerita tentang penjajahan sebagai pertarungan antara ‘pribumi tertindas’ versus ‘asing penjajah’. Penjajahan seakan-akan hanya cerita tentang dominasi orang-orang Eropa terhadap penduduk lokal. Kisah tentang itu biasanya berakhir dengan cerita tentang pengusiran orang-orang Eropa dari tanah air sehingga  berakhir pula penjajahan. Cerita ini kerap kita baca dari buku-buku sejarah, dan menjadi narasi resmi tentang bagaimana Indonesia dibangun.

Tentu cerita itu tidak keliru. Penjajahan di Indonesia khususnya  adalah cerita tentang orang-orang Eropa yang datang ke Nusantara, berdagang, menguasai lahan, perlahan-lahan menaklukkan kerajaan—baik secara langsung maupun tidak—dan membangun struktur politik baru yang bernama negara kolonial.

Namun demikian, kita sering bertanya-tanya pula: benarkah praktik yang dilakukan oleh penjajah itu berakhir setelah ‘dekolonisasi’, alias setelah orang-orang Eropa dan Jepang angkat kaki? Mungkinkah ada penjajahan yang tetap berlangsung dengan aktor dan cara yang berbeda, tapi dengan mempertahankan sistem yang sama?

***

Ada satu kisah menarik dari Mohammad Hatta soal penjajahan. Peristiwa yang ia ceritakan dalam sebuah memoar ini terjadi pada 1933.

Bung Hatta melakukan safari politik di cabang-cabang baru PNI—organisasi politiknya masa itu—seperti Bandung ke Solo dan Yogyakarta sebagai pemimpin baru pergerakan nasionalis. Di sana ia bertemu calon-calon anggota baru organisasi dan menggelar rapat-rapat umum. Di masa-masa krisis itu PNI memang giat melakukan perkaderan. Rapat umum adalah salah satunya. Bung Hatta sendiri giat menulis untuk menentang kolonialisme Belanda.

Tentu pada masa itu rapat-rapat umum pergerakan nasionalis adalah aktivitas yang dianggap subversif. Melakukan rapat-rapat umum, apalagi berbicara tentang kapitalisme dan nasionalisme, harus dikontrol. Perizinan harus diperketat, kontra-narasi mesti dilakukan, dan orang-orangnya harus dipantau, apalagi aktivis penerima beasiswa yang baru kembali semacam Hatta.

Di sinilah Politieke Inlichtingen Dienst (PID, Dinas Intelijen Politik) berperan. Ketika itu PID sedang giat-giatnya membangun sistem pengawasan di mana-mana, baik di dalam atau luar negeri. Lembaga ini dibentuk pada 1916. Tugas utamanya antara lain memantau pergerakan nasionalis atau siapa pun yang ingin merongrong negara kolonial.

Tak semua agen PID adalah orang Eropa. Bahkan, dalam struktur keamanan masa kolonial itu, banyak agen-agen PID berstatus wedana, semacam pembantu bupati, yang pribumi. Aparat kolonial lain juga banyak yang sebenarnya orang-orang pribumi.

Tapi Bung Hatta tetap datang dan berpidato. Di Solo dan Yogyakarta, beliau berbicara tentang perkembangan kapitalisme dalam politik dunia. Dari awal kehidupan manusia sebelum kapitalisme, kapitalisme muda masa revolusi industri, lalu menjadi kapitalisme raya masa perdagangan bebas abad ke-19 di masa kolonial, hingga masa kapitalisme penghabisan, ketika kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme itu menghasilkan krisis.

Pidato semacam itu adalah bagian dari pendidikan politik kepada kader-kader pergerakan, semata—menurut pandangan Hatta, Sjahrir, dan lain-lain—agar mereka punya cara pandang yang ilmiah dan kritis terhadap kolonialisme dan politik global.

Ketika di Yogyakarta, seorang wedana agen PID menginterupsi Hatta setelah setengah jam berpidato. Ia bertanya, “Apa itu kapitalisme?” Secara tersirat, sang wedana bertanya, “Apa maksud Hatta bicara tentang kapitalisme di negara Hindia Belanda ini?”

Hatta menjawab ringkas, “Sudah setengah jam aku bicara tentang kapitalisme dengan jelas, masih saja ada yang bertanya tentang apa itu kapitalisme!”

Hadirin langsung bertepuk tangan dengan riuh, disambut wedana intelijen itu dengan muka merah. Hatta mau melanjutkan pidato, tapi tiba-tiba intel itu menggebrak meja dan melarang Hatta terus bicara. Hatta turun dari mimbar dan ketua sidang menutup acara.

Konon, setelah pulang, Hatta diberitahu kalau dia sudah menang ‘duel’ melawan wedana kolonial itu, karena biasanya tidak ada yang bisa bertahan lebih dari dua menit ketika diinterupsi dan dibubarkan.

Kejadian di Yogyakarta ini kemudian semakin genting. Beberapa waktu kemudian, Bung Hatta ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel karena semakin dianggap subversif. Ia kemudian diasingkan ke Banda Neira lalu tinggal di sana hingga Jepang datang.

Kini zaman telah berubah, tapi mungkin kita tidak akan terkejut ketika taktik pemerintah kolonial di atas sedikit banyaknya diadopsi untuk merepresi demonstrasi-demonstrasi menentang UU kontroversial.

***

Apa sebenarnya yang membuat orang-orang semacam Soekarno, Hatta, Semaoen, Rasuna Said, maupun pejuang-pejuang anti-kolonial itu melawan meskipun harus kucing-kucingan dengan intelijen?

‘Republik Indonesia’ awalnya adalah gagasan yang ditulis oleh Tan Malaka dalam pamflet Naar de Republiek Indonesia. Tan Malaka mengumpamakan munculnya Republik Indonesia dengan kaum Republiken masa Revolusi Perancis. Di Perancis, Republik muncul sebagai antitesis dari kekuasaan korup para bangsawan yang melegitimasi kekuasaan monarki. Bangsawan Perancis dan elite-elite politiknya hidup boros dan menindas orang-orang biasa, yang hanya mendapatkan kemiskinan, kelaparan, dan penyakit.

Ketika terjadi wabah, dalam struktur ancien regime model Perancis itu, orang-orang miskinlah yang mendapatkan malapetakan. Lalu petani, buruh dan kaum borjuis kelas menengah itu mengorganisasi diri, dan akhirnya terbentuklah “Majelis Permusyawaratan Nasional”. Dari situlah muncul kemerdekaan Perancis dan ‘cita-cita Republik’.

Namun, menurut Tan, yang terjadi di Indonesia, pelaku korupsi dan pemborosan hidup bermewah-mewahan itu bukannya bangsawan, melainkan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan menurut Tan lebih parah; uang yang dihabiskan di Versailles masih ‘jatuh’ ke rakyat Perancis dalam bentuk eceran. Namun, uang yang dihabiskan di Zandveert dan Scheveningon tidak jatuh ke rakyat Indonesia.

Lalu terjadilah defisit anggaran dan krisis ekonomi maupun politik. Namun tidak seperti pemborosan yang dilakukan oleh elite-elite kolonial, krisis ini justru memukul orang-orang biasa di tanah air yang diupah dengan murah, tanpa perlindungan sosial yang memadai dan hak-hak tenaga kerja yang dieksploitasi untuk keperluan perkebunan, perkereta-apian, hingga pertambangan kolonial Belanda.

Menurut Tan, “Sekalipun nanti jika Amerika atau siapa saja bersedia memberikan pinjaman kepada Indonesia jutaan rupiah atau menanam kapital di Indonesia krisis ekonomi karenanya masih belum dapat diperbaiki. Sebab jutaan rupiah setahunnya yang harus diperoleh dengan memeras kaum buruh Indonesia untuk dikirim ke negeri asing. Lebih gelap adanya hari depan ekonomi bagi rakyat Indonesia daripada rakyat Prancis sebelum tahun 1789.”(1925).

Di sinilah menurut Tan ide tentang ‘Republik Indonesia’–di mana rakyat Indonesia diatur oleh Majelis Permusyawaratan Nasional yang mewakili aspirasi rakyatnya sendiri—jadi penting. Majelis Permusyawaratan Nasional, menurut Tan, harus menjadi alat dobrak yang besar terhadap kolonialisme; menasionalisasi pabrik-pabrik dan tambang-tambang strategis nasional, lalu mendistribusikan hasilnya secara adil kepada rakyat Indonesia. Gagasan ini adalah antitesis dari praktik kolonial Belanda yang membangun industri pertambangan lalu menjualnya di pasar Eropa, sebagiannya untuk memenuhi kas kerajaan.

Dan ide tentang Majelis Permusyawaratan Nasional ini bagi Tan juga berakar dari ide-ide kaum pembebasan nasional yang dilakukan oleh umat Islam, sebagaimana dilakukan di Banjarmasin dan Aceh. Itulah sebabnya, dalam pidatonya yang terkenal di tahun 1921, Tan Malaka justru menyerukan adanya front persatuan antara kaum kiri dan Pan-Islamis, yang masa itu memang merupakan dua kekuatan anti-kolonial terbesar di Hindia Belanda.

Saya tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan almarhum Tan ketika melihat bahwa Majelis Permusyawaratan Nasional, yang bagi Tan adalah fondasi dasar berdirinya Republik Indonesia, justru melegitimasi UU yang memeras tenaga orang-orang Indonesia di atas narasi menciptakan lapangan pekerjaan.

***

Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 11-12, Allah menyitir orang-orang yang keras kepala, suka memanipulasi, dan zalim. Mereka menyatakan diri beriman kepada Allah dan hari akhir, namun pada praktiknya merusak bumi dan seisinya. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ayat ini merujuk pada orang-orang munafik. Mereka adalah orang-orang yang melakukan perbuatan maksiat kepada Allah dengan berbuat kerusakan di muka bumi, dan memerintahkan untuk melakukannya secara masif dan terorganisir.

Lalu ketika muncul peringatan dan kritik, orang-orang ini kemudian berkilah dengan anggapan bahwa yang mereka lakukan adalah “melakukan perbaikan di muka bumi”. Padahal, secara objektif, mereka yang punya pengetahuan telah menunjukkan dampak-dampak dari hal tersebut terhadap lingkungan, keseimbangan ekosistem hingga dampak sosialnya kepada masyarakat banyak.

Pada masa lampau, kolonialisme sering diklaim oleh para pengelolanya di Eropa sebagai praktik ‘misi pemberadaban’ (civilizing mission). Intelektual rasis semacam Lothrop Stoddard, misalnya, dengan bangganya menyatakan bahwa misi kolonialisme Eropa adalah untuk mengajarkan orang-orang di tanah jajahan terhadap ‘peradaban’ dan kemajuan. Peta dan atlas Inggris di abad ke-19 menyebut kolonialisme Eropa telah memberikan banyak kemajuan di tanah jajahan, dibanding masa-masa sebelum mereka.

Namun, tentu hal yang sama tidak dirasakan oleh orang-orang di koloni. Petani-petani biasa harus diperas tenaga pertaniannya melalui tanam paksa. Lalu datang masa perkebunan dan pertambangan, dan merekapun menjadi buruh dengan upah yang tidak seberapa. Sebagian mereka membuat infrastruktur jalan di pantai utara Jawa tanpa upah dan makanan yang memadai, sekadar untuk mempertahankan tanah Belanda dari gempuran rival penjajahnya, Inggris, di awal abad ke-19.

Ketika dulu kolonialisme bicara tentang pemberadaban, sebagian orang hari ini bicara tentang ‘pembangunan’. Tentu pembangunan hari ini berbeda dengan pembangunan jalan raya dari Anyer ke Panarukan di awal abad ke-19. Pun pembangunan hari ini, biar sedikit, juga memberikan jalan-jalan dan bangunan-bangunan yang tidak lagi dinikmati hanya oleh elite kolonial Eropa dan Jepang. Di Konferensi Bandung tahun 1955, pemimpin negara Asia dan Afrika menyerukan pentingnya kerja sama untuk membiayai pembangunan bagi negara-negara yang baru lepas dari kolonialisme, dengan Indonesia tentu bukan pengecualian.

Namun, menjadi problem jika ‘pembangunan’ atau ‘penciptaan lapangan kerja’, yang sesungguhnya punya niat yang mulia, berubah menjadi dalih untuk memberikan upah murah bagi pekerja, melucuti hak-hak dasar bagi pekerja (terutama pekerja perempuan), atau menjadikan para buruh gampang kena PHK tanpa tanggung jawab perusahaan. Hal ini takkan ada bedanya dengan apa yang diumpamakan oleh Tan Malaka sebagai “lintah-lintah darat Hindia Belanda”, yang melakukan hal-hal demikian untuk mengantisipasi krisis ekonomi,

“Pada bagian satunya memperbesar pasukan Armada dan polisi dan menaikkan gaji ambtennar-ambtenaar tinggi. Pada bagian lainnya melepaskan kaum buruh dan menurunkan gajinya, menarik lebih banyak dari rakyat yang melarat dan mengurangi pengeluaran untuk sekolah-sekolah rakyat dan kesehatan.” (1925).

Dan bertemulah hal-hal seperti itu dengan istilah Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah di atas. Mereka yang ditegur karena berbuat kerusakan, mendapatkan kritik, namun justru defensif dengan berbagai macam argumen atas nama rakyat. Padahal, implikasinya besar dan buruk bagi lingkungan, rakyat, dan negara. Pada titik inilah Al-Qur’an kemudian mengingatkan kita untuk tidak melakukan ‘penjajahan modern’: mengeksploitasi tanah dan tenaga kerja secara sewenang-wenang, dan melakukan pembangunan tanpa peduli dampak lingkungan atau dampak sosial terhadap masyarakat yang hidup dan bercocok tanam dari tanah itu.

Hal-hal di atas tentu ditentang oleh umat Islam di masa lampau; dan juga ditentang oleh umat Islam yang sadar di hari ini –bagi mereka yang ‘membaca’.

Billahi fii Sabilil Haq. Fastabiqul Khairat.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.