Foto: AP/Fred Stein
BAIK di dalam maupun di luar tradisi kesenian Marxis, nama Bertolt Brecht dikenal luas sebagai salah satu teoretikus penting sekaligus pengarang karya-karya bermutu. Naskah-naskah drama, prosa, serta puisi gubahannya sering kita temukan dikutip dalam percakapan-percakapan di kalangan intelektual dan aktivis kiri dari berbagai belahan dunia. Brecht juga turut berkontribusi dalam perdebatan seputar pemaknaan tentang seni yang realis. Dalam pandangan Brecht, realisme bukanlah semata-mata soal ketepatan penggambaran atas kenyataan, melainkan bagaimana representasi yang dihasilkan oleh suatu karya dapat menggugah pemirsanya untuk mempertanyakan kenyataan dunia dan mentransformasikannya. [1] Posisi ini diungkapkan dalam kutipan terkenalnya: ‘Seni bukanlah cermin untuk merefleksikan kenyataan, melainkan palu untuk membentuknya’. [2]
Dari sekitar dua ribu syair puisi yang Brecht goreskan di kertas selama 58 tahun masa hidupnya, beberapa di antaranya menyinggung tema-tema teologis. Tentu saja syair-syair yang ditulisnya jauh berbeda dengan syair lagu-lagu Kristen kontemporer yang mengajak kita untuk bermanja ria di hadapan Tuhan Mahakuasa yang diyakini sanggup menyelesaikan segala persoalan pribadi dan menjadi jawaban atas segala kegundahan hati. Jangan bayangkan musikalisasi puisi Bertolt Brecht oleh duet almarhum Mike Mohede dan Maria Shandi. Alih-alih menenangkan hati lewat janji-janji surgawi, puisi-puisi Brecht sarat dengan muatan kritik dan protes.
‘Himne kepada Allah’ barangkali bisa dianggap sebagai salah satu puisi Brecht yang paling berbobot teologis. Para penyunting salah satu edisi kumpulan puisinya, John Willett dan Ralph Manheim, menempatkan puisi tersebut di dalam kategori puisi-puisi awalnya yang ditulis antara tahun 1913-1920. Brecht masih tergolong amat muda pada saat itu. Usianya baru 15-22 tahun.
1
Di lembah-lembah gelap orang-orang menderita kelaparan
Kau hanya menunjukkan roti dan membiarkan mereka mati
Kau hanya menundukkannya pada rencana kekal
Tersembunyi dan brutal.
2
Engkau membiarkan mati anak-anak muda dan juga mereka yang menikmati kehidupan
Tetapi mereka yang memohon agar nyawanya dicabut malah kau tolak
Banyak dari antara mereka yang membusuk di pembaringan
Beriman kepadamu, dan mati dengan tenang.
3
Engkau membiarkan si miskin tetap miskin dari tahun ke tahun
Merasakan bahwa hasrat mereka lebih manis daripada surgamu
Sayangnya mereka mati sebelum kau menunjukkan terang
Namun mereka mati bahagia pula—sembari membusuk.
4
Banyak dari antara kami yang menolakmu—dan itu baik
Tetapi bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada bisa memainkan tipuan semahir ini?
Jika ada begitu banyak nyawa yang hidup bersamamu dan tak sanggup mati tanpamu—
Katakan padaku, seberapa pentingnya kenyataan bahwa kau sebenarnya tidak ada?[3]
Pembaca yang rajin beribadah di gereja dan bersaat teduh setiap hari mungkin terkejut ketika membaca puisi di atas. Judulnya berbunyi ‘Himne kepada Allah’, tetapi isinya jauh dari puji-pujian dan pengagungan akan kebesaran Allah. Dalam puisi itu, kita malah menemukan semacam gugatan atas kebijaksanaan Allah serta eksistensi-Nya. Klaim-klaim teologis tentang kemahakuasaan, kebaikan, serta kedaulatan Allah yang memelihara sejarah, dibenturkannya dengan potret kenyataan yang penuh dengan kemiskinan, penderitaan, dan kematian manusia. Bahkan keberadaan sosok ilahi yang dijadikan pegangan hidup orang banyak itu pun ia tolak.
Pertanyaan dan gugatan yang diangkat Brecht dalam syair itu tentu saja bukan barang baru. Teodise–pertanyaan tentang kebaikan Allah di hadapan kenyataan dunia yang begitu kejam–selama ribuan tahun telah mewarnai percakapan teologis yang melibatkan semua kalangan, mulai dari teolog profesional, rohaniwan, jemaat awam, hingga orang-orang tak beriman. Jika Allah ada, mengapa ada begitu banyak penderitaan? Segala macam jawaban telah dilontarkan, dan pertanyaan yang sama tak henti-hentinya kembali diajukan.
Hanya saja, yang seringkali dibiarkan terpendam dalam penghayatan iman Kristen ‘arus utama’ ialah kenyataan bahwa gugatan dan pertanyaan seperti yang dilontarkan oleh Brecht ini sesungguhnya punya benang merah dengan tradisi panjang iman Kristen sejak zamannya para penulis Alkitab sendiri. Teks-teks Alkitab tidak hanya diwarnai penghiburan-penghiburan yang bersifat menenangkan hati, tetapi juga keluhan dan protes kepada Allah ketika menyaksikan kenyataan yang mengganggu hati. Ada Nabi Habakuk, misalnya, yang mengeluhkan minimnya perhatian Tuhan terhadap penindasan yang ia saksikan di Kerajaan Yehuda.
‘Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik.’ (Hab. 1:2-4)
Ada pula sosok Ayub yang digambarkan sebagai orang tak bersalah yang Allah izinkan dicobai Iblis. Anak-anak serta harta kekayaannya yang banyak dalam sekejap lenyap tak berbekas dan tubuhnya ditimpa penyakit yang membuatnya berbau busuk dari kepala hingga ujung kaki. Di tengah keadaannya yang mengenaskan, Ayub beberapa kali melontarkan protes kepada Allah dengan konten yang tidak jauh berbeda dengan apa yang ditulis Brecht.
‘Aku tidak bersalah! Aku tidak pedulikan diriku, aku tidak hiraukan hidupku! Semuanya itu sama saja, itulah sebabnya aku berkata: yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakan-Nya. Bila cemeti-Nya membunuh dengan tiba-tiba, Ia mengolok-olok keputusasaan orang yang tidak bersalah. Bumi telah diserahkan ke dalam tangan orang fasik, dan mata para hakimnya telah ditutup-Nya; kalau bukan oleh Dia, oleh siapa lagi?’ (Ayb. 9:22-24)
Di sini Ayub bukan hanya mempertanyakan, ia malah menuduh Allah sebagai penanggung jawab masalah-masalah yang ada di dunia. Sosok Mahakuasa itu dianggapnya sengaja dan aktif memprakarsai problem-problem seperti ketidakadilan dan penderitaan manusia.
Yesus sendiri, sebagai figur sentral Alkitab menurut tradisi Kristen, turut meninggalkan jejak dalam benang merah tradisi protes ini. Injil Matius dan Markus mencatat teriakan-Nya yang ditujukan kepada Allah sewaktu digantung di kayu salib, mengutip Mazmur 22:2:
‘Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’ (Mat. 27:46)
‘Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’ (Mrk. 15:34)
Slavoj Žižek pernah mengusulkan agar seruan ini dibaca sebagai gestur radikal kekristenan yang menunjukkan momen disintegrasi kepercayaan akan suatu penjamin makna kehidupan, entah itu Allah, keniscayaan alami, atau apapun itu. Ada pesan ateistik dalam peristiwa salib dengan bobot yang bahkan melebihi ateisme-ateisme pada umumnya. Sebab yang terakhir ini seringkali menolak keberadaan sosok ilahi, namun tanpa ragu menggantikannya dengan penjamin-penjamin makna lainnya.
Di sini kita bisa melihat bagaimana ‘Himne kepada Allah’ karangan Brecht sesungguhnya terhubung dengan sebuah tradisi panjang dalam Alkitab yang tanpa ragu melontarkan protes pada Yang Ilahi. Ia bagaikan rekontekstualisasi keluhan-keluhan profetik yang keluar dari mulut tokoh-tokoh Alkitab seperti Habakuk, Ayub, dan Yesus. Bersama nabi Habakuk, ia mempertanyakan teriakan umat manusia yang diabaikan Allah. Bersama Ayub, ia tak ragu menuduh kesengajaan Allah membiarkan penderitaan manusia. Dan bersama Yesus, jika kita mengikuti pembacaan Žižek, ia tak ragu mengoyak kepercayaan tentang keberadaan serta fungsi Allah.
Selain memiliki tempat dalam Alkitab, keluhan profetik juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi pemikiran Marxis. Pembaca yang akrab dengan tulisan-tulisan Marx tentu ingat kalimat pembuka pendahuluan Marx dalam Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: ‘kritik agama adalah premis dari segala kritik’. [4] Sebelum seseorang masuk ke dalam kritik atas kondisi-kondisi material, ia harus melakukan kritik atas agama yang menghalanginya untuk melihat kenyataan material secara objektif. [5] Baru setelah tirai agama itu robek, akan terbentang tugas untuk meneruskan agenda kritik ke ranah sekuler.
Maka adalah tugas sejarah, segera setelah kebenaran dunia lain itu gugur, untuk menegakkan kebenaran tentang dunia ini. Tugas mendesak filsafat, dalam pengabdiannya untuk sejarah, adalah membongkar keterasingan diri manusia dalam bentuk sekuler-nya, ketika bentuk sakral-nya telah dibongkar. Maka kritik surga bertransformasi menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik. [6]
Apa yang ditulis oleh Marx di penghujung tahun 1843 tersebut berpijak pada keadaan masyarakat Jerman pada masa itu. Abad ke-19 menjadi saksi perkembangan pesat kritik-kritik agama di Jerman lewat kesarjanaan kritis Alkitab yang membongkar asal-usul teks-teks yang sebelumnya dianggap suci, pemikiran-pemikiran kritis tentang agama seperti ateisme Feuerbach, dan lain-lain. Marx ingin mendorong agar kritik-kritik agama tersebut tidak berhenti di sana, tetapi berlanjut dengan kritik atas tatanan sosial yang mengondisikan keterasingan-keterasingan agamawi.
Hari ini, nyaris dua abad setelah kutipan Marx di atas diterbitkan dan setelah paham-paham agama terus dibombardir segala macam kritik, kenyataannya kepercayaan tentang yang ilahi tetap tumbuh subur. Seperti diungkapkan Brecht dalam bait terakhir puisinya, masih ada begitu banyak jiwa yang membutuhkan Tuhan dalam kehidupan dan kematian mereka. Di mana-mana kita menemukan persebaran luas keyakinan tentang pemeliharaan Allah dalam sejarah yang menjamin bahwa semuanya sedang dan akan baik-baik saja, serta bahwa segala masalah yang ada bakal dijadikan indah pada waktu-Nya. Kalaupun keberadaan sosok adikuasa itu ditolak, dengan mudahnya ia bisa digantikan dengan penjamin-penjamin makna baru, seperti rasio murni, hukum pasar, sentimen kebangsaan, hingga teori perkembangan sejarah yang deterministik.
Dalam medan yang seperti inilah keluhan-keluhan profetik ala Brecht, Habakuk, Ayub, dan Yesus terbukti masih relevan.***
Daniel Sihombing adalah anggota Kristen Hijau dan tim editor
IndoProgress
Kepustakaan
[1] Cf. Terry Eagleton, Marxism and Literary Criticism (London: Routledge, 2002), 60.
[2] Cf. Barbara Foley, Marxist Literary Criticism Today (London: Pluto, 2019), 224.
[3] Bertolt Brecht, Bertolt Brecht: Plays, Poetry and Prose (eds. John Willett and Ralph Manheim; London: Eyre Methuen, 1976), 9 terjemahan dari saya.
[4] Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’, Robert C. Tucker, Karl Marx, and Friedrich Engels, eds., The Marx-Engels Reader, 2d ed (New York: Norton, 1978), 53 terjemahan dari saya.
[5] Warren S. Goldstein, “An Introduction to Religion and Marxism,” Critical Sociology 31, no. 1–2 (January 2005), 9.
[6] Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’, 54 terjemahan dari saya.