Ilustrasi oleh Jonpey
Ditulis untuk memperingati Hari Anti Tambang 29 Mei 2020 dan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2020.
BISNIS pertambangan tetap mengakumulasi kapital selama masa pandemi COVID-19. Mereka terus melanjutkan penghancuran atas sumber air, pangan, dan infrastruktur ekologis penting—penanda imunitas sosial-ekologis warga serta komunitas saat berhadapan dengan pandemi. Bagi para pebisnis pertambangan, masa pandemi justru merupakan momentum yang tepat untuk mengeruk keuntungan lebih banyak dan oleh karenanya semakin meletakkan planet kita dalam marabahaya. Mereka juga membuat para pembela bumi yang berada di garis depan perlawanan terus berada dalam ancaman.
Setidaknya empat tren dan pola utama bisnis tambang yang jelas tertangkap oleh mata kepala.
Pertama, bisnis tambang membuat komunitas dan pekerja berisiko tinggi terinfeksi COVID-19 dengan terus melanjutkan produksi.
Hal ini misalnya terjadi di Dairi, Sumatera Utara. Di sana, PT Dairi Prima Mineral (DPM) terus berjalan menyiapkan konstruksi dan mendatangkan para pekerja dari luar wilayah. Intensif dan pendeknya jarak interaksi membuat komunitas lingkar pertambangan ini diliputi rasa cemas. Di Banyuwangi, Jawa Timur, meskipun ada protes dari komunitas, tapi operasi pertambangan emas PT Bumisuksesindo (BSI) masih dijalankan di Gunung Tumpang Pitu, bahkan akan diperluas menuju gunung berikutnya, yakni Gunung Salakan yang masih alami.
Begitu juga operasi kompleks industri baterai nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, melalui Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, Maluku Utara. Dua proyek ini tetap berlanjut berkat peran Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang terus memaksakan masuknya ratusan tenaga kerja asing (TKA) dari Tiongkok.
Di Bangka, beberapa pekerja pertambangan di kapal keruk PT Timah telah dinyatakan positif COVID-19. Pertambangan Kapal Keruk Bangka menjadi ‘label’ nama klaster penyebaran di provinsi tersebut. Sementara di kompleks pertambangan Kaltim Prima Coal (PT. KPC), Kutai Timur, seorang pekerja perusahaan batu bara raksasa ini diduga terpapar COVID-19 setelah pulang dari India pada April lalu. Di Mimika, Papua, kondisi para pekerja PT Freeport Indonesia (FI) jauh lebih mengenaskan. Terekam 124 pekerja perusahaan pengeruk emas dan tembaga ini positif terpapar COVID-19. Mereka juga menulari istri dan keluarga. Hingga 26 Mei lalu, dua pekerja meninggal dunia dan angka ini diprediksi akan terus bertambah.
Sejak pandemi teridentifikasi, pemerintah daerah melalui Bupati Mimika, Serikat Pekerja Kimia dan Energi Pertambangan (SP-KEP) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebetulnya telah meminta agar operasi pertambangan dihentikan sementara. Manajemen bergeming, pun dengan pemerintah pusat. Keduanya memilih operasi terus berjalan demi target produksi dan laba.
Ini adalah sikap pihak yang kemarin dulu menyombongkan diri telah melakukan divestasi saham sebesar 51 persen dari perusahaan raksasa asal Amerika. Semestinya, divestasi saham juga berarti memiliki kendali yang dominan untuk dapat mengambil keputusan, termasuk menghentikan sementara produksi. Selain itu, sebenarnya pemerintah dapat menggunakan Pasal 113 UU Pertambangan dan Mineral Batubara (UU Minerba) yang mengatur tentang kemungkinan penghentian operasi sementara akibat kondisi darurat—termasuk di dalamya pandemi. Tapi toh itu tak digunakan untuk menyelamatkan komunitas dan pekerja tambang.
Kondisi kerja yang tidak sehat tapi operasi dipaksakan terus berputar tidak ubahnya praktik perbudakan dan penumbalan nyawa pekerja.
Tak ada pula alasan untuk terus mengejar laba karena selama ini pendapatan PT FI sudah begitu besar. Pada 2018 lalu, PT FI membukukan pendapatan sebanyak 4,4 miliar dolar AS atau setara Rp62,16 triliun dan laba 1,28 miliar dolar AS (setara Rp 18 triliun). 13 komisaris dan direksi memiliki total gaji mencapai 4,9 juta dolar AS atau setara Rp 70 miliar dan gaji komisaris sebesar 454 ribu dolar AS (Rp 6,5 miliar) dalam setahun. Jumlah ini bahkan lebih besar dibanding anggaran pemerintah Kabupaten Tangerang dalam menangani COVID-19, yakni sebesar RP 70 miliar. Bayangkan jika dana sebesar itu digunakan untuk menyubsidi para pekerja.
Kedua, meneruskan kekerasan terorganisir kepada komunitas dan pembela bumi yang berada di garis depan perlawanan.
Kriminalisasi, intimidasi, teror, dan bahkan penyerangan terang-terangan adalah beberapa jenis kekerasan terorganisir yang terjadi di sektor pertambangan. Tiap tahun, kurva kekerasan terhadap komunitas dan para pembela lingkungan hidup terus meningkat. Sepanjang 2014 sampai 2019 atau pada masa pemerintahan Joko Widodo, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat terjadi sedikitnya 71 konflik pertambangan dan 40 kasus kriminalisasi terhadap warga dan pembela lingkungan hidup yang mencakup 210 orang. Kekerasan ini dilakukan oleh beragam aktor, mulai dari aparat resmi, keamanan perusahaan, maupun preman.
Kekerasan ini tidak berhenti pada masa pandemi. Di Banyuwangi, Jawa Timur, komunitas penentang ekspansi pertambangan emas PT. BSI dua kali mendapat serangan fisik. Serangan dilakukan oleh kelompok bayaran perusahaan, polisi, serta TNI dengan dalil darurat pandemi, penegakan hukum di kawasan Objek Vital Nasional (Obvitnas) dan juga social distancing—sementara di sisi lain operasi pertambangan tetap berlangsung. Tenda protes warga juga dihancurkan.
Di pegunungan karst Kendeng, persisnya di Kabupaten Pati dan Rembang, Jawa Tengah, protes damai para perempuan terhadap sebelas operasi tambang batu gamping ilegal berujung intimidasi dari preman. Operasi tambang-tambang ini diduga terhubung menjadi rantai pasok pabrik semen kontroversial, PT Semen Indonesia (SI). PT SI berada di kawasan cekungan air tanah dan ekosistem karst. Operasi perusahaan ini mengancam sumber air pertanian serta pangan warga.
Hal serupa terjadi di Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Warga yang marah membakar mesin pengeruk (ekskavator) pertambangan batu bara. Warga melakukan itu karena mesin pengeruk sudah sampai di bibir Waduk Samboja yang merupakan sumber irigasi utama baik bagi pertanian maupun pangan warga Kutai Kartanegara. Aksi warga berujung intimidasi para preman yang diduga mendapatkan perlindungan dari kepolisian setempat.
Ironisnya, semua ini terjadi tepat ketika Jokowi mengumbar imbauan ke media massa agar seluruh rakyat memastikan ketahanan pangan di daerah masing-masing untuk mengantisipasi defisit pangan akibat perubahan cuaca dan pandemi. Betapa semu dan kontradiktifnya imbauan tersebut.
Kekerasan terorganisir ini bahkan juga mendarat di tubuh kelas pekerja. Sejumlah aktivis buruh di kompleks industri IWIP Halmahera yang menggelar demonstrasi pada May Day pada 1 Mei 2020 lalu ditangkap. Penangkapan ini memantik gelombang solidaritas hingga hari ini.
Semua kasus-kasus di atas semakin ‘lengkap’ dengan rentetan kebijakan beracun lain seperti darurat sipil, telegram Kapolri mengenai penegakan hukum pada masa pandemi dan mobilisasi ratusan ribu polisi dan tentara pada masa new-normal atau kelaziman baru. Semuanya adalah ancaman terhadap demokrasi serta perjuangan lingkungan hidup yang pada akhirnya melanggengkan kekerasan terorganisir.
Ketiga, melakukan pemasaran politik (political marketing) menjijikkan: membingkai diri sediri sebagai pahlawan saat pandemi, misalnya dengan cara menyumbangkan sejumlah uang hingga logistik medis untuk masyarakat.
Pada akhir Maret lalu, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mendonasikan Rp 540 miliar untuk masyarakat. Uang ini dikumpulkan dari anggota, yaitu perusahaan tambang yang cukup dikenal publik. Adaro, misalnya, menyumbang Rp 20 miliar, Bakrie Group (PT KPC & PT Arutmin Indonesia) lebih dari Rp 40 miliar hingga Berau Coal.
Nyaris semua perusahaan tambang tenar menjalankan corporate social responsibility (CSR) pada masa pandemi. Bentuknya tak hanya uang, tapi juga alat pelindung diri (APD) hingga instalasi cuci tangan dan bahan makanan pokok. Ini misalnya dilakukan oleh PT. Indominco Mandiri (PT. IMM) yang berada di Santan, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Hal serupa dilakukan sepuluh perusahaan tambang dan industri nikel, kobalt dan metalurgi dari Tiongkok pada akhir Maret lalu. Mereka menyumbangkan ribuan masker, alat swab test dan APD lainnya kepada Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi.
Tapi toh media massa nyaris satu suara soal bantuan-bantuan ini: bahwa apa yang mereka lakukan murni dalam rangka meringankan beban masyarakat. Padahal, di saat yang sama, perusahaan seperti Adaro, Bakrie Group dan Berau Coal adalah perusahaan yang terekam paling banyak meninggalkan lubang-lubang tambang beracun yang menganga, tampil sebagai episentrum konflik dengan warga setempat dan masyarakat adat hingga terjerat dalam berbagai skandal aliran uang dan pajak.
Selain itu, beberapa perusahaan tambang asal Tiongkok yang tadi disebut menyumbangkan ribut perangkat medis, misalnya PT Huayue Cobalt Co. Ltd, PT HPAL, PT Tsing Shan dan Brunp Recycling Technology terindikasi sedang mengajukan proses perizinan pembuangan tailing atau limbah tambang ke perairan laut dalam (deep sea tailing placement) pada sejumlah kementerian terkait sebelum masa pandemi. Perencanaan kegiatan ini disupervisi oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Perusahaan-perusahaan itu berencana membuang limbah operasi pertambangan di perairan Pulau Obi, Provinsi Maluku Utara, dan perairan Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
Jika terealisasi, maka itu akan mengorbankan penghidupan warga pesisir dan nelayan, masyarakat adat di pulau kecil hingga biodiversitas di kawasan segitiga koral yang memiliki nilai dan fungsi alam penting. Tentu saja apa yang mereka berikan ke masyarakat tidak sebanding dengan dampak merusak di masa depan.
Keempat, memastikan keselamatan dan kenyamanan bisnis pertambangan dengan menyingkirkan kontrol publik dan mempermudah perizinan investasi pertambangan di saat pandemi. Dengan kata lain: deregulasi.
Penyelamatan ini dimulai dengan memberikan perluasan insentif kepada pelaku usaha pertambangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 23/2020 yang diperluas hingga mencakup sebelas jenis sektor baru termasuk sektor pertambangan seluruh komoditas. PMK 23/2020 kemudian direvisi menjadi PMK No 44 tahun 2020 pada pertengahan April 2020 lalu. Perluasan insentif yang diberikan Menteri Keuangan Sri Mulyani tersebut di antaranya mencakup insentif mengenai pajak ekspor dan impor, fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) hingga insentif angsuran pajak badan usaha.
Melalui insentif ini, sebesar Rp 35 triliun uang rakyat dari anggaran negara ditambahkan pada pos penanganan dampak ekonomi COVID-19 dan mengalir ke kantong para pelaku usaha pertambangan.
Upaya deregulasi juga aktif diupayakan para pelaku usaha. Sepanjang Februari hingga Maret 2020, atas nama kondisi pandemi, beberapa lembaga seperti Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Asosiasi Pertambangan Batubara seperti ICMA–APBI dan juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya membatalkan kawajiban penggunaan kapal tongkang dalam negeri untuk kegiatan ekspor batubara yang diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 82 Tahun 2017. Mereka menggap kebijakan ini memberatkan. Lalu, dari Maret hingga April 2020, juga atas nama dampak pandemi, Asosiasi Penambangan Nikel Indonesia (APNI) mendesak pemerintah untuk memberikan relaksasi ekspor nikel dengan kadar rendah meskipun sebelumnya sudah dilarang karena wajib mengikuti program hilirisasi di dalam negeri.
Sepekan lalu, tepatnya di ujung Mei, APBI melalui Direktur Eksekutif Hendra Sinadia bahkan berani mengajukan permintaan relaksasi royalti, dengan alasan pandemi telah membuat harga komoditas tertekan karena kondisi pasar kelebihan pasokan. Ia meminta pemerintah mengubah peraturan guna keselamatan pengusaha batubara.
Di antara sekian banyak upaya itu, yang paling kolosal adalah deregulasi bagi bisnis pertambangan dan batubara yang dikemas dengan nama Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) dan Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dua peraturan itu memuat pasal–pasal yang menguntungkan industri pertambangan dan energi maut batubara seperti adanya insentif fiskal dan non fiskal pada pertambangan dan batubara terintegrasi Pembangkitan Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan hilirisasi serta royalti 0 persen.
Dalam UU Minerba yang baru ini juga ada penghapusan tindak pidana dan sanksi korupsi, definisi wilayah hukum pertambangan yang memberikan keleluasaan batas waktu izin dan luas wilayah eksplorasi menjadi tidak terbatas, hingga terkait perpanjangan izin otomatis. Kebetulan atau tidak, beberapa perusahaan batubara besar seperti PT Kaltim Prima Coal (KPC), Arutmin, Adaro, Kideco Jaya Agung, Berau Coal dan Multi Harapan Utama (MHU) akan segera habis masa berlakunya.
Semua pasal-pasal ini dibahas dan dikeluarkan sebagai bagian dari kebijakan untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan bisnis pertambangan, dengan mengecualikan pertimbangan terhadap keselamatan rakyat dan alam.
***
Keempat tren dan pola tersebut menunjukkan secara benderang bagaimana bisnis pertambangan terus mengambil keuntungan saat pandemi COVID-19 dan melanjutkan penghancuran imunitas sosial ekologis di sekujur tubuh kepulauan Indonesia. Di sisi lain, pemerintah memanfaatkan anggaran negara yang berasal dari sumber daya warga justru untuk memperkuat oligarki–korporasi dengan jalan memberi subsidi, insentif hingga melakukan bailout kepada pelaku bisnis pertambangan alih-alih memperkuat imunitas sosial ekologi.
Pada akhirnya imunitas sosial ekologis merosot; dan sebaliknya, imunitas oligarki-korporasi meningkat pesat. Imunitas ini termasuk menguatnya kekebalan tubuh kekuasaan oligarki baik dengan memobilisasi kekerasan terorganisir atas nama pandemi maupun diskursus the new normal.
Jika sudah begini, kerumunan oligarki–korporasi ini patut diwaspadai membajak demokrasi, melanggengkan kedaruratan, dan menyediakan jalan bagi kediktatoran baru: kediktatoran di bawah panji-panji kapitalisme tambang.***
Merah Johansyah Ismail, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)