Ilustrasi oleh Jonpey
SETIAP Kamis, sejumlah orang berkumpul di depan istana presiden dengan busana serba hitam dan payung hitam. Mereka adalah orang-orang yang menolak lupa dan menuntut penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Aksi ini dinamakan Aksi Kamisan.
Saya mengetahui aksi Kamisan sejak duduk di bangku SMA. Saat itu saya mengalami fase mempertanyakan banyak hal, termasuk masa lalu Indonesia. Di buku-buku sejarah resmi tak banyak bahasan tentang genosida 1965-66, tragedi 13-14 Mei 1998, pembantaian Talangsari, Wasior dan Wamena, pembunuhan Munir, penculikan 13 aktivis, dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Dari situ banyak pertanyaan yang mulai muncul di pikiran.
Perjalanan dimulai dengan bertanya kepada guru sejarah saya: kapan penjahat HAM berat masa lalu diadili? Ia tak punya jawaban. Teman-teman saya juga tak ambil pusing. Bahkan ketika membahas tentang G30S/PKI, mereka masih mengulang propaganda Orba. Terdengar sayup-sayup umpatan “PKI itu iblis” di ruang kelas. Sekali waktu pula teman sekelas saya meminta untuk menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI, sebuah produk propaganda warisan Soeharto untuk menciptakan “hantu PKI”. Saya memboikotnya dengan keluar dari ruang kelas.
Melihat keadaan ini saya mulai bingung dan gelisah. Beberapa orang di kelas memanggil saya sebagai simpatisan PKI. Tentu saja panggilan itu membuat saya teringat ketika banyak sekali korban pembantaian pada tahun 1965-1966 dituduh sebagai simpatisan komunis. Mereka yang tak tahu apa-apa diangkut dan dihabisi. Saya merasa terasing.
Tapi, sejak itu saya menemukan titik cerah. Saya menemukan ada barisan orang yang melihat kebenaran. Mereka bukan orang-orang yang punya kuasa atau ketenaran; mereka hanya berharap keadilan dan kebenaran dapat hadir di dunia. Dan saya kaget sekali saat mengetahui para peserta Aksi Kamisan sudah berdiri setiap hari Kamis sejak 2007. Benarkah mereka tidak pernah kelelahan? Saya yang membaca literasi tentang pelanggaran HAM saja sudah tidak kuat, baik fisik maupun mental.
Memang itulah yang mereka perjuangkan. Keteguhan hati menciptakan suatu kekuatan yang tak bisa dikalahkan oleh niat buruk. Dengan bersolidaritas, mereka melawan. Payung yang mereka genggam melindungi harapan. Hitam merupakan identitas keteguhan hati para keluarga korban dan orang-orang yang bersolidaritas. Kegiatan berkumpul setiap Kamis bertransformasi menjadi pelajaran sejarah yang bahkan tidak diajarkan di sekolah atau universitas. Gerakan kolektif ini menjadi harapan yang selalu hidup.
Harapan yang meluas
Melihat teman-teman Aksi Kamisan menginjak aksi yang ke-600 tahun lalu (2019), saya merasa perlu ada suatu upaya untuk melakukan aksi solidaritas di luar negeri. Terbesit gagasan untuk mengadakan Aksi Kamisan di Perth, Australia Barat. Sebetulnya ide ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu, namun baru kali ini benar-benar terlaksana.
Menginisiasi Aksi Kamisan di luar negeri tidaklah mudah. Beberapa proses harus dilalui untuk melakukan sebuah aksi. Awalnya saya mencoba melakukan koordinasi dengan organisasi pelajar setempat, tapi hasilnya nihil. Apalagi ada sebuah pandangan bahwa melakukan aksi di luar negeri tidak akan berdampak besar. Ada pula anggapan menggelar aksi di luar negeri hanya akan memperburuk pandangan masyarakat luar negeri terhadap Indonesia. Belum lagi ada persoalan politik di organisasi serta apatisme pelajar di luar negeri—setidaknya di tempat saya belajar.
Masalah-masalah ini menjadi hambatan aksi, terutama di tingkat partisipasi. Ada ketakutan untuk mengadakan aksi karena konsekuensi yang dihadapi. Salah satu ketakutan itu terkait urusan hukum. Perlu diingat, untuk mengadakan aksi dibutuhkan izin dari aparat atau komunitas setempat jika melibatkan jumlah massa yang banyak (peraturan tentang kebebasan berkumpul memang perlu ditelusuri lebih dalam). Beruntungnya, untuk Aksi Kamisan di Perth, tidak ada halangan sama sekali dari aparat setempat.
Yang menjadi masalah adalah tekanan dari lingkungan sekitar, mulai dari mahasiswa hingga organisasi masyarakat setempat. Ada pihak yang tidak sependapat dengan kegiatan ini. Hal itu dapat dimaklumi. Perbedaan pendapat bukan masalah ketika kita saling menghormati kebebasan berpendapat dan hak sipil orang lain. Masalah baru muncul apabila hak-hak sipil itu dibatasi. Belum lagi ada pelabelan bagi peserta aksi sebagai “pembuat onar”. Meski masalah-masalah ini muncul juga muncul di Indonesia. Beberapa kali Aksi Kamisan di sejumlah titik mengalami tekanan dari ormas dan aparat. Mereka melabeli peserta sebagai “simpatisan PKI”. Tentu saja itu merupakan labelisasi yang tidak berdasar. Aksi Kamisan bergerak atas dasar kemanusiaan, bukan atas nama golongan dan afiliasi partai politik.
Tingkat partisipasi dalam Aksi Kamisan di Perth juga menimbulkan kekhawatiran. Minimnya solidaritas dari sesama pelajar juga membuat luntur semangat. Walhasil, tak ada cara selain meminta solidaritas kepada individu-individu tertentu. Untung saja mereka bersedia untuk ikut aksi pada hari-H. Yang mengejutkan bagi saya, sejumlah warga setempat bergabung. Aksi dilakukan dengan sederhana, tapi rasanya sangat sakral. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan lewat kata-kata.
Kemunculan orang-orang baru yang mau bersolidaritas itu menumbuhkan harapan. Beberapa peserta bersedia meminjamkan alat tulis dan kertas untuk membikin poster protes. Bahkan ada beberapa peserta dari warga negara Australia yang ikut bersolidaritas. Kebetulan juga hari itu bertepatan dengan hari peringatan kematian Munir. Ini menambah semangat kami.
Aksi Kamisan di Perth diadakan pada hari Sabtu, menyesuaikan jadwal para peserta aksi. Ini membuktikan bahwa Aksi Kamisan, yang juga dapat disebut sebagai Aksi Payung Hitam, dapat beradaptasi sesuai kondisi di lapangan.
Di Perth sendiri sudah ada dua aksi yang dilakukan selama 2019. Yang pertama adalah Aksi Kamisan untuk memperingati aksi yang ke-600 di Indonesia sekaligus kematian Munir. Setelah itu diadakan protes solidaritas #ReformasiDiKorupsi dengan menggelar aksi diam di pusat kota.
Diintimidasi dan mendapat label sebagai warga yang cari ribut adalah dua di antara beberapa risiko menggelar aksi ini. Walhasil, beberapa peserta akhirnya merasa takut berpartisipasi. Solidaritas sedikit goyah. Ini menjadi bahan pelajaran penting bagi kami.
Namun, aksi ini memberikan pengalaman berharga: kalau tidak ada titik aksi di wilayahmu, maka buatlah. Jangan kecil hati dengan sedikitnya jumlah peserta.
Untuk menciptakan gerakan baru, terutama di luar negeri, kita perlu mengorganisir kolektif yang mandiri. Bentuknya bisa beragam, mulai dari aliansi sampai forum—yang penting disesuaikan kebutuhan dan kondisi di mana kamu berada. Yang paling penting adalah adanya satu visi dan tujuan untuk terciptanya gerakan.
Koordinasi dengan titik-titik perlawanan lain juga diperlukan. Dalam aksi yang saya organisir, problem utamanya adalah komunikasi antara teman-teman di Indonesia dan di luar negeri, misalnya perbedaan zona waktu.
Sebuah kolektif bisa terdiri dari beberapa orang saja. Yang penting ada kesepahaman dan berpikir taktis. Seperti apa yang dilakukan ibu Sumarsih dan teman-teman. Pada awalnya aksi Kamisan juga dihadiri oleh belasan orang dan sebelumakhirnya bertransformasi menjadi gerakan kemanusiaan yang meluas di berbagai tempat. Setelah kolektif mandiri, agenda-agenda lain yang lebih konkret dan praktis bisa disusun.
Kita sekarang butuh suatu gerakan masif untuk melakukan suatu perubahan, dan perubahan itu tidak hanya datang dari satu sumbu perlawanan. Kita perlu belajar dari pergerakan warga sipil Hong Kong di luar negeri. Mereka membuat aliansi dan jaringan solidaritas di mana pun mereka berada. Hasilnya benar-benar berdampak besar bagi pergerakan demokrasi Hong Kong. Aksi-aksi yang mereka lakukan di luar negeri secara tidak langsung memberikan semangat bagi teman-teman di dalam negeri. Lewat aksi-aksi ini juga banyak masyarakat di luar negeri yang mengetahui keadaan di Hong Kong.
Inisiatif untuk menyuarakan aspirasi perlu dilakukan di mana pun kalian berada. Tiap solidaritas berpotensi berdampak besar. Lihat saja aksi solidaritas warga sipil Hong Kong di luar negeri. Mereka sempat mengadakan aksi serentak dalam satu hari di beberapa kota besar di dunia.
Berjuang di luar negeri tentu bukan sesuatu yang baru. Para pelajar Indonesia di Belanda era kolonial sudah memulainya dengan organisasi seperti Perhimpunan Indonesia. Studi Syafiq Hasyim bertajuk “Challenging a home country: A preliminary account of Indonesian student activism in Berlin” (2014) memaparkan bagaimana para pelajar Indonesia di Berlin pada 1960-an menyusun fondasi aktivisme mahasiswa diaspora, dan merangkul berbagai tujuan politik dengan tendensi beragam. Fondasi ini kelak menjadi pilar penting dalam gerakan solidaritas demokrasi 1970-an dan 1990-an.
Namun, ada problem akut dalam gerakan mahasiswa sejak dulu: berpolitik sebagai sebuah kelompok “mahasiswa”, mengatasnamakan rakyat, tapi tak melibatkan rakyat itu sendiri.
Gerakan mahasiswa 1960-an adalah contohnya: tidak organik, mengklaim sebagai gerakan moral, dan sebagian pentolannya akhirnya jatuh pada dekapan kekuasaan Soeharto. Tidak ada “rakyat” kecuali sebagai slogan dalam gerakan ini karena rakyat yang sesungguhnya diburu, dibunuh, dipenjara, dan diteror hingga 30 tahun kemudian. Elitisme semacam ini perlu dibuang ke tong sampah. Lihat saja sekarang, di mana suara para ketua BEM yang beberapa bulan lalu berbicara di TV mengatasnamakan gerakan #ReformasiDikorupsi?
Kondisi kemahasiswaan di luar negeri saat ini pun begitu memprihatinkan. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) yang dulu sangat kritis kini menjadi wadah kariris dan oportunis. PPI Dunia sekarang tidak berjarak dengan elit dan sangat mudah dimanipulasi lewat acara-acara bertajuk “webinar khusus” dan “audiensi”. Mereka yang terlibat dalam politik praktis memilih tidak mau tahu (atau memang tidak tahu?) kondisi sosial-politik. Ketika ditanya kesediaan untuk menyuarakan masalah-masalah aktual di Indonesia, penolakan seringkali menjadi jawaban. “Isunya terlalu sensitif”, “Di luar negeri jangan cari ribut demi menjaga kerukunan komunitas Indonesia”. Kira-kira demikian respons mereka, yang sangat berbeda dengan PPI pra-1998. Hasyim mencatat, PPI Cabang Berlin Barat melakukan aksi boikot terhadap Hari Kesaktian Pancasila 1977 di Konsulat Jenderal Indonesia di Berlin Barat sampai-sampai dilabeli sebagai simpatisan komunis.
Pemandangan seperti itu niscara langka hari ini, ketika represi terhadap aktivis (khususnya lingkungan) kian menjadi-jadi dan dwifungsi aparat hijau dan coklat makin telanjang.
Kalau organisasi pelajar diaspora sudah disusupi oleh mereka yang sudah lupa asal-usulnya sebagai rakyat, bukankah lebih baik membentuk payung-payung baru?***
Sadina Palastri adalah penulis