Sumber ilustrasi: Platypus1917.org
Politik dan Praksis
Dalam History and Class Consciousness, Lukács menyapa gerakan Komunis di Eropa. Pilihan ini jelas terkait dengan pengalaman kekalahannya. Seperti orang-orang segenerasinya, ia percaya bahwa teori komunis perlu menjadi lebih fleksibel dan konkret untuk memimpin revolusi politik yang akan membalik proses reifikasi masyarakat. Dalam hal ini, Lukács menghadapi sekumpulan problem yang serupa dengan yang dihadapi tokoh Marxis asal Italia, Antonio Gramsci.
Lukács, seperti halnya Gramsci, memahami bahwa agar kesadaran kelas proletariat menjadi efektif, ia perlu dibentuk dan diartikulasikan secara politis. Ia melihat Partai Komunis sebagai agen dari tugas ini, dengan berfungsi sebagai inkarnasi kehendak proletar dan kepemimpinan intelektualnya.
Tetapi ini tidak berarti bahwa Partai-partai Komunis—sebagaimana yang diasumsikan oleh kalangan Stalinis (atau kelompok Trotskyis yang lebih sektarian)—memiliki hak yang dianugerahkan dari Allah untuk memimpin.
Lukács mencatat perbedaan antara kesadaran kelas yang diperhitungkan dan yang aktual. Kesadaran kelas yang diperhitungkan adalah kesadaran yang kaum sosialis atributkan pada kelas pekerja: ia merupakan “tipe ideal”, meminjam istilah Weberian. Andai seluruh kaum proletar sadar akan kepentingan-kepentingannya, baik untuk membebaskan diri maupun pertentangannya dengan kepentingan-kepentingan kapital. Proletariat yang demikian akan memiliki kesadaran kelas. Dari perhitungan ini menjadi mungkin untuk menggariskan teori sosialis.
Namun hipotesis tersebut memunculkan perhatian pada jarak antara kesadaran yang diperhitungkan dengan kenyataan. Sebab sebagian besar proletar ini berada di bawah pengaruh ide-ide non-sosialis.
Ini tidak berarti bahwa kita harus menanggalkan ide tentang kesadaran yang diperhitungkan. Sebagaimana Lukács tulis dalam Defence of History and Class Consciousness, yang merespons para pengkritik awalnya, perhitungan adalah bagian dari semua bidang studi yang serius. Misalnya, seorang peneliti dapat mengatakan bahwa kelakuan seorang pemimpin agama berkontradiksi dengan kepentingan para pengikutnya. Ini merupakan tindakan perhitungan: untuk membuat penilaian, seseorang mengasumsikan pengetahuan tentang kepentingan kelompok agama tersebut. Penilaian ini bisa saja keliru, tetapi tidak ada yang secara inheren salah dalam penggagasannya.
Hal yang sama juga berlaku ketika kaum sosialis memperhitungkan kesadaran kelas pada proletariat. Jelas sekali bahwa kaum proletar akan diuntungkan dari penghapusan kerja upahan ataupun penumpasan rasisme. Namun, merancukan apa yang kita pikir harus dipikirkan oleh kaum proletar dengan apa yang betul-betul mereka pikirkan, akan pikirkan, atau pasti pikirkan adalah sebuah kesalahan serius. Pemampatan jarak antara kesadaran yang diperhitungkan dengan kesadaran aktual adalah sesuatu yang membahayakan. Kesadaran kelas yang diperhitungkan haruslah dilihat sebagai sebuah hipotesis.
Secara praktis, jika suatu partai sosialis sanggup memimpin perjuangan—katakanlah aksi mogok ataupun kampanye elektoral—pada kemenangan yang berarti, kita dapat mengatakan bahwa perhitungan mereka kemungkinan cukup tepat
Meski demikian, strategi hampir selalu dimodifikasi lewat pergulatan dengan praktik. Bagi Lukács, terdapat dialog antara kepemimpinan dengan mereka yang dipimpin. Dalam perjuangan yang sukses, suatu hipotesis teoretis tentang kekuatan proletariat berinteraksi dengan dan menginformasikan suatu tindakan praktis. Hasilnya adalah apa yang disebut Lukács sebagai praksis.
Dari Politik menuju Filsafat
Banyak dari hasil investigasi Lukács yang secara eksplisit programatis dan politis tampak usang bagi telinga orang modern. Maklum saja, abad keduapuluh dipenuhi oleh upaya-upaya untuk mengulangi Revolusi Bolshevik, seringkali lewat pembangunan partai bermodel Leninis. Tidak ada contoh yang berhasil dari upaya-upaya ini. Sudah beberapa dekade pula berlalu sejak dewan atau sovietkaum pekerja dibentuk.
Sejalan dengan itu, isu-isu politik yang dihadapi oleh gerakan sosialis juga berbeda hari ini. Tidak ada lagi pertanyaan kolonial untuk diperdebatkan. Petani hampir lenyap sebagai kelas. Di sisi lain, level kebudayaan hari ini jauh lebih tinggi daripada di masa Lukács. Hampir semua orang bisa membaca. Kita memiliki dunia yang penuh dengan informasi yang siap saji.
Perbedaan-perbedaan ini tidak menjadikan teori politik Lukács tidak lagi relevan: esensi dari pembacaannya atas Lenin adalah kekonkretan. Yaitu, ia berargumen bahwa signifikansi Lenin ialah bahwa ia sanggup—lewat kemampuannya memahami teori dan keterlibatannya dalam gerakan yang riil—untuk memahami konjungturnya dan medan strategis yang muncul dari sana dalam level yang jauh lebih konkret dan akurat daripada orang-orang sejamannya. Ini adalah pembacaan atas Leninisme yang menekankan demokrasi yang mungkin menarik di masa ini, ketika generasi sosialis baru menolak pembacaan ortodoks atas Lenin yang Stalinis maupun Trotskyis.
Namun jika kita mengambil argumen Lukács secara serius, sebuah program politik harus dibentuk dalam konjungtur historisnya sendiri: menyalin sebuah program politik berarti mereifikasikannya. Sebaliknya, warisan utama Lukács bersifat filosofis.
Titik tolak filsafat Lukács mirip dengan argumen yang dijelaskan di atas. Lukács percaya kenyataan produksi komoditas dan reifikasi membentuk pikiran sebagaimana ia membentuk masyarakat. Pikiran itu sendiri sama kontradiktif dan terfragmentasikannya dengan ekonomi.
Anda dapat melihat contoh-contohnya di mana-mana. Misalnya, bandingkan aneka teori politik yang ada. Kelompok liberal percaya pada rasionalitas hakiki dari institusi-institusi dan mengusulkan bahwa di dalam kondisi-kondisi ideal untuk bercakap-cakap, kita semua akan mencapai kesepakatan. Di sisi lain, kelompok konservatif akrab dengan kekerasan, kekuasaan, dan tradisi-tradisi yang irasional. Meski hal ini seringkali membuat kaum konservatif lebih realistis, realisme mereka—yang ternyata radikal—hanya mereproduksi gambaran tentang dunia yang tereifikasi. Di sisi lain, nilai-nilai transendental yang dipegang oleh kaum liberal—seperti kebebasan, demokrasi, kesetaraan, dan seterusnya—hanya memperkuat loyalitas pada sistem dan memberi justifikasi pada tatanan yang menindas. Jadi keduanya sama-sama tidak dapat mencapai pemahaman penuh tentang kenyataan.
Ideologi-ideologi dan kontradiksi-kontradiksi yang demikian itu bukan hanya merupakan pandangan yang keliru. Keberadaan mereka inheren sifatnya dalam struktur-struktur yang mengatur masyarakat. Jadi, mereka memiliki dampak pada praktik. Misalnya, dalam esai “Legality and Illegality”, Lukács berargumen bahwa taktik-taktik sosialis harus berlayar di antara dua kutub; legalitas yang fetisistik (ala liberal) dan ilegalitas yang fetisistik (ala anarkis). Ia berargumen bahwa kedua kutub ini menunjukkan sikap kekanak-kanakan terhadap hukum—meski yang terakhir coba menyembunyikannya. Poin dari kritik Marxis atas hukum adalah pembebasan kaum sosialis secara intelektual sehingga mereka dapat berorientasi secara strategis dengan mata yang jernih. Pendeknya, kemampuan untuk menaati hukum maupun melanggarnya ketika diperlukan sama-sama penting; pertanyaan kuncinya adalah apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Lukács berargumen bahwa filsafat—sebagai ranah pengetahuan yang didedikasikan untuk merefleksikan pengetahuan—memegang janji bahwa kita akan menjadi sadar betapa paradoksnya struktur pikiran dan kenyataan, dan dengan demikian membawa kita pada kemerdekaan intelektual.
Filsafat dan Kebebasan
Menurut Lukács, kita hanya akan merdeka—baik dalam teori maupun praktik—jika kita berefleksi tentang pengetahuan kita sendiri dan hubungannya dengan dunia yang kita tinggali. Misalnya, kapanpun seseorang menjadi sosialis, ia akan berhadapan dengan tradisi intelektual yang kaya dan mendetil, dengan aneka pandangan, metode, argumen politik, dll. yang saling berkompetisi. Kita membuat pilihan-pilihan: kita memilih apa yang masuk akal bagi kita, berdasarkan bacaan kita, diskusi-diskusi kita, dan pengalaman-pengalaman kita. Jadi, kita menjadi bagian dari perdebatan yang hidup, tetapi juga bagian dari sebuah tradisi.
Tradisi ini kaya secara teoretis. Namun seringkali teori kita tetap secara relatif bersifat intuitif atau tak sadar. Karenanya sangatlah mudah untuk menggunakan teori secara tidak kritis. Sebab pilihan-pilihan kita (misalnya, untuk bergabung dengan partai tertentu dan bukan yang lain, atau untuk membaca teoretikus tertentu dan bukan teoretikus lainnya) tampak bebas, tetapi dalam kenyataannya, mereka terkondisi oleh ribuan faktor-faktor keadaan yang hanya sebagiannya kita sadari. Tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Namun jika kita tidak ingin didorong begitu saja oleh sejarah dan keadaan, kita perlu menemukan jalan untuk mendapatkan gambaran besar. Kita perlu menemukan titik pijak yang darinya kita dapat berefleksi tentang apa yang kita ketahui dan keputusan-keputusan politik yang kita buat.
Inilah pokok dari filsafat, menurut Lukács. Berfilsafat—termasuk apa yang disebut filsafat “borjuis”—memberi kita kebebasan intelektual, sehingga kita dapat secara sadar dan berpengetahuan menggunakan teori, dan tidak digunakan oleh-nya. Lihat saja sifat abstrak dan dungu kaum dogmatis teoretis, baik di kalangan kiri maupun di luarnya. Perhatikan juga dogmatisme yang diasosiasikan dengan banyak partai Komunis, Sosial-Demokrat, atau Trotskyis. Dalam kasus-kasus ini, teori dan tradisi menjadi penjara: bukannya menolong kita memahami dunia secara lebih jelas, dogmatisme merancukan teori dengan kenyataan. Ini pulalah yang menjadi situasi ditangkap Lukács di sekitarnya—yang menjadi alasan mengapa penggagasan kembali atas Marxisme olehnya seringkali ditujukan pada representasi-representasi dari ortodoksi teoretis, baik dalam Internasional Kedua dan Ketiga.
Jadi Lukács meyakini bahwa filsafat memungkinkan kita mencapai kebebasan konkret dalam hubungan dengan teori. Intinya bukan membuang teori. Sama seperti fokus prinsipiil pada ilegalitas mengkhianati cinta rahasia pada hukum, penolakan berlebih atas teori dengan alasan pengutamaan praktik menunjukkan bahwa orang tersebut tidak sadar, dan karenanya terjajah secara intelektual.
Pokoknya adalah mengangkat teori pada kesadaran. Ini akan menolong kita untuk mengambil tanggung jawab untuk mengemban peran kita sendiri dalam membangun suatu teori yang memadai untuk perjuangan di masa kini. Ini juga akan mendorong kita untuk berinteraksi dengan tradisi kita tanpa ditundukkan olehnya. Pendeknya, seperti dalam kata-kata Lukács, materialisme historis harus diterapkan pada dirinya sendiri.
Lukács Dulu dan Kini
Setelah 1920-an, Lukács ada di pihak yang kalah dalam perdebatan gerakan Komunis internasional. Pada 1920-an, kalah dalam perdebatan berarti disingkirkan. Pada 1930-an, kalah dalam perdebatan berarti mengemban resiko untuk dilenyapkan selamanya.
Maka Lukács secara sadar mundur dari politik dan berfokus pada ranah kritik sastra dan filsafat murni. Pada 1956, ia masuk lagi ke kancah politik dan sekali lagi bergabung ke dalam pemerintahan revolusioner—kali ini melawan dominasi Uni Soviet atas Hongaria. Karena hal ini dan banyak alasan lain, kita dapat mengafirmasi tanpa keraguan bahwa ia tetaplah seorang demokrat radikal yang berkomitmen sepanjang hidupnya.
Ia juga memproduksi banyak karya filsafat brilian lainnya, termasuk The Young Hegel, The Ontology of Social Being, dan karya tak tuntas tentang teori estetika Marxis. Perhatian atas karya-karya ini berada di luar cakupan esai ini—tetapi bukan berarti bahwa karya-karya tersebut tidak bernilai. Lukács juga mendidik sejumlah murid, banyak di antaranya berasosiasi dengan Mazhab Budapest, yang melarikan diri dari Hongaria ke Australia dan anggota-anggotanya menetap di Melbourne dan Sydney.
Hari ini Hongaria dikuasai oleh salah satu partai kanan-jauh yang paling menjijikkan di Eropa. Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Viktor Orbán dan partai Fidesz, Hongaria bergerak semakin rasis, anti-semitis, dan anti-intelektual. Kebebasan politik dan intelektual semakin dikekang. Di tanah airnya, Hongaria, warisan atau peninggalan dari Lukács tengah diserang. Arsip Lukács telah ditutup dan materi-materinya dirampas oleh pemerintah. Para sarjana yang terasosiasikan dengan Lukács telah dikenakan tuduhan korupsi, diserang dan diburu dengan retorika anti-semitis.
Paradoksnya, di belahan dunia lain, Lukács lebih dihormati dan dibaca secara luas dibanding sebelumnya. Ini dikarenakan bangkitnya minat terhadap sosialisme. Lukács akan selalu menjadi figur yang memikat, khususnya pada mereka yang tertarik pada kritik radikal dan etis atas kapitalisme yang tanpa kompromi.
Namun ada dugaan tentang alasan-alasan yang lebih mendalam soal popularitas Lukács yang bangkit belakangan ini. Secara singkat, belum ada yang berhasil mengajukan alasan yang paling tepat. Gerakan Marxis dan sosialis hari ini lebih beragam secara intelektual daripada sebelumnya. Namun, tidak ada model yang dapat ditiru untuk transformasi sosialis; tidak ada terobosan sosialis yang terbukti tahan lama atau siap dikopi. Kita hidup jauh setelah Oktober 1917. Kita membutuhkan teori dan filsafat lebih daripada sebelumnya.
Pada pertengahan abad keduapuluh, kaum sosialis terpolarisasikan oleh Uni Soviet. Akibatnya, perdebatan-perdebatan yang ada hampir selalu mencerminkan garis-garis partai. Teori Marxis dibelah menjadi kubu-kubu yang saling berperang, mulai dari Komunis, Sosial-Demokrat, Trotskyis, Maois, sosialis-libertarian, Kiri Baru (New Left), hingga yang setengah Marxis. Beberapa teoretikus, seperti dari Mazhab Frankfurt, mencari posisi yang melampaui pertarungan-pertarungan ini. Beberapa yang lain meninggalkan Marxisme sama sekali seiring dengan menguatnya konservatisme di tahun 1980-an dan 1990-an.
Kita tidak perlu merendahkan tradisi-tradisi di atas dengan mengatakan bahwa kita bukanlah bagian dari dunia tersebut. Kita tidak lagi bekerja di bawah bayang-bayang Uni Soviet atau dekadensinya. Dunia kita adalah dunia dengan kemungkinan-kemungkinan serta tantangan-tantangan baru. Namun abad keduapuluhsatu lebih mengecewakan. Tidak ada di antara kita yang dapat mengklaim kebenaran absolut, meski kita dapat mengklaim bahwa kita memiliki alasan-alasan yang baik untuk berpikir demikian. Namun demikian, begitu kita berupaya memahami apa yang terjadi di sekitar kita, kita berhadapan dengan tradisi-tradisi dan teori-teori.
Tanpa diperiksa, tradisi ditakdirkan untuk menghantui pikiran kita.
Inilah situasi—secara simultan dipenuhi dengan kesempatan, dikecewakan dan dihantui oleh tradisi—yang mengkondisikan kita untuk mendekati Lukács dengan pandangan yang segar. Bangunan pengetahuan yang diproduksi lewat pertobatan Lukács adalah anugerah yang dengannya kita dapat berpikir secara bebas, dan dengannya melampaui Lukács sekaligus memenangkan dunia yang lebih merdeka.
Esai ini adalah versi pendek dan revisi dari artikel yang diterbitkan di jacobinmag.org. Artikel tersebut bisa ditemukan di tautan ini.
Daniel Lopez adalah Contributing Editor di Jacobin Magazine dan Honorary Research Associate di Thesis Eleven Forum for Social and Political Theory di La Trobe University, Melbourne. Buku pertamanya, Lukács: Praxis and the Absolute terbit pada bulan Oktober 2019.
Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing.