Sumber foto: Tribun News
Kawan,
KAMIS (23/4) pagi, saya membaca kabar di berbagai laman media sosial tentang meninggalnya intelektual-aktivis Arief Budiman. Kabar duka ini membuat kota New York City semakin bertambah muram dan kelam, setelah selama lebih dari dua bulan ini dihajar wabah COVID-19 yang masih mengganas.
Arief Budiman buat saya adalah seorang guru dan teman berpikir yang luar biasa baik. Perkenalan saya dengannya dimulai sekitar awal tahun 1990an, tidak secara fisik tapi melalui berbagai karya tulisnya dalam bentuk buku, artikel koran, artikel di jurnal ilmiah, terutama Prisma, dan serangkaian wawancara yang dimuat di berbagai media massa. Saat itu, saya adalah mahasiswa Fakultas Peternakan di Universitas Sam Ratulangi, Manado dan aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Manado. Di HMI inilah minat pengetahuan saya akan ilmu-ilmu sosial dan keagamaan bersemi, sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang saya pelajari di kampus.
Masa-masa itu pula, di internal HMI minat intelektual sedang mengalami pasang naik. Bersama beberapa teman, kami membentuk kelompok studi sebagai wadah untuk mengasah pengetahuan. Di kelompok studi inilah, perlahan-lahan saya mulai meminati ilmu-ilmu sosial. Pada saat bersamaan, pelan-pelan juga mulai muncul kritik-kritik terhadap masalah ketimpangan sosial di masyarakat. Kami berusaha memahami mengapa ketimpangan itu muncul, mengapa di tengah-tengah gegap gempita perputaran roda pembangunan, ada begitu banyak orang yang tertinggal di belakang dan hidup bertungkus-lumus dalam kemiskinan.
Persis di momen itulah saya bertemu dengan Arief Budiman. Padanya saya mendapat penjelasan yang lebih memuaskan akan masalah-masalah sosial yang dilahirkan oleh apa yang disebut filsuf Walter Benjamin sebagai “angin puyuh kemajuan” dan juga pemujaan akan hal-hal yang bersifat bendawi: uang, jalan-jalan licin beraspal, kuda-kuda besi yang menindih jalan beraspal itu, rumah-rumah besar nan mentereng dan gedung-gedung tinggi yang ujungnya seperti hendak meninju atap langit. Menurut Arief Budiman, masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, pemukiman kumuh yang menjamur di perkotaan, pelanggaran hak asasi manusia, adalah produk dari ideologi pembangunanisme yang dianut oleh rezim Orde Baru. Orang menjadi miskin bukan karena ia malas, bodoh, atau karena tidak memiliki hasrat untuk berprestasi. Ia miskin karena kondisi-kondisi struktural yang melingkupinya: pendidikan yang mahal, lapangan pekerjaan yang terbatas, kehilangan tanah akibat digusur atas nama pembangunan, upah yang sangat rendah, serta korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela di tingkatan elite. Intinya, Arief Budiman menolak untuk menyalahkan si miskin atas kemiskinan yang dialaminya.
Sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi Islam, di sebuah kota yang jauh dari pusat-pusat pengetahuan di pulau Jawa, penjelasan Arief Budiman ini adalah hal baru dan sangat memukau saya. Penjelasannya berbeda dengan penjelasan guru besar HMI, Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang justru sangat pro-ideologi modernis yang dianut dan dipraktikkan oleh rezim Suharto. Sejak itulah saya memutuskan untuk menjadi murid Arief Budiman. Secara ideologis, saya meninggalkan Cak Nur—dan tentu saja HMI.
Arief Budiman menolak menyalahkan si miskin. Menurutnya, solusi untuk terentas dari kemiskinan itu adalah mengubah struktur yang membuat seseorang itu menjadi miskin. Ia tidak percaya bahwa si miskin bisa terentas dari kemiskinannya dengan mengubah gaya hidup, misalnya, dengan lebih bersabar (takdir orang sudah ditentukan sejak sebelum ia lahir), bisa berhemat (berhenti merokok, misalnya), harus bisa menabung, dst.
Lalu struktur apa yang menyebabkan kemiskinan itu? Struktur kapitalisme, jawabnya, dan karenanya kapitalisme ini harus diubah menjadi sosialisme.
Setelah pindah ke pulau Jawa, membaca lebih banyak dan bergaul dengan lebih banyak orang, terutama di Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada medio 1990-an, saya lebih mulai memahami paradigma berpikir Arief Budiman. Saya kemudian tahu bahwa kemiskinan struktural itu akan lebih mudah dan komprehensif dipahami jika menggunakan perangkat teori Marxisme. Tetapi Marxisme adalah hal yang terlarang dipelajari dan diajarkan secara formal dan informal di semua tahapan pendidikan. Aktivitas membaca dan mempelajari Marxisme kemudian dilakukan secara clandestine (bawah tanah), tidak terstruktur dan tidak bisa berkelanjutan. Sehingga membaca, apalagi menyebarkan Marxisme, sejatinya adalah perlawanan terhadap rezim berkuasa saat itu, yang ganjarannya adalah kekerasan fisik (penjara) dan mental (dikucilkan dari lingkungan sosial).
Di sini saya temukan sumbangsih lain Arief Budiman buat saya pribadi: dialah yang pertama kali mempertemukan saya dengan khazanah pengetahuan Marxis. Darinya saya mengetahui teori ketergantungan (dependency theory) dan teori sistem dunia (world system theory) bersama tokoh-tokohnya seperti Andre Gunder Frank, Theotonio Dos Santos, Fernando Henrique Cardoso, Raul Prebisch, Samir Amin, Paul Baran, Paul Sweezy, Immanuel Wallersten, Giovanni Arrighi, dst.
Kelak kemudian saya ketahui bahwa dalam khazanah pengetahuan Marxis, teori Ketergantungan dan teori Sistem Dunia ini masuk dalam kategori pemikiran Neo-Marxis. Dengan begitu, saya bisa mengatakan bahwa Arief Budiman adalah Bapak Neo-Marxis Indonesia.
Mungkin akan ada yang menganggap saya berlebihan mendeklarasikan ini. Memang Arief Budiman bukan satu-satunya pengusung varian Neo-Marxis di Indonesia. Kita bisa menyebut nama ekonom Sritua Arief, ekonom Sri-Edi Swasono, sosiolog Farchan Bulkin, sosiolog Mansour Faqih, dan datuknya kalangan LSM Adi Sasono. Mereka-mereka ini juga menerbitkan beberapa karya tulis yang berkualitas, namun dibandingkan dengan Arief Budiman pengaruh, jaringan dan area pemikiran mereka satu langkah di belakangnya. Sebagai sosiolog, Arief Budiman tidak hanya menulis tentang masyarakat, tapi merambah ke teori pembangunan, teori negara, teori feminisme, teori-teori demokrasi, dan kebudayaan. Dalam bidang-bidang itu ia menulis dengan sederhana, lincah, tapi ketat secara akademik.
Arief Budiman memang tidak menciptakan sebuah teori baru, ia lebih berperan sebagai pembawa dan penyebar gagasan yang mumpuni. Ia mengindonesiakan teori-teori Neo-Marxis itu agar bisa dibaca publik dengan mudah. Dan seperti saya sebutkan di atas, di negara +62 yang anti-intelektual dan anti-ilmu pengetahuan kritis-emansipatoris itu, membaca dan menyebarkan teori-teori Marxis merupakan sebuah bentuk perjuangan penuh risiko.
Arief Budiman jelas tak luput dari risiko itu. Ia kehilangan pekerjaan sebagai profesor di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, dan dipaksa menjadi pengungsi politik di Australia selama bertahun-tahun.
Setelah terusir dari Indonesia, satu hal yang saya perhatikan dari Arief Budiman adalah makin menurunnya komitmen akademiknya pada Neo-Marxisme. Ia lebih banyak memfokuskan diri pada studi-studi transisi demokrasi. Situasi sosial politik memang mensituasikannya demikian. Setelah kemenangan ideologi neoliberalisme di belahan dunia Barat yang ditandai oleh kemenangan Margaret Tatcher sebagai perdana menteri di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat pada akhir decade 1970-an dan awal 1980-an, serta bangkrutnya Uni Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin, pamor Marxisme di dunia akademik pelan tapi pasti memudar. Teori-teori pembangunan, terutama teori Ketergantungan dan Sistem Dunia dianggap telah usang dan tak lagi dianggap relevan di ruang kelas kampus-kampus di berbagai belahan dunia. Para akademisi dan intelektual kini punya mainan baru dalam bentuk teori pilihan rasional, pasca-modernisme, pasca-kolonialisme, post-Marxisme, cultural studies, dan studi-studi transisi demokrasi.
Pergeseran minat teoritik ini juga berimbas ke kalangan pergerakan sosial, yang secara umum menolak tesis Marxis mengenai kelas dan perjuangan kelas, menolak status kelas buruh sebagai satu-satunya subjek politik revolusioner dalam perjuangan melawan eksploitasi kapitalisme dan imperialisme, dan menjauh dari perebutan akan kekuasaan negara. Sebagai alternatif, politik identitas diperlawankan dengan politik kelas, lokalitas dihadap-hadapkan dengan universalisme, “revolusi akan memakan anaknya sendiri”, dan karenanya kapitalisme bukan lagi menjadi sasaran utama perjuangan melainkan reformasi-reformasi dalam sistem kapitalisme tersebut.
Di level nasional, perubahan yang terjadi di tingkat internasional itu juga sangat berpengaruh. Ketiadaan pengajaran Marxisme di kampus-kampus dan absennya diskusi-diskusi Marxisme yang terbuka di publik menyebabkan teori-teori non-Marxis itu begitu mudah merasuki alam pikiran akademisi dan aktivis. Terjadi booming penerbitan buku-buku, artikel-artikel di media massa dan diskusi-diskusi publik yang membahas tentang pasca-modernisme, cultural studies, studi-studi transisi demokrasi, dan pasar bebas. Teori-teori Neo-Marxis menghilang dari kurikulum di seantero kampus seturut hengkangnya Arief Budiman ke luar negeri.
Lalu, terjadilah peristiwa politik besar pada 1998. Rezim berdarah Suharto tumbang. Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi. Arief Budiman semakin tenggelam dalam suasana ini, dimana perhatian studi dan aktivitas non-akademiknya dicurahkan. Neo-Marxis benar-benar telah masuk gudang pengap berdebu.
Apakah demikian juga dengan Marxisme? Rupanya tidak. Justru muncul kalangan muda yang menaruh minat serius pada kajian Marxis, yang kembali membaca secara serius karya-karya Marx, mulai dari karyanya di masa muda hingga ketika ia tua. Ditambah dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, kaum muda bisa mengakses buku-buku Marxis yang terbaru dan lebih beragam di bandingkan dengan para pendahulunya. Kemampuan berbahasa asing yang baik dan ditopang oleh iklim politik yang relatif bebas, membuat gairah pada Marxisme ini mendapatkan momentumnya. Kita saksikan kemudian terbitnya beberapa karya tulis dari intelektual generasi baru ini yang keragaman dan kualitasnya mumpuni.
Di tingkat internasional, studi-studi dan kajian-kajian Marxis juga kembali menggeliat, tidak hanya di ruang-ruang kelas universitas, publikasi buku atau jurnal akademik, tapi juga di media-media arus utama yang sebelumnya mengampanyekan kematian Marxisme. Marx kembali bangkit dari kuburnya. Bangkrutnya Uni Sovyet dan runtuhnya Tembok Berlin juga membuka kesempatan luas pada sarjana-sarjana baru ini kembali ke tulisan-tulisan asli Marx/Engels, Lenin, Rosa Luxemburg, Lukacs, dan Gramsci.
Di lapangan ekonomi-politik, neoliberalisme terbukti gagal memenuhi janji-janjinya untuk memakmurkan banyak orang dan menjauhkan banyak orang itu dari konflik-konflik berdarah. Kemiskinan semakin merajalela, ketimpangan sosial semakin lebar, kerusakan lingkungan semakin parah, dan perang-perang berdarah tak pernah berhenti. Politik identitas yang begitu diagungkan sebelumnya, kini menjadi alat legitimasi bagi tindakan rasisme dan persekusi kepada yang berbeda, baik atas nama agama, suku, etnis, dan ras. Dunia tidak semakin baik-baik saja rupanya. Lalu muncullah rezim-rezim baru yang tidak segan-segan mengusung inspirasi Marxis. Politik kelas kembali mengudara, dengan darah dan semangat baru.
Sayangnya dalam periode kebangkitan ini, Arief Budiman dihantam penyakit Parkinson yang tak terobati. Sepuluh tahun belakangan, kemampuan berpikir dan mengingatnya makin lama makin berkurang. Saya beranda-andai, jika saja Parkinson tidak menderanya, pasti ia akan senang melihat perkembangan baru dalam tradisi Marxis, yang sudah dirintisnya melalui Neo-Marxisme. Pasti ia akan gembira melihat kemunculan generasi baru Marxis Indonesia yang luas bacaannya dengan kemampuan menulis yang baik dan produktif seperti dirinya di masa jayanya. Pasti ia tidak akan sungkan berdebat dengan kalangan muda ini, saling menguji dan memperkaya pengetahuan.
Tapi ini hanya pengandaian.
Arief yang Budiman itu telah pergi untuk selamanya. Ia tak pernah akan kembali, tapi ia meninggalkan begitu banyak karya dan aktivitas yang patut kita pelajari. Rest in Power, guru dan panutanku.***
New York City, 24 April 2020.