Ilustrasi: Illustruth

Islam dan COVID-19: Antara yang “Utopis” dan yang “Ilmiah”

Print Friendly, PDF & Email

Illustrasi: Illustruth


Dalam salah satu teks klasiknya, Frederick Engels membedakan dua jenis ‘sosialisme’, yang ia sebut ‘utopis’ dan ‘ilmiah’. Sosialisme utopis, menurut Engels, muncul di Eropa akhir abad ke-18. Mereka –orang-orang seperti Saint-Simon, Owen, atau Fourier, adalah orang-orang yang ‘mengecam’ aristokrasi dan mendorong untuk mengakui hak-hak ‘rakyat’; menyerukan masyarakat tanpa kelas, dan mendorong solidaritas serta revolusi.

Tapi ada satu kesamaan mereka: tidak jelas siapa yang mereka wakili dan tidak jelas apa yang ingin mereka ubah. Pemikiran mereka tidak mewakili kondisi kaum proletariat yang masa itu sedang bangkit untuk melawan aristokrasi kerajaan yang korup dan kaum borjuis yang berkolaborasi dengan mereka. Pemikiran mereka, menurut Engels, bagai menurunkan “kerajaan akal-pikiran” dari surga ke bumi, tenggelam dalam pikiran-pikiran dan cita-cita, dan dan akhirnya, membangun “utopia”.

Salahkah jalan pikiran semacam ini? Tidak sepenuhnya. Konon menurut Erik Olin Wright dua abad kemudian, utopia penting untuk membangun imajinasi bersama tentang ‘keadilan’ dan membangkitkan kesadaran tentang ketidakadilan. Yang terpenting menurut Engels, utopia semacam ini harus disandarkan bukan atas akal-pikiran semata, tapi juga kenyataan. Ia harus dilandaskan pada pemahaman bahwa ada kontradiksi dalam masyarakat, ada kekuatan yang selama ini berkuasa dengan sewenang-wenang.

Dan untuk itu, sosialisme harus didasarkan atas pemahaman yang bersifat ‘Ilmiah’.

***

Ketika COVID-19 menyerang dunia, kita mendapati fenomena menarik: mereka yang ingin memerangi virus semata dengan “agama”. Mereka beredar di grup-grup Whatsapp, menyebarkan konspirasi-konspirasi, menyerukan orang untuk tetap ke mesjid dan berkumpul bersama meskipun ada pembatasan sosial berskala besar, dan lain-lain.

Yang seperti ini banyak ragamnya. Sebagian muncul secara sporadis; dengan menganggap bahwa COVID-19 ini adalah konspirasi WHO, menyerukan untuk “tidak memakai vaksi Bill Gates”, atau malah menyalahkan pihak-pihak yang menyosialisasikan pembatasan sosial untuk tidak mudik atau tidak ke tempat ibadah. Lalu beredar video kelompok keagamaan yang tetap berkumpul dalam skala besar di awal mula penyebaran virus, hingga muncul artis-artis yang bersikeras mencari masjid untuk salat Jumat walaupun sudah dilarang.

Lalu kemudian mereka menjadi ‘kluster’ baru penyebaran virus dan berkontribusi terhadap transmisi lokal.

Ada perilaku lain yang lebih terstruktur dan massif. Bilang bahwa COVID-19 bisa dilawan dengan ‘qunut’ atau sekadar berdoa; menolak saran ilmuwan dan otoritas kesehatan dengan membuka pariwisata, hingga kemudian merespons COVID-19 dengan candaan-candaan. Sedihnya, pernyataan seperti ini jutru terlontar dari orang-orang yang dianggap punya otoritas.

Salahkah perilaku semacam ini?

Tidak ada yang salah dengan doa, aktivitas keagamaan, datang ke masjid, atau memperkuat ibadah mahdhah. Konspirasi mungkin bisa ada sedikit kebenarannya. Tapi itu semua tidak akan membantu kita menghadapi COVID-19 dan dampak-dampak sosial, ekonomi, dan politik turunannya. Kita perlu sedikit menggeser pemahaman Islam yang “utopis” ini dengan cara pemahaman yang “Ilmiah”. Terutama untuk hal-hal yang bersifat mu’amalah duniawiyah seperti masalah pandemik dan kesehatan masyarakat.

***

Dari mana kita mulai?

Berhubung kita akan memasuki bulan Ramadhan, ada baiknya mengulang kembali sejarah turunnya Al-Qur’an. Kita semua tahu bahwa perintah pertama yang muncul dalam Al-Qur’an adalah: Iqra! Bacalah!

Syahdan, ketika Malaikat Jibril pertama kali bertemu Nabi Muhammad di Gua Hira, tiga kali kata Iqra’ terucap. Tapi Baginda Nabi Muhamma—sebagai seorang tokoh yang ummi, tak pandai membaca dan menulis masa itu, menjawab: aku tidak bisa membaca. Hingga kemudian Malaikat Jibril membacakan lima ayat pertama dalam Surah Al-Alaq.

Dalam Surat Al-Alaq, Allah menyuruh kita untuk melakukan tiga hal penting: membaca, menulis, dan mengajarkan pengetahuan. Ini tiga elemen penting yang mendasari pijakan berkembangnya Islam hingga berabad-abad kemudian. Menurut Fazlur Rahman, bahkan pengetahuan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia sejak Nabi Adam.

Tanpa kemauan membaca, susah mengharapkan tumbuhnya ‘ummat’ yang memiliki etos untuk mendorong kemajuan dalam peradaban. Tanpa kemauan menulis, ‘ilmu’ hanya akan berhenti di kalangan elite-elite tertentu, meninggalkan umat dalam kejumudan. Tanpa mengajarkan pengetahuan, kita akan gagal untuk memberikan pencerahan bagi orang lain.

Dengan konsepsi ini, kita tidak bisa memahami membaca sebatas ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat qauliyah, hanya pada membaca Al-Qur’an sebagai sebuah rutinitas. Iqra’ juga berarti membaca ayat-ayat kauniyah, yang berarti memahami cara alam bekerja dan memahami bagaimana manusia berinteraksi dengan alam, mengolahnya untuk bertahan hidup, membantu manusia lainnya, dan mengatasi masalah-masalah yang muncul ketika ‘alam’ menguji peradaban manusia –seperti munculnya penyakit dan virus.

Semuanya perlu dipelajari melalui satu hal penting: sains.

Kita tidak mempelajari sains dan ilmu pengetahuan yang luas semata sebagai ‘mengikuti tradisi Barat’. Islam justru yang mula-mula menjadikan pengetahuan sebagai panglima dalam memahami realitas-realitas sosial dan alam. Ilmu tentu tidak bisa dipilah hanya menurut kategori ‘geografis’ semacam Barat dan Timur.

Pada praktiknya, ilmuwan Muslim menerjemahkan teks-teks klasik filsafat dan pengetahuan Yunani dan mengembangkannya dalam konteks masa itu. Pada masa pencerahan, giliran teks-teks Muslim yang diterjemahkan. Tapi ada satu hal yang penting: perintah untuk menuntut ilmu adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam yang mulia.

***

Cukupkah hal tersebut? Ternyata belum.  

Dua tahun berselang setelah surah Al-Alaq turun, tidak ada tanda bahwa akan ada wahyu selanjutnya. Nabi gelisah, dan menurut riwayat mendapati diri beliau terasing dari orang-orang dan takut. Lalu muncullah ayat kedua.

Para ulama berbeda pendapat tentang ayat ini. Pendapat yang umum melihat bahwa wahyu kedua adalah QS al-Mudatsir 1-5. Tapi ada juga yang menyatakan kalau wahyu kedua adalah awal Surat al-Qalam.

Terlepas dari debat itu, mari kita bedah ayat ini. Allah berfirman dalam surah Al-Muddatsir: Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.’ (Al-Mudatsir: 1-5)

Ayat ini menyuruh kita untuk turun dan menyampaikan peringatan kepada masyarakat. Jika kita memahami ayat ini dengan Surah Al-Alaq, perintah Allah adalah bahwa ketika kita sudah punya pengetahuan yang cukup, maka berilah peringatan. Bangunlah dari selimut, bersihkanlah pakaian dan atribut keduniaan kita, dan agungkanlah Tuhan. Perbaiki niat, pahami kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat, dan dorong kemajuan dalam masyarakat. Itulah pengejawantahan ajaran Islam.

Perintah dalam Surah Al-Muddatsir adalah perintah untuk melakukan “dakwah”. Di sini, dakwah penting untuk diinterpretasikan ulang, bukan hanya sebagai seruan kepada masyarakat atas ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga pengorganisasian kolektif untuk dua hal: menolak kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat, dan berdasarkan pembacaaan yang ilmiah atas kontradiksi tersebut, mencoba menawarkan tatanan masyarakat yang adil.

Dalam Surah Al-Qalam: 10-15, Allah menegaskan,

“Serta janganlah kamu menuruti setiap orang yang suka bersumpah dan menghina. (10), orang yang melecehkan seraya menyebarkan fitnah (11), orang yang menghalangi kebajikan, orang yang melampaui batas serta penuh dosa juga keras kepala (12). Yang bertabiat kasar, dan terkenal kejahatannya; (13) Yang punya harta benda maupun anak-anak; (14) apabila disampaikan kepada orang itu tentang ayat-ayat Kami, orang itu mengatakan: “ini adalah dongeng orang-orang dahulu.” (15).

Hal-hal semacam ini seringkali muncul di masyarakat kita hari ini. Tapi ada yang lebih berbahaya dan menyengsarakan: jika orang-orang seperti ini adalah orang yang punya kekuasaan. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk menindas orang lain, mencerca sains, menolak kebenaran ilmiah, dan menolak membantu orang-orang yang hilang tanahnya akibat dicaplok perusahaan tambang dengan berbagai cara.

Al-Qur’an, dengan demikian, menyuruh kita untuk ‘mengucapkan kebenaran kepada kekuasaan’. Kebenaran itu  bukan hanya sesuatu yang terbangun dalam akal-pikiran, tetapi juga merefleksikan kondisi masyarakat yang nyata. Masyarakat yang terdampak oleh banyak kebijakan pemerintah dan memerlukan keadilan untuk bisa hidup dengan layak. Masyarakat yang strukturnya dipenuhi ketimpangan antara mereka yang kaya, dan mereka yang harus bekerja lebih dari 8 jam sehari hanya untuk mendapatkan uang di atas upah minimum kota. 

***

Pada titik inilah semangat untuk “membaca” punya relevansi. Islam menyuruh kita untuk membuang jauh-jauh cara beragama yang utopis, yang terbatas hanya pada pengamalan hubungan kepada Allah (‘hablun minallah’) tapi menolak sains. Islam juga menyuruh kita untuk tidak buru-buru percaya pada konspirasi dan berpikir secara lebih kritis terhadap segala sesuatunya.

Maka, satu kesimpulan sederhana bisa kita tarik: untuk menghadapi COVID-19, kita harus membuang sejauh-jauhnya pemahaman Islam yang utopis, yang hanya melihat agama sebatas surga dan neraka, atau kafir atau beriman. Islam tidak hadir untuk itu. Islam mendorong kita untuk berpengetahuan, memahami kontradiksi dalam sistem sosial, ekonomi, dan kesehatan kita, dan mendorong penyelesaian masalah secara ilmiah.

Yang hanya bisa diselesaikan melalui pembacaan sains yang menyeluruh, kepercayaan pada orang-orang yang punya pengetahuan kesehatan, disertai dengan transparansi data dan penanggulangan dari pemerintah. Tidak perlu ngeyel untuk beribadah jika memang itu membahayakan orang lain.

Justru, yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an: bantulah orang-orang yang membutuhkan dan kelaparan. Kritiklah kebijakan yang keliru dan merugikan kita semua (dengan data dan fakta, bukan konspirasi). Tingkatkan solidaritas sosial untuk membantu saudara-saudara kita yang terdampak oleh krisis. Galanglah dana dan bantuan untuk tenaga kesehatan. Bantu mereka menyediakan alat pelindung diri yang cukup di rumah sakit. Jangan salah: hal-hal semacam itu juga bagian dari ‘ibadah’ kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nuun Walqalami Wa Maa Yasthuruun.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia  

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.