Arief Budiman (1941-2020): Warisan-Warisan Intelektual dan Aktivismenya

Print Friendly, PDF & Email

Sumber foto: Jakarta Post


ARIEF Budiman, orang besar dalam dunia intelektual Indonesia, yang aktivismenya tidak pernah berhenti mempertanyakan penyelewengan penguasa, meninggal pada siang hari 22 April 2020 akibat sakit Parkinson yang dideritanya selama dua belas tahun. Usianya 79 tahun.

Arief Budiman hidup di tiga zaman berbeda. Dia adalah generasi pasca-Revolusi 1945. Dia sudah cukup dewasa ketika presiden pertama RI, Ir. Soekarno mulai menyelewengkan kekuasaan. Dalam usia kepala dua, dia ikut merancang dan menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu) sebagai perlawanan terhadap Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Arief juga berada di barisan pendiri Orde Baru. Paling tidak dia menyokong pendirian rezim ini karena oposisinya terhadap pemerintahan Soekarno. Bersama mahasiswa-mahasiswa lain dan bekerjasama dengan militer, mereka menggulingkan Soekarno yang kemudian mereka beri nama rezim Orde Lama.

Namun tidak lama setelah Soekarno jatuh dan Jendral Soeharto menegakkan Orde Baru, Arief kehilangan selera untuk mendukung rejim yang turut dia bidani. Tak perlu waktu lama baginya berbulan madu dengan dengan Orde Baru. Dia langsung menjadikan dirinya oposisi dari rezim militer ini.

Arief Budiman dikenal sebagai pengkritik pemerintah dalam kasus-kasus korupsi. Rezim yang masih muda ini ternyata menjadi ladang subur para koruptor. Mereka yang kini berkuasa tidak lebih baik dari mereka yang telah dijatuhkan. Bahkan dalam banyak hal lebih buruk karena ada banyak bantuan luar negeri mengalir untuk restorasi ekonomi.

Arief Budiman juga ikut dalam gerakan Mahasiswa Menggugat (MM) yang menyoroti maraknya korupsi di dalam pemerintahan Orde Baru. Gerakan ini kemudian berubah menjadi Komite Anti-Korupsi (KAK). Namun, setelah berusia sebulan KAK bubar karena pemerintah Orde Baru merespons dengan mendirikan Komite 4, sebuah komite yang beranggota empat tokoh politik, yang tugasnya menyelidiki korupsi.

Dia juga dikenal sebagai tokoh yang ikut membidani Golput (Golongan Putih). Pemerintahan Soeharto hendak mengadakan pemilu pertama tahun 1971. Hanya Sembilan partai politik yang boleh ikut. Pemerintah tetap melarang Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) untuk berpartisipasi dalam pemilu ini. Alasannya, kedua partai ini telah dilarang oleh Soekarno karena dituduh terlibat dalam pemberontakan daerah pada akhir 1950-an.

Selain kedua partai itu, PKI juga sudah dinyatakan terlarang. Anggota-anggotanya dibantai dan ditahan tanpa proses pengadilan di banyak rumah tahanan—sebagian akhirnya dibuang ke Pulau Buru, Gulag-nya Indonesia.

Hanya Sembilan partai boleh ikut pemilu. Penguasa membentuk satu Golongan Karya (Golkar) yang tidak pernah diakui sebagai partai tetapi berfungsi sebagai partai.

Itulah yang melatarbelakangi munculnya Golput. Ide Golput ketika itu sederhana sekali: orang dianjurkan datang ke tempat pemungutan suara, mencoblos bagian putih dari surat suara. Dengan demikian, suara jadi tidak sah. Namun, ada juga kekhawatiran bahwa sekalipun orang mencoblos bagian putih, suara akan tetap dihitung–sebagai suara Golkar, partai penguasa, tentu saja. Itulah sebabnya para aktivis dan mahasiswa di pihak oposisi membuat kekuatan kesebelas. Sebuah “partai” dengan lambang segi lima putih.

Gerakan Golput hidup di media massa, namun gagal sebagai gerakan sosial dan politik. Golput hanya efektif sebagai wacana (discourse). Ironisnya, Golput justru menjadi efektif di tangan penguasa untuk menekan dan menakut-nakuti orang untuk memilih. Dari pemilu ke pemilu, pemerintah Orde Baru selalu menghembus-hembuskan “bahaya” jika orang memilih Golput. Bahkan hingga sekarang pun Golput menjadi hantu yang ditakutkan terutama oleh politisi yang mencari suara lewat pemilu.

Sepak terjang Arief Budiman dalam berhadapan dengan kekuasaan sudah banyak didokumentasikan. Dia pernah menggerakan protes terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), sebuah proyek yang digagas istri Soeharto, Ny. Siti Hartinah (Tien) setelah mengunjungi Disneyland Park di Annaheim, California. Proyek ini diprotes karena dianggap pemborosan. Sebelumnya, Soeharto sendiri berperan untuk berhemat karena kehidupan rakyat masih susah.

Nama Arief Budiman pun hadir di hampir semua periode gerakan sosial di Indonesia, kecuali mungkin ketika dia absen dari negeri ini, khususnya saat bersekolah di Amerika. Sejak 1985, sesudah menamatkan studi doktoralnya di Universitas Harvard, Arief Budiman bergabung dengan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Kedatangannya ke UKSW memberikan aura baru kepada kampus itu. Dia bukan saja memberikan nuansa segar bagi kehidupan intelektual di sana, namun juga membangkitkan energi untuk tumbuhnya aktivisme di kampus yang biasanya tenang itu. Pengaruh Arief tidak sebatas di UKSW, tapi juga bergaung ke kampus-kampus di wilayah sekitarnya.

Mahasiswa-mahasiswa berdatangan untuk belajar padanya. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi besar di berbagai bidang. Mereka datang dari berbagai disiplin ilmu. Nyatanya, beberapa murid terbaik Arief adalah mahasiswa yang tidak berlatar belakang studi sosial. Para mahasiswa ini datang pertama-tama karena ketertarikan untuk mengawinkan dunia intelektual dengan aktivisme. Arief Budiman adalah perpaduan yang pas antara keduanya.

Peranan Arief dan aktivis-aktivis mahasiswa didikannya ini mengemuka pada akhir tahun 1980-an ketika kasus Kedungombo meledak. Saat itu pemerintah hendak membangun sebuah waduk yang akan menenggelamkan 5.628 keluarga yang mendiami 37 desa di tujuh kecamatan yang terletak di tiga kabupaten. Ribuan keluarga dipaksa pindah dengan ganti rugi yang rendah. Sebagian besar menerima, namun 600 keluarga bersikeras tidak mau pindah. Arief, bersama para mahasiswa dan pemuda yang berkumpul di bawah Yayasan Geni, membantu mendampingi warga ini. Ini dilakukan bersama Romo Mangun (YB Mangunwijaya) di Yogya dan KH. Hammam Dja’far, pengasuh Pondok Pesantren Pabelan di Magelang. Koalisi berbagai elemen masyarakat sipil ini mampu memberikan inspirasi untuk gerakan-gerakan sosial di Indonesia pada masa-masa selanjutnya.

***

Arief Budiman menduduki posisi unik di kalangan generasi intelektual Indonesia. Dia lahir hanya empat tahun sebelum Revolusi Kemerdekaan Indonesia meledak. Formasi pendidikannya berlangsung di masa-masa awal Republik. Pada 1960, menurut Goenawan Mohamad, Arief sudah tampak sebagai orang yang luara biasa. Dia sudah membaca buku-buku filsafat, senang sastra, suka bermusik, dan juga pintar matematika. Di kalangan teman-temannya dia dikenal dengan nama Tionghoanya, Soe Hok Djin. Walhasil, banyak orang cukup memanggilnya “Djin” saja.

Latar belakang kehidupan intelektual Arief, saya kira, banyak dipengaruhi keluarga. Ayahnya Soe Lie Piet adalah seorang wartawan dan novelis. Bisa dibayangkan keluarganya bergelimpangan buku. Buku harian adiknya, Soe Hok Gie, yang kemudian diterbitkan dan difilmkan itu, bisa menjadi acuan bagaimana buku membentuk kehidupan keluarga Soe Lie Piet.

Tradisi literer itulah yang agaknya membentuk Arief menjadi seorang intelektual. Selain itu dia pun mendapatkan semua pendidikan di semua institusi terbaik di Indonesia: Kolese Kanisius yang dikelola oleh Jesuit dan Universitas Indonesia, sebuah universitas yang praktis mewarisi semua tradisi akademis terbaik yang pernah ada di negeri ini sejak masa Kolonial.

Saya membayangkan Arief melewati masa-masa remajanya di bawah hiruk pikuk alam demokrasi liberal. Namun dia juga mengalami bagaimana Presiden Soekarno semakin hari kian menguatkan genggaman kekuasaan negara pada dirinya sendiri. Untuk itu, Soekarno mengandalkan dukungan dari TNI-AD dan PKI.

Arief juga mengalami bagaimana pertarungan ideologis ini tidak lagi berupa perdebatan-perdebatan di ruang-ruang opini, melainkan sudah masuk ke tingkat sangat personal dengan ganyang-mengganyang. Dalam hal ini, yang paling agresif melakukannya adalah Lekra, organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Pada usia 23 tahun, Arief menjadi salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) sebuah deklarasi yang mengklaim mengikuti ideologi humanisme universal sebagai lawan dari ideologi realisme-sosialis yang dianut Lekra.

Klaim dari manifesto ini pun sesungguhnya masih bisa diperdebatkan. “Bagi kami,” demikian para deklaratornya, “kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.” Selanjutnya, untuk menciptakan Kebudayaan Nasional, Manifes mengatakan: “Kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.” Manifes ditutup dengan: “Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.”

Jika dibaca hari ini, manifesto itu kelihatan sangat ‘lunak’. Hampir-hampir tidak memperlihatkan pondasi intelektual humanisme dari sisi apapun. Lagipula, tampaknya realisme-sosialis di kalangan pendukung Manikebu direduksi habis sebagai Stalinisme belaka. Namun, tidak pelak, dari kacamata politik saat itu, Manifes memunculkan perpecahan (divisiveness) yang sangat dalam.

Ganyang-mengganyang pun terjadi. Lekra—yang saat itu merasa mendapat angin dan perlindungan dari Soekarno karena sang presiden membutuhkan PKI untuk mengimbangi kekuatan TNI-AD—menyerang pendukung-pendukung Manikebu. Para pendukung Lekra pun memplesetkan Manikebu menjadi manikebo (sperma kerbau).

Perdebatan yang sesungguhnya bisa menjadi sangat intelektual tersebut akhirnya berubah menjadi pertarungan politik. Arief dan orang-orang segenerasinya pun terjun ke dalam politik, tidak dengan terlibat dalam organisasi politik kepartaian melainkan aktivisme politik.

Generasi mereka dikenal dengan sebutan sebagai Angkatan ’66. Studi Francois Raillon tentang koran Mahasiswa Indonesia saya kira memberikan gambaran yang sangat tepat tentang arus pemikiran para intelektual generasi itu. Pada umumnya mereka sangat anti-partai politik. Mereka menganggap ideologi-ideologi yang ditawarkan oleh partai-partai politik tersebut sudah usang. Yang terpenting, menurut mereka, ideologi-ideologi tersebut tidak akan bisa membawa bangsa Indonesia meraih kemajuan. Inti ideologi dari generasi yang anti-ideologi ini adalah modernisme.

Kita bisa melihat jejaknya dari Manifes Kebudayaan (“kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa”). Perasaan untuk menjadi bangsa bermartabat di tengah masyarakat bangsa-bangsa ini sesungguhnya adalah keinginan untuk menjadi modern. Inilah yang kemudian melahirkan ideologi modernisasi. Rejim Orde Baru, yang dilahirkan oleh Angkatan ’66 lewat kerjasama dengan TNI-AD,  kemudian menerjemahkannya sebagai satu kata sakti yang berjaya selama 32 tahun kekuasaannya: Pembangunan.

Modernisasi itulah yang menjadi ideologi pendukung Orde Baru, baik di lapisan intelektual maupun yang kemudian masuk ke dalam politik dan menjadi abdinya. Seperti dikatakan di atas, Arief Budiman mengambil jalan lain. Dia menjadi kritik untuk pembangunanisme Orde Baru. Itulah yang membedakannya dari arus utama (mainstream) Angkatan ’66.

***

Secara teoritik, Arief mengambil jalan berbeda. Setelah pulang ke Indonesia pada awal tahun 1980, Arief memperkenalkan teori-teori ketergantungan (dependencia) sebagai ant-tesis dari pembangunanisme. Sederhananya, teori ini menggambarkan bahwa dunia terbagi menjadi dua, yakni antara negara-negara inti (core) yang maju dengan negara-negara pinggiran (peripheries) yang miskin.

Teori ini menjelaskan mengapa negara-negara pinggiran tetap miskin sementara negara-negara maju malah makin maju. Ada banyak teori ketergantungan, mulai dari yang dikembangkan ekonom Argentina Raúl Prebisch hingga ekonom atau sosiolog Kiri di Amerika Serikat seperti Paul Baran, Andre Gunder Frank, atau Paul Sweezy.

Argumennya: modernisasi yang dilakukan oleh negara-negara pinggiran tidak akan pernah berhasil karena pelaksanaannya tergantung kepada negara-negara maju dalam hal kapital, teknologi, dan bahkan ilmu pengetahuan. Keterbelakangan negara-negara pinggiran justru terjadi karena penyambungan (coupling) antara negara kaya dan negara miskin. Penyambungan itulah yang menyebabkan ketergantungan dan pada akhirnya keterbelakangan. Solusi paling radikal dari pandangan ini adalah dengan melakukan decoupling atau pemisahan. Negara-negara miskin membangun dirinya dengan apa yang dimilikinya, dengan swasembada dan kekuatan sendiri.

Arief Budiman adalah salah satu intelektual yang memperkenalkan teori-teori ini ke dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Teori ini segera menjadi bagian dari kritik terhadap modernisasi dan pembangunanisme yang menjadi ideologi Orde Baru.

Posisi yang diambil Arief agak mengherankan jika dilihat dari latar belakang pendidikannya. Dia mengambil studi doktoral di Harvard University di akhir tahun 1970-an. Dalam peta ilmu-ilmu sosial, Harvard tidak punya reputasi sebagai sebagai universitas kiri. Di Harvard, Arief belajar di bawah bimbingan Theda Skospol, seorang strukturalis ahli teori-teori revolusi, negara, dan perbandingan politik. Skocpol sendiri adalah seorang murid dari sosiologi terkenal Barrington Moore, yang karyanya Social Origins of Dictatorship and Democracy (1966) menjadi bacaan wajib untuk mahasiswa sosiologi dan ilmu politik.

Kemungkinan Arief memperoleh akar-akar strukturalisnya dari Skocpol. Namun, strukturalisme Skocpol yang sangat teoritik itu boleh jadi tidak memuaskannya sehingga dia beralih ke teori-teori ketergantungan yang lebih mengarah kepada praksis.

Selain itu, teori ketergantungan berkembang dan banyak dipakai untuk menganalisis Latin Amerika. Saya tidak tahu apakah sebuah kebetulan atau tidak jika salah satu tokoh besar dalam teori ini adalah Andre Gunder Frank (salah seorang murid Milton Friedman, ahli ekonomi dari University of Chicago yang menjadi penganjur utama pasar bebas atau laissez-faire). Frank pernah menjadi penasehat ekonomi Salvador Allende, presiden sosialis dari Chile. Arief Budiman sendiri menulis disertasi tentang eksperimen Chile untuk menerapkan sosialisme dengan jalan demokrasi  yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chili di Bawah Allende (1987).

Rute intelektual yang diambil oleh Arief Budiman sesungguhnya berada pada posisi pinggiran di Amerika. Ini juga menjadi keunikan Arief. Dia seringkali berada di institusi-institusi mainstream yang kanan, sekalipun dia memilih berada di jalur kiri.

Setelah selesai dari Harvard, misalnya, Arief mendapat setahun fellowship di Institute for Advanced Studies di Princeton, New Jersey. Ini adalah sebuah institusi yang sangat prestisius. Sejauh yang saya tahu, hanya dua orang Indonesia yang pernah menjadi fellow di Institute ini, Arief Budiman dan antropolog Degung Santikarma. Di institut ini pula Albert Einstein berkantor. Selain itu di sana ada juga antropolog besar Clifford Geertz. Institut ini juga dipenuhi oleh orang-orang konservatif atau neo-konservatif seperti Seymour Martin Lipset.

Perjalanan intelektual dan akademik Arief sesungguhnya tidak terlalu radikal. Selain pembatasan yang dilakukan oleh rejim militer Orde Baru, tampaknya Arief juga tidak terlalu tertarik pada analisis yang radikal. Dia tidak beranjak lebih jauh dari teori ketergantungan—dengan segala variannya dalam ilmu politik seperti analisis rejim birokratik-otoriterisme, misalnya—ke teori-teori yang lebih radikal seperti analisis “Global South” seperrti yang dilakukan oleh sosiolog Filipina, Walden Bello.

***


Ketidaktertarikan Arief pada radikalisme juga tampak pada aktivismenya. Analisis teoritik Arief sangat banyak terpengaruh Marxisme. Ini terlihat pada adopsinya terhadap teori-teori strukturalisme. Kritik teori-teori ketergantungan terhadap sistem ekonomi kapitalis pun sesungguhnya berasal dari tradisi Marxisme.

Namun, hal ini tidak diterjemahkan oleh Arief ke dalam aktivismenya. Arief tidak pernah menganjurkan berdirinya organisasi-organisasi perlawanan terhadap kapitalisme. Atau, dalam tataran yang lebih praktis, organisasi perlawanan untuk melawan rejim otoriter seperti Orde Baru. Dia mungkin bersimpati pada anak-anak muda yang mendirikan organisasi perlawanan bawah tanah, berinteraksi dengan para aktivisnya, atau bahkan membantu mereka dalam kesulitan. Akan tetapi dia tidak terjun di dalamnya.

Pengawasan Orde Baru yang sedemikian ketat mungkin menjadi satu alasan. Alasan lain mungkin bersandar pada hal yang lebih substansial, yakni ketidaknyamanan Arief pada organisasi khususnya organisasi massa yang ketat dan rapi. Dengan kata lain, penolakan Arief pada bentuk-bentuk organisasi radikal lebih bersifat filosofis ketimbang perhitungan politis.

Dalam pandangan Arief, aktivisme itu tidak lebih dari sebuah kekuatan moral. Arief lebih tertarik untuk meletakkan aktivisme itu sebagai kekuatan para intelektual. Dalam satu tulisan di majalah Prisma, yang kemudian dimuat ulang dalam buku Cendekiawan dan Politik (editor: Wiratmo Soekito), Arief memakai metafora “resi” untuk para aktivis khususnya mahasiswa. Dia menunjuk spesifikasi khusus untuk aktivis ini, yakni golongan mahasiswa atau kaum intelektual.

Seorang resi, demikian argumen Arief, akan turun dari pertapaannya kalau ada rakyat mengalami masalah. Para aktivis mahasiswa dan golongan intelektual persis seperti itu. Tuntutan moral untuk berdiri di sisi rakyat itulah yang membuat para aktivis bergerak.

Menurut Arief, lawan dari gerakan moral adalah gerakan politik. Bagi Arief, gerakan politik biasanya ditunggangi oleh kepentingan. Sebaliknya, gerakan moral–seperti halnya gerakan moral dan gerakan para cendekiawan–jauh dari kepentingan politik. Aktivis akan kembali ke tempat semula (pertapaan) jika keadaan sudah normal.

Saya mendapat kesan bahwa Arief sangat percaya jika kaum cendekiawan adalah tulang punggung gerakan moral ini. Hanya merekalah yang bisa menarik diri (retreat) sesudah kewajiban moral itu terpenuhi. Sebenarnya konsep ini sangat elitis.

Namun, pemikiran ini tidak aneh jika melihat pola pikir para intelektual aktivis segenerasi Arief. Bisa dipahami kalau mereka cenderung anti-politik mengingat mereka melihat dan mengalami sendiri benturan ideologi dan pengekangan kebebasan yang terjadi pada jaman Soekarno. Juga bisa dipahami keterbatasan ruang gerak mereka dalam sistem otoriterisme Orde Baru yang mengontrol ketat segala kehidupan sosial.

***

Tidak banyak orang seperti Arief Budiman dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia. Arief berjuang secara maksimal mengisi setiap kesempatan yang ditawarkan jamannya. Dia berjuang dalam medan sekecil apapun. Dia mengawinkan keyakinan teoritik-nya (theoretical conviction) dengan keberpihakannya, khususnya pada rakyat kecil. Dia menginspirasi banyak anak muda untuk berpikir kritis.

Arief juga yang secara perlahan memperkenalkan kembali pikiran-pikiran Marxis—sekalipun dalam versi yang sangat lembut—kepada publik Indonesia. Padahal, ruang untuk itu sangat terbatas. Reformasi Indonesia, sekalipun sekarang tampaknya sudah dikorupsi sebanyak-banyaknya, tidak akan pernah hadir tanpa sumbangsih intelektual macam Arief.

Zaman juga berubah. Bahkan semasa Arief masih aktif mengajar, gerakan-gerakan sosial tidak lagi hanya semata-mata berada di dalam kerangka moral. Para aktivis pernah menjadi lebih teroganisasi ke dalam bentuk partai. Eksperimen ini gagal total. Bahkan tidak sedikit dari para aktivisnya menjadi politisi dengan spesies yang persis sama dengan politisi Orde Baru yang pernah mereka lawan, sama seperti para aktivis angkatan-angkatan sebelumnya.

Jika ada aktivisme yang mungkin sangat bertolak belakang dengan generasi Arief Budiman maka itu adalah de-intelektualisasi gerakan. Sekarang ini, kekuatan aktivisme mahasiswa dan kaum intelektual sudah sangat berkurang dibanding sebelumnya. Di sebelah Kanan, aktivisme muncul justru dari gerakan-gerakan keagamaan yang sering hanya dilihat dari sisi intoleransinya dan kerap dituduh gerakan radikal. Aktivisme Kanan juga muncul sebagai gerakan-gerakan xenophobic yang mencampurkan ide-ide nativis-nasionalis dengan populisme.

Sebaliknya di sebelah Kiri muncul gerakan yang lebih dekat dengan anarkisme dan sindikalisme. Gerakan-gerakan ini tidak memiliki organisasi dan struktur. Aktor-aktornya masih sangat belia. Seperti yang muncul pada saat demonstrasi #ReformasidiKorupsi tahun lalu, sebagian aktivis yang turun ke jalan adalah anak-anak STM. Mereka bergabung dengan gerakan massa buruh.

Persamaan antara yang Kanan dan Kiri hari ini adalah bahwa mereka sama-sama anti-intelektual. Mereka tidak lagi dibimbing oleh filsafat atau teori-teori sosial mutakhir. Sebagian besar pengetahuan mereka tentang dunia (dalam imajinasi maupun dalam kenyataan) didapat dari koneksi dengan media sosial.

Apakah ini fenomena yang salah? Saya tidak berani menghakimi. Saya kira, jika dihadapkan pada persoalan  ini, Arief Budiman akan menganjurkan sesuatu yang lebih bijak. Dia akan menganjurkan untuk belajar dengan lebih baik dan melihat lebih dalam. Juga, dia akan menganjurkan kejernihan moral untuk menentukan keberpihakan.

Ini juga mengindikasikan bahwa aktivisme tidak akan berarti tanpa keobyektifan (objectivity) dalam melihat persoalan. Persis disinilah menurut saya problem terbesar dari intelektualisme dan moralisme yang ditawarkan oleh Arief. Saya teringat ujaran seorang cendekia, “Objectivity is the subjectivity of the powerful.” Objetivitas adalah subyektifitas dari yang memiliki kuasa.

Selamat jalan, Bung Arief Budiman! Terimakasih sudah memberikan inspirasi bagi banyak anak muda Indonesia! ***
 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.