Foto: Solidaritas.net

Turba, Inovasi khas Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

TULISAN pendek ini bermaksud merangkum perkembangan konsep “turun ke bawah” (turba) berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada dan perbandingannya dengan konsep serupa dari Tiongkok. Hal ini penting untuk memahami konsep ini sebagai inovasi khas Indonesia.  


Dari GTB ke Turba

Catatan awal tentang konsep “turun ke bawah”, yang dapat ditemukan sejauh ini, adalah Dokumen Kongres Nasional Pertama Lembaga Kebudajaan Rakjat (Solo, 22-28 Djanuari 1959). Di dalam Kongres Nasional tersebut, Joebar Ajoeb (sekretaris umum Lekra) dan Njoto (anggota sekretariat Pimpinan Pusat) mengemukakan pandangan organisasi yang menolak “Seni untuk Seni” dan mendorong seniman untuk menghidupkan “Seni untuk Rakjat”. Menurut Njoto (1959: hlm. 60), 

Saja pun setudju sekali dengan jang dikemukakan kawan Rukiah Kertapati bahwa jang diutamakan haruslah apa2 jang mengolah perdjuangan kaum buruh dan kaum tani dan dengan demikian kita “membantu perdjuangan massa” dan “mendorong perkembangan sedjarah”. Saja djuga setudju dengan andjurannja, supaja Lekra mengusahakan mengirimkan anggota2nja ke tempat2 penting, ke desa-desa kaum tani dan ke kampung2 kaum buruh. … Kawan2 jang kita kirim saja kira tjukup diberi ongkos djalan, sedang makannja selama di tempat2 itu mungkin bisa diatur oleh serikat buruh atau barisan tani jang bersangkutan. Mungkin pula kaum buruh di tempat ini atau kaum tani di tempat itu akan mengundang sasterawan2, pelukis2 dan seniman2 kita jang lain.

Meskipun belum menjadi rujukan resmi organisasi Lekra, konsep ini diterima oleh para peserta Kongres Nasional. Sejumlah seniman mencoba melaksanakan konsep ini. Saat itu, istilah “turun ke bawah” (turba) belum dikenal.

Setahun kemudian, di dalam Sidang Pleno ke-2 Pimpinan Pusat Lekra (31 Agustus 1960), konsep ini disebut sebagai “garis turun ke bawah”, atau juga “metode turun ke bawah”, yang dinilai “mempunjai pengaruh positif” bagi seniman untuk menghasilkan karya seni yang “merangkul dan mengadjak massa luas ke dalam kegiatan dan penggunaan sastera sebagai sendjata perdjuangannja.” Dari sini, “garis/ metode Turun ke bawah” dijadikan pedoman resmi organisasi – belum juga menjadi pedoman ideologis.

Kemudian dalam Sidang Pleno ke-3 Pimpinan Pusat Lekra (16-18 Juli 1961), “turun ke bawah” ditetapkan sebagai “metode kerdja” organisasi untuk mengembangkan kebudayaan nasional yang “kerakjatan dan ilmiah”. Ia menjadi rumusan azas Lekra, yang disebut sebagai “1-5-1” (satu-lima-satu), yaitu: “Politik adalah Panglima,” “5-Kombinasi,”[i]  dan “Turun ke bawah.” Dari sini pula beberapa seniman Lekra pada 1961 membentuk “Sanggar Bumi Tarung” di Yogyakarta (Martinus 1995; Hajriansyah 2015).

Dalam Konferensi Nasional Pertama Lekra (Denpasar, 25-27 Februari 1962), konsep ini disebut sebagai “Gerakan Turun ke bawah (GTB).” Akronim GTB juga dipakai oleh beberapa Lekra daerah. Baru kemudian sejak 1963, akronim “turba” lazim dipergunakan menggantikan akronim GTB. Istilah turba juga kemudian dipergunakan oleh PKI dan beberapa organisasi afiliasinya.[ii]

Demikianlah, bahwa konsep “turun ke bawah” bukanlah konsep yang serta-merta langsung jadi. Sebagai ide/ usulan, ia mengalami perkembangan, baik di dalam organisasi maupun sebagai pedoman ideologis seniman. Begitu juga, saat diterapkan di lapangan sebagaimana akan kita bahas di bawah ini.    


Pengalaman Turba

Tidak banyak catatan pengalaman nyata tentang Turba. Buku Di Tengah Pergolakan karya J.J.Kusni (alias Helmi, alias Kusni Sulang), boleh jadi satu-satunya buku yang memberi gambaran pengalaman nyata si penulis saat turba. Buku ini pertama kali terbit pada 1981 dan diterbitkan kembali pada 2005.

Joebar Ajoeb (1960) mencatat bahwa setelah Kongres Nasional Pertama di Solo, pada akhir 1959 sejumlah seniman mengorganisir diri dalam beberapa kelompok kecil mengadakan turba, yang mereka sebut sebagai “Operasi Mawar Merah” dan “Operasi Gempa Langit”. “Operasi Gempa Langit” mengambil lokasi turba di Gunung Kidul, Tambak Lorok, dan pemukiman kaum miskin di Semarang. Hersri Setiawan (2001) menuangkan pengalaman turba di Tambak Lorok tersebut,

Suatu ketika saya ikut bersama beberapa teman Pelukis Rakyat Yogya (antara lain Martean Sagara, S. Trisno, Wijayakusuma) dan Pelukis Rakyat Semarang (Harno dan Yohed Mundja), turba ke kampung nelayan di Tambak Lorok. Di pagi hari para pelukis ini larut dalam keramaian tengkulak berebut keringat nelayan dengan “tuan ikan”, di siang hari mereka asyik melukis atau membuat sketsa perahu-perahu nelayan, di malam hari kami menonton permainan teatral yang mereka namai “sandiwara rakyat”. Satu genre pergelaran lakon tentang peri kehidupan sendiri, tanpa polesan dan tanpa pretensi, bermain di atas “panggung” yang telanjang, adegan demi adegan mengalir — seperti lenong Betawi di Pasar Rumput 50-an awal — dan menggelombang seperti angin dan gelombang laut nafas keseharian mereka. 

Lakon malam itu melukiskan bagaimana nelayan suami, yang telah tergadai pada tuan ikan, bersabung di tengah lautan, sementara nelayan istri sadar tapi tanpa daya melayani nafsu tuan ikan. Saya teringat pada lakon Motinggo Boesje “Malam Jahanam” (1958?). Tapi seniman rakyat Tambak Lorok itu, tak tega menjahanamkan istri mereka sendiri: “Lintang Tambak Lorok.” 

Saat turba, ia menyaksikan Gerakan Aksi Sefihak (asfek) yang terjadi di beberapa desa di Klaten. Pengamatannya selama turba tersebut menghasilkan drama Api di Pematang. Drama dua babak ini mengisahkan perjuangan para petani Klaten menghadapi lurah yang bersekongkol dengan tuantanah. Mereka menuntut pelaksanaan UUPA (Undang Undang Pokok Agraria 1960) dan UUPBH (Undang Undang Pokok Bagi Hasil 1960).  Drama ini kemudian dipentaskan dalam Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR), yang diselenggarakan oleh PKI, di Jakarta, 27 Agustus-2 September 1964. Meski begitu, Kusni menyesalkan kritik-kritik yang dilontarkan beberapa pejabat PKI atas dramanya tersebut karena beberapa plot drama dianggap menyimpang dari garis partai.

Lekra menilai kedua operasi turba tersebut sukses. Hal ini pula yang memantapkan turba sebagai “metode” resmi Lekra. Dari sini, turba diterima oleh Politbiro PKI, dan kemudian disebarluaskan ke organisasi afiliasi. Termasuk juga, ke Universitas Res Publica (Jakarta) yang sejak 1962 punya afiliasi dekat dengan PKI. Kwan Siu Hwa (2014, hlm. 120) memberikan gambaran kegiatan turba saat dirinya sebagai mahasiswa Universitas Res Publica,

“Salah satu kegiatan Turba lain adalah pergi menyacar penduduk di daerah Kebon Jeruk pula. Karena kegiatan Turba ini dilakukan beramai-ramai dan berbentuk kerja bakti, kami sangat menikmatinya. Tidak ada yang mengeluh walaupun melalui saat-saat yang tidak biasa dilalui orang-orang kota. Melalui kegiatan ini kami bisa berinteraksi dengan penduduk miskin di kampung-kampung. Menyelami apa yang mereka hadapi sehari-hari.”

Dari catatan pengalaman ini dapat kita simpulkan bahwa turba tidak lagi terbatas bagi seniman, melainkan juga (dan terutama) bagi mahasiswa perkotaan.[iii] 


Impor dari Tiongkok?

Sebagai organisasi para seniman, Lekra menekankan pendekatan “seni untuk rakyat.” Lekra menentang pendekatan “seni untuk seni” yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan perjuangan bangsa Indonesia. Pendekatan“seni untuk rakyat” sesungguhnya punya akar panjang. Salah satunya, berpijak dari pidato Mao Tse-tung di Yan’an pada 1942 (延安文艺座谈会/ Pertemuan Sastra dan Seni di Yan’an) yang mengutarakan pentingnya seni bercermin dari kehidupan kelas buruh/ petani, dan seni untuk pemajuan sosialisme. Karena itu pula, umum dikemukakan bahwa turba dicontoh dari RRT, dan kerap disamakan dengan program 下鄉 (xiaxiang, turun ke desa). Apakah demikian halnya?

Program xiaxiang berawal dari program pengiriman kader-kader muda Komunis ke desa-desa di daerah Yan’an (yang merupakan tempat lahirnya revolusi Komunis di Tiongkok) sebelum Perang Dunia ke-2. Program ini penting dalam menjaring dukungan massa bagi kemenangan Partai Komunis Tiongkok (PKT) di tingkat basis.  

Setelah rezim Komunis berdiri pada 1949, progam ini mulai digalakkan secara nasional. Istilah yang dipakai adalah 下鄉上山 (xiaxiang shangshan, turun ke desa naik ke gunung). Istilah ini dipergunakan pertama kali tahun 1956 dalam Rencana Nasional Pembangunan Pedesaan 1956-1967 yang diajukan oleh Politbiro PKT. Michel Bonin (2004) mencatat bahwa kemungkinan besar Liu Shaoqi  刘少奇 (1898-1969), yang saat itu adalah wakil ketua PKT (1956-1966), adalah orang yang menggunakannya pertama kali.[iv] Lewat program ini, pemerintah “mendorong” para lulusan muda (terutama SMA) untuk ke desa atau ke pegunungan.  

Di kemudian hari, terutama sejak 1965, nama program ini berubah menjadi 上山 (shangshan xiaxiang) – perhatikan, susunan kata terbalik dari sebelumnya. Istilah ini dipergunakan untuk mempromosikan kesan heroik nan mulia para anak muda dan juga, menggambarkan keagungan ide “turun” kaum intelektual (pelajar) yang hidup bersama masyarakat biasa di desa/ kampung/ pegunungan. Mereka tinggal bersama dengan warga setempat, bekerja dan belajar dari petani, pekerja ladang ataupun penduduk desa umumnya.

Para pelajar muda itu disebut 知識青年 (zhishi qingnian) atau kerap disingkat 知青(zhiqing), yang berarti pemuda berpendidikan.[v] Sampai awal 1950an, istilah ini merujuk para lulusan muda (baik SMP ataupun SMA) yang berasal dari desa kemudian bersekolah di kota dan mendorong mereka untuk kembali ke desa mereka (pulkam). Namun, setelah 1955 dan terutama selama dekade 1960an, istilah ini merujuk para lulusan muda perkotaan (terutama SMA) yang “didorong” pemerintah untuk hidup dan bekerja di desa.

Oleh karena itu, ada 2 kategori: 知青(xiaxiang zhiqing) yaitu pemuda kota, dan 回鄉知青(huixiang zhiqing) yaitu pemuda desa (yang pulkam). Thomas Bernstein (1977) memperkirakan bahwa kategori pertama hanya sekitar 10%, dan sebagian besar adalah kategori ke-2, yaitu para pemuda desa yang pulkam, sehingga dampaknya bagi kehidupan di desa/ kampung/ pegunungan sangatlah kecil. 

Program xiaxing menginspirasi berbagai kisah fiksi, yang umumnya ditulis oleh zhiqing atau mantan zhiqing.[vi] Ada juga beberapa terbit dalam bentuk semi-otobiografi. Kebanyakan karya fiksi ini terbit setelah 1978 (usai reformasi ekonomi RRT  改革開放). Para zhiqing merasa “bebas” bisa menulis pengalaman yang mereka alami sesungguhnya saat berada di pedesaan – dan terutama, saat mereka (dipaksa/ terpaksa) ikut dalam program. Kisah-kisah nyata mereka tentu masih dalam batas-batas “ideologis” pemerintah, sebab sensor negara masih cukup ketat.  

Dari penjelasan ini, dapat kita lihat sejumlah perbedaan program xiaxiang dengan turba. Pertama, program xiaxiang ditujukan bagi anakmuda, sementara turba bagi seniman dan mahasiswa perkotaan. Kedua, program xiaxiang menjadikan anak muda sebagai kader pembangunan di desa/ pegunungan (meskipun sebatas retorika), sementara seniman/ mahasiswa dalam turba tidak bertindak sebagai kader dan hanya menetap sementara waktu. Ketiga, program xiaxiang mengharuskan anak muda tinggal dan kerja bersama masyarakat biasa di desa/ pegunungan selama beberapa tahun untuk membangun daerahnya, sementara turba mendorong seniman/ mahasiswa (melalui “tiga sama”[vii]) untuk melakukan pengamatan di lapangan dalam meneropong berbagai masalah sosial (kemiskinan, kekuasaan tuan tanah, dsb). Keempat, program xiaxiang dilancarkan guna mengatasi persoalan pengangguran muda di perkotaan (dan ”mendorong” anak muda untuk pulkam), sementara turba adalah cara (“metode”) untuk menghasilkan “kesenian rakyat” dan pembangunan organisasi rakyat.

Subyek, tujuan, dan pelaksanaan xiaxiang berbeda dari turba. Konsep xiaxiang tidak sepenuhnya dapat dimpor begitu saja sebab situasi Indonesia (pada 1950-1960an) berbeda dari situasi di RRT – suatu hal yang juga dimaklumi oleh para pejabat Lekra dan PKI pada masa itu. Oleh karena itu, kecil kemungkinan ide turba adalah impor xiaxiang. Turba lahir dan dikembangkan di Indonesia. Turba hanya bisa lahir pada masa pancaroba itu, yaitu saat seniman Indonesia berupaya mencari jawaban atas peran mereka di dalam masyarakat dan memahami persoalan-persoalan sosial yang ada (dan bermaksud mengubahnya).


Penutup

Telah kita lihat bagaimana perkembangan konsep turba sebagai “metode kerdja” bagi para seniman Lekra hingga kemudian diterima oleh Politbiro PKI. Hubungan afiliasi antara Lekra dan PKI tidak serta merta berarti PKI mendikte Lekra. Dalam hal ini justru PKI menerima gagasan turba yang dikembangkan dan diterapkan oleh Lekra. Hal ini juga menjadi tanda penegasan bagi organisasi PKI dalam memandang aspek budaya (atau metode seni ala turba) sebagai hal penting, jika bukan fundamental, bagi perjuangan politik partai.    

Memahami turba sebagai inovasi khas Indonesia pada 1950-1960an berarti melihat konsep ini sebagai wacana khas Indonesia. Selama ini perhatian kita masih tercurah perihal bagaimana konsep-konsep Komunisme/ Marxisme diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau adaptasi/ modifikasi ajaran Komunisme-Leninisme-Maoisme di Indonesia. Sudah saatnya kita menelisik perihal bagaimana orang Indonesia mengerti konsep/ajaran asing (terutama Komunisme/Marxisme) dan mampu membentuk realitanya secara mandiri. Tidak sekedar menerjemahkan atau melulu membebek ideologi komunis-internasional, tapi juga mencipta untuk mengisi kekurangan yang ada.

Ironisnya, sebagai inovasi khas Indonesia, turba sedemikian “ampuh” hingga pemaknaannya diambil-alih oleh pejabat tinggi zaman Soekarno.[viii] Malah, turba tetap diselewengkan selama masa Orde Baru (1966-1998).[ix] Dan pada masa Reformasi ini, turba diagung-agungkan oleh politisi ala “blusukan” dalam menjaring suara rakyat saat pemilu.

Ben White (2004; 2016) menekankan bahwa periode 1950-1960an adalah periode produktif sarjana Indonesia, dengan segala keterbatasannya, dalam membentuk dan menerapkan konsep-konsep yang berpihak pada rakyat miskin. Pastinya, konsep turba adalah juga salah satunya.[x]***


Rollah Sjarifah, Peneliti dan penulis


Kepustakaan

Bernstein, Thomas. 1977. Up to the Mountains and Down to the Villages: The Transfer of Youth from Urban to Rural China. New Haven: Yale University Press.

Bonnin, Michel. 2004. Génération perdue. Le mouvement d’envoi des jeunes instruits à la campagne en Chine, 1968-1980. Paris: Editions de l’EHESS.

Hajriansyah. 2015. Realisme Revolusioner. Yogyakarta: Gading

Ibarruri Putri Alam. 2006. Roman Biografis anak sulung D.N. Aidit. Jakarta: Hasta Mitra.

J.J.Kusni. 2005 (1981). Di tengah pergolakan. Turba LEKRA di Klaten. Yogyakarta: Ombak.

Joebaar Ajoeb.1960. Manifesto Politik dan Kebudajaan, dalam Laporan Kebudajaan Rakjat. Pleno Agustus Pimpinan Pusat LEKRA 1960. Bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat.

Kwan Siu Hwa. 2014. URECA membangkitkan the sense of belonging, dalam URECA Berperan dalam Pembangunan Bangsa, penyunting Siauw Tiong Djin, hlm. 115-122. Perkumpulan Res Publica Indonesia

Martinus Dwi Marianto. 1995. Surrealist painting in Yogyakarta. Thesis Ph.D., Universitas Wollongwong, Australia.

Njoto. 1959. Revolusi adalah Api Kembang, dalam Dokumen Kongres Nasional Pertama Lembaga Kebudajaan Rakjat (Solo, 22-28 Djanuari 1959). Bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat.

Setiawan, Hersri. 2001. Tentang “Turba”, Gerakan Turun ke Bawah. Surel apakabar, 12 Oktober.  

_____. 2003. Kamus Gestok. Yogyakarta: Galang Press.

Subandrio. 2000. Kesaksianku tentang G30S. Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total.

Tim buku Tempo. 2014. Lekra dan Geger 1965. Jakarta: KPG.

White, Ben. 2004. Between apologia and critical discourse: agrarian transitions and scholarly engagement in Indonesia, dalam Social Science and Power in Indonesia, penyunting Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, hlm. 119-141. Jakarta: Equinox.

______. 2016. Remembering the Indonesian Peasants’ Front and Plantation Workers’ Union (1945-1966). Journal of Peasant Studies 43(1): 1-16.  


[i][i] Yang disebut “5-kombinasi” adalah lima pedoman penciptaan ala organisasi Lekra yang meliputi: “Meluas dan Meninggi,” “Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik,” “Memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner,” “Memadukan kreativitet individuil dengan kearifan massa,” dan “Memadukan realisme sosialis dengan romantisme revolusioner.”

[ii] Hersri Setiawan (2001) menyatakan bahwa “lawan-lawan Lekra itu — barangkali sambil menindas rasa cemburu sekaligus waswas di hati — memberi kepanjangan akronim “turba” sebagai (maaf!) “turuk babi”.” Dapat diduga hal ini baru terjadi setelah tahun 1963.

[iii] Dapat pula dibandingkan dengan pengalaman Ibarruri Putri Alam yang mengikuti turba saat dirinya masih remaja, lihat Ibarruri (2006).

[iv] Menarik dicatat bahwa Liu Shaoqi punya peran dalam menghubungkan kembali PKI dengan Partai Komunis Sovyet pasca peristiwa Madiun 1948, terutama meminta pendapat Stalin perihal program partai.

[v] Diperkirakan sejak 1968 hingga 1980 (program dihentikan pada 1981), ada sekitar 17 juta anakmuda yang terlibat.

[vi] Ada dua contoh menarik. Pertama, cerpen 天浴 (Tianyu) karya Yan Geling, yang terbit pada 1996 dan diangkat ke layar lebar pada 1998 dengan judul Xiu Xiu: The sent down girl (Xiu Xiu: si gadis yang diutus ke desa), dengan disutradarai oleh Joan Chen (tautan: https://www.youtube.com/watch?v=raFuAMhMKHo).  Kedua, novel Balzac et la Petite Tailleuse Chinoise (Balzac dan si gadis penjahit Tionghoa) karya Dai Sijie, yang terbit pada 2000 dan ditulis dalam bahasa Perancis. Dai Sijie bermukim di Paris sejak 1984, setelah sebelumnya menyelesaikan masa xiaxiang di pedesaan Sichuan antara tahun 1971-1974. Pada 2002, novel ini diangkat ke layar lebar dengan disutradarai oleh Dai Sijie (tautan: https://www.youtube.com/watch?v=KUySDK5cpy4).

[vii] “Tiga sama” adalah “sama bekerdja, sama makan dan sama tidur dengan buruh tani atau tani miskin.” Sejajar dengan “Tiga sama”, dikenal pula “Empat djangan” yaitu: “djangan tidur di rumah kaum penghisap di desa, djangan menggurui kaum tani, djangan merugikan tuan rumah dan kaum tani, dan djangan mentjatat di hadapan kaum tani.”

[viii] Sejak awal 1965, istilah turba juga sudah kerap dipergunakan oleh pejabat negara. Subandrio (2000: hlm. 54) mencatat bahwa “Saat peristiwa G30S meletus saya tidak di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut turba (turun ke bawah). Pada tanggal 28 September 1965 saya berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling ke Jawa Timur dan Indonesia Timur.”  

[ix] Hersri Setiawan (2001) menyesalkan deflasi makna turba terutama oleh para pejabat Orde Baru.

[x] Kita dapat menimbang turba seperti halnya hak cuti haid dan hak atas THR – keduanya adalah khas Indonesia dalam menjawab persoalan perburuhan yang dikembangkan oleh SOBSI selama periode 1950-1960an. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.