Ilustrasi oleh Jonpey. Karya-karyanya dapat dijumpai di sini.
“Sedjak pagi2 pada 17 Djanuari 1962, Gedung PB Front Nasional didatangi berdujun-dujun sukarelawan untuk melaksanakan komando rakjat. Kami, wanita yang bergabung dalam Gerwani djuga tak ketinggalan siang hari berdatangan memenuhi ruang dalam Gedung Front Nasional…….Wakil Gerwani menjerahkan sedjumlah besar formulir pada Front Nasional dan menjatakan siap sedia djuga untuk mendapatkan latihan2 jang diperlukan (….) (Api Kartini, Januari 1962)
API KARTINI edisi Januari 1962 terbit penuh gelora. Cuplikan kalimat di atas merupakan paragrap awal dari reportase bertajuk “Pendaftaran Sukarelawan Untuk Membebaskan Irian Barat”. Reportase itu menunjukkan sikap Gerwani dalam mendukung kebijakan Presiden Soekarno untuk menanggapi serangan Belanda pada 15 Januari 1962 terhadap Angkatan laut RI. Kaum perempuan diminta memberikan dorongan kepada suami, anak, bahkan dirinya sendiri untuk menjadi sukarelawan pembebasan Irian Barat. Sebagai catatan, dalam banyak bagian di tulisan ini saya tetap menggunakan istilah Irian Barat sesuai masanya. Istilah “pembebasan”, sekalipun sangat problematis, juga akan digunakan mengingat konteks zamannya serta sebagai nama resmi kampanye pemerintahan Sukarno.
Saat itu Gerwani merupakan satu-satunya organisasi perempuan yang memelopori mobilisasi sukarelawan untuk pembebasan Irian Barat. Tindakan itu mendapat pujian dari Ibu Hurustiati (isteri Soebandrio, Wakil Pedana Menteri) yang saat itu menjadi Ketua Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Dilihat dari situasi hari ini, mobilisasi sukarelawan untuk pembebasan Irian Barat tentu dapat mengundang kegusaran banyak pihak. Di satu sisi, kita memiliki kebiasaan berpikir yang anakronistis, yaitu menganalisasi peristiwa tidak seturut konteks waktu-ruang pada masanya dalam membaca sejarah. Di sisi lain, kasus pelanggaran HAM di Papua, termasuk konflik dan kerusuhan, penangkapan aktivis Papua dan pembela Papua adalah fakta-fakta keras yang tidak bisa diabaikan.
Baca juga: Gagalnya Nasionalisme NKRI di Papua
Adalah relevan untuk dipertanyakan untuk apa waktu itu pemerintah Indonesia menggelar operasi militer di Irian Barat, jika dalam perjalanannya sumber daya alam dan manusia Papua hanya dieksploitasi, dibiarkan marginal dalam proses transisi modernitas. Namun, tulisan ini tidak bermaksud menganalisis proyek politik pembebasan Irian Barat dan warisan bom waktunya pada Papua hari ini. Tulisan ini bermaksud untuk menelisik basis argumentasi mengapa Gerwani cukup aktif dalam mobilisasi sukarelawan untuk Irian Barat dan gerakan solidaritas anti-imperialisme lainnya.
Gerakan Era Perang Dingin
Barangkali kita sudah mulai lupa terhadap era Perang Dingin yang pernah terjadi dalam sejarah dunia sebagai kontestasi kekuatan militer, ekonomi-politik, dan teknologi antara blok “Barat” yang disebut “kapitalis” dan dipimpin oleh AS versus blok “Timur” yang disebut “sosialis” dan dipimpin oleh Uni Soviet. Perang Dingin dimulai setelah periode fasisme Nazi Jerman dan Jepang berakhir, hingga tersisa dua blok besar tersebut beserta kroni-kroninya.
Pada 1947 Presiden AS Harry S. Truman mencetuskan sebuah doktrin (yang kelak dikenal sebagai “Doktrin Truman”) untuk mengendalikan ekspansi Uni Soviet (komunisme internasional). Salah satu bunyi doktrin tersebut adalah “mendukung masyarakat dunia yang bebas” berdasarkan asumsi bahwa politik komunisme internasional yang digaungkan Uni Soviet bersifat totaliter dan memberangus kebebasan. Saat itu Doktrin Truman diwujudkan secara internasional dengan membantu Yunani dan Turki agar tidak terjatuh ke dalam hegemoni Uni Soviet.
Perang Dingin memang bukan perang terbuka. Perang itu dilakukan atas nama solidaritas membantu negara lain yang sedang berada dalam ancaman AS maupun Uni Soviet. Menurut Prasenjit Duara,[1] tatanan Perang Dingin muncul dari rekonfigurasi ulang sejarah panjang imperialisme dan nasionalisme selama abad ke-19 hingga 20. Persaingan Perang Dingin memberikan kerangka rujukan di mana hubungan baru antara imperialisme dan nasionalisme berusaha mengakomodasi perkembangan dekolonisasi dan revolusi hak-hak global. Namun, pada gilirannya, akomodasi ini menghasilkan perkembangan multikulturalisme, militerisme, ideologi baru, dan mode pembentukan identitas, sehingga menghasilkan sebuah konstelasi atau konfigurasi. Konfigurasi itu pun kemudian berkembang, berubah yang dipengaruhi oleh faktor sejarah lainnya termasuk ras, jenis kelamin, kelas, dan agama.
Hubungan antara imperialisme dan nasionalisme tidak seluruhnya dalam kontradiksi ataupun interaksi. Malaysia dan Inggris berkembang dalam interaksi imperialisme dan nasionalisme yang kepentingannya dapat berjalan sejajar, sementara Indonesia dan Belanda dalam kontradiksi imperialisme dan nasionalisme. Itu sebabnya dalam konteks dekolonisasi, wilayah-wilayah yang diklaim “milik” Belanda harus direbut untuk menjadi milik nasional Indonesia. Wilayah Irian Barat termasuk dalam sengketa sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949.
Dimas Dwi Kurnia (2019) telah menulis “Peranan Gerwani Dalam Pembebasan Irian Barat 1950-1963” dalam Jurnal Prodi Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, menjelaskan bahwa peristiwa pembebasan Irian Barat harus ditarik ke masa Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Dalam perjanjian KMB untuk pertama kalinya dibahas urusan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Kedua negara, mantan penjajah dan jajahan, berbeda pendapat. Menurut Indonesia, kedaulatan Indonesia meliputi tanah bekas jajahan Belanda, yang sebelumnya disebut Hindia Belanda, hingga termasuk Irian Barat. Sementara Belanda memperlakukan Irian Barat bukan sebagai Hindia Belanda dan karena itu menolak menyerahkannya kepada Indonesia. Perbedaan pendapat itu selanjutnya mewariskan masalah berkepanjangan di masa depan. Pelbagai upaya dilakukan Indonesia, termasuk membentuk Komisi Gabungan untuk melakukan penyelidikan di Irian Barat dan diplomasi internasional. Hingga pada 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) di Yogyakarta. Politik Soekarno saat itu penuh gaung anti-imperialisme. Ia menggalang organisasi-organisasi massa, termasuk Gerwani untuk mendukung gerakannya.[2]
Politik Internasional Anti-Imperialisme Gerwani
Selama dekade pasca-kemerdekaan sampai 1960-an, sikap politik Gerwani dalam menderaskan gaung anti-imperialisme sangat militan. Sikap politik ini didasarkan pada solidaritas nasional dan internasional untuk menciptakan perdamaian. Yang dimaksud menciptakan perdamaian di sini adalah ikut serta mengganyang imperialisme yang menciptakan penindasan dan ketidakdamaian dalam sanubari rakyat tertindas di seluruh dunia, termasuk di dalam negeri. Sikap anti-imperialisme seperti itu tidak tersurat dinyatakan oleh organisasi perempuan lainnya, baik dalam kata dan maupun tindakan politik.
Dalam konteks solidaritas internasional anti-imperialisme, Gerwani menjadi anggota Women International Federeration Democratic (WIDF) yang didirikan di Paris pada 1945. Dalam masa perang dingin 1947-1991, ketika tegangan politik dan militer antara “dunia Barat” yang dipimpin oleh AS versus “dunia sosialis” yang dipimpin oleh Uni Soviet memuncak, federasi perempuan internasional ini cenderung memberikan solidaritas kepada negara-negara sosialis dan bekas jajahan. Keikutsertaan Gerwani di dalamnya memenuhi kriteria sebagai organisasi perempuan dari negara bekas jajahan yang masih tetap memperjuangkan anti-imperialisme.
Sikap politik anti-imperialisme itu ditunjukkan dalam pidato Umi Sardjono selaku Ketua Umum Gerwani pada Kongres Gerwani ke-3 pada 1962. Ia menegaskan program politik internasional Gerwani meliputi: (1) Membangun Front Internasional Anti-imperialis, (2) Mengembangkan solidaritas perempuan NEFO (New Emerging Forces), (3) Melawan revisionis dalam gerakan perempuan internasional yang pasifis (menciptakan perdamaian tanpa membela negara yang sedang perang melawan imperialis).[3]
Dalam pidatonya itu, Umi Sardjono menggambarkan situasi imperialis dunia: AS melakukan agresi dan teror berdarah ke Amerika Latin, Korea, Jepang, dan Vietnam Selatan. Di Vietnam Selatan, AS melakukan penyebaran racun-racun di ladang tani dan menjadikan petani sebagai kelinci percobaan nuklir di Korea Selatan, lalu mencampuri urusan dalam negeri Panama dan Venezuela. Sebagai salah satu titik wilayah kontradiksi pokok dunia, di Asia Tenggara telah berkobar perjuangan rakyat yang sengit melawan berbagai bentuk imperialisme dan neokolonialisme. Sebagai gerakan perempuan yang berkedudukan di Asia Tenggara, Gerwani berkewajiban meningkatkan kegiatannya dalam memenangkan revolusi-revolusi rakyat di Asia Tenggara. Selain itu Gerwani mendukung perjuangan kaum perempuan di Kuba, Jepang, Korea, Laos, Kamboja, Vietnam Selatan, yang dengan gigih pantang mundur melawan imperialisme AS.[4]
Pada 1963 Gerwani telah menyelenggarakan pertemuan persahabatan dan mempopulerkan perjuangan heroik rakyat Kuba, Korea, dan Vietnam ke daerah-daerah di Indonesia. Gerwani juga menyambut misi Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan yang dipimpin oleh Prof. Nguyen Thin Binh di Indonesia.[5]
Namun, Gerwani menyayangkan sikap WIDF belakangan menjadi revisionis, menghindari perjuangan anti-imperialis dan hanya menitikberatkan pada perjuangan perempuan untuk perdamaian berdasarkan prinsip “damai untuk damai”. Padahal, “tak mungkin perdamaian terjadi selama imperialisme ada, membunuh pejuang-pejuang kemerdekaan, dan masih membuat perang di mana-mana”. Imperialisme membuat perempuan menderita, maka perjuangan melawan imperialisme adalah membebaskan perempuan dari penderitaan.[6]
Bagi Gerwani, pengaruh revisionisme yang menjangkiti gerakan perempuan internasional telah merusak dan melemahkan gerakan emansipasi revolusioner, dan karena itu harus dilawan dengan keras. Solidaritas antar-rakyat yang berjuang melawan imperialisme hanya mungkin jika disertai perjuangan melawan revisionisme dalam gerakan perempuan. Gerwani telah mengadakan kunjungan ke Uni Soviet, Republik Rakyat Tiongkok, Bulgaria, Kuba, Korea Utara, dan juga menerima kunjungan gerakan perempuan dari Uni Soviet, Cekoslovakia dan Hongaria, untuk saling memperkuat dukungan kepada perjuangan melawan imperialisme.[7]
Politik Nasional Anti-Imperialis Gerwani
Api Kartini edisi No.20/1962 melaporkan bahwa Ibu Sundari Surachman dan Ibu S. Hanafi menjadi delegasi Gerwani untuk mengikuti Musyawarah Internasional Wanita untuk Pelucutan Senjata pada 23-26 April 1962 di Wina, Austria. Pertemuan itu membahas perjuangan untuk kemerdekaan nasional dan pelucutan senjata imperialis. Indonesia, Vietnam, dan Laos merupakan negara yang menjadi sorotan. Khusus mengenai Indonesia, peserta delegasi dari pelbagai negara memberikan dukungan solidaritas melalui Gerwani untuk perjuangan pembebasan Irian Barat.
Bahkan Ny. Gloria Gaston, delegasi WIDF dan anggota dari Persatuan Wanita Australia, telah menulis dan dimuat dalam Australia Tribune (lalu dikutip oleh Harian Rakyat dan dimuat dalam Api Kartini, 1962) bertajuk “Irian Barat Masalah Jang Paling Penting”. Ny. Gaston berkunjung ke Indonesia dalam rangka menghadiri Kongres Gerwani ke-4, 14-17 Desember 1961 di Jakarta. Selain itu Ny. Gaston mendapat kesempatan untuk keliling desa di Pulau Jawa dan bertemu dengan banyak perempuan desa. Menurutnya, pembebasan Irian Barat dari kolonialisme Belanda merupakan hal besar dan penting bagi rakyat Indonesia. Oleh sebab itu Ny. Gaston memberikan dukungan bagi perjuangan pembebasan Irian Barat.
Bagi Gerwani, dukungan untuk pembebasan Irian Barat merupakan kelanjutan dari perjuangan kemerdekaan (nasionalisme) yang belum tuntas. Revolusi nasional itu bahkan masih harus dilanjutkan dengan revolusi sosial bagi kemerdekaan rakyat tertindas. Sikap politik anti-imperialisme dan kerja-kerja bagi pelayanan perempuan (dan anak) maupun pencegahan perkawinan muda, anti-poligami, memperjuangkan hak kesejahteraan buruh dan petani perempuan berjalan paralel. Kemiskinan perempuan terjadi dalam konteks kolonialisme dan imperialisme, di mana ide-ide ini berkawin dengan pemasungan hak perempuan dalam perkawinan (rumah tangga).
Jadi, Gerwani pada masa itu masih berpandangan bahwa kolonialisme/imperialisme eksis dalam wujud kekuasaan Belanda di Irian Barat. Mengutip artikel di majalah Anthropological Quarterly dari AS, sebuah artikel di Api Kartini menggambarkan bahwa:
Pembesar Belanda, antara lain mengusir suku Muju sebanyak 13.000 djiwa yang semula tinggal di pesisir Barat Daya, Irian Barat. Tjara mengusirnya adalah kedjam tanpa perikemanusiaan, jaitu polisi pada waktu-waktu tertentu menghantjurkan gubuk-gubuk bangsa Irian di tengah-tengah hutan. Lalu ternak-ternak dibinasakan. Orang Irian dipaksa bekerdja sebagai budak belian, sedangkan orang jang tidak mau menurut didjebloskan ke dalam pendjara. Tindakan itu berakibat bahwa suku bangsa tersebut mati kelaparan….Djika diingat bawah dalam praktek-praktek jang demikian itu ada banjak kaum wanita dan anak-anak (….) (Api Kartini, No 2, Tahun IV, Februari 1962)
Dengan demikian agenda Gerwani untuk mobilisasi umum bagi sukarelawan untuk pembebasan Irian Barat adalah bagian penyelesaian kontradiksi era Perang Dingin dalam konteks nasional. Sesungguhnya Gerwani juga menggalang kekuatan progresif di negeri Belanda agar menarik mundur pasukannya di Irian Barat.
Kontradiksi Agenda Feminis Perang Dingin
Selama masa Perang Dingin, agenda gerakan feminis dunia terpola dalam dua karakter yang kontradiktif. Bagi gerakan feminis di dunia “Barat” yang “liberal”, khususnya AS, era Perang Dingin atau pasca-Perang Dunia II adalah masa ketika perempuan dikembalikan ke dalam rumah tangga. Selama masa Perang Dunia II, para laki-laki diwajibkan untuk berperang dan kaum perempuan menggantikan pekerjaan yang mereka tinggalkan. Setelah perang usai, laki-laki kembali ke pekerjaannya dan perempuan kembali mengurus rumah tangga. Keadaan penuh domestikasi perempuan itu telah ditulis oleh Betty Friedan dalam Feminine Mystique (1963). Pada saat bersamaan, gerakan feminis dari belahan dunia yang blok “Timur” sedang berjuang untuk nasionalisme dan anti-imperialisme, seperti halnya Gerwani dan anggota WIDF lainnya. Meskipun kemudian terjadi ledakan baru gerakan pembebasan perempuan di AS untuk keadilan gender, melawan kekerasan seksual, rasisme dan ketimpangan sosial sebagai akibat perubahan sosial di negara tersebut. Sebagian dari aktivis gerakan pembebasan perempuan di AS ini disebut Gerakan Perempuan Kiri Baru (sayang sekali di Indonesia, gerakan perempuan Kiri Baru ini mendapat stigma “gerakan perempuan liberal yang membuka BH mereka!”).
Baca juga: Perkawinan Anak dan Reproduksi Kapital
Gerakan feminis Perang Dingin pada dasarnya merupakan gerakan transnasional, sekalipun terjadi penafsiran yang berbeda-beda dalam konteks nasional. Organisasi perempuan internasional, seperti WIDF yang agendanya membangun solidaritas anti-imperialisme kontradiktif dengan agenda International Council of Women (ICW) yang berdiri pada 1888 di Washington D.C. Selama Perang Dingin, ICW memperjuangkan agenda-agenda liberal seperti hak sipil perempuan. Organisasi ini mewakili agenda feminis AS yang berbeda dengan feminis di negara-negara mantan jajahan maupun “blok Timur”.
Walaupun terdapat kontradiksi antara agenda WIDF dan ICW selama masa Perang Dingin, tetapi keduanya memberikan sumbangan yang cukup besar dalam komisi peningkatan status perempuan di PBB hingga terselenggara konferensi-konferensi perempuan sedunia pada 1975 di Meksiko, konferensi kedua di Copenhagen pada 1980, dilanjutkan di Nairobi pada 1985, dan di Beijing pada 1995. Tentu saja Gerwani tidak dapat mengikuti konferensi perempuan internasional yang diselenggarakan oleh PBB tersebut, sebab organisasi ini telah menjadi korban Perang Dingin. Gerwani dibubarkan dan aktivisnya dipenjara (dan tak sedikit yang dibunuh) dalam rangkaian paket Doktrin Truman untuk menghancurkan gerakan-gerakan anti-imperialisme yang dikategorikan sebagai bagian dari blok Soviet.
Namun, selalu terjadi kelahiran baru di tengah puing penghancuran. Sejak 1980-an muncul banyak organisasi non-pemerintah yang menangani pelbagai isu perempuan, yang sebagian dahulu dikerjakan oleh Gerwani. Hanya saja, isu-isu yang ditangani organisasi perempuan saat ini minus gerakan anti-imperialisme dan telah digantikan oleh gerakan anti-neoliberalisme yang lebih “akademis” ketimbang gerakan massa dalam solidaritas internasional.
Mungkin karena itulah dalam konteks masalah Papua saat ini, kita lebih banyak menyatakan persoalan pelanggaran HAM–meskipun memang tepat—daripada meletakkan pada gerakan menolak neo-imperialisme yang menguasai Papua dalam bentuk ekspansi industri ekstraktif.
Perang Dingin memang telah berlalu, tetapi neo-imperialisme selalu memperbarui dirinya. Hari ini, kita memang perlu kembali mengevaluasi kembali peran Gerwani dan kaum komunis dalam perebutan Irian Barat (apakah mereka telah mengantisipasi dampak jangka panjang dari kampanye tersebut? Bagaimana hubungan mereka dengan masyarakat asli Papua? dsb). Di luar itu, kerja-kerja Gerwani dalam platform anti-imperialisme saat itu perlu ditengok lagi oleh gerakan feminis hari ini.***
[1] Prasenjit Duara, “The Cold war as a Historical Period: An Interpretative Essay”, artikel ini diunduh dari http://www.fas.nus.edu.sg/hist/doc/duara pada 5 Februari 2020
[2] Dimas Dwi Kurnia, “Peranan Gerwani Dalam Pembebasan Irian Barat”, Jurnal Prodi Ilmu Sejarah, Vol. 4, Nomor 1, Tahun 2019, Univesitas Negeri Yogyakarta
[3] Laporan Umi Sardjono, Ketua Umum DPP Gerwani ke Sidang Pleno ke-3, 1964, hal 15-20
[4] Laporan Umi Sardjono, hal 15
[5] Laporan Umi Sardjono, hal 16
[6] Laporan Umi Sardjono, hal 18
[7] Laporan Umi Sardjono, hal 19