Ilustrasi: Financial Times
SEBAGAI negara yang tengah menjadi kekuatan global baru, Cina sering dianggap sebagai kekuatan baru yang akan menggantikan hegemoni Amerika Serikat yang tengah meredup. Ekspansi ekonomi besar-besaran ke banyak negara yang diiringi dengan meningkatnya pengaruh politik global Cina, membuat pandangan ini tidak sepenuhnya keliru. Tidak heran jika kemudian kebangkitan pengaruh politik tersebut menciptakan banyak pertanyaan terkait status Cina dalam kapitalisme kontemporer.
Dalam konteks ini, salah satu pertanyaan yang kerap diajukan adalah apakah Cina dapat dikatakan sebagai negara imperialis baru? Bagi kalangan Marxis, masifnya perkembangan ekonomi Cina pasca adopsi sistem kapitalisme-pasar (dalam derajat tertentu tentunya) yang diiringi peningkatan pengaruh ekonomi globalnya membuat pertanyaan tersebut menjadi terbukti dengan sendirinya. Tidak heran jika kemudian banyak yang menganggap Cina dapat dimasukkan ke dalam kelompk yang sama dengan kekuatan negara-negara kapitalis imperialis lainya. Implikasi dari perspektif ini bagi Gerakan sosial Indonesia tentu sangat jelas: bahwa kebangkitan pengaruh Cina di tingkatan global harus disikapi secara sama seperti kekuatan imperialis lainnya, dengan perlawanan. Dengan kata lain, Cina sebagai kekuatan baru harus ditempatkan sebagai musuh selayaknya kekuatan imperialisme negara-negara barat lainnya.
Artikel ini mencoba untuk memberikan pandangan yang lain terkait dengan status ekonomi-politik global Cina. Penulis berpendapat bahwa Cina bukanlah kekuatan imperialis, karena kekautan global Cina gagal untuk memenuhi kriteria terpenting dari konsep imperialism itu sendiri, yakni keberadaan agenda politik modal monopoli (monopoly capital) yang sistematis. Alih-alih, keberadaan Cina harus ditempatkan sebagaimana mestinya: yakni sebagai negara kapitalis biasa dari dunia ketiga yang tengah berkembang tingkat pembangunannya.
Menjelaskan Cina
Semenjak Cina masih mengklaim dirinya sebagai negara sosialis, evaluasi atas pandangan Cina sebagai kekuatan imperialis tentu harus dilihat dalam penjelasan teori Marxis tentang imperialisme. Teori Imperialisme Marxis memulai analisanya terhadap perkembangan khusus kapitalisme dimana dinamika kompetitif kapitalisme telah digantikan oleh perkembangan relasi modal yang monopolistik.[1] Relasi modal yang monopolistik ini juga diiringi dengan peralihan bentuk akumulasi modal itu sendiri; dari bentuk modal yang berdasarkan pada akumulasi berbasis industri menjadi akumulasi berbasis keuangan (finance). Peralihan ini mengubah kondisi material dalam negara kapitalis itu sendiri. Motif utama akan akumulasi yang diiringi dengan karakter modal uang yang mudah untuk bergerak dan berpindah membuat setiap negara kapitalis memiliki insentif untuk memperluas ruang geografis akumulasi di luar dirinya sendiri. Metode utama dari perluasan ruang akumulasi ini dilakukan dengan cara ekspor modal dari negara kapitalis itu sendiri ke wilayah lain. Ekspor modal dari negara kapitalis ke wilayah lain memungkinkan terjadinya penghisapan kekayaan wilayah tersebut oleh negara kapitalis. Disinilah kita menemukan karakter umum dari imperialism, yakni terjadi ketimpangan distribusi kekayaan dimana negara kapitalis yang memiliki modal yang besar akan semakin kaya sementara wilayah lain yang mengimpor modal akan selalu miskin karena penghisapan.
Namun menjelaskan kapitalisme sekadar pada karakter umumnya tidak mencukupi. Penghisapan melalui perluasan ruang geografi modal selalu mensyaratkan suatu kondisi politik untuk menjamin proses akumulasi. Kondisi politik ini secara khusus adalah ketersediaan kekuatan militer untuk mengamankan modal serta akumulasinya di wilayah lain. Dalam hal ini, perkembangan kapitalisme yang semakin monopolistik mendorong terjadinya peningkatan kapasitas militer negara kapitalis sebagai upaya untuk mengamankan modal mereka yang di ekspor ke wilayah lain. Hubungan antara modal monopoli negara kapitalis dengan kekuatan militer menjadi proposisi penting dalam kerangka imperialisme Marxis. Disinilah Lenin (1966, 326) menambahkan cara pandang dialektis dimana imperialisme yang didukung oleh modal monopoli justru semakin memperkuat kompetisi, khususnya kompetisi antar negara kapitalis. Di sini, imperialisme dalam perspektif Marxis, selalu mlihat hubungannya dengan konflik militer antar negara kapitalis. Hal ini mengingat tiap negara kapitalis memiliki kepentingan untuk memastikan pengamanan modal monopoli yang di ekspor ke wilayah lain.
Apa yang dapat disimpulkan dari perspektif Marxis terhadap imperialisme adalah adanya keterkaitan yang kuat antara agenda ekonomi dan politik dalam ekspansi ekonomi internasional negara kapitalis. Ketika modal monopoli semakin mendominasi kekuasaan negara kapitalis, adalah logis kemudian jika kekuasaan negara digunakan untuk mendukung dominasi modal monopoli.
Dalam terang teoritis ini, apakah negara Cina dapat dikategorikan berada dalam dominasi modal monopoli? Bagi penulis jawabannya tidak. Negara di bawah kepemimpinan Partai Komunis Cina (PKC) merupakan monopoli utama dari perkembangan kapitalisme yang ada alih-alih monopoli modal sektor keuangan. Menurut ekonom Marxis Michael Roberts, [2] walau operasi hukum nilai kapitalis tetap berlaku di Cina, mekanisme kerjanya tidak berlaku layaknya banyak negara kapitalis pada umumnya. Di Cina, negara memiliki kuasa untuk mengendalikan denyut hukum nilai sesuai dengan kepentingan negara itu sendiri. Tidak heran jika ia berpendapat bahwa ekonomi Cina merupakan sistem kapitalis yang unik. Perkembangan ekonomi Cina harus dilihar dari kemampuan ekonomi untuk menghindari dampak hukum nilai yang tidak stabil sambil juga mengakui kekuatannya yang tak terhindarkan. Dalam hal ini, Cina mengadopsi hukum nilai yang beroperasi di pasar bebas seperti perdagangan luar negeri dan investasi asing. Namun pada saat yang sama, kekuatan dari hukum nilai ini dapat diblokir untuk kemudian ditertibkan dan dikendalikan oleh sektor besar milik negara, perencanaan pusat dan kebijakan makro serta pembatasan kepemilikan asing atas industri baru dan kontrol pada aliran modal masuk dan keluar dari negara.
Vidakovich[3] bahkan mencatat bahwa perbandingan antara sektor public dengan swasta secara absolut bahkan mencapai rasio 3:1. Angka ini tentu lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang, India, AS, Rusia, dan Inggris. Dengan konfigurasi struktur seperti ini, Cina memiliki kendali terhadap proses ekonomi yang terjadi. Alih-alih-alih ekonomi bekerja sepenuhnya dalam logika kapitalisme, kapitalisme di Cina dikembangkan sejauh ia memenuhi kebutuhan politik yang ditentukan oleh pemerintah Cina sendiri yang berada di bawah kendali penuh Partai Komunis CIna (PKC). Kendali ini dapat dilihat pada bagaimana kemajuan ekonomi yang bersumberkan pada modal ini disalurkan untuk kemajuan teknologi Cina itu sendiri. Jika dibandingkan dengan negara kapitalis lain seperti AS dan Zona Eropa, alokasi aggaran negara untuk riset dan pengembangan teknologi meningkat secara eksponensial semenjak tahun 1996 sampai dengan 2017.[4]
Terkait dengan ekspansi ekonomi Cina terhadap banyak negara berkembang (the global south), Breslin (2013) mencatat bagaimana operasi ekonomi Internasional Cina sangatlah fragmentatif. Jika agenda ekonomi internasional negara barat, seperti AS, dilakukan dengan dukungan institusional negara yang mumpuni dimana faktor politik juga menjadi perhatian dalam mendukung agenda ekonomi tersebut, maka agenda ekonomi luar negeri Cina sangatlah jauh dari dinamika yang seperti itu. Kementerian Luar Negeri Cina sangatlah lemah dalam mengendalikan agenda ekonomi internasional Cina itu sendiri. keberadaan aktor ekonomi swasta Cina lebih mendominasi dalam melakukan hubungan ekonomi luar negeri yang seringkali merupakan agenda otonom untuk mengejar keuntungan mereka sendiri, terlepas dari kepentingan pemerintah Cina (Breslin 2013, 1273).[5]
Secara ekonomi, Cina juga masih memiliki ketergantungan finansial terhadap negara kapitalis barat. King (2018)[6] berpendapat banyaknya uang Cina yang digunakan untuk membeli surat hutang justru menciptakan kondisi uang murah dimana korporasi-korporasi besar AS memiliki sumber dana yang besar untuk kemudian menggunakannya untuk kepentingan akumulasi mereka. Menurut Norfield (2016), situasi ini merupakan buah dari keutamaan dollar AS dalam sistem keuangan internasional. Jika Cina harus bekerja keras untuk menghasilkan nilai dalam menopang valuasi mata uang mereka (melalui kerja, perdagangan, atau aktivitas ekonomi lainnya), maka AS tidak memerlukan aktivitas ekonomi tersebut dalam mendukung valuasi dollar karena bank sentral AS dimungkinkan untuk membuat nilai melalui pencetakan uang dollar.
Hal lain yang perlu ditilik secara lebih mendalam adalah bagaimana faktor politik internasional ikut berlaku dalam perkembangan keterlibatan Cina dalam pembangunan ekonomi internasional. Kita menemukan bagaimana Cina cukup komprehensif untuk membangun kekuatan militer yang agresif dan ekspansional. Indikatornya dapat dilihat pada bagaimana basis militer internasional Cina hanya berada di tiga wilayah (Djibouti, Kamboja, dan Tajikistan). Bandingkan dengan AS dan Inggris dimana basis militer internasional mereka hampir berada di banyak wilayah di belahan dunia. AS memiliki basis militer di 36 wilayah, sementara Inggris memiliki basis militer di 14 wilayah.[7]
Absennya agenda politik yang sistematis dalam agenda ekonomi internasional Cina membuat keterlibatan ekonomi Cina ke wilayah lain perlu dilihat secara proporsional. Dalam suatu observasi tentang kontribusi perusahaan Cina terhadap ekonomi Afrika, Xiaoyang (2016)[8] menunjukkan bagaimana operasi perusahaan Cina tidak berbeda dengan keberadaan banyak perusahaan lainya. Logika perhitungan keuntungan-kerugian yang biasa diterapkan perusahaan berlaku juga dalam perusahaan Cina.
Dalam kaitannya dengan investasi dan tenaga kerja di wilayah non-Cina, misalnya, perusahaan Cina dihadapkan pada dilema khusus. Dilema ini sangat terkait dengan proses alih teknologi dari Cina ke negara non-(berbahasa) Cina. Untuk melakukan operasi organisasi, teknologi, serta proses awal produksi, perusahaan Cina tidak dapat menggunakan pekerja lokal karena adanya hambatan bahasa. Diperlukan waktu yang biasanya cukup lama untuk melatih serta memastikan pekerja lokal dapat berbahasa mandarin, khususya untuk kepentinan operasional. Masalahnya kemudian, mempekerjakan pekerja dari Cina langsung memakan biaya yang lebih mahal. Banyak perusahaan tersebut Cina tersebut harus mengalokasi biaya pekerja yang lebih tinggi untuk dapat menarik minat pekerja Cina untuk bekerja di negara lain.[9] Tidak heran jika kemudian tren ketenaga-kerjaan pekerja Cina di Afrika akan cenderung untuk mengalami perubahan dalam jangka panjang. Banyak perusahaan Cina di Afrika akan menurunkan jumlah pekerja dari Cina hanya sampai maksimal 20% dari keseluruhan posisi kerja di perusahaan Cina tersebut.
Kesimpulan
Artikel ini menunjukan bahwa pandangan Cina adalah kekuatan imperialis baru adalah keliru. Ekspansi ekonomi Cina ke banyak wilayah lebih didasari pada kepentingan ekonomi negara Cina itu sendiri dibandingkan dengan kepentingan modal monopoli. Oleh karenanya penting untuk melihat posisi Cina sebagai kekuatan dunia yang tengah bertumbuh secara adil dan proporsional. Karakteristik pembangunan kapitalisme Cina tidak dapat disamakan dengan perkembangan kapitalisme dengan negara kapitalis lain. Menjadi tidak bijak kemudian jika kita melakukan generalisasi bahwa apa yang berlaku di negara kapitalis barat akan kemudian berlaku pula dengan Cina. Khususnya, kita akan melakukan penilaian yang sama bahwa Cina akan melakukan praktik penundukkan yang sama yang telah banyak dilakukan oleh banyak negara kapitalis maju terhadap negara lain yang lebih lemah. Disinilah kita perlu menghilangkan bias yang berlebihan bahwasannya kebangkitan Cina adalah masalah bagi tatanan global mengingat kita akan menemukan negara imperialis baru dalam diri cina.
Argumen ini bukan berarti menganggap bahwa Cina dengan sendirinya menjadi kebal terhadap setiap kritik. Dinamika kapitalisme yang berlaku di Cina masihlah valid untuk menjadi sumber kritik setiap Gerakan yang menghendaki pembebasan. Namun, bagi saya, posisi kritisismenya tidak dapat disamakan dengan posisi kritik terhadap negara kapitalis maju lainnya. Kritik harus didasarkan pada Analisa yang adil terhadap kasus yang muncul dalam kontradiksi yang berlaku spesifik dalam kapitalisme Cina. Oleh karenanya, menjadi penting untuk melakukan investigasi yang mendalam terlebih dahulu untuk memahami masalah yang hendak dikritik. Investigasi yang tentunya harus dilakukan tanpa mengikuti bias yang seringkali berdasar pada kenyataan yang berlaku.***
Muhammad Ridha adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
Kepustakaan:
Lenin, V. Illich (1966). Imperialism: The Highest Stage of Capitalism. Moscow: Progress Publishers.
Roberts, Michael. (2018). “China Workshop: Challenging the misconceptions”. Diunduh dari ihttps://thenextrecession.wordpress.com/2018/06/07/china-workshop-challenging-the-misconceptions/
Breslin, S. (2013). China and the South: Objectives, actors and interactions. Development and Change, 44(6), 1273-1294.
King, S. T. (2018). China and the Third World are not “catching up” to the rich countries. Journal of Labor and Society, 21(4), 447-470.
Vidakovich, Blair. (2018). “A Contribution to the Debate on the Class Character of China.” Dalam SocialistAlliance.org. diunduh dari https://socialist-alliance.org/alliance-voices/contribution-debate-class-character-china
Xiaoyang, Tang, (2016).” Does Chinese Employment Benefit Africans? Investigating Chinese Enterprises and their Operations in Africa”. African Studies Quarterly, Vol 16 (3-4). 107-128.
————
[1] Lenin, V. Illich (1966). Imperialism: The Highest Stage of Capitalism. Moscow: Progress Publishers.
[2] Roberts, Michael. (2018). “China Workshop: Challenging the misconceptions”. Diunduh dari ihttps://thenextrecession.wordpress.com/2018/06/07/china-workshop-challenging-the-misconceptions/
[3] Vidakovich, Blair. (2018). “A Contribution to the Debate on the Class Character of China.” Dalam SocialistAlliance.org. diunduh dari https://socialist-alliance.org/alliance-voices/contribution-debate-class-character-china
[4] Roberts, Michael. (2018). “China Workshop: Challenging the misconceptions”. Diunduh dari ihttps://thenextrecession.wordpress.com/2018/06/07/china-workshop-challenging-the-misconceptions/
[5] Breslin, S. (2013). China and the South: Objectives, actors and interactions. Development and Change, 44(6), 1273-1294.
[6] King, S. T. (2018). China and the Third World are not “catching up” to the rich countries. Journal of Labor and Society, 21(4), 447-470.
[7] https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_with_overseas_military_bases
[8] Xiaoyang, Tang, (2016).” Does Chinese Employment Benefit Africans? Investigating Chinese Enterprises and their Operations in Africa”. African Studies Quarterly, Vol 16 (3-4). 107-128.
[9] Ibid, hal. 110