Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp. Internationale Unlimited)
Judul Buku: Deliverance from Slavery: Attempting a Biblical Theology in the Service of Liberation
Penulis: Dick Boer
Penerbit: Brill, 2017
Tebal: xvii + 288 halaman
DARI sekian judul monograf yang diterbitkan oleh penerbit Brill dalam seri Historical Materialism, judul buku yang satu ini barangkali membuat orang mengernyitkan dahi. Apa urusannya biblical theology,atau kajian yang mengupayakan penggambaran teologi dalam Alkitab secara utuh, dengan materialisme historis? Baik peminat kajian biblical theology maupun pembaca studi-studi yang mengandalkan metode materialisme historis, mungkin sama-sama dibuat bingung oleh kombinasi yang tak umum ini.
Meski tak umum, kenyataannya kedua ‘dunia’ tersebut sama-sama diakrabi oleh si penulis sepanjang hidupnya. Selama bertahun-tahun Dick Boer menjadi profesor teologi di Universitas Amsterdam dan menjadi pendeta untuk gereja Kristen di Berlin Timur, yang terbentuk dari sekumpulan orang-orang Kristen Belanda yang bermigrasi ke Jerman Timur karena solidaritas mereka untuk proyek pembangunan sosialisme di sana. Selain itu, beliau juga aktif di Partai Komunis Belanda (CPN) sebelum keruntuhan tembok Berlin dan Uni Soviet.[1] Dunia yang mendasarkan pandangan pada Alkitab dan pada metode materialisme historis sama-sama tidak asing baginya. Kedua pendekatan tersebut sama-sama diafirmasi oleh Boer.
Kombinasi inilah yang pada dasarnya menjadikan Deliverance from Slavery unik. Di sana-sini pembaca dapat menemukan kutipan dari atau percakapan dengan figur-figur populer dalam tradisi pemikiran Marxis seperti Louis Althusser, Ernst Bloch, Walter Benjamin, Bertold Brecht, Antonio Gramsci, Mao Zedong, Lenin, Karl Kautsky, dan tentu saja Karl Marx dan Friedrich Engels, di dalam pembahasan Dick tentang tema-tema pokok dalam Alkitab seperti penciptaan, keluaran, perjanjian, hingga Yesus dan Paulus.
Pembebasan dari Perbudakan Sebagai Pusat
Dalam pembacaan Alkitabnya, Boer menempatkan kisah pembebasan Israel dari perbudakan sebagai pusat, dan dengan demikian menjelaskan alasan pemilihan judul buku ini, Deliverance from Slavery. Bahwa tema tersebut dianggap sebagai sentral dari bagian pertama Alkitab atau biasa dikenal dengan sebutan Perjanjian Lama, seharusnya tidak terlalu mengagetkan bagi para pembelajar teologi Kristen atau pembaca teliti Alkitab, mengingat begitu dominannya rujukan maupun alusi pada narasi ini sepanjang Alkitab. Pembacaan seksama atas lagu-lagu rohani umat Israel yang terkumpul dalam kitab Mazmur, misalnya, akan menyadarkan kita tentang sentralitas narasi ini adalah kehidupan beragama umat Israel. Dick Boer sendiri meyakini bahwa kalimat ‘Akulah TUHAN Allahmu yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan’ (Kel. 20:2) adalah frasa kunci dari Taurat: bagian Alkitab terpenting dari Perjanjian Lama bagi orang Yahudi.
Yang agak tidak umum ialah bahwa Boer menempatkan narasi keluar dari Mesir ini sebagai narasi sentral dari Alkitab secara keseluruhan. Ini merupakan langkah yang tidak biasa dari teolog Kristen yang biasanya menempatkan narasi kebangkitan Kristus di pusat dan lebih memberi tekanan pada bagian kedua Alkitab yang biasa disebut Perjanjian Baru. Menariknya, Boer bahkan seperti mengabaikan tema kebangkitan dalam buku ini, dan era Perjanjian Baru atau kekristenan mula-mula hanya dibahasnya dalam dua bab tentang Paulus dan Yesus yang diberi judul postscript, alias tidak sama kategorinya dengan bab-bab yang ada yang membahas tema-tema Perjanjian Lama.
Allah yang Membebaskan Israel dari Perbudakan
Terkait dengan penempatan narasi keluar dari Mesir sebagai pusat, TUHAN yang menyatakan diri kepada Israel sebagai Allah yang spesifik, yang membebaskan Israel dari perbudakan, juga dipandang sebagai nama yang menyatukan Alkitab. Alkitab yang pada dasarnya terdiri dari kitab yang berbeda-beda diikat oleh perhatian akan nama yang satu ini. Inilah nama yang selalu dipercakapkan dalam Alkitab, entah lewat perintah-perintah-Nya (Taurat), sejarah jatuh bangun Israel dalam melaksanakannya (kitab sejarah), apresiasi puitik maupun keluhan eksistensial dari para pelaku titah-Nya (kitab puisi), hingga kumpulan kritik serta reminder dari para nabi atas pelaksanaan hukum-hukum-Nya yang menyimpang (kitab nabi-nabi).[2]
Kespesifikan Allah yang satu ini nampak dalam proyek pembebasan yang digagas-Nya. Nama TUHAN tidak bisa dilepaskan dari proyek pembebasan ini. Boer mengakui bahwa secara umum istilah ‘Allah’ dapat berarti apa saja atau bahkan bukan apa-apa sama sekali. Namun ide umum tentang Allah ini bukanlah apa yang diwartakan dalam Alkitab. Sebab rujukan Alkitab tentang Allah bersifat konkrit. Itu sebabnya kritik agama yang melewatkan poin ini menurutnya sudah keliru sejak awal. Termasuk, ia menyebut, generalisasi kritik agama Marxis. Agama secara umum dianggap sebagai deifikasi kekuatan-kekuatan alam atau sejarah yang tak dapat ditaklukkan manusia sehingga menciptakan perasaan kebergantungan yang membuatnya merasa kecil dan rentan. Namun menurutBoer, Allah dalam Alkitab bukanlah kekuatan alam dan Ia justru melarang upaya-upaya menuhankan kenyataan sejarah tertentu (h. 5). Sikap Allah dalam Alkitab justru adalah anti-agama. Ia membenci upaya-upaya manusia menciptakan tuhan-tuhannya sendiri. Ateisme sebagai paham yang menolak keberadaan yang ilahi disebut Boer masih kurang radikal, karena kenyataannya di dunia ini ada ilah-ilah dalam bentuk-bentuk seperti kapital dan pasar (h. 6). Justru kepercayaan kepada Allah dalam Alkitab menuntut perlawanan terhadap ilah-ilah tersebut, sesuatu yang tak selalu dapat kita temukan dalam ateisme modern.
Boer sendiri meyakini bahwa pada dasarnya ada elemen dari kritik agama Marxis yang sejalan dengan jati diri Allahnya Israel. Marx menyebut agama sebagai ‘keluhan makhluk yang tertindas’, dan Allah digambarkan dalam Alkitab sebagai Allah yang mendengar jeritan bangsa Israel dalam perbudakan di Mesir dan tergerak karenanya (Kel. 2:23-24). Ia Allah yang mengakomodasi keluh kesah manusia dalam ketertindasannya dan tergerak oleh kenyataan tersebut. Namun menurut Boer, Marx cukup abai terhadap narasi Alkitab waktu menegaskan bahwa ‘the task of history, once the other-world of truth has vanished, is to establish the truth of this world’. Sebab semangat tersebut justru sejalan dengan agenda Allahnya Israel. Proyek pembebasan Allahnya Israel justru diorientasikan di bumi, bukan di atas awan (h. 6). Seperti Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus kepada murid-murid-Nya, ‘Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga’.
Akomodasi Allahnya Israel pada keluh kesah manusia tertindas ini juga menandakan bahwa Ia bukanlah the God of metaphysics yang menikmati keabsolutan abstraknya di luar dunia materi. Dalam Alkitab dikisahkan bagaimana Ia menyatakan Diri-Nya sebagai ‘I will be there, as he who I will be there’ (Kel. 3:14). Menurut Dick Boer, ini menunjukkan karakteristik-Nya yang tidak ingin sendirian menjadi Allah tanpa umat-Nya. Proyek pembebasan-Nya adalah proyek bersama dengan bangsa budak. Ia terus mendampingi mereka baik dalam pembebasan dari Mesir, penataan ekonomi politik di tanah yang baru, hingga di masa-masa dekadensi ketika proyek pembebasan itu telah banyak dilupakan. Boer bahkan memberanikan diri untuk mengklaim bahwa Allah yang satu ini tidak eksis dengan sendirinya, tetapi bergantung pada pengakuan dari orang-orang yang percaya pada-Nya. Hal ini menuntun pada praktik doa. Doa berarti mengakui keberadaan Allah dan melibatkan diri dalam proyek-Nya, pembebasan dari perbudakan (h. 7).
Selain sifat kolaboratifnya, Allah yang dinyatakan dengan nama TUHAN dalam Alkitab, menurut Boer, adalah Allah yang melakukan bunuh diri kelas. Ia mengkhianati fungsi umum yang ilahi, yaitu melegitimasi status penguasa berdaulat, dengan berpihak pada bangsa budak. Itu sebabnya seorang teolog yang mewartakan TUHAN yang satu ini seharusnya juga menjadi seorang intelektual organik yang terikat pada kelas tertindas, seperti Musa, dan bukan menjadi free-floating intellectual (h. 22).
Lalu mengapa Israel yang dipilih Allah? Menurut Boer, Israel dipilih Allah karena statusnya sebagai bangsa budak yang mendengar panggilan Allah beserta proyek pembebasan-Nya (h. 28). Ada banyak bangsa lain yang diperbudak, tetapi Israel-lah yang mendengar panggilan ini. Ini sebabnya kata kerja ‘dengar’ menjadi penting sekali dalam kehidupan umat yang satu ini. Pengakuan iman atau syahadat Israel dimulai dengan kata ‘dengar’ atau sch’ma dan biasa disebut dengan kata yang sama (h. 29). Israel adalah bangsa yang diperbudak, menjerit, dan menjawab panggilan Tuhan untuk mengerjakan proyek pembebasan: menjadi contoh bahwa masyarakat tanpa perbudakan itu mungkin dibangun di dunia ini dan menjadi terang bagi dunia karenanya.
Dari Keluaran, Runtuhnya Israel, hingga Paulus dan Yesus
Sepanjang enam bab inti (3-8) buku ini, Boer mengupas pergumulan Israel menjawab panggilan Tuhan: keluaran, perjanjian, penciptaan, antropologi, masuk ke tanah perjanjian, dan realpolitik di tanah yang baru. Di dalamnya kita dapat menemukan pembacaan-pembacaan yang menarik tentang tema-tema ini.
Mesir yang darinya bangsa Israel keluar dari perbudakan berasal dari kata mitsrayim, yang akar katanya adalah tsarar, yang artinya menindas. Menurut Boer, kemungkinan editor kisah Alkitab dari menggunakannya sebagai metafora untuk merujuk pada dinasti Ptolomeus di era Hellenistik. Mesir-nya Firaun dijadikan sebagai ungkapan figuratif-ideologis tentang imperium yang silih berganti menguasai kawasan Timur Dekat Kuno yang menyudutkan Israel (h. 44).
Kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir disebut Boer sebagai kisah pertentangan dua allah. Yang satu adalah allah-nya Firaun, allah yang adalah refleksi metafisis dari penguasa dunia, dan yang satu lagi adalah Allahnya Israel, yang berpihak pada bangsa budak. Allahnya Firaun, menurut Boer, adalah allah tanpa proyek penebusan (h. 47). Allah yang hanya dianggap tinggi dan serba-maha, yang dengan ilusi kebesarannya sesungguhnya menopang tatanan yang ada di bumi. Allah yang seperti inilah yang dibongkar kebohongannya oleh Allah Israel. Bukannya mengajarkan manusia untuk diam di hadapan kebesaran yang ilahi, Allahnya Israel justru mengakomodasi protes manusia karena ketertindasannya dan memberi keresahan itu status teologis (h. 49).
Bahwa Israel tak sekadar dipanggil untuk pembebasan dari Mesir, tapi juga masuk ke tanah yang baru, dianggap oleh Boer sebagai poin yang krusial. Ini berarti bahwa proyek pembebasan Allah bukanlah proyek pembebasan abstrak yang tak berlokasi, tetapi terjadi di suatu topos di bumi (h. 51). Inilah sebabnya dalam kisah penciptaan di Kejadian 1 yang terinspirasi dari kisah keluarnya Israel dari Mesir, tanah atau bumi disebut oleh Penciptanya sebagai sesuatu yang baik adanya. Proyek pembebasan Allah Israel adalah pembebasan yang terjadi di dunia materi, bukan di surga atas awan.
Pembebasan Israel juga bukanlah proyek yang sepenuhnya eksklusif, karena Israel dimaksudkan untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa (Yes. 42:6; 49:6). Ada karakter universal dalam proyek ini. Bukan universalitas yang diterapkan begitu saja di bumi, karena jika demikian maka tidak ada tempat bagi Israel kecuali di perbudakan Mesir, tetapi universalitas sebagai janji masa depan yang diretas dari pembebasan partikular bangsa budak Israel (h. 55).
Aliansi TUHAN dengan Israel diikat oleh sebuah perjanjian. Allah akan menyertai Israel dan Israel akan menaati hukum Taurat, sebagai pranata yang akan menjamin keadilan masyarakat baru yang diproyeksikan untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa ini. Perjanjian ini secara kontinu disegarkan terus dalam ingatan bangsa Israel lewat berbagai ritual, sama seperti gerakan pembebasan modern secara rutin melangsungkan aksi setiap tanggal 1 Mei dengan bendera-bendera dan lagu Internationale (h. 75). Gerakan pembebasan tidak dapat bertahan tanpa ritual, tanpa liturgi, menurut Boer. Namun ritualnya tentu harus bernafaskan pembebasan. Dan ritual-ritual umat Israel, menurut Boer, berfungsi demikian: mengingatkan peristiwa keluarnya Israel dari Mesir serta semangat keberpihakan pada yang marjinal. Perjamuan Paskah sebagai ritual untuk memperingati pembebasan dari Mesir; Simchath Torah sebagai festival hukum kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas; Pentakosta sebagai festival Roh Kudus yang memberi semangat dan membangunkan yang tertindas dan terpinggirkan (h. 77).
Pertanyaan tentang akan menuju ke mana langkah Israel dilandaskan pada keyakinan bahwa Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi. Inilah fungsi kisah penciptaan. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dan menunjukkan bahwa manusia ditempatkan dalam sejarah yang mengondisikan keberadaannya, bukan sebagai jiwa tak berbadan atau bagian dari pertarungan roh-roh di udara (h. 95). Sejarah membentuk dan dibentuk oleh manusia. Manusia bisa mengubah sejarah dan Allah sendiri memiliki proyek untuk mengubah sejarah bersama dengan kelompok tertindas yang meresponi panggilan-Nya. Bumi sedari mulanya adalah lokasi pembebasan yang mungkin untuk ditinggali dengan baik (h. 110). Bahwa ‘pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’ menunjukkan bahwa pemikiran fatal bahwa reality is infinite dan karenanya tak dapat diubah secara radikal adalah cara pandang yang keliru tentang dunia dan sejarah.
Kisah tentang manusia di Kejadian 2-4 secara lebih spesifik lagi memberi penggambaran tentang siapa manusia, kerentanan, keterkondisian, serta potensinya. Mengenai kisah tentang ular yang menggoda Adam dan Hawa dengan ungkapan eritis sicut deus (engkau akan menjadi seperti Allah), Boer menawarkan ulasan yang menarik. Menurutnya, menjadi seperti Allah adalah godaan bagi manusia dan hikmat si ular adalah hikmatnya para penguasa. Karena hanya para penguasalah yang punya kekuasaan untuk menjadi otonom. Dan merekalah yang paling diuntungkan jika orang-orang biasa menjadi percaya bahwa mereka harus berjuang sendirian dan melupakan bahwa peluang pembebasan bagi mereka ada pada solidaritas satu dengan yang lain. Dick Boer menghubungkan poin ini dengan kritik Althusser terhadap ilusi ide humans make history, yang juga populer di kalangan Marxis. Yang benar ialah bahwa kaum tertindas hanya bisa membuat sejarah sebagai gerakan massa, bersama-sama, secara kolektif. Dengan kata lain, massa-lah yang membuat sejarah (h. 134-5).
Bab tujuh bicara tentang masuknya Israel ke tanah yang baru dengan segala kompleksitas penataannya lewat hukum-hukum yang diberikan maupun penetapan pejabat-pejabat umat. Berbagai peraturan tentang ‘reforma agraria’ dibuat agar penguasaan lahan atau sumber daya alam bisa berkeadilan. Ekonomi berbasis solidaritas, bukannya yang berbasis kepemilikan properti dalam skala besar ataupun perbudakan, coba dibangun (h. 157). Proyek Israel didefinisikan sebagai visi masyarakat tanpa kemiskinan: ‘Maka tidak akan ada orang miskin di antaramu’ (Ul. 15:4). Kemah Suci dibangun, namun bukan seperti tempat penyembahan berhala yang menutupi kenyataan bahwa ia dibangun oleh tangan manusia (bdk. puisi Brecht), melainkan sebagai representasi visual utopia yang secara sukarela dibangun oleh umat Israel sesuai kemampuan mereka (Kel. 35:29). Yang menarik juga di sini adalah analisis Boer tentang jabatan imam. Israel dimaksudkan sebagai kerajaan imam di mana semua orang adalah imam, namun tetap memiliki pejabat-pejabat yang disebut imam. Menurut Boer, mereka ini bukanlah kasta tersendiri dengan banyak keistimewaan seperti di Mesir. Di Mesir para imam digaji oleh Firaun dan berstatus sebagai pemilik properti, jauh dari kehidupan para budak. Di Israel, para imam tidak dibiarkan memiliki tanah dan secara materi didukung oleh rakyat. Status mereka dalam kehidupan umat setara dengan orang asing, yatim piatu dan janda, yang setiap tiga tahun sekali mendapat jatah dari sepersepuluh hasil panen umat di tahun itu (Ul. 14:28-29). Keberadaan mereka mengingatkan umat bahwa hati Allah tertuju pada kaum tertindas (h. 170-1).
Bab delapan berkisah tentang kegagalan Israel bersetia pada proyek pembebasan Allah dalam pergumulan realpolitik-nya. Alih-alih menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain, Israel tak sanggup menahan godaan untuk mengadopsi ideologi asing. Judul bab ini, The Real Israel, seperti menunjukkan alusi pada real socialism yang menjadi lahan gumul juang Dick Boer di Jerman Timur. Seperti halnya pembangunan sosialisme pasca-revolusi di era modern mengalami begitu banyak pergumulan internal maupun eksternal, demikian juga Israel di masa lalu. Kitab Hakim-Hakim menunjukkan bagaimana dekadensi dan tantangan dari luar terus terjadi dalam kehidupan umat, sehingga harus muncul hakim-hakim atau pembebas. Yang menjadi kesamaan dari mereka semua adalah posisi marjinalnya dalam masyarakat: Otniel yang adalah anak bungsu, Ehud yang difabel, Debora sebagai perempuan, Gideon sebagai anggota klan termiskin, Yefta yang adalah anak pelacur, dan Samson yang ibunya mandul. Hakim-hakim ini bukan raja, dan Gideon, misalnya, menolak untuk diangkat sebagai raja (h. 212-3). Namun pada akhirnya Israel sendiri yang minta untuk dipimpin oleh seorang raja, dan mengawali kejatuhannya. Israel menjadi serupa dengan bangsa lain: militeristik, berkelas, dan akhirnya runtuh.
Dua postscript terakhir ialah tentang Paulus dan Yesus, dua tokoh Perjanjian Baru yang oleh Boer lebih disorot ke-Yahudi-annya. Mengikuti tradisi pembacaan Paulus di mata sarjana Yahudi seperti Jacob Taubes, Boer membaca Paulus sebagai sosok Yahudi radikal yang meratapi ketidakberdayaan proyek pembebasan Taurat di hadapan imperium Romawi dan melihat kairos pada kebangkitan Kristus yang memunculkan kolektif-kolektif baru. Kritik Paulus atas legalisme Yahudi, menurut Boer, harusnya dibaca bukan sebagai upaya meniadakan Taurat, melainkan sebagai kritik atas Yudaisme di masanya yang meski giat dalam ritual-ritual keagamaannya ternyata berkompromi dengan imperium Romawi dan melupakan cita-cita keadilan Taurat (h. 232).
Sementara mengenai Yesus, Boer mengikuti Ernst Bloch yang melihat salib sebagai tanda kesetiaan Yesus dalam bersolidaritas sampai akhir. Dengan solidaritas-Nya sampai mati, Yesus membawa dimensi baru dalam narasi tentang Allah Israel yang bersolidaritas pada bangsa budak: solidaritas yang tak dikekang oleh kematian dan siksaan (h. 261). Allah Israel mendengar jeritan bangsa budak di Mesir dan tergerak untuk bersolidaritas, tetapi tidak sampai mati seperti Yesus. Kematiannya bukanlah sebentuk fatalisme, melainkan konsekuensi dari konsistensi berdiri di jalan pembebasan (h. 263). Dalam konteks inilah, Boer memaknai penggenapan hukum Taurat dalam kehidupan Yesus. Inti Taurat adalah solidaritas, dan Yesus melakonkannya dengan penuh hingga mati disalib.
Penutup
Menurut saya, kontribusi utama Boer melalui buku ini terletak pada klaimnya bahwa narasi besar Alkitab mendukung keberpihakan pada perjuangan kelasnya kaum tertindas dan upayanya menunjukkan poin itu, serta dialog intensnya dengan tradisi Marxis. Mengenai yang pertama, menurut saya, di sini Boer mengambil langkah yang berbeda dengan Bloch, yang dalam Atheism in Christianity, mencoba menarik garis yang radikal dalam cerita Alkitab namun dari marjinnya. Upaya Boer merebut narasi besar ini saya pikir adalah langkah yang penting dan berani. Sementara poin kedua tentang dialog dengan tradisi Marxis juga adalah sebuah langkah yang maju. Sebelum tembok Berlin runtuh sempat ada dialog-dialog intensif teolog Kristen Eropa Barat dengan pemikiran Marxis dari Eropa Timur, lalu di Amerika Latin juga ada tradisi teologi pembebasan yang intens bergelut dengan Marxisme dalam teori dan praktik, namun ada banyak refleksi yang diajukan oleh Boer yang lebih maju dari apa yang pernah dibuat di masa lalu. Persistensi untuk bergelut dengan Marxisme ini patut diapresiasi mengingat pasca keruntuhan tembok Berlin dan Uni Soviet, gelombang yang mengambil arah sebaliknya sangatlah besar.
Roland Boer yang menulis kata pengantar di buku ini sendiri melihat bahwa keunikan buku ini ada pada ketertarikan penulis terhadap pergumulan pasca-pembebasan atau pasca-revolusi. Ini tentu saja terkait dengan pengalaman Dick Boer bergumul juang di Jerman Timur, membangun jemaat yang bersolidaritas dengan proyek pembangunan sosialisme pasca-revolusi, menyaksikan langsung dekadensi dan pergulatan realpolitik-nya, sembari mengupayakan kontribusi pembaruan dari dalam sebagai gereja, meski akhirnya harus menyaksikan keruntuhannya. Pembacaan Boer terhadap kitab-kitab sejarah dalam Alkitab nampak dipengaruhi oleh pengalaman ini.
Kalau ada kekurangan yang nampak dalam buku ini barangkali adalah pokok-pokok tertentu yang kurang dielaborasi, meski dengan jumlah halaman yang hampir mencapai tiga ratus, tentu saja kita bisa memaklumi sifat umum dari pembahasannya. Beberapa pokok yang saya rasa mestinya bisa diulas lebih jauh adalah sebagai berikut. Pertama, bagaimana menghindari keberpihakan pada Zionisme yang mungkin bisa dijustifikasi dari uraian Boer yang cenderung Israel-sentris? Kedua, perbedaan antara tantangan internal dan eksternal dari pembangunan ‘sosialisme agraris’-nya Israel dengan pembangunan sosialisme modern yang berhadapan dengan kapitalisme global.
Terakhir, untuk pembaca di konteks Indonesia. Upaya Boer menarik benang merah antara tradisi Marxis dengan Judeo-Kristen, mengikuti Walter Benjamin dan Ernst Bloch, bisa menolong para pengikut tradisi ini di Indonesia untuk menemukan kembali alchemy agama dengan Marxisme yang sempat populer di Indonesia di masa lalu. Jika Islam dianggap sebagai bagian dari tradisi Yudeo-Kristen, semakin besarlah relevansi diskusi ini. Sebagai pembelajar teologi Kristen, saya sendiri melihat bahwa pembacaan luas atas buku ini di kelompok-kelompok belajar teologi Kristen bisa mendorong kebangunan tradisi teologi Kristen kiri di Indonesia, yang masih sangat marjinal. Hanya saja yang perlu dipergumulkan dari klaim perjodohan alami tradisi Judeo-Kristen dengan Marxisme, seperti dalam buku Boer, ini adalah bagaimana dengan agama-agama dari tradisi non-Judeo-Kristen? Bagaimana dengan agama Buddha dan Hindu dan agama-agama yang biasa disebut sebagai ‘agama-agama lokal’? Ini adalah tantangan yang patut direfleksikan oleh para pembacanya sembari menikmati ulasan-ulasan Alkitab dan teologi dari Dick Boer.***
Daniel Sihombing
————
[1] Lihat wawancara dengan beliau di https://indoprogress.com/2016/03/protestantisme-dan-marxisme-dalam-kenangan-dua-teolog/.
[2] Pembagian Alkitab Perjanjian Lama dari tradisi Kristen. Dick sendiri menggunakan pembagian dari tradisi Yahudi. Saya adaptasikan ke tradisi Kristen demi memudahkan pembaca.