Kontradiksi Konversi Energi dari Fosil ke Energi Terbarukan

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: teknergi.com

Jika lingkungan tercemar dan ekonomi sakit, virus yang menyebabkan keduanya akan ditemukan dalam sistem produksi. Dan di situlah kesembuhan mereka dapat ditemukan juga.” Barry Commoner[1]


LISTRIK menjadi kebutuhan yang cukup vital bagi setiap masyarakat modern saat ini. Setiap aktivitas pasti membutuhkan listrik, baik dalam skala rendah, sedang ataupun tinggi. Perlu diketahui dari tahun ke tahun konsumsi listrik di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementrian ESDM, jika di tahun 2017 konsumsi listrik Indonesia mencapai 1.012 KWH per kapita, dengan kenaikan rata-rata 5,9 persen dari tahun 2016. Melihat tren kenaikan konsumsi listrik nasional, Kementrian ESDM pun menargetkan ada peningkatan konsumsi listrik sekitar 1.129 KWH per kapita di tahun 2018. Kebutuhan itu akan diakselerasi dengan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik sebesar 65 GW, dari realisasi sebelumnya yang mencapai 60 GW. Rasio elektrifikasi yang masih sebesar 95.15 persen, akan terus dipacu hingga mencapai 100 persen pada tahun 2025.[2]

Rencana pengembangan listrik yang hingga mencapai 65 GW, dalam perjalanannya mengalami berbagai revisi, terutama dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang merupakan rencana strategis dalam pengakselerasian dan pentransmisian energi. Pasalnya, dengan melihat konjungtur laju pertumbuhan ekonomi, maka rencana itu urung dimaksimalkan. Tercatat dalam dokumen RUPTL tahun 2018-2027, terjadi penurunan target penguatan kapasitas listrik, dari awalnya 78 GW menjadi hanya 56 GW. Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 6.1 persen, dari awalnya sebesar 6.2 persen. Satu tahun selanjutnya, yakni pada 2019, terjadi lagi perubahan dalam rencana penambahan kapasitas listrik nasional. Tercatat dalam dokumen RUPTL 2019-2028, terjadi peningkatan jumlah kapasitas listrik nasional, dari yang awalnya 56 GW menjadi 56.4 GW.  Guna menunjang target ini, pihak pemerintah akan mengakselerasi pembangunan jaringan transmisi sepanjang 57.293 kms, disusul dengan jaringan sepanjang distribusi 472.795 kms, pembangunan gardu induk dengan kapasitas 124.341 MVA dan pemaksimalan gardu distribusi dengan besaran daya sekitar 33.730 MVA.

Dari rencana percepatan dan pemaksimalan energi listrik ini, dibutuhkan penunjang berupa infrastruktur listrik baik hulu maupun hilir, guna mengakselerasi rencana peningkatan kapasitas listrik. Infrastruktur di sini termasuk sarana produksi listrik yang dapat berupa pembangkit listrik, beserta infrastruktur penunjang lainnya seperti jalur distribusi dan lain-lain. Mengulik dari RUPTL 2018-2029, tidak ada perubahan yang cukup signifkan dari tahun sebelumnya, yakni komposisi energi yang digunakan untuk menghasilkan listrik masih didominasi oleh energi fosil, dengan alokasi 54 persen untuk batubara, 22 persen gas dan 0.4 persen bahan bakar minyak. Sementara untuk porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) dialokasikan sebesar 23 persen, yang komposisinya masih sama dengan RUPTL di tahun sebelumnya. Penggunaan EBT sebagai energi untuk menopang kebutuhan listrik nasional masih didominasi oleh energi panas bumi dengan alokasi 8 persen, dan energi air sebesar 17 persen. Sementara untuk energi seperti angin, matahari dan mikro hidro masih minim realisasinya, tercatat porsi untuk energi ini masih berada di angka 1 persen dari keseluruhan alokasi EBT.

Problem mengenai masih minimnya perhatian penggunaan EBT masih menjadi keprihatinan tersendiri, karena penggunaan energi fosil memiliki dampak yang cukup serius bagi keberlanjutan lingkungan hidup. Seperti penggunaan batu bara, gas dan minyak bumi sebagai energi listrik, telah mengakibatkan berkurangnya ruang hidup rakyat. Dalam hal berkaitan dengan daya rusak selama proses produksi batu bara, gas dan minyak, yang telah nyata mengakibatkan aneka problem sosial-ekologis. Sebagai contoh, di Kalimantan Timur, dengan luasan konsesi tambang batubara mencapai 43 persen dari total luas wilayah, ada sekitar 12,7 juta hektar luas konsesi itu yang mencaplok sebagian besar wilayah hutan dan persawahan. Tercatat ada 59 ribu hektar lahan sawah yang tersisa dengan jumlah produksi 253.700 ton beras per tahun. Dampaknya terjadi defisit produksi beras, jika melihat hasil produksi beras Kalimantan Timur di tahun 2017 yang hanya mampu menghasilkan sekitar 172.300 ton. Hal tersebut cukup kontradiktif dengan total konsumsi beras Kalimantan Timur yang mencapai 426 ribu ton. Selain itu, dampak lainnya ialah hancur leburnya permukaan tanah yang diakibatkan lubang-lubang tambang, dimana ada sekitar 632 bekas galian yang dibiarkan begitu saja. Di sisi lain akibat lubang tambang tersebut, tercatat telah menelan korban sebanyak 32 jiwa, 27 di antaranya masih dikategorikan anak-anak.[3]

Tetapi tidak semua EBT bisa digunakan sebagai substitusi energi, mengingat keberadaannya masih menjadi perdebatan, seperti keberadaan energi panas bumi, air dan biofuel. Ketiga EBT tersebut memiliki daya destruktif setara dengan batubara, khususnya biofuel yang berasal dari sawit, yang dalam proses produksinya akan memakan banyak lahan. Sementara untuk panas bumi banyak ditentang karena menghancurkan ekosistem sekitar, dan memiliki dampak yang cukup serius seperti kekeringan dan gempa bumi. Setali tiga uang, pembangkit listrik tenaga air juga memiliki sisi destruktif tersendiri, terutama selama proses pembangunannya yang berpotensi mengeksklusi masyarakat (pemindahan paksa) atau mereduksi wilayah pertanian (alih fungsi lahan).


Kontradiksi Energi Baru Terbarukan

Mengenai ketidaksesuain proyek energi dengan realitas, dapat kita pahami dari tujuan mengapa pemerintah bernafsu menambah kapasitas listrik nasional. Bahkan pada satu momentum, pemerintah melalui kementrian ESDM membuat RUPTL yang dalam poin penggunaan energi masih didominasi oleh batubara. Selain itu mengenai penggunaan EBT yang mulai mendapatkan porsi lebih sebagaimana dalam Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 dan beberapa kesepakatan internasional di forum UNFCC (Unted Nation Framework Convention on Climate Change) dan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change), seperti agreement  di COP21 (conference of the parties) Paris, Prancis.[4] Kesepakatan tersebut menekankan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sebagai energi, karena menyumbang cukup besar gas rumah kaca dan menjadi salah satu faktor determinan dalam climate change. Namun porsi yang dialokasikan pemerintah untuk EBT masih didominasi energi panas bumi dan air, yang mana keduanya memiliki dampak yang cukup signifikan dalam perampasan ruang hidup.

Sebagaimana yang telah dijabarkan dalam RUPTL 2019-2028 bahwa dominasi rencana pengembangan energi listrik masih memprioritaskan energi berbahan baku fosil. Dari dokumen ini jikalau kita lihat secara jeli, terangkum bahwa ada sebaran sekitar 54 persen masih mengarusutamakan penggunaan batubara dengan kebutuhan sekitar 97 juta ton, dan akan meningkat di tahun 2028 sebesar 153 juta ton. Sementara sektor lain didominasi oleh gas dan LNG (liquid natural gas) yakni sebesar 22 persen dengan kebutuhan bahan baku sekitar 521 juta BCF (billion cubic feet), dan akan meningkat menjadi 772 juta BCF di tahun 2028. Di satu sisi komitmen dalam membangun EBT juga masih terbatas, masih terjebak dalam paradigma antroposentrik. Mengapa demikian? Paradigma yang dipakai pemerintah dalam konversi EBT masih dilandasi oleh proposisi investasi, artinya mengedepankan bisnis di atas segalanya. Hal ini memunculkan apriori berupa suatu abstraksi yang mana dalam mengakselerasi penggunaan EBT, maka yang paling memungkinkan ialah memakai panas bumi, air, biofuel dan sampah untuk area perkotaan. Namun energi tersebut memiliki keterbatasan, yakni rakus lahan dan masih berfokus pada sisi akumulatif. Artinya tidak ada upaya merehabilitasi lingkungan hidup, bahkan sangat jauh dari bayang-bayang mengutamakan keberlanjutan ruang hidup dengan merekognisi alam.

Seperti dalam rencana pengembangan EBT yang masih antroposentrik mengingat ada materi untuk memenuhi target investasi, yang mana negara-negara di dunia dalam dokumen COP21 sepakat untuk menjaga stabilitas iklim yang dari beberapa dekade mengalami peningkatan signifikan, yakni sebesar 1-1.5 derajat celcius sejak revolusi industri pertama. Dalam konteks ini kemudian mereka sepakat salah satunya untuk mengurangi dampak perubahan iklim, serta menjaga angka suhu di bawah 2 derajat celcius, mereka menyasar suatu pembentukan regulasi yang relasional dengan konteks bisnis. Di mana bisnis yang merupakan salah satu penyebab peningkatan suhu harus perlahan diubah paradigmanya, dengan melakukan konversi energi dari fosil ke energy baru terbarukan untuk mengurangi peningkatan suhu di bumi. Regulasi ini nantinya akan mengarah pada green industry atau industri hijau yang berwawasan lingkungan. Hal ini sangat berkolerasi dengan iklim investasi dunia, yang mana negara-negara pemegang bisnis besar berupaya bertransformasi menjadi industri hijau.[5] Maka implikasinya sangat erat dengan munculnya investasi yang mensyaratkan penggunaan EBT. Hal tersebutlah yang menjadi pedoman bagi pemerintah Indonesia untuk mengakselerasi EBT, salah satunya dengan merancang RUU EBT yang muatannya tak lebih dari memenuhi ‘investasi hijau.’

Dari kondisi itulah RUPTL 2019-2028 mengalokasikan bauran EBT dengan proporsi yang cukup besar hingga target elektrifikasi 100 persen di tahun 2028. Namun pemilihan EBT dalam hal ini diprioritaskan kepada panas bumi, air dan biofuel bukan tanpa resiko, karena energi tersebut ternyata juga rakus lahan, terutama untuk menghasilkan sumber energi. Kita tahu bahwa energi panas bumi dihasilkan dengan cara mengambil energi panas yang terkandung di dalam bumi, dengan proses mekanisasi tertentu untuk menghasilkan energi listrik. Panas bumi  cukup besar potensinya di Indonesia karena berdasarkan kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak gunung berapi dan dilewati lempeng tektonik. Selain itu pemanfaatan energi panas bumi juga dilandasi oleh jumlah energi yang akan dihasilkan, yakni dapat mencapai 7000 MW dengan waktu relatif cepat, jika dibandingkan dengan matahari ataupun angin. Selain itu faktor investasi juga turut menjadi penyebab bahwa para penyuntik modal lebih menghendaki panas bumi, hal ini juga berlaku untuk air maupun biofuel itu sendiri. Serta prinsp energi panas bumi yang bersifat sentralistik, sehingga mendukung wacana bisnis di sektor energi dibandingkan dengan matahari atau angin yang bisa diterapkan dalam model desentralisasi energi.[6]

Pemilihan konversi energi dari fosil ke EBT dengan memilih panas bumi, air dan biofuel menimbulkan distorsi yang mengarahkan pada suatu kontradiksi. Di mana pemilihan energi tersebut tentu memiliki resiko yang cukup tinggi, seperti sebaran energi panas bumi yang rata-rata di wilayah konservasi serta membutuhkan air yang cukup tinggi. Sehingga cukup riskan bagi keberlanjutan ekosistem, walaupun diklaim tidak berdampak apa-apa, tetapi suatu proses dengan mengandalkan ekstraksi akan menghasilkan dampak yang cukup signifikan. Seperti berkurangnya pasokan air untuk penunjang warga di sekitar, terganggunya ekosistem di kawasan konservasi hingga rawan gempa yang diakibatkan oleh proses mekanisasi pemerolehan energi listrik. Literatur yang tersaji cukup menjadi satu alasan bagaimana pemanfaatan panas bumi bukan tanpa resiko. Seperti yang terjadi di Korea Selatan pada tahun 2017 silam, tepatnya di kota Pohang, telah terjadi gempa bumi dengan skala 5.4 skala richter yang bahkan dalam seismograf bisa mencapai 7.4 skala richter. Gempa ini menghancurkan 2000 aset pribadi, 52 rumah rusak berat, 157 rusak parah, dan ada 227 sekolah lintas wilayah yang mengalami kerusakan. Selain itu ada korban manusia, sekitar belasan orang mengalami luka-luka dan hampir 1500 orang tak memiliki tempat tinggal.[7] 

Berbeda kasus dengan air dan biofuel, keduanya berpotensi untuk menggusur rakyat karena kebutuhan lahan yang cukup besar. Energi air membutuhkan waduk, maka untuk membangunnya harus mencari lahan luas. Pada beberapa kasus seperti pembangunan waduk Kedung Ombo yang menengelamkan 37 desa, di 7 kecamatan dan tersebar di 3 kabupaten. Dan, pola ini akan kembali terulang dengan pembangunan waduk-waduk lain yang berpotensi menggusur rakyat dan lahan pertanian produktif. Begitu juga dengan biofuel, yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit. Tentu, akan mengakibatkan deforestasi masif, salah satu dampaknya ialah hilangnya keanekaragaman hayati hingga tercerabutnya eksosistem. Bahkan kondisi tersebut berdampak cukup serius pada masyarakat adat yang harus dieksklusi dari wilayah hidup mereka, sehingga beberapa kali muncul konflik yang berujung hilangnya nyawa rakyat.


Bisnis Seperti Biasa dalam Konversi EBT

Berkaca dari apa yang terjadi di Korea Selatan dan kasus-kasus lainnya, seharusnya pemerintah berhati-hati dalam membuat suatu keputusan, apalagi yang diutamakan hanya dari segi investasi tanpa memikirkan kelestarian dan keselamatan hidup rakyat. Karena dengan situasi dan kondisi semakin menurunnya daya dukung ekosistem akibat eksploitasi berlebihan mulai menunjukkan dampak yang signifikan. Seperti berkurangnya area hutan yang erat relasinya dengan mulai hilangnya beberapa mata air, sehingga menjadi penyumbang bencana krisis air. Karena kita tahu di Indonesia, lebih khusus di Jawa, sedang terancam kekeringan yang masif.[8]

Penggunaan energi EBT dalam konteks ini berupaya sebagai konversi energi berkelanjutan, yang mana koheren dengan upaya mempertahankan daya dukung dan proses rehabilitasi lingkungan hidup. Tetapi dalam praktiknya sangat jauh dari konteks penyelamatan ruang hidup, karena secara paradigmatik masih menekankan pada sisi investasi atau wilayah bisnis semata. Tidak memikirkan keberlanjutan lingkungan hidup, atau lebih luas lagi berkaitan dengan aspek sosial-ekologis. Penekanan pada aspek bisnis semakin menegaskan bahwa lingkungan hanya dimaknai sebagai komoditas, yang hanya dihitung dari profit yang didapatkan. Sehingga cara pandang ekonomisentris ini berwatak antroposentrik, dan erat kaitannya dengan trajektori kapitalisme.

Kapitalisme sendiri hadir dengan paradigma yang hanya berbicara tentang pemaksimalan keuntungan tanpa henti. Seperti menggunakan pendekatan teknologi yang didasarkan pada pengembangan sains, khususnya dalam teknik kimia. Menghasilkan suatu produk kimia yang digunakan secara maksimum untuk mendorong tingkat kesuburan tanah yang sesuai dengan kapasitas produksi. Kondisi tersebut menjelaskan bahwa faktor utama yang harus dicapai ialah keuntungan. Tanah harus dieksploitasi terus menerus untuk memenuhi target produksi dimana memaksimalan penggunaan bahan-bahan kimia menjadi niscaya, sehingga turut berimplikasi pada penurunan daya kesuburan tanah hingga berujung hancurnya tanah. Pada konteks ini, ada satu faktor yang mesti dipahami, yakni metabolisme alam akan terganggu atau retak sebagai implikasi dari intervensi berlebihan manusia pada alam. Kondisi tersebut akan mengakibatkan hubungan manusia dengan alam akan mengalami keretakan, sehingga berimplikasi pada suatu dominasi, tentu ini sebagai implikasi logis dari proses akumulasi yang mengakibatkan hancurnya relasi metabolistik keduanya. Lebih lanjut, menurut Foster, metabolisme alam merupakan hubungan antara manusia dengan alam yang tergambarkan dalam relasi kerja, di mana keduanya saling berkaitan satu sama lainnya. Karena metabolisme itu sendiri memiliki arti ekologis sekaligus sosial, sebagaimana relasi keduanya yang sangat koheren.[9]

Penjabaran di atas dapat dielaborasi lebih lanjut dengan mengontekstualisasikan hal tersebut dengan realitas bisnis dalam era terkini, salah satunya posisi energi sebagai salah satu penunjang bisnis. Seperti penjelasan Foster dan Magdoff terkait keterbatasan sumber daya alam dengan cara pandang enviromentalis, di mana para enviromentalis menganggap bahwa bisnis menjadi salah satu faktor determinan dalam rusaknya lingkungan hidup. Karena pengaruh dari sistem ekonomi yang berorientasi pada akumulasi profit, mengakibatkan perlombaan penggunaan teknologi dalam sistem produksi, yang berdampak pada peningkatan kapasitas produksi. Konsekuensinya, kebutuhan akan energi dan bahan baku produksi yang tersedia dari alam semakin meningkat. Hal tersebut menjadikan kerusakan lingkungan semakin parah, salah satunya adalah perubahan iklim. Dalam konteks inilah muncul solusi yang memakai pendekatan ekonomi hijau, dengan menekankan pada produksi hingga distribusi yang ramah lingkungan. Salah satunya dengan melakukan konversi energi, dari tidak dapat terbarukan menjadi terbarukan.[10]

Namun di satu sisi, situasi tersebut tak mampu bekerja cukup efektif, karena pada dasarnya yang menjadi problem ialah sistem ekonomi akumulatif. Ketika hanya berorientasi pada bisnis semata, dengan mempertahankan dan meningkatkan keuntungan, maka ekonomi hijau tak lebih hanya sebuah kamuflase. Di mana seolah-olah hijau, namun pada dasarnya memiliki sisi destruktif yang tak jauh beda ketika menggunakan energi tidak terbarukan. Seperti penggunaan EBT, yang mana tujuannya untuk mereduksi kerusakan lingkungan dan lebih berkelanjutan, tapi di sisi lain karena orientasinya adalah bisnis maka EBT tak lebih dari kamuflase hijau, karena dalam penentuan energi apa yang akan digunakan, proses produksi seperti apa, hingga digunakan untuk apa energi tersebut tetap berpatokan pada prinsip bisnis seperti biasa, yakni keuntungan harus dipertahankan dan diperluas lagi.

Berkaca dari argumentasi tersebut maka ketika strategi pemerintah dalam konversi energi fosil ke EBT, seperti panas bumi, air dan biofuel, hanya didasarkan pada kepentingan investasi maka tidak ada bedanya dengan hanya berganti baju, tetapi masih dalam model yang sama. Mengarusutamakan prinsip berkelanjutan, namun masih berlandaskan prinsip bisnis yang hanya mementingkan akumulasi profit. Kondisi tersebut tidak jauh beda dengan prinsip lama, dan tentu tidak akan ada yang namanya melestarikan lingkungan atau mementingkan keberlanjutan kehidupan manusia. Dan, dapat dipastikan bencana sosial ekologis akan tinggal menunggu waktu.***


Wahyu Eka Setyawan adalah aktivis FNKSDA & Walhi Jatim

————-


[1] Commoner, B. (1992). Making peace with the planet. New York: New Press. Hal ix

[2] Katadata. (11 Januari 2018). Inilah Konsumsi Listrik Nasional. Katadata.co.id, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/01/11/inilah-konsumsi-listrik-nasional

[3] JATAMNAS. (2019). Hungry Coal: pertambangan batubara dan dampakya terhadap ketahanan pangan. Dapat diakses di, https://www.jatam.org/2017/05/05/hungry-coal-pertambangan-batu-bara-dan-dampaknya-terhadap-ketahanan-pangan-indonesia/

[4] “Bonn Climate Change Conference”. unfccc.int. October 2015. Diakses kembali pada 14 Agustus 2019.

[5] Sutter, John D dan Berlinger, Joshua. (12 Desember 2015). “Final draft of climate deal formally accepted in Paris“.

[6] Daud, Yunus. (4 April 2019). Energi geotermal di Indonesia: potensi, pemanfaatan, dan rencana ke depan. Theconversation.com, https://theconversation.com/energi-geotermal-di-indonesia-potensi-pemanfaatan-dan-rencana-ke-depan-112921

[7] Japantimes. (20 Maret 2019). Geothermal plant triggered earthquake in South Korea. Japantimes.co.jp, https://www.japantimes.co.jp/news/2019/03/20/asia-pacific/geothermal-plant-triggered-earthquake-south-korea/#.XVO7tOgzbIU

[8] LIPI. (7 Agustus 2019). Krisis air di Jawa dan bagaimana kita harus menyikapinya. LIPI.go.id, http://lipi.go.id/berita/krisis-air-di-jawa-dan-bagaimana-kita-harus-menyikapinya/21725

[9] Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology: Materialism and nature. NYU Press. Hal 156-160

[10] Magdoff, F., & Foster, J. B. (2011). What every environmentalist needs to know about capitalism: A citizen’s guide to capitalism and the environment. NYU Press. Hal 30-36

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.