SETELAH beberapa minggu menetap di Amerika Serikat, baru tempo hari saya berkesempatan untuk menyambangi kawasan etnik Meksiko di Chicago. Pilsen namanya. Jika tak terbayangkan bagaimana rupanya, andaikan saja di pikiran Anda sebuah kompleks pecinan: hanya saja, toko-tokonya berubah menjadi restoran taco, dindingnya penuh mural warna-warni yang beberapanya bernuansa politik, dengan musik mariachi terdengar sayup dari salah satu jendela rumah.
Singkat cerita, selepas menyantap dua tangkup taco untuk makan siang, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi American Mexican Museum sebelum kembali pulang. Museum ini tidaklah besar, tapi cukup representatif bagi mereka yang ingin mengenali lanskap kesenian Meksiko-Amerika secara permukaan. Yang lebih asyik lagi: museum ini tidak memungut biaya masuk.
Tidak lama, saya mendapati diri saya tenggelam dalam rupa-rupa kesenian Meksiko: beberapa saya paham, beberapa tidak. Hingga pada sebuah ruangan, pandangan saya tertuju pada instalasi seni berupa patung dada bersetelan kemeja putih, rompi rajut abu-abu, dengan pin merah bertuliskan “No Grapes” pada dada kiri. Pikir saya: ada apa dengan anggur? Saya kira, barangkali pin tersebut semacam guyonan internal nyeleneh ala seniman. Merasa menjadi orang yang tidak cukup intelek untuk memahami konteks jargon tersebut–walaupun sebenarnya saya cukup penasaran–saya mengalihkan perhatian dan dihadapkan kepada sebuah instalasi lain yang, alamak, lagi-lagi bertema seputar anggur. Instalasi kali ini merupakan sebuah karya satir dari merek kismis kawentar Sun Maid (maid: perempuan muda) yang diplesetkan menjadi Sun Mad (mad: gila). Berbentuk sebuah baliho besar, karya ini menampilkan gadis manis yang ada pada kemasan Sun Maid berubah menjadi tengkorak.
Setelah membaca keterangan pada karya oleh seniman Ester Hernández ini, barulah saya tahu bahwasanya pernah terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran pada tahun 1970 di California, oleh para buruh migran perkebunan anggur dari Meksiko dan Filipina karena kondisi kerja yang buruk. Karyanya menjadi sebentuk kritik terhadap sistem perkebunan yang tak adil bagi para buruh migran. Sontak, segala tentang pin “No Grapes” tadi menjadi masuk akal buat saya.
Saya merenung betul sepanjang perjalanan pulang. Perjumpaan saya dengan karya seni bersemangatkan resistensi pangan ini mengingatkan saya kepada rumah dengan kegandrungan mayoritasnya dalam permasalahan apa-apa saja yang halal, namun cenderung meninggalkan diskusi terkait dimensi thayyib yang seharusnya tak luput dari perhatian.
Dalam ajaran Islam, Tuhan berfirman kepada umat-Nya untuk mengonsumsi apa-apa yang halal dan thayyib, sebagaimana tercantum dalam surah Al-Baqarah ayat 168. Kedua konsep ini, kendati sering digunakan secara berkelindan dan berpasangan, sebenarnya memiliki arti yang cukup berbeda. Dalam Bahasa Arab, kata halal berasal dari kata hill yang berarti “terlepas” atau “terbebas”. Sebagai suatu istilah tersendiri, kata halal diartikan sebagai “permissible” (diizinkan) atau “lawful” (diperbolehkan secara hukum).[1] Sementara itu, thayyib seringkali diartikan sebagai “baik”, termasuk pula derivatnya yang lebih spesifik seperti “berkualitas” dan “bermanfaat”.
Apa-apa saja pangan yang halal dan yang tidak sebagian besar telah tercantum di beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Salah satunya dalam surah Al-Maidah ayat 5, di mana tertulis bahwa umat Muslim tidak diperbolehkan untuk mengonsumsi bangkai, darah, daging babi, juga hewan yang mati dengan cara dipukul, ditanduk, atau diterkam binatang buas. Peraturannya yang jelas tertulis membuat halal menjadi konsep yang relatif stabil dan tidak banyak berubah, kendati tentu saja–sebagaimana hukum lain–perdebatan selalu hadir di kalangan para ulama dari berbagai latar belakang. Misalnya, perkara kadar konsumsi alkohol yang masih diperbolehkan atau kondisi-kondisi luar biasa yang menganulir keharaman suatu substansi.
Seiring perkembangan tekonologi pangan dan obat-obatan, kini masalah halal-haram tidak berhenti pada hal-ihwal yang kasat mata saja. Ia merambah pada produk turunan yang terkadang berada pada tataran mikrobiologis. Masih membekas jelas bagaimana vaksin meningitis, yang menggunakan katalisator berupa enzim dari babi, menuai polemik di antara umat Muslim di Indonesia. Atau, perdebatan mengenai hukum produk cokelat buatan Jepang yang menggunakan pengemulsi non-nabati yang sempat santer di beberapa forum dunia maya. Di sisi lain, kapitalisme lantas melihat tren dan kecemasan berlebih tentang kehalalan ini menjadi sebuah peluang untuk meraup pundi-pundi uang. Tak tanggung-tanggung, tidak hanya berhenti pada sertifikasi halal pada makanan, beberapa perusahaan mengeluarkan produk jilbab halal hingga lemari es halal (sempat terpikir pada saya, bagian apakah dari kulkas yang barangkali tidak halal) untuk memenangkan kepercayaan konsumen. Demikianlah, permasalahan halal-haram suatu produk selalu menjadi skenario yang tak pernah absen dalam dinamika masyarakat Muslim di Indonesia.
Namun begitu, dibandingkan hiruk-pikuk yang menyeputari isu halal, diskusi mengenai kadar thayyib-tidaknya pangan cenderung sunyi senyap. Majelis Ulama Indonesia (MUI), institusi yang banyak mengeluarkan fatwa terkait perkara konsumsi bagi umat Muslim, lebih banyak menitikberatkan pada permasalahan halal-haram suatu produk. Dalam hal ini, rupanya kita tak jauh berbeda dari Malaysia: sebuah opini dari Apnizan Abdullah yang diterbitkan The Straits Times menyebutkan bahwa Departemen Pengembangan Islam Malaysia (Jakim) mengeluarkan The Manual Procedure for Malaysia Halal Certification 2014 yang, sebagaimana dapat dilihat dari namanya, hanya memfokuskan diri pada kriteria halal saja. Bagaimana bisa kita berkubang begitu lama dalam ihwal halal-tidaknya suatu makanan tanpa menyentuh konsep thayyib dengan saksama dan serius? Tuhan tentu tidak mencetuskan kedua konsep tersebut untuk ditimbang secara berat sebelah.
Konsep thayyib yang banyak beredar merujuk pada kebaikan badaniah belaka: yaitu, kepada makanan yang bergizi dan bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan rohani si pengonsumsi. Alangkah disayangkan bagaimana diskusi mengenai thayyib seringkali hanya berhenti di sana. Padahal, bagi saya pribadi, konsep thayyib sangatlah luas: ia mengandung dimensi lainnya yang potensial untuk ditelaah dan diinterpretasikan secara lebih inklusif dan holistik. Alih-alih hanya berkutat pada kebaikan individualistik belaka, konsep thayyib dapat ditarik untuk direfleksikan kepada kebaikan dan kebermantfaatan yang dapat dirasakan oleh unit sosial yang lebih luas. Kebaikan yang dimaksud pun tidak harus selalu mewujud dalam bentuk bendawi: ia dapat berupa kesejahteraan, pengupahan yang adil, juga penghidupan yang layak.
Di sini lah kisah para petani anggur Meksiko dan Filipina di California tahun 1960-an, yang saya lihat tempo hari di American Mexican Museum, menjadi relevan. Secara hukum Islam, anggur California jelas merupakan makanan yang halal untuk dikonsumsi. Nutrisi yang dikandungnya pun baik, thayyib, bagi siapa-siapa saja yang menyantapnya. Namun, menilik kembali bagaimana anggur tersebut dibesarkan oleh para buruh migran, kata thayyib nampaknya menjadi kata terakhir untuk mendeskripsikannya. Pekerja migran dari Meksiko dan Filipina dalam industri anggur dan kismis diupah rendah dan dipaksa untuk hidup di lingkungan yang tak layak. Mereka bekerja dengan terpapar kontaminasi pestisida dan pencemaran air. Eksploitasi ini terus berlanjut hingga akhirnya terkulminasi menjadi resistensi nirkekerasan dalam bentuk Delano Grape Strike pada tahun 1970. Maka darinya, dapat dikatakan bahwa anggur panenan buruh migran perkebunan anggur ini memanglah thayyib dalam tataran individu, namun tidak dalam tataran sosial.
Kasus anggur California ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak ketidakadilan dalam produksi pangan di seluruh dunia. Ia pun bukan lagu lama. Nun di Pantai Gading, misalnya, tangan-tangan mungil anak-anak masih terlibat dalam proses produksi cokelat untuk lantas diekspor ke Eropa. Juga di Indonesia, di mana petani kopi serta berbagai panenan lainnya dibayar murah dan dirugikan oleh rantai distribusi tengkulak yang luar biasa berbelit.
Berkaca kepada banyak praktik tak adil dalam proses produksi maupun distribusi pangan, sebenarnya konsep thayyib–jika dipahami secara holistik–dapat menjadi pijakan menuju keadilan sosial dalam isu konsumsi. Memikirkan thayyib dalam dimensi sosialnya merupakan sebuah upaya menuju sistem produksi pangan yang lebih adil dan ramah buruh. Terhadap apa-apa yang kita masukkan ke dalam perut, sudah seharusnya kita melampaui pertanyaan “Apakah ini thayyib untuk saya?” dan memasuki ranah pertanyaan “Apakah ini thayyib untuk orang lain?”
Namun demikian, praktiknya tentu tidak melulu mudah. Hidup pada era di mana pergerakan barang lintasbatas terjadi begitu cepat adalah ibarat dua mata koin. Di satu sisi, dapur kita kini warna-warni terisi dengan berbagai jenis bahan makanan dari berbagai belahan dunia. Namun, di sisi lain, akan semakin sulit bagi kita untuk memonitor secara benar-benar adanya keterlibatan eksploitasi dalam sebuah produk pangan. Kalaupun terdapat merek dagang yang mengklaim dirinya antikekerasan, tidak jarang harganya jauh dari jangkauan masyarakat kelas menengah. Juga, siapa yang tahu ketika kita tidak melihat proses produksinya secara langsung?
Dilematis memang. Barangkali, sebagian besar dari kita kita tidak bisa sepenuhnya menghindar dari sistem produksi pangan yang benar-benar bersih dari eksploitasi. Namun, setidaknya kini kita lebih mawas untuk memilih produk pangan yang tidak hanya thayyib bagi diri sendiri, namun juga thayyib bagi para petani, pekebun, dan siapapun yang berjasa dalam meletakkan makanan kita di atas meja.***
——————
[1] Fischer, Johan. 2012. “Branding halal: A photogrphic essay on global Muslim markets”. Anthropology Today, Vol. 28, No. 4, pp. 18-21