Gerakan Progresif Membangun Blok Politik Alternatif

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: Flickr

MENARIK membaca perdebatan yang cukup sengit di antara para intelektual, seperti antara Airlangga Pribadi dan Suarbudaya Rahardian dan Christian Yahya, yang membahas diskursus tentang bagaimana seharusnya pembangunan gerakan progresif pasca pilpres 2019. Saya tertarik melibatkan diri  dalam debat itu, terutama menanggapi argumentasi dari Airlangga, yang menekankan pada penciptaan suatu basis sosial guna membuka suatu ruang kesempatan politik. Apa yang dirasakan Airlangga sebenarnya jamak dialami oleh seluruh elemen gerakan, yang pasca kontestasi pilpres semuanya terpolarisasi.

Namun kembali lagi, apa yang dibahas Airlangga telah melupakan suatu hal penting dalam konteks gerakan progresif. Yakni pembahasan mengenai situasi kekinian di basis rakyat, hingga konstelasi politik yang ada sekarang. Ketika ia mengatakan bahwa gerakan progresif tidak boleh membelakangi massa, serta harus turut menjadi bagian, berkomunikasi, berdialog dan memajukan agenda mereka, maka itu cukup kontradiktif dengan apa yang ia sampaikan kala membahas ruang kesempatan politik. Karena apa yang ia tawarkan untuk menjadi “kompromis,” dengan mendukung tokoh semacam Ganjar, Khofifah atau tokoh muda yang ia paparkan, terbukti hingga kini tak terlalu signifikan dalam memajukan gerakan massa, atau dalam kerangka substansi pembebasan rakyat.

Hingga kini rakyat masih dalam posisi sulit, tidak dianggap penting, dan tidak pernah dilibatkan dalam penentuan suatu kebijakan. Seperti dalam penentuan suatu wilayah yang akan diekstraksi, apakah ke depan Jokowi atau Khofifah akan memihak pada rakyat di wilayah bagian Selatan Jawa Timur, atau minimal turut memihak keselamatan ruang hidup dengan meninjau ulang tambang emas di Tumpang Pitu? Bahkan dalam hal ini, apakah benar Jokowi atau Khofifah akan memihak para petani di Jenu Tuban, yang menolak pembangunan kilang minyak, yang baru saja divonis bersalah akibat berupaya melakukan penyelamatan ruang hidupnya? Jikalau memang iya, maka apa yang disampaikan oleh Airlangga Pribadi terkait basis sosial, dengan aneka argumentasinya untuk menciptakan ruang kesempatan politik dapat dikatakan efektif.

Namun itu cukup susah dilakukan, karena sebagaimana yang ia gembar-gemborkan selama ini, bahwa ruang kesempatan politik telah terkooptasi oleh para pemilik modal besar atau familiar disebut dengan oligarki. Dalam perspektif Winters (2011), oligarki adalah segelintir orang atau kelompok yang mendominasi mayoritas. Secara basis materil mereka memiliki tujuan untuk mempertahankan kekayaan dan memperluas basis kekayaannya. Jadi, secara political capture dalam melihat suatu kebijakan dan regulasi, maka apa yang diputuskan oleh para pemegang kuasa, tak lebih dari melancarkan skema perluasan dan pemertahanan kekayaan. Sehingga ruang kesempatan politik itu minim, bahkan cukup pesimistik untuk menjadi radikal. Alih-alih menciptakan gerakan progresif, yang terjadi gerakannya menjadi  reformis bahkan pada satu titik kompromis, jika mengacu pada pemikiran Mansour Fakih.


Menciptakan Gerakan Progresif

Pada konteks menciptakan gerakan progresif, maka perlu kita kembali melihatnya dalam perspektif kelas sosial. Tidak sekadar klaim atau dengan frasa-frasa bombastis, namun turut dalam upaya pendiseminasian pengetahuan agar sampai di basis sosial, terutama mereka yang dihisap habis-habisan oleh industri ektraktif. Perluasan industri ekstraktif tercatat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional hingga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang tersinkronisasi dengan daerah.

Alih-alih melakukan pembangunan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dengan infrastruktur masif, realitasnya tak lebih dari membuka investasi sebesar-besarnya. Dampaknya multidimensi, selain menggusur lahan, akibat dari perluasan pembangunan tersebut berakibat pada terciptanya konversi pekerjaan. Pada konteks ini, Marx mengatakannya sebagai akumulasi primitif, mengenai perubahan corak produksi, dan penciptaan kelas buruh baru. Dampaknya tidak main-main, yakni memunculkan kemiskinan, konflik sosial dan semakin kompleksnya problem buruh dengan menumpuknya jumlah tenaga kerja cadangan (baca: penganggur).

Justru dengan pangkal masalah yang nyata di depan mata, maka menciptakan gerakan progresif menjadi syarat mutlak ketika ingin melakukan suatu perubahan. Bukan berputar-putar mencari celah kekuasaan, lalu mengklaim sebagai agenda progresif. Tapi yang jadi konsentrasi bersama ialah, bagaimana gerakan progresif ini menjadi satu langkah awal untuk melakukan transformasi.

Menyitir pemikiran Lenin (1963) dalam “What is To Be Done,” perjuangan buruh tidak hanya berputar di soal-soal tuntutan ekonomistik (kenaikan upah, kerja tetap, keselamatan kerja, asuransi kesehatan dan pension), namun harus ada kesadaran politik di dalamnya. Kesadaran politik ini didapatkan dengan memahami seluruh masyarakat, tidak hanya pada konteks buruh dengan perjuangan upah saja. Namun juga harus belajar melihat seluruh masyarakat, untuk mengetahui realitas dan bagaimana menciptakan suatu wadah partai revolusioner.

Salah satu yang dapat diupayakan ialah melakukan transmisi pengetahuan yang mudah dicerna di basis rakyat, mendorong suatu praktik-praktik pengorganisasian yang nantinya tercipta organisasi yang solid. Kemudian dengan konsisten melakukan kerja-kerja pentransmisian pengetahuan dan menyolidkan organisasi, ke depan organisasi-organisasi ini akan bertemu dalam suatu ruang konsolidasi, dan secara tidak langsung membangun suatu gerakan progresif yang sesungguhnya.


Memperkuat Blok Politik Alternatif

Pasca terciptanya gerakan progesif dengan organisasi yang solid, maka ruang yang dapat diambil dalam upaya merebut ruang politik, yakni mengonsolidasikan kekuatan lintas sektor. Tentu tujuannya untuk menciptakan suatu blok politik alternatif yang nantinya akan menjadi embrio suatu partai politik alternatif. Salah satu yang bisa dilakukan ialah memperkuat blok politik ini, dengan tetap menjalankan kerja-kerja pengorganisasian serta pentransmisian pengetahuan.

Membangun serta memperkuat blok politik alternatif ini tidaklah mudah. Tidak sekadar berangkat dari kritik otokritik khas intelektual, atau sebatas jargon-jargon yang membuka ruang perdebatan. Namun harus juga serius diupayakan dan dikerjakan, agar koheren antara teori dan praktik. Sehingga angan-angan gerakan progresif yang terwadahi dalam blok politik alternatif, semakin masif dan membesar hingga menjadi partai politik alternatif. Sebagaimana kemunculan ISDV yang merangsang gerakan progresof radikal, atau Partai Rakyat Demokratik yang menjadi catatan romansa sejarah. Sebagai bukti menciptakan gerakan progresif, butuh teori dan praktik, serta militansi dalam melakukan kerja-kerja pengorganisasian.

Tanpa ada upaya melakukan pembentukan dan penguatan blok politik ini, sampai kapanpun gerakan progresif akan terjebak dalam jeratan oligarki. Yang artinya gerakan progresif tak lebih dari suatu entitas yang hanya mewarnai perdebatan, tak punya kekuatan untuk merebut kekuasaan. Bukan lagi sekadar menunggu ratu adil, atau mensimplifikasinya dengan mengikuti arus politik dengan menjadi kaki tangan rezim. ***


Wahyu Eka Setyawan adalah aktivis FNKSDA & Walhi Jatim


Kepustakaan:

Fakih, M. (2008). Masyarakat Sipil Dan Transformasi Sosial Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Lenin, V. I., & Utechin, S. V. (1963). What is to be Done?.

Winters, J. A. (2011). Oligarki. Jakarta: Gramedia.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.