Ramadan Ini, Kata Mereka, Saya Bukan Orang Lain

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: nerdofislam.com


SEBAGAI seseorang yang tak terlahir di keluarga penganut agama mayoritas, saya menikmati pusparagam suasana yang menguar di bulan Ramadan. Keguyuban kala berbuka puasa. Perjumpaan dengan handai tolan yang telah lama terpisah. Momen rehat di pengujung bulan kala saya dapat mengabaikan perlombaan lari absurd bernama hidup. Pun, takbir bertalu-talu malam sebelum Lebaran yang membuat saya merasa kecil dan takjub.

Namun, dari antara semuanya itu, satu hal yang paling saya nikmati: penerimaan tanpa pamrih saya sebagai yang lain.

Semua warga Dusun Parigi, Seram Utara, tempat saya bermukim saat ini, beragama Islam. Cara tiap-tiap insannya memaknai dan mengamalkan agamanya cukup bervariasi sebenarnya. Tetapi, saya percaya, tidak ada yang akan mau diidentifikasi dengan agama selain Islam.

Banyak dari antara mereka memelihara kecurigaan-kecurigaan terhadap “orang Kresten.” Siapa pun tak bisa menyalahkan mereka. Konflik Ambon yang pecah dua dekade silam itu masih menancap dengan pejal di ingatan. Apa yang mereka alami tak seburuk dan sepahit yang melanda orang-orang yang hidup di Ambon. Kerusuhan sempat pecah di Wahai, ibu kota kecamatan Seram Utara yang jaraknya tak jauh dan tak ada korban jatuh—hanya ada satu gudang kopra yang terbakar.

Akan tetapi, hari-hari tersebut tetap mencekam dan panjang. Mereka tak henti diperdengarkan cerita bagaimana sesama mereka dibantai tanpa perasaan oleh orang-orang “kampung Kresten”. Hari-hari tenang bergulir satu-dua hari. Esok atau lusanya, kekacauan menyeruak lagi di Ambon atau sekitarnya. Dan, sebagaimana kita yang tinggal di Jawa, di hari-hari itu bayangan gerombolan perusuh sewaktu-waktu bisa menyambangi kampung menggentayangi mereka. Bedanya, imajinasi tersebut menggentayangi mereka dalam hitungan tahun.

Dan lagi, sebagaimana banyak wilayah lain di Maluku, kampung-kampung di Seram Utara terpilah berdasarkan agamanya. Artinya? Artinya, di kampung Islam, Kristen tak pernah dianggap sebagai bagian dari mereka. Sebaliknya juga di kampung Kristen. Merawat sentimen terhadap agama lain adalah hal yang mudah—bahkan menggoda—dalam kehidupan sehari-hari.

Ada waktu-waktu janggal kala saya berada di antara para warga dan mereka tiba-tiba mengungkit sentimen terhadap “orang Kresten”. “Orang Kresten,” katanya, kemungkinan yang menculik anak-anak ketika beberapa waktu lalu kasak-kusuk penculikan anak-anak merebak tanpa dasar. Ketika seorang kepala sekolah yang disukai di kecamatan dilaporkan ke polisi karena korupsi, orang-orang curiga pelapornya tak lain “guru-guru Kresten.”

Saya bungkam dan pura-pura bodoh saja bila momen-momen semacam itu mengambil tempat. Syak-wasangka warga dusun adalah sesuatu yang lebih besar dari saya. Saya hanya dapat memilih untuk tak membicarakan identitas agama bawaan lahir saya selama saya bisa.

***

Ketika bulan Ramadan pertama saya di Dusun Parigi datang, empat tahun silam, karenanya, pikiran saya adalah saya akan ikut berpuasa. Saya tak kesulitan menahan lapar atau haus. Saya pikir, tak ada salahnya ikut berpuasa, apalagi bila dengan melakukannya saya tak perlu merepotkan keluarga angkat saya untuk menyiapkan saya makanan kala tidak ada satu orang lain pun yang makan. Saya tak ingin menjadi “orang Kresten” yang penuntut sementara saya terlalu payah untuk membantu mereka memancing atau berkebun.

Namun, siang hari di hari pertama puasa, mama angkat saya memanggil saya ke dapur. Di meja, saya melihat ikan tuna tersaji bersama sayur dan kasuami—singkong olahan khas orang-orang Buton. Mama angkat mempersilakan saya makan.

“Mama, ini apa? Beta su bilang, beta tra apa-apa iko puasa.”

Ia malah balik menegur saya.

“Sudah! Pokoknya Mas makan saja!”

Saya menggeleng-geleng dengan wajah kecut untuk menyampaikan rasa tidak enak saya. Mama angkat saya nampak geli melihat ekspresi saya.

“Seadanya saja ya, Mas!”

Sebelum pergi dan kembali bekerja, mama angkat saya menutup jendela dapur. Ia mungkin tak enak apabila tetangga dapat melihat saya makan. Namun, ia juga memastikan saya tetap dapat makan dengan tenang di bulan puasa. Dan saya tahu, makanan saya bukan makanan seadanya—saya tak akan mengatakan makanan yang dimasak hanya untuk saya seadanya. Ada kerja yang diperuntukkan kepada saya belaka di dalamnya.

Saya tak datang ke dusun ini sebagai wisatawan. Keluarga angkat saya bahkan tak sudi menerima uang kompensasi tinggal ketika saya berusaha memberikannya. Mereka merasa “malu hati” menerimanya, dan adalah tanggung jawab mereka untuk menghidupi saya selagi di Parigi.

Malam hari, ketika salat tarawih kelar dan mama serta adik-adik angkat saya pulang dari masjid, mereka tak akan lupa menyalami saya bila melewati saya. Mereka acap melakukannya sambil senyum-senyum karena biasanya saya akan salah tingkah mendapatkan salam dari mereka.

Anda tentu tahu alasan saya salah tingkah: saya tak pernah mendapatkannya sebelumnya. Saya bahkan berpikir, jangan-jangan salaman dengan saya dapat mengurangi nilai ibadah mereka.

Segenap hal tersebut terulang lagi di bulan puasa ini.

Dan adik angkat saya, yang kini sudah menikah dan mempunyai anak, berencana akan menghelat akikah sehabis Lebaran. Di satu malam, ia datang kepada saya dan meminta saya untuk menggendong anaknya saat nanti rambutnya dicukur oleh imam dan didoakan oleh semua tamu yang hadir dalam acara.

“Saya mau Mas yang nanti pegang anak saya ya,” ujarnya.

Saya tak dapat berkata apa-apa.

***

Saya bukan seseorang yang religius. Akan tetapi, identitas saya sebagai liyan adalah fakta keras yang tak bisa saya tanggalkan sesuka hati.

Dan yang saya ingat, setiap kali bulan Ramadan tiba, identitas ini menjadi anasir yang rentan di hadapan kesalehan mengada-ngada politisi, birokrat, maupun ormas berjubah agama. Sutiaji, Walikota Malang yang dikenal dengan bahasa-bahasanya yang sublim, baru saja mengimbau warga non-Muslim agar tidak makan, minum “secara demonstratif” di bulan puasa. Satpol PP Kota Padang memasangi rumah makan yang buka di bulan ini dengan spanduk rumah makan non-Muslim.

Orang-orang mungkin berpikir, kita tak perlu terlalu memusingkan pertunjukan-pertunjukan tak masuk akal tersebut. Sayangnya, saya pun tak bisa menampik kekhawatiran, aksi-aksi semacamlah yang akan kian menegakkan politik identitas sebagai aturan main dunia politik kita—menutup jalan pulang kita dari polarisasi yang sudah ruwet ini.

Kota Malang, misal Anda belum tahu, kondang dengan jalan rusaknya. Sutiaji, seharusnya, bisa menjadikan perbaikan jalan sebagai prioritasnya. Kendati demikian, hal tersebut berarti ia harus menghabiskan banyak waktu dan tenaganya berurusan dengan birokrasi yang rumit. Namun, apa yang terjadi ketika Sutiaji memperlihatkan diri sebagai pelindung umat Muslim cukup dengan sebuah surat edaran? Kebijakan tersebut, dalam sekejap, mengisap perhatian dari segala penjuru. Kebijakan tersebut, tentu saja, banyak dikritik. Namun, pembelanya? Tak sedikit pula, saya yakin.

Dan kurang bangga apa Sutiaji dengan dirinya sendiri selepas mengedarkan imbauan sekadarnya itu?

Politik identitas semacam adalah alat kampanye impian politisi: murah, cepat berdampak, tak ruwet dan tidak mengikat. Dengan semakin banyak yang memakainya tanpa beban, siapa yang dapat menjamin ia tak semakin merebak dan memperkeruh keadaan untuk minoritas yang rentan disasar sebagai ancaman umat?

Saya mengingat Ramadan sebagai bulan yang berkesan. Bulan kala saya ingin menghargai saudara-saudari Muslim dan mereka malah menghargai saya melebihi apa yang bisa saya berikan kepada mereka. Namun, manuver-manuver populis vulgar semacam ini membuat saya merasa nista dengan identitas saya sendiri dan tak boleh mengharapkan kenangan berarti dari bulan Ramadan.

Dan apa yang saya pikirkan adalah, orang-orang seperti warga Dusun Parigi tidaklah kebal apabila spiral politik identitas meruyak dan terus meruyak. Saya bersyukur karena diskursus bela agama tak membebat tempat ini. Saya bersyukur, tak sedikit yang terpantik dari antara mereka ketika tahu agama dipergunakan untuk membangkitkan kebencian dan menggalang massa. Akan tetapi, mereka pun tak pernah benar-benar menanggalkan kecurigaan-kecurigaan terhadap “orang Kresten.”

Dan saya punya relasi yang dipertaruhkan di sana.

Belum lama ini, saya berbincang-bincang panjang dengan adik angkat saya. Saya menemaninya menunggu air pasang naik agar ia dapat pergi melaut. Kami berbincang tak berarah dari satu topik ke topik lain. Dari cerita tentang hantu-hantu di Tambang Nikel, Gunung Tinggi Talaga Piru, hingga kekagumannya pada ayahnya.

Tiba-tiba, ia menceritakan apa yang dikatakan ayahnya tentang saya. “Bapak selalu bilang,” ujarnya, “jangan anggap Mas orang lain. Anggap dia kakakmu sendiri.”

Saya beberapa kali mendengar cerita dari orang-orang bagaimana ayah angkat saya, yang sukar mengartikulasikan dirinya, senang dengan keberadaan saya. Namun, kata-kata yang diteruskan oleh adik angkat saya itu menyentuh saya dengan mendalam. Saya berbeda. Dan dalam perbendaharaan kultural yang ada di dusun ini, perbedaan saya adalah perbedaan yang berbahaya. Namun, pada satu momen saya disadarkan lagi, saya “bukan orang lain.”

Dapatkah saya marah bila relasi berharga semacam ini terancam siasat politik yang akhirnya menguntungkan segelintir elite atau imajinasi heroik kita belaka? Saya mengingat bulan Ramadan sebagai bulan penerimaan. Bolehkah saya terus mengingatnya demikian?

Saya bilang, ya. Sayangnya, saya adalah minoritas. Saya tidak boleh ngelunjak.***


Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.