Tindakan Kejahatan Perusahaan di Riau

Print Friendly, PDF & Email

Masyarakat kampung Tanglo, Genduang, Kecamatan Pangkalan Lesung, Pelalawan, Riau, memprotes PT Sari Lembah Subur (SLS) (3/4/2017). Kredit foto: spiritriau.com


AKSI bagi-bagi sertifikat tanah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat kritikan banyak pihak. Program sertifikasi tanah itu dianggap tidak menyentuh substansi persoalan agraria yang mendera masyarakat kecil di seantero Kepulauan Nusantara. Ada hal yang lebih penting yang harus diperhatikan Pemerintahan Jokowi, salah satunya, perampasan lahan milik masyarakat oleh pihak korporasi. Perampasan lahan—masuk dalam tema besar konflik agraria—adalah salah satu kejahatan perusahaan yang tidak tertangani oleh pemerintah selama ini. 

Tajuk ini tentunya semakin relevan pula setelah soal hajat hidup orang banyak (baca: tanah) (semakin) dibincangkan publik usai Joko Widodo menyentil calon presiden (capres) Prabowo Subianto terkait penguasaan lahan oleh capres nomor urut dua itu di wilayah  Kalimantan dan Aceh dalam debat Hari Ahad (17/2/2019).

Ihwal perampasan lahan inilah yang ingin saya bedah di tulisan ini. Namun, saya lebih fokus pada studi kasus di Tanah Melayu, Riau. Sebuah negeri yang tenar karena kekayaan alamnya yang melimpah. Saya ingin mengungkai praktik kejahatan korporasi (perusahaan) di Riau karena bisa jadi banyak yang belum mengetahuinya secara detail (utamanya orang-orang yang berada di luar teritori Provinsi Riau) ulah korporasi ini dan akibat-akibat yang ditimbulkannya terhadap rakyat kecil.

Kejahatan perusahaan khususnya perampasan lahan  benar-benar nyata adanya. Itulah yang saya rasakan di Riau. Saya adalah salah satu korban yang terlibat langsung dan ikut berkonfrontasi  dengan pihak korporasi (perusahaan) di daerah yang sering disebut “atas minyak bawah minyak” ini.

Pada awal 2017, saya bersama masyarakat kampung Tanglo, Genduang, Kecamatan Pangkalan Lesung, Pelalawan, Riau, bergerak memprotes kebijakan PT Sari Lembah Subur (PT. SLS)—anak perusahaan Astra Agro Lestari.  Perusahaan ini khusus mengelola perkebunan kelapa sawit di beberapa kecamatan di Pelalawan, Riau. Salah satu yang kami lakukan adalah aksi demonstrasi pada April 2017.

Sebelumnya, di akhir 2016, PT. SLS mempunyai kebijakan menukar-guling lahan masyarakat yang berada di dalam area konsesinya dengan lahan yang dianggap miliknya. Intinya mereka ingin menyatukan area mereka supaya tak ada lagi lahan masyarakat yang terkepung (berada dalam area konsesi mereka).

Yang jadi persoalan adalah, menurut data Pansus Monitoring Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau tahun 2015, lahan yang mereka tukar-gulingkan itu adalah lahan ilegal (di luar Hak Guna Usaha), tetapi diklaim sebagai milik mereka. Seharusnya lahan ini dikembalikan kepada negara karena posisinya yang status quo. Tapi yang terjadi malah pihak perusahaan menukar-gulingkannya untuk menghilangkan jejak kesalahan.

Sebenarnya kebijakan tukar-guling oleh PT. SLS ini adalah akumulasi dari banyaknya kejahatan yang mereka lakukan terhadap masyarakat Desa Genduang, tempat kami hidup dan mencari penghidupan secara turun-temurun.

Baiknya saya bentangkan apa yang dilakukan  PT. SLS di wilayah Desa Genduang sejak tahun 1980-an. Di akhir 1980-an, masyarakat Genduang masih mempunyai kebun karet sebagai mata pencaharian sejak zaman dulu. Tetapi  bencana itu datang. Saya sering menyebutnya dengan gergasi (raksasa di dalam mitos Melayu). Ya, perusahaan merampas lahan masyarakat tanpa ganti rugi. Mungkin ada hubungannya dengan rezim militer ketika, dimana masyarakat yang menolak kebun karetnya ditebang (dialihfungsikan) diintimidasi. Bahkan, menurut cerita para tetua  masyarakat, di Kecamatan Kerumutan, Pelalawan, Riau, ada masyarakat yang ditelanjangi karena bersikeras mempertahankan batang karet yang mereka miliki.

Tak berhenti sampai di situ, perusahaan SLS juga merusak lingkungan, seperti sungai. Bahkan mereka menanam pokok kelapa sawit hingga di atas tebing sungai. Padahal, dalam Kepres nomor 32 tahun 1990, penanaman komoditas perkebunan harus berjarak 100 meter untuk sungai besar, dan 50 meter untuk sungai kecil, dihitung dari tebing sungai.

Selain itu, pihak perusahaan juga merusak tanah pemakaman warga, juga menanam pokok kelapa sawit hingga ke pinggiran kampung. Dalam hal pekerjaan, masyarakat tempatan sulit  mengakses pekerjaan di perusahaan tersebut, jalan sekitar kampung rusak,  tidak adanya pengadaan lahan kelapa sawit untuk warga kampung sebagai kompensasi tanah mereka yang diambil alih, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, dicantumkan: Perusahaan Perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan atau Izin Usaha Perkebunan untuk budidaya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 % (dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan (Pasal 58 ayat 1), dan banyak lagi masalah lainnya.


Hambatan

Banyak hambatan yang kami alami ketika berkonfrontasi dengan pihak perusahaan di Riau. Jika yang dilawan hanya perusahaan ansich, itu mungkin taklah terlalu berat. Dalam kasus yang dihadapi, kami sebagai orang kecil dikepung dari segala penjuru. Tidak hanya sebatas perusahaan, tetapi  persekongkolan jahat itu merasuk ke semua lini. Oknum pejabat mulai dari tingkat RT, RW, Kepala Desa, hingga yang lebih tinggi seperti oknum pejabat (eksekutif, legislatif, aparat hukum) tingkat kabupaten dan provinsi juga sudah mengatur sedemikian rupa supaya sebuah perusahaan itu aman menjalankan praktik kotornya.

Permainan oknum pejabat inilah yang paling sulit kami hadapi dalam lingkup Provinsi Riau. Mereka sangat lihai memainkan peran dalam usaha mereka “menyelamatkan” perusahaan dari  “gangguan”. Kesalahan-kesalahan perusahaan mereka tutupi dengan ragam cara. Bahkan tak jarang pula kami diimingi dengan hadiah oleh para oknum pejabat itu. Selain itu, tentu saja intimidasi berupa ancaman yang menggunakan tangan aparat.

Inilah  realitas yang terjadi di Bumi Melayu Riau. Kejahatan perusahaan dibiarkan bahkan dilindungi oleh oknum-oknum pejabat yang berkuasa. Kalau sudah begini, yang jadi korban tetap rakyat kecil. Dalam bahasa masyarakat bawah yang saya dengar, “Masyarakat tetap menjadi lumpur. Yang menikmati kemewahan adalah para elite di lingkaran kuasa dan para petinggi perusahaan”.

Setelah saya dan kawan-kawan bergerak dalam satu dua tahun terakhir, saya mengambil kesimpulan di mana perlu adanya gerakan yang lebih masif lagi dalam hal pembelaan terhadap masyarakat saat berhadapan dengan pihak korporasi plus permainan penguasa. Lembaga Swadaya Masyarakat di Riau, saya lihat tidak bertaji menghadapi kekuatan yang sangat besar (kongkalikong antara  perusahaan dan pejabat daerah serta aparat hukum). Agaknya, perlu adanya peliputan media yang lebih masif lagi. Selain itu, orang-orang pintar di Jakarta, dalam hal ini para aktivisnya, perlu turun tangan mengatasi masalah kejahatan perusahaan tidak saja di Riau, tapi juga di bagian lain Nusantara yang kita cintai ini.

Banyak sekali korban akibat kesewenang-wenangan pihak perusahaan ini. Kemiskinan di seluruh Indonesia, menurut hemat saya, tidak hanya disebabkan oleh korupsi, tapi kejahatan perusahaan juga berperan. Bayangkan saja betapa luasnya lahan non-HGU yang mereka kelola tanpa membayar pajak.

Sebagai pelangkap data, terkait HGU ini—dalam kasus Riau— ada satu perusahaan yang hanya memiliki izin HGU 16 ribu hektar, namun setelah dicek di lapangan, perusahaan itu memiliki lahan hingga 24 ribu hektar. Ada lagi yang lebih fantastis, sebuah perusahaan dalam izinnya hanya 5 ribu hektar, kenyataan di lapangan malah mempunyai lahan 23 ribu hektar. Hal ini disampaikan oleh Ketua Pansus Monitoring DPRD Riau, Suhardiman Amby, dalam sebuah diskusi yang ditaja Lembaga Adat Melayu Riau pada 31 Januari 2019 lalu (Riau Pos, 1/2/2019).

Ini baru terkait HGU, belum lagi kejahatan lingkungan, dan segepok masalah lainnya yang ditimbulkan perusahaan.


Berharap Sama Pemerintah Pusat

Harapan paling besar tentu saja ada pada pemerintah pusat. Jika berharap sama pemerintah daerah, ya seperti saya katakan di atas tadi. “Jauh panggang dari api”. Saat kami bergerak menuntut keadilan di Riau, kami kebingungan mencari tempat mengadu karena semua lini sudah dikendalikan sedemikian rupa. Bahkan, lembaga legislatif (DPRD) pun, yang seharusnya tempat menyampaikan aspirasi, juga ikut disusupi oleh kepentingan dalam rangka “mengamankan” perusahaan.

Memang, khusus di Riau, sudah ada sedikit gerakan dari pemerintahan Joko Widodo, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di mana Pada bulan Oktober 2017, KLHK mencabut Rencana Kerja Usaha PT. Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) karena melanggar Peraturan Pemerintah nomor 57/2016 tentang pemulihan ekosistem gambut.

Masalahnya adalah implementasinya di lapangan, tak seperti yang diharapkan. Ini bisa kita lihat dalam kasus PT Merbau Pelalawan Lestari (Pelalawan, Riau) yang  divonis Mahkamah Agung dan diwajibkan membayar denda 16,2 triliun pada tahun 2016, tapi hingga kini eksekusinya tak begitu jelas apakah sudah ditunaikan atau belum oleh Pengadilan Pekanbaru?

Itu saja tulisan singkat sekaligus curhat atau keluh kesah dari seorang korban kesewenang-wenangan perusahaan yang ikut berkonfrontasi dengan sebuah perusahaan di “Bumi Melayu”, Riau. Semoga bisa membuka mata semua pemangku kepentingan.***


Darwin adalah staf peneliti di Indonesian Society for Democrazy and Peace (ISDP), Pekanbaru, dan ikut melakukan pembelaan terhadap masyarakat di Pelalawan, Riau, dalam berhadapan dengan pihak korporasi

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.