Seminari Pius XII Kisol (disingkat Sanpio). Kredit foto: labok
Tanggapan untuk Silvano Keo Bhaghi dan Emilianus Yakob Sese Tolo
TULISAN Silvano Keo Bhaghi di IndoPROGRESS yang berjudul; “Orang Miskin Dilarang Masuk Sekolah Katolik di Flores”[1] mendapat tanggapan luar biasa, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Dengan berbagai argumentasi, Baghi menyimpulkan bahwa sekolah dan kampus, termasuk seminari[2] telah masuk perangkap kapitalisme neoliberal dalam pengelolaannya. Menurutnya, corak kapitalisme di seminari tampak dalam biaya pendidikannya yang mahal dan karena itu hanya bisa diakses oleh golongan menengah ke atas (mereka yang menguasai alat produksi: PNS, pengusaha, politisi, pedagang dan tuan tanah), tetapi sulit dimasuki oleh anak dari masyarakat golongan bawah.
Sementara itu Emilianus Yakob Sese Tolo, mahasiswa program master studi pembangunan di the University of Melbourne, Australia, adalah salah seorang yang cukup serius menanggapi tulisan Baghi. Melalui artikel berjudul; “Haruskah Kita Memberikan Sumbangan Kepada Sekolah Katolik di Flores?” yang juga dimuat di IndoPROGRESS[3], Sese Tolo mengonfirmasi tulisan Bhaghi dan lebih jauh secara gamblang meminta donatur untuk tidak lagi memberikan sumbangan ke sekolah-sekolah katolik, termasuk seminari. Alasan utamanya adalah sumbangan itu justru hanya jatuh kepada masyarakat golongan menengah ke atas yang memiliki akses ke sekolah katolik (termasuk seminari), bukan kepada golongan bawah yang sama sekali tak punya tempat di sekolah-sekolah katolik termasuk seminari tersebut. Sese Tolo bahkan mengklaim seminari-seminari menengah di Flores: “bukan lagi menjadi ladang persemaian calon iman di Flores, tetapi sebagai gelanggang untuk mereproduksi ketimpangan sosio-ekonomi-politik hari ini dan di masa depan di Flores”.[4]
Dua artikel dari mantan orang yang pernah menikmati didikan sekolah katolik di atas ramai didiskusikan di tengah masyarakat akhir-akhir ini. Ada yang kurang setuju, tetapi juga cukup banyak yang setuju dan mulai ‘menuduh’ pengelola sekolah-sekolah katolik benar-benar telah berwatak kapitalis. Gereja katolik dianggap tidak lagi setia mengikuti Kristus yang mengutamakan pelayanan kepada kaum miskin. Supaya tulisan mereka tidak dianggap sebagai kebenaran tak terbantahkan[5], saya mencoba untuk membuat beberapa tanggapan melalui artikel kecil ini.
Kita tentu patut mengapresiasi dua tulisan tersebut. Tulisan tersebut mengingatkan publik akan posisi pendidikan sebagai salah satu hak asasi manusia. Secara khusus dalam konstitusi negara ini disebutkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara dan tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena merupakan hak dasar manusia maka pendidikan sepatutnya terbuka untuk semua. Oleh karena itu, melalui tulisan Baghi dan Sese Tolo, publik disadarkan dan diajak berefleksi akan bahaya jika terjadi elitisme pendidikan yang berwatak kapitalis. Pendidikan tidak sepatutnya dikelola secara kapitalis-liberal, apalagi jika hal itu dilakukan oleh pengelola-pengelola sekolah katolik.
Namun, apakah pengelolaan sekolah katolik (termasuk seminari) benar-benar telah masuk dalam zona kapitalisme dan justru mereproduksi ketimpangan sosial, ekonomi dan politik di Flores seperti telah ‘dituduhkan’ itu? Saya berusaha menjawab pertanyaan ini dengan menujukkan data pembanding sekaligus kiranya menjadi catatan kritis terhadap artikel Baghi dan Sese Tolo.
Pertama, tulisan Baghi dan Sese Tolo hemat saya kurang didukung oleh data yang valid. Walau Sese Tolo banyak menyebut tulisannya sebagai penelitian, namun secara objektif saya katakan bahwa tulisan tersebut terlalu dibesar-besarkan jika dikatakan sebagai sebuah hasil penelitian. Jika itu penelitian, maka Sese Tolo sepatutnya menuliskan jenis penelitian apa yang dipakainya, metodenya bagaimana, penelitiannnya di mana, siapa-siapa yang dilibatkan dan seterusnya sebagaimana kaidah penelitian yang benar. Oleh karena tidak mengikuti kaidah penelitian yang benar, maka kesimpulan yang diberikan pun terkesan terlalu dipaksakan, kalau tidak mau disebut mengada-ada. Sebagai contoh, tulisan Baghi yang dibenarkan Sese Tolo bahwa seminari di Flores hanya disesaki oleh golongan masyarakat menengah ke atas merupakan satu generalisasi yang berlebihan. Di Seminari Kisol misalnya, jumlah anak dari kategori keluarga petani sederhana, nelayan, tukang, buruh, penjahit dan pegawai golongan I teranyata jauh lebih besar dari golongan petani sedang, petani kaya, pegawai golongan II, III, IV, dan pengusaha. Rinciannya sebagai berikut.[6] Pertama, untuk SMP Seminari Pius XII Kisol. Siswa golongan 1 (perkerjaan orangtua: petani sederhana, nelayan, tukang, buruh, penjahit dan pegawai golongan I) berjumlah 129 orang. Siswa golongan II (pekerjaan orangtua: petani sedang, sopir dan pegawai golongan II) berjumlah 126 orang. Siswa golongan III (pekerjaan orangtua: petani kaya, pengusaha kecil dan pegawai golongan III) berjumlah 123 orang. Siswa golongan IV (pekerjaan orangtua: pengusaha dan pegawai golongan IV) berjumlah 29 orang. Kedua, SMA Seminari Pius XII Kisol. Golongan 1 sejumlah 54 orang, golongan II: 37 orang, golongan III: 32 orang, dan golongan IV berjumlah 22 orang. Di seminari Labuan Bajo, dari 290 orang siswa, anak petani sejumlah 179 orang, anak PNS sejumlah 87 orang, anak wiraswasta (termasuk nelayan, buruh, pengusaha kecil-menengah) sejumlah 22 orang, anak yatim piatu 2 orang.[7] Dengan data-data ini, maka kesimpulan Baghi dan Sese Tolo bahwa seminari di Flores hanya dipenuhi kaum menengah ke atas terbantahkan. Baghi dan Sese Tolo membuat kesimpulan tanpa pembuktian yang akurat. Data empirik menunjukkan bahwa seminari-seminari (terutama Kisol dan Labuan Bajo[8]) masih dipenuhi oleh anak-anak golongan menengah ke bawah.
Kedua, catatan perihal sekolah katolik mahal sebenarnya bukanlah hal yang baru dan sama sekali tidak hanya terjadi di Flores yang dikenal miskin. Diskusi terkait sekolah katolik yang mahal juga terjadi di Pulau Jawa sejak lama. Jadi bukan hanya Gereja Katolik Flores yang sekolahnya mahal, tetapi juga sekolah-sekolah katolik di tempat lain.[9] Kenyataan ini tidak mau membenarkan bahwa sekolah katolik harus mahal sehingga tak dapat diakses oleh kaum miskin. Namun kalau mau jujur, kita melihat bahwa pada umumnya sekolah-sekolah katolik memang berbiaya mahal, tetapi amat bermutu. Kenyataan ini membenarkan tesis selama ini yang menyatakan bahwa sekolah bermutu baik perlu sokongan sumber daya (termasuk finansial) yang besar. Agak sulit membayangkan sekolah bermutu baik jika sumber daya seadanya. Pertanyaan kita, kritik Baghi dan Tete Solo perihal sekolah katolik yang mahal di Flores itu dalam perbandingan dengan sekolah yang mana? Apakah ada sekolah bermutu sama (dengan sistem pengeloaan/pembinaan yang sama) yang berbiaya murah? Jika itu sekolah negeri, apakah telah dihitung berapa anggaran yang dikeluarkan negara untuk sekolah negeri tersebut dan dalam menjaga/meningkatkan kualitasnya? Saya kira yang amat patut dikritisi adalah jika ada sekolah yang menggunakan sumber daya besar tetapi mutunya rendah. Kenyataannya ada cukup sekolah yang seperti itu.
Ketiga, tulisan Baghi dan Sese Tolo, hemat saya hanya berangkat dari latar belakang mereka sebagai mantan murid di sekolah katolik. Mereka mungkin belum pernah jadi pengelola sekolah katolik dan belum mendengar kisah perjuangan para pengelola yang sangat sulit mempertahankan mutu sekolah dengan kemampuan sumber daya seadanya. Tulisan mereka berjalan dari satu arah dan karena itu mereka dan publik perlu juga tahu kisah dari arah berbeda, yaitu dari para pengelola. Sebagai seorang yang pernah mengalami langsung dan dekat dengan pengelola sekolah-sekolah katolik, saya merasakan betapa susahnya mempertahankan mutu seminari dan sekolah-sekolah katolik di tengah keterbatasan sumber daya (termasuk finansial). Mengapa susah? Mengapa seminari selalu mengalami keterbatasan biaya? Saya jelaskan dalam point keempat berikut.
Keempat, sekolah katolik dan terutama seminari berbiaya mahal sebenarnya terjadi karena aspek pendidikan di dalamnya tidak hanya menyetuh ranah kognitif, tetapi juga mencakup seluruh aspek perkembangan siswa. Pendidikan di seminari biasanya mencakup lima aspek utama, yaitu aspek santitas (spiritual), aspek scientia (intelektual), aspek sapientia (kebijaksanaan hidup), aspek sanitas (kesehatan) dan solidaritas. Demi pelaksanaan model pendidikan yang integral seperti itu maka pendidikan di seminari berlangsung lebih lama di asrama. Dengan model pembinaan di asrama seperti itu maka biaya pasti besar. Saya kasih contoh data. Di seminari, anak-anak seperti orang pada umumnya makan 3 kali sehari. Jika biaya sekali makan misalnya Rp 15.000 (termurah), maka satu hari untuk biaya makan adalah Rp 45.000. Itu berarti sebulan Rp 1.350.000. Jika anak seminari berada di seminari 10 bulan, maka untuk biaya makan setahun untuk seorang siswa sebesar Rp. 13.500.000. Itu baru biaya makan. Belum biaya listrik, air, perbaikan tempat tidur, dan lain sebagainya.[10] Jumlah itu belum termasuk biaya sekolah; SPP dan biaya pendidikan lainnya. Kalau dijumlahkan semuanya dari uang asrama (temasuk konsumsi) dan uang sekolah bisa tembus angka Rp 20.000.000. Padahal selama ini pengelola seminari hanya menetapkan uang rata-rata di bawah 9 juta masing-masing siswa setiap tahunnya. Sebagai contoh, saya tunjukkan data di Seminari Kisol.[11] Anak yang berasal dari orangtua golongan I (jika perkerjaan orangtua: petani sederhana, nelayan, tukang, buruh, penjahit dan pegawai golongan I) biaya sekolah dan asrama (termasuk beras) setiap tahunnya sebesar Rp 6.860.000. Anak dari orangtua golongan II (jika pekerjaan orangtua: petani sedang, sopir dan pegawai golongan II) sebesar Rp 6.940.000. Anak dari orangtua golongan III (jika pekerjaan orangtua: petani kaya, pengusaha kecil dan pegawai golongan III) total tagihan sebesar Rp 7.160.000. Anak dari orangtua golongan IV (jika pekerjaan orangtua mereka adalah pengusaha dan pegawai golongan IV) total tagihan sebesar Rp 7.280.000. Di Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo, setiap tahun seorang siswa membayar Rp 8.245.000/tahun, atau Rp 26.560/hari.[12] Dengan data ini kita bisa melihat bahwa total tagihan dari pengelola seminari kepada siswa setiap tahun jauh di bawah pengeluaran seminari setiap tahunnya. Dari mana sumber untuk pengeluaran lainnya? Dari subsidi keuskupan, juga dari bantuan para donatur. Dengan data yang sama ini, maka terlihat bahwa pengelolaan seminari sama sekali jauh dari motif kapitalisme. Pengelola seminari tidak menagih uang dari orangtua siswa demi akumulasi modal. Malah sebaliknya pengelola seminari harus pandai-pandai mencari sumber dana lain, termasuk dari dontur untuk memenuhi pembiayaan seluruh aspek pendidikan dan pembinaan di seminari. Dengan demikian, klaim Baghi dan Sese Tolo bahwa seminari telah terjerat dalam model pengelolaan yang kapitalistik tidaklah benar.
Kelima, bagaimana dengan anak orang golangan bawah? Telah saya katakan sebelumnya bahwa tidak benar seminari hanya dipenuhi oleh golongan atas. Saya dulu juga sekolah di seminari. Kami yang berlatar belakang orangtua sebagai petani justru lebih banyak ada seminari daripada anak pegawai dan pengusaha. Demikian juga sekarang (bdk. Seminari Kisol dan Labuan Bajo), anak orang miskin masih punya tempat di seminari. Bagaimana dengan pembiayaan mereka ini? Terhadap persoalan ini, ada seminari yang pengelolannya menerapkan sistem pembiayaan mengikuti golongan pekerjaan orangtua. Di seminari Kisol misalnya, anak-anak digolongkan menjadi 4 golongan berdasarkan pekerjaan orangtua seperti dijelaskan sebelumnya. Dengan cara pembiayaan seperti itu maka ada subsidi silang antara siswa. Siswa dari golongan rendah dibantu oleh siswa dari golongan tinggi berdasarkan pekerjaan orangtua mereka. Dengan demikian, lagi-lagi klaim bahwa pengelolaan seminari bercorak kapitalis neoliberal tidaklah tepat. Di seminari siswa berlatar belakang kaya menolong siswa yang berlatarbelakang miskin. Bagaimana dengan anak-anak yang benar-benar tidak sanggup membayar karena kemiskinan orangtuanya? Seminari biasanya mencarikan mereka orangtua angkat sebagai donatur. Di Indonesia ada namanya gerakan orangtua asuh seminari (Gotaus). Mereka-mereka ini biasanya membantu anak seminari yang memang kesulitan biaya. Jadi kalau Sese Tolo meminta publik agar jangan memberi sumbangan ke seminari, hal itu justru menghalangi anak-anak miskin mengenyam pendidikan di seminari.
Keenam, prihal anak seminari yang memilih tidak jadi imam. Walaupun datanya masih perlu dikoreksi karena masih terkesan generasasi, Sese Tolo mengatakan bahwa rata-rata yang menjadi imam masing-masing angkatan hanya 7%. Dengan data ini, Sese Tolo juga membenarkan tesis sebelumnya bahwa “seminari bukan lagi menjadi ladang persemaian calon iman di Flores, tetapi sebagai gelanggang untuk mereproduksi ketimpangan sosio-ekonomi-politik hari ini dan di masa depan di Flores”.[13] Kesimpulan ini perlu dikoreksi. Perihal banyak anak seminari memilih tidak jadi imam itu merupakan hal yang jamak terjadi. Mengapa? Karena seminari merupakan lembaga discernment, tempat seorang calon imam secara tajam menilai dirinya, apakah benar-benar dipanggil Tuhan menjadi imam atau tidak. Jadi kalau dalam discernment tersebut dia menemukan dirinya tidak terpanggil, merupakan sesuatu yang wajar juga jika dia tidak melanjutkan sekolahnya menjadi imam. Hal itu jamak terjadi. Lagi-lagi bukan hanya terjadi di Flores. Bahkan di Seminari Tinggi juga, para Frater yang kemudian memutuskan menjadi imam juga tidak banyak jika dibandingkan dengan mereka yang masuk seminari tinggi.
Ketujuh, apakah seminari dan sekolah katolik di Flores tidak sanggup membawa transformasi sosial?Dengan mengangkat poin kelima di atas sebenarnya juga saya mau mengatakan bahwa tidak tepat jika dikatakan sekolah katolik tidak memberikan tangga bagi orang miskin menuju kesuksesan. Harus dikatakan dengan jujur bahwa transformasi sosial di Flores justru lebih banyak dimotori oleh sekolah-sekolah katolik. Ada banyak orang yang sekarang ini jadi pejabat publik justru berasal dari keluarga sederhana dan mereka pernah mengenyam pendidikan di seminari. Flores mungkin tidak berkembang seperti saat ini jika tidak ada kontribusi gereja katolik dan sekolah-sekolahnya. Data seperti ini lupa diangkat oleh Baghi dan Sese Tolo dalam tulisan mereka.
Sampai di sini tentu kita akui bahwa memang sekolah-sekolah katolik termasuk seminari berbiaya mahal. Namun biaya mahal tersebut sama sekali tidak bermotif kapitalistik. Biaya mahal tersebut tidak bertujuan untuk mengakumulasi modal. Namun biaya mahal tersebut semata-mata demi menunjang proses pendidikan yang selalu diusahakan bermutu dalam segala aspeknya. Harus diakui bahwa penetapan biaya itu memang menjadi dilemma, terutama terkait jaminan keberlangsungan pendidikan yang bermutu di satu sisi dan akses bagi semua masyarakat, terutama yang miskin, di sisi lain. Namun itulah yang bisa dikerjakan oleh sekolah katolik, termasuk seminari-seminari selama ini. Mereka tentu masih butuh bantuan semua orang termasuk warga gereja, terutama agar mereka bisa memberi akses lebih besar bagi orang miskin dalam mengenyam pendidikan di sana.
Lebih dari itu, sebagai rekomendasi kita tentu tetap menganjurkan dan mengusahakan bersama agar mutu sekolah-sekolah umum juga memadai. Dengan demikian semua anak boleh mendapatkan pendidikan yang bermutu baik tanpa harus sekolah di sekolah katolik atau seminari. Proyek peningkatan kesejahteraan rakyat juga perlu ditingkatkan, karena dengan kesejahteraan yang baik masyarakat dapat juga memperoleh pendidikan yang baik.***
Benny Denar adalah Rohaniawan Keuskupan Ruteng, Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAS) St. Sirilus Ruteng
*Tulisan ini lebih banyak mendapat inspirasi dari diskusi bersama para sahabat pemerhati pendidikan katolik; Rm. Ino Sutam, Kae Doni Parera, Fr. Marto Lesit, Fr. Lolik Apung dari Seminari Kisol, Fr. Aldo Foya dari Seminari Labuan Bajo, teman-teman dari PMKRI Ruteng, teman-teman dari GMNI Ruteng.
———–
[1] Dimuat pada 14 Desember 2018
[2] Lembaga pendidikan bagi calon imam Gereja Katolik
[3] Pada 15 Januari 2019
[4] Sese Tolo, Op. Cit
[5] Juga supaya persepsi negatif terhadap seminari tak terlampau menyebar luas tanpa dukungan data yang valid.
[6] Data diperoleh dari Sekretariat Seminari Pius II Kisol yang saya dapatkan dari Fr. Lolik Apung, seorang Staf Pengajar dan Pembina di Seminari Kisol
[7] Data dari Sekretariat Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo yang saya peroleh dari Fr. Aldo Foya, seoranf Staf Pengajar dan Pembina di sana
[8] Saya tidak cukup waktu untuk mencari data di Seminari Mataloko, Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere dan Seminari Hokeng
[9] Bila dicari melalui google, akan ditemukan banyak artikel dan pemberitaan tentang hal ini. Sebagai contoh tulusan Ferry Sutrisna Wijaya Pr, Sekolah Katolik Mahal? Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah HIDUP Edisi 32 Tahun 11. Bdk. http://www.hidupkatolik.com/2017/01/25/5724/sekolah-katolik-mahal/, diakses pada 21 Januari 2019. Atau tulisan Idus Masdi, Benarkah Anak-Anak Katolik Susah Masuk Sekolah Katolik?, dalam: https://parokistpaulusdepok.org/benarkah-anak-anak-katolik-susah-masuk-sekolah-katolik/, diakses pada 21 Januari 2019.
[10] Karena pendidikan di seminari melingkupi berbagai aspek secara integral, maka diperlukan berbagai sarana dan prasarana yang memadai. Untuk pengadaan dan memperbaiki sarana dan prasarana tersebut juga membutuhkan biaya besar. Biasanya pihak seminari “mengetuk hati” para donatur untuk mengurus hal seperti ini.
[11] Data dari Ekonom Seminari Pius XII Kisol
[12] Data dari Ekonom Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo
[13] Op.Cit