Aktivitas masyarakat Teluk Bintuni. Foto: I Ngurah Suryawan
“…Pengakuan terhadap masyarakat adat tujuh suku di Kabupaten Teluk Bintuni sebenarnya merupakan tantangan tidak hanya kepada pihak luar (pemerintah, pengusaha, masyarakat lainnya) tetapi juga ke dalam masyarakat tujuh suku tersebut. Apakah orang-orang muda Bintuni memahami akar kebudayaannya dan menghargainya? Pertanyaan itu jauh lebih penting daripada meminta pihak luar mengakui keberadaan kita. Identitas itu tidak hanya soal nama tetapi juga cara hidup, etika, kepercayaan, sopan-santun, dan tatanan hukum.”
(J. Budi Hernawan, Menuju ke Kota (C)emas, 2004: 12)
SUATU hari di bulan Juli 2017 di Kota Manokwari, Papua Barat, pada sebuah jamuan makan malam di pinggiran kota, Bapa Pascalis—bukan nama sebenarnya—, paitua (orang tua) kepala kampung di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat mengungkapkan situasi yang terjadi di kampungnya dengan analagi yang tajam. Menurutnya, kekuatan utama rumah masyarakat Papua di kampung-kampung ada pada tiang-tiang pondasi sebagai penyangga utama yang terbuat dari kayu besi. Sementara bagian atas rumah biasanya terpasang kayu-kayu putih yang ringan dan mudah rusak. Kayu besilah yang menjadi penopang utama rumah, yang sekaligus menjadi kekuatan pertahanan rumah tersebut dari kehancuran. Kayu putih bisa tergantikan kapan saja, tetapi kayu besi tidak. Sekali diganti, ambruklah rumah tersebut.
Analogi tajam paitua kepala kampung tersebut memaparkan bagaimana masyarakat di kampung sebenarnya mempunyai modal sosial sangat penting dalam berjuang untuk kelangsungan hidupnya. Rentang panjang sejarah telah membuktikan komunitas-komunitas yang berada di tanah Papua mampu hidup dan menciptakan sejarah dan kebudayaannya sendiri. Hal itu tidak terbantahkan. Mereka hidup dengan modal sosial yang tercipta, terpelihara, dan terwariskan secara terus-menerus dengan berbagai perubahan.
Kondisinya menjadi menyedihkan saat “kayu besi” sebagai tiang-tiang penyangga digerogoti hingga lapuk dengan rayap-rayap ganas. Karakteristik identitas budaya mulai goyah dengan pragmatisme yang hanya mementingkan keuntungan diri sendiri atau kelompok. Sebaliknya kayu-kayu putih yang ringan dan mudah rusak mendominasi rumah. Bahkan ada keinginan untuk mengganti pondasi rumah dari kayu besi ke kayu putih. Sesuatu yang sangat mencemaskan.
Esai ini adalah catatan refleksi saya terhubung dengan beberapa komunitas orang Papua di wilayah Teluk Bintuni yang berada di wilayah frontier, daerah garis depan yang mempertemukan mereka dengan “pesulap-pesulap gila kuasa” (baca: kuasa modal investasi global) yang hadir mengeruk kekayaan alam mereka sekaligus berperan sangat penting mengubah kehidupan mereka. Fragmen-fragmen ketersingkiran masyarakat berkelindan dengan “kehendak untuk memperbaiki” yang dipraktikkan oleh gerombolan investor dengan berbagai jenis program bantuannya. Bujuk rayu gula-gula itulah yang membuat keterpecahan di tengah masyarakat. Saya kira, ketergantungan terhadap bantuan telah melumpuhkan kemandirian untuk hidup berdikari; berdiri di atas kaki sendiri. Bukan bantuan tentunya.
Politik Bantuan
Kehadiran investasi sawit, kayu, minyak, dan sudah tentu LNG BP Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni, telah menyebabkan kompleksitas permasalahan yang bukan hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi. Salah satu permasalahan yang tersimpan bagai api dalam sekam adalah polarisasi (baca: keterpecahan) di tengah masyarakat. Keseluruhannya berhubungan dengan kehadiran investasi (orang Papua secara gampang menyebutnya perusahaan untuk menyebut seluruh investasi berbagai jenis yang masuk ke kampungnya) yang menyebabkan masyarakat merasa disingkirkan dalam arus besar perubahan karena kedatangan perusahaan tersebut.
Ambil contoh kehadiran LNG BP Tangguh sejak tahun 1997, ketika perusahaan Amerika Serikat, ARCO, mengumumkan ditemukannya cadangan gas yang besar di Teluk Bintuni. Sejak saat itu, kecepatan ekspolitasi sumber daya alam di Papua meningkat tajam. Pembangunan proyek Tangguh tersebut juga menyebabkan sebuah kampung dipindahkan secara total, yaitu Kampung Tanah Merah. Kampung ini dimiliki oleh tiga marga yaitu Sowai, Wayuri dan Simuna. BP Tangguh kemudian membangun desa-desa pemukiman baru bagi masyarakat yang tergusur karena pabrik LNG, yang diberi nama Tanah Merah Baru. Pembangunan kilang dimulai pada bulan Februari 2003 dan desa yang baru itu secara resmi ‘dibuka’ pada 17 Juli 2004.
Sejak saat itulah beranekaragam bantuan hadir silih berganti ke wilayah-wilayah yang terdampak dari kehadiran BP Tangguh. Untuk dua tahun pertama setelah pembukaan kampung baru tersebut, BP memberi warga desa pemukiman itu penerangan listrik, air bersih, fasilitas kesehatan, dan makanan. Sekarang terdapat laporan bahwa sebagian warga, terutama nelayan dan petani, merasa bahwa mereka telah terbuang. Mereka tak lagi memiliki tanah adat untuk bertani, sementara perempuan desa yang biasa menangkap udang di pantai kini dilarang melakukannya.
Salah satu dari sekian banyak contoh bantuan yang menuai perpecahan di masyarakat adalah program rutin bantuan-bantuan sosial dalam berbagai bentuk (bantuan ekonomi masyarakat, perumahan, beasiswa, dan lain-lain) yang diberikan oleh perusahaan kepada kelompok masyarakat di wilayah operasi mereka. Namun kehadiran bantuan sosial tersebut justru memicu konflik di tengah masyarakat, antara yang menerima program sosial tersebut dan yang menolaknya. Sebab musababnya adalah kekecewaan masyarakat terhadap janji-janji manis dari BP Tangguh untuk memberikan “ganti rugi” berupa fasilitas kehidupan sehari-hari sebagai bentuk tanggung jawab perpindahan kampung yang mereka alami.
Fasilitas umum, seperti air bersih yang dulu melimpah, sekarang sering kali tak ada. Listrik hanya tersedia di malam hari. Puskesmas yang didirikan BP lebih sering tutup daripada buka, karena dokter dan paramedis biasanya ada di kota Bintuni. Program sosial belum terlaksana seperti yang mula-mula dijanjikan BP. Tetapi laporan menyebutkan bahwa yang paling membuat marah masyarakat adalah kesempatan kerja bagi warga Papua setempat yang sangat terbatas. Posisi yang paling tinggi dapat diharapkan oleh anak muda setempat, adalah menjadi penjaga keamanan proyek.[1] Janji-janji yang diungkapkan dan realitas yang terjadi di lapangan sungguh jauh dari harapan.
Masyarakat di Teluk Bintuni dibuat terpaku dan tergantung dengan bantuan yang direncanakan oleh BP Tangguh. Beberapa anggota masyarakat justru menjadi centeng perusahaan yang menyebarkan isu-isu negative di tengah masyarakat. Salah satu isu tersebut adalah akan dihentikannya bantuan dari perusahaan jika masyarakat tetap saja membangkang dan tidak mau untuk menerima apa saja bantuan yang diberikan.
Seorang kepala kampung di kawasan Teluk Bintuni mengeluh bahwa terlalu banyak orang-orang yang datang ke kampung dengan kepentingannya masing-masing. Orang-orang ini datang dan membuat isu-isu yang meresahkan masyarakat. Orang-orang yang dianggap sebagai “provokator” ini datang ke kampung dengan membujuk masyarakat untuk menerima program bantuan rumah sosial. Kelompok masyarakat lainnya datang dengan tujuan untuk menggagalkan program bantuan rumah sosial itu dan membujuk masyarakat untuk menolak seluruh bantuan sosial lainnya yang diberikan oleh perusahaan. Akhirnya situasi di kampung menjadi resah dengan banyaknya isu-isu tersebut. Kepala kampung ini berkeluh:
Kita dengan kita baku hantam (saling berkelahi). Kitong (kita) akhirnya jadi bingung mana yang akan dipercaya. Kitong mau dengar siapa? Pemerintah kah atau lembaga-lembaga yang ada ini kah? Terlalu banyak lembaga sehingga air kabur (tidak jelas).
Ketika esai ini ditulis, salah satu komunitas masyarakat di Teluk Bintuni sedang menghadapi dilema terhadap bantuan rumah sosial yang diberikan oleh LNG Tangguh bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Teluk Bintuni. Pada masa sebelumnya, LNG Tangguh bekerjasama dengan Pemda Teluk Bintuni telah membentuk koperasi, kelompok-kelompok ekonomi untuk menggerakkan perekonomian mama-mama di kampung dan berbagai program sosial lainnya. Belakangan, berbagai program bantuan sosial tersebut ditolak dengan alasan tidak sungguh-sungguh memberdayakan kehidupan masyarakat di kampung-kampung. Kehidupan sehari-hari masyarakat tetap jalan di tempat tanpa adanya perubahan yang berarti.
Konsolidasi di internal masyarakat juga semakin menguat dengan berdirinya sebuah lembaga masyarakat berbasis suku yang kelahirannya didampingi oleh sebuah LSM di Manokwari. Lembaga inilah yang bersuara keras untuk membongkar ketidakadilan dalam “politik ganti rugi” yang diberlakukan LNG Tangguh terhadap masyarakat Teluk Bintuni. Belum lagi pengingkaran terhadap janji-janji yang disampaikan oleh perusahaan terhadap masyarakat.
Pagi hari hingga menjelang siang, seorang anak Papua ini berjualan ikan keliling kampung. Ia mengaku tidak sekolah dan bekerja menjual ikan dari pagi hingga siang. Setelah itu ia akan ke kebun bersama keluarganya.
Foto: I Ngurah Suryawan
Kejahatan investasi di Teluk Bintuni yang “membohongi” masyarakat menjadi kisah getir yang terwariskan turun-temurun, direproduksi, dan menjadi ingatan sosial “kekalahan di negeri sendiri”. Ini pasti menyesakkan. Tanah mereka dengan begitu mudahnya dicaplok investasi hanya dengan ganti rugi yang tidak adil. Sumber daya alam mereka direnggut, bila perlu dengan kekerasan. Yang paling pilu adalah mereka tercerabut dari akar tanah dan ekologi budayanya. Kondisi ini nyata.
Kehadiran Kampung Tanah Merah Baru adalah kampung relokasi yang lepas dari kehidupan mereka sebenarnya. Masyarakat, meski menghuni rumah cantik dari kayu seharga lebih dari Rp, 300 juta per unit, namun kehilangan mata pencaharian (petani dan nelayan). Sementara lingkungan mereka mengalami kerusakan karena pembabatan hutan mangrove yang menghempaskan ruang-ruang hidup mereka untuk mencari kepiting, udang, dan melaut untuk menyambung kehidupan.
Saya bersama seorang mama yang seorang diri membuka kebun di wilayah pedalaman Teluk Bintuni.
Foto: I Ngurah Suryawan
Struktur kekuasaan yang membelenggu komunitas-komunitas di wilayah frontier (garis depan) menyebabkan situasinya menjadi sangat sulit. Kehadiran perusahaan dan kehidupan baru di kota hingga ke kampung-kampung menciptakan struktur masyarakat baru di Bintuni. Kelompok-kelompok masyarakat yang mampu mengakses “modernitas” tersebut hidup berkecukupan di kota. Mereka adalah anak-anak Papua yang mampu bekerja di perusahaan, birokrat lokal, dan beberapa diantaranya adalah pengusaha lokal yang membuat PT untuk mengakses proyek dari pemerintahan daerah. Mereka inilah yang mengakumulasi modal ekonomi politik dan berebut kekuasaan lokal. Tanpa segan juga “menjual” masyarakatnya di kampung untuk kepentingannya sendiri. Sementara itu masyarakat di kampung masih berimajinasi perubahan suatu saat akan hadir.
Kondisi-kondisi dilematis dan ironis yang terjadi di kampung ini, lantas mengundang pertanyaan mendasar: kenapa masyarakat Papua tidak berubah? Satu hal yang saya rasa berguna untuk direnungkan adalah pentingnya refleksi untuk menarik pelajaran dari masa lampau, kondisi kini, dan meneropong untuk masa depan. Refleksi membuat kita terjaga dan siap untuk membuat keputusan di masa depan. Namun yang jamak terjadi pada masyarakat di kampung-kampung adalah pembicaraan sering terbatas pada mengulangi sejumlah pernyataan mengenai masa yang lampau saja serta warisannya (termasuk unsur-unsur keyakinan), namun tanpa menyadai bahwa telah begitu banyak perubahan selama ini.
Theo van Der Broek (1996) mengungkapkan dengan tajam:
Yang kurang terjadi dan diperlihatkan oleh masyarakat di kampung-kampung adalah kurangnya kesanggupan untuk berefleksi atas masa yang lampau sampai memutuskan apa yang layak dibawa serta masuk ke masa depan (nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan keorganisasian sosial). Yang kurang diperlihatkan juga adalah kesanggupan untuk berefleksi atas apa yang sedang terjadi di depan hidungnya, sambil memutuskan mengenai apa yang mau ditanggapi secara positif karena dapat menunjang proses pengembangan masa depan, dan apa sebaiknya ditolak karena akan merugikan kesejahteraannya, jati diri budayanya dan kepribadiannya (Broek, 1996: 10-11).
Beberapa fragmen ironi dari ketersingkiran masyarakat dalam esai ini menggambarkan kehadiran perusahaan investasi (LNG Tangguh), yang dianggap menjadi “dewa penolong” kesejahteraan, telah menciptakan struktur kekuasaan baru yang menindas dan melekat dalam keseharian masyarakat. Perpecahan di tengah masyarakat dan lahirnya lapisan masyarakat baru “penikmat” kue investasi ini adalah contohnya. Tiang-tiang kayu besi memang mulai keropos.***
Manokwari – Teluk Bintuni, Juli – Agustus, 2017
I Ngurah Suryawan, Dosen Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Menyelesaikan Doktor Antropologi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2015 dengan disertasi berjudul “Siasat Elit Mencuri Kuasa Negara di Manokwari, Papua Barat”. Penelitian pascadoktoral dimulainya pada tahun 2016 hingga sekarang yang meliputi kajian tentang ekologi budaya orang Marori dan Kanum di Merauke, sejarah dan dinamika terbentuknya para elit Papua, gerakan sosial generasi muda Papua hingga politik pengelolaan sumber daya alam. Bukunya tentang Papua diantaranya adalah: Jiwa yang Patah (2014), Mencari Sang Kejora: Fragmen-Fragmen Etnografi (2015), Papua Versus Papua: Perpecahan dan Perubahan Budaya (2017), Suara-Suara yang Dicampakkan: Melawan Budaya Bisu (2017), Ruang Hidup yang Redup: Gegar Ekologi Orang Marori dan Kanum di Merauke, Papua (2018), Kitong Pu Mimpi: Antropologisasi dan Transformasi Rakyat Papua (akan terbit – 2018).
————-
[1] Lebih lanjut lihat laporan dari Down to Eart: http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/bp-tangguh-teluk-bintuni-dalam-konteks-papua dan http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/keraguan-lainnya-terhadap-proyek-tangguh-bp (diakses 29 November 2018).