Kredit ilustrasi: Christianity Today
PENGGALAN kedua dari Pengakuan Iman Rasuli, Bapa yang Mahakuasa, bisa dibilang merupakan salah satu bagian yang paling problematis dari pengakuan iman ini. Masalahnya pertama-tama terletak pada penyebutan Allah sebagai ‘Bapa’, yang dengan mudahnya bakal mengundang protes para penolak patriarki. Apalagi sebutan ‘Bapa’ tadi dikombinasikan dengan atribut ‘Mahakuasa’. Tanpa kombinasi ini saja gambaran tentang Allah yang Mahakuasa tidak jarang dipermasalahkan, antara lain karena dianggap berkonflik dengan kenyataan dunia yang penuh dengan tragedi, atau karena ekspresi sekulernya dalam negara modern.[1] Apalagi kalau keduanya digabung dalam satu sebutan: ‘Bapa yang Mahakuasa’.
Tanpa bermaksud menjadi pembela patriarki atau meng-harga-mati-kan dogma masa lalu, ijinkan saya mengeksplorasi kemungkinan pembacaan yang lebih positif atas kredo yang problematis ini.
Allah sebagai Bapa
Kritik atas sebutan maskulin kepada Allah telah beredar luas, bukan hanya dari luar lingkungan gereja, tetapi juga secara internal. Mary Daly, teolog feminis dari tradisi Katolik, misalnya, terkenal dengan ujarannya:
Gambaran yang Alkitabiah dan populer tentang Allah sebagai seorang patriarkh besar di surga, yang memberi upah dan hukuman menurut kehendak-Nya yang misterius dan nampak arbitrer, telah mendominasi imajinasi jutaan orang selama ribuan tahun. Simbol Allah Bapa, yang muncul dalam imajinasi manusia dan dijaga ke-masuk-akal-annya oleh patriarki, telah melayani jenis masyarakat ini dengan menjadikan mekanisme penindasan perempuan nampak benar dan pas. Jika Allah dalam surga-Nya adalah seorang bapa yang memerintah atas rakyatnya, maka adalah alami dan sesuai dengan rencana ilahi serta tata semesta bahwa masyarakat didominasi oleh laki-laki.[2]
Tuduhan Mary Daly tentang efek gambaran yang maskulin tentang Allah dalam tradisi Kristen ini bisa jadi ada benarnya jika melihat sejarah agama Kristen yang memang didominasi oleh semangat patriarkal. Sampai hari ini, perjuangan mengikis budaya tersebut dalam kehidupan bergereja di seluruh dunia masih terus berlangsung.
Namun penting juga untuk disadari bahwa gambaran maskulin tentang Allah ini bukanlah satu-satunya gambaran tentang Allah dalam Alkitab. Ada juga teks-teks yang menunjukkan gambaran feminin. Bahan pengajaran jemaat gereja presbiterian di Amerika (PCUSA), misalnya, menyebut tiga ayat yang menjurus ke sana:
‘Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau’ (Yes. 49:15).
‘Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu; kamu akan dihibur di Yerusalem’ (Yes. 66:13).
‘Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau’ (Mat. 23:37)[3]
Bahwa gambaran feminin maupun maskulin sama-sama diterapkan kepada Allah menunjukkan bahwa penyematan gender tertentu pada Allah dalam Alkitab tidak lebih dari sekadar upaya menggambarkan karakteristik tertentu pada Allah, bukan mengklasifikasikan-Nya menurut jenis kelamin.
Sebutan kepada Allah sebagai ‘Bapa’ sendiri berakar pada praktik dan ajaran Yesus. Doa yang diajarkan-Nya, yang biasa dilafalkan umat Kristiani juga dalam ibadah-ibadah Minggu di gereja, biasa disebut ‘Doa Bapa Kami’, dan dimulai dengan panggilan ‘Bapa kami yang di sorga’. Mengenai doa ini, pakar Perjanjian Baru dan sejarah abad pertama, John Dominic Crossan, memberikan ulasan yang apik. Crossan, yang juga menentang patriarki, mengajak kita untuk mempertimbangkan beberapa hal yang terkait dengan sebutan kepada Allah sebagai ‘Bapa’.
Pertama, sebutan ‘Bapa’ yang ditujukan kepada Allah tentu saja adalah sebuah metafora. Sama seperti sebutan terhadap Yesus sebagai Firman atau anak domba juga seharusnya tidak dipahami secara literal, demikian pula seharusnya kita memaknai ke-Bapa-an Allah.[4]
Kedua, ada kemungkinan sebutan-sebutan lain yang lebih identik dengan laki-laki, seperti pahlawan perang, hakim, atau tuan feodal, yang tidak digunakan.[5] Sementara sebutan ‘Bapa’ pada dasarnya adalah metafora tentang kepala rumah tangga (householder), yang dalam tradisi kitab Yahudi sebenarnya merupakan fungsi yang cukup inklusif secara gender (bdk. Ams. 31, Kel. 23:12, Ul. 5:13-14). Menurut pengamatan Crossan, sebutan ‘Bapa’ dalam konteks ini tidak jarang merepresentasikan pula ‘ayah dan ibu’ sebagai pengemban bersama peran pimpinan dalam suatu rumah tangga.[6] Dibanding dengan kemungkinan sebutan-sebutan lain, muatan patriarkis dalam sebutan ‘Bapa’ cukup minimal.
Ketiga, penggunaan metafora ‘Bapa’ menyisipkan iman dan pengharapan tentang pemerintahan Allah sebagai kepala rumah tangga atas seluruh dunia dengan ideal-ideal keadilan, kesejahteraan, perlindungan, dan pemeliharaan bagi semua, berikut panggilan bagi manusia untuk menjalankan tugasnya guna mewujudkan angan-angan tersebut di dunia. Seruan ‘Bapa kami yang di sorga’ berlanjut dengan harapan agar kehendak-Nya terjadi ‘di bumi seperti di sorga’, dan rentetan ujaran ke sorga diikuti dengan ekspresi konkret di bumi beserta tanggung jawab manusia.
Karena ada relasi timbal balik dalam skema ini, semangat yang terekspresikan di sini bisa dikatakan bersifat kolaboratif, bukan one-man-show dari atas. Sejalan dengan itu, rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma menyebut tentang Roh Kudus yang membuat orang percaya dapat menyebut Allah sebagai Bapa dalam konteks keluhan segala makhluk untuk dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan.
Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: ‘ya Abba, ya Bapa!’ (Rom. 8:15).
Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin (Rom. 8:22).
Dalam konteks tradisi iman Yudaik yang melihat manusia sebagai pengemban mandat untuk mengelola ciptaan (Kej. 1:26-28), ini berarti bahwa mereka yang dimampukan oleh Roh Kudus untuk menyebut Allah sebagai Bapa dipanggil untuk memenuhi kembali panggilan awal bagi manusia untuk mengelola ciptaan seperti model pengelolaan Bapa mereka di sorga, di tengah absennya model pengelolaan yang seperti ini dalam imperium Romawi di zaman Paulus.[7]
Dari penjelasan tentang metafora Allah sebagai Bapa di atas, kita bisa menarik implikasi bahwa masyarakat yang di dalamnya terdapat mekanisme penindasan perempuan seperti yang disebutkan oleh Mary Daly justru harus dikritik oleh mereka yang menyebut Allah sebagai Bapa. Sebab model yang demikian malah berlawanan dengan model pengelolaan dunia ala Bapa di sorga. Anggapan bahwa metafora ‘Bapa’ mestinya berkonsekuensi pada kenormalan dominasi manusia laki-laki di dunia juga tidak sepenuhnya tepat, karena metafora ini bicara tentang pemerintahan Allah, bukan pemerintahan manusia.
Yang Mahakuasa
Penjelasan tentang makna metafora Allah sebagai Bapa di atas juga sekaligus menyiapkan materi tanggapan atas keberatan-keberatan tentang paham kemahakuasaan Allah. Jika Allah Mahakuasa, mengapa ada begitu banyak penderitaan di dunia? Jika Allah Mahakuasa, apakah Ia mengajarkan model kepemimpinan yang semena-mena dan arbitrer dalam keputusan-keputusannya?
Paham tentang kemahakuasaan Allah akan berkonflik dengan kenyataan dunia yang penuh penderitaan dan kejahatan jika Allah dilihat sebagai Sosok yang sedang berkuasa di dunia yang penuh dengan tragedi. Namun jika kita melihat Roma 8 yang tersebutkan di atas, sepertinya bukan ini yang jadi pemahaman Paulus. Karya Roh Kudus dalam hati orang percaya yang menggerakkan mereka untuk berseru ‘ya Abba, ya Bapa’ justru mendorong sikap kritis terhadap pengelolaan dunia yang tidak dijalankan menurut model Bapa dan karenanya meresahkan seluruh ciptaan. Para pendoa Bapa kami tidak mempertanyakan di mana Allah ketika ada begitu banyak kejahatan di dunia, tetapi menangkap panggilan sorgawi untuk berkolaborasi dalam penataan kembali dunia mengikuti model pengelolaan Bapa. Kemahakuasaan Allah tidak terletak pada peran-Nya untuk memastikan bahwa sejarah dunia akan baik-baik saja dan bebas dari ratap tangis dan air mata, tetapi pada kontinuitas panggilan-Nya pada subjek-subjek baru di tiap abad dan tempat.
Sementara untuk keberatan kedua yang terkait dengan tesis teologi politik Carl Schmitt, di atas sudah tersebutkan bahwa metafora Allah sebagai Bapa bicara tentang pemerintahan Allah, bukan pemerintahan manusia. Ia justru merupakan kritik atas model pemerintahan yang sewenang-wenang, di mana individu tertentu seolah-olah hendak menjadi Tuhan (bdk. Kej. 3:5). Selain itu, kita bisa mempertanyakan apakah gambaran tentang Allah sebagai Bapa yang dijabarkan di atas cocok dengan gambaran tentang keilahian abstrak yang secara arbitrer mengeksekusi kemahakuasaannya? Dari penjabaran di atas, saya kira cukup jelas perbedaannya. Allah yang digambarkan sebagai Bapa ini sangat jelas kehendak-Nya, yaitu pemeliharaan, keadilan, perlindungan, kesejahteraan bagi semua, dan untuk mengeksekusinya, ia mengundang mereka yang menangkap visi ini untuk mewujudkannya, di bumi seperti di sorga.***
Daniel Sihombing adalah kandidat doktor bidang teologi dari Protestant Theological University, Netherlands. Anggota Kristen Hijau Malang dan Editor IndoPROGRESS.
Artikel terkait dari Daniel Sihombing:
1. Kredo dan Revolusi (1): ‘Aku Percaya kepada Allah’
[1] Terkait dengan tesis Carl Schmitt tentang hakikat konsep-konsep politik modern sebagai konsep-konsep teologis yang tersekularisasi, di mana konsep teologis tentang kemahakuasaan Allah dianggap tertransfer ke konsep politik tentang pemimpin yang mahakuasa. Lih. Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty, University of Chicago Press ed (Chicago: University of Chicago Press, 2005).
[2] ‘The biblical and popular image of God as a great patriarch in heaven, rewarding and punishing according to his mysterious and seemingly arbitrary will, has dominated the imagination of millions over thousands of years. The symbol of the Father God, spawned in the human imagination and sustained as plausible by patriarchy, has in turn rendered service to this type of society by making its mechanisms for the oppression of women appear right and fitting. If God in “his” heaven is a father ruling “his” people, then it is in the “nature” of things and according to divine plan and the order of the universe that society be male-dominated’. Mary Daly, Beyond God the Father: Toward a Philosophy of Women’s Liberation (Boston: Beacon Press, 1985), 13.
[3] ‘The Study Catechism: Confirmation Version with Biblical References’, Question 11, http://www.pcusa.org/media/uploads/theologyandworship/pdfs/studycatechism.pdf.
[4] John Dominic Crossan, The Greatest Prayer: Rediscovering the Revolutionary Message of the Lord’s Prayer. (HarperCollins, 2011), 34.
[5] Crossan, 32.
[6] Crossan, 40.
[7] Bdk. Crossan, 48-9.