Bela Islam, Bela Prabowo? Kegagalan Kampanye Toleransi

Print Friendly, PDF & Email

 Reuni 212 jilid 2. Kredit foto: journalbuzz.co

 

FAKSI terbesar dari elemen gerakan ‘Aksi Bela Islam’, GNPF Ulama dan Persaudaraan Alumni 212, kembali berhasil mengumpulkan ratusan ribu massa dalam peringatan ulang tahun keduanya. Jika pada aksi 2016 keberhasilan memobilisasi massa dimungkinkan oleh adanya kasus kontroversial penodaan agama calon petahana dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2017, bagaimana menjelaskan aksi pada 2 Desember lalu?

Banyak pihak, terutama pendukung pemerintah, menilai hal itu sebagai bagian dari upaya kubu Prabowo Subianto mengonsolidasikan kekuatan politiknya menjelang pemilihan presiden 2019. Prabowo juga kerap dinilai telah memfasilitasi menguatnya konservatisme keagamaan yang mengancam toleransi, keragaman dan keutuhan bangsa. Berbagai studi baik dari dalam maupun luar negeri juga mengglorifikasi pandangan kultural semacam itu, bahwa rangkaian aksi bela Islam adalah indikator menguatnya konservatisme keagamaan yang menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

Mereka lupa atau sengaja mengabaikan fakta bahwa pemerintah dan para pendukungnya sebenarnya punya kontribusi yang sangat besar dalam mengondisikan menguatnya sentimen-sentimen keagamaan yang rasialis dan memberi jalan lahirnya gelombang aksi bela Islam. Sederhananya, kampanye toleransi, ‘Islam ramah’, Pancasila dan isu-isu kebangsaan lainnya yang selama ini diyakini menjadi anti-tesis konservatisme keagamaan sama buruknya dengan tuntutan formalisasi Islam di ruang publik. Keduanya mengentalkan artikulasi identitas sebagai ekspresi politik yang dominan dan mengaburkan isu lainnya yang lebih fundamental dalam perdebatan di ruang publik.

Kesuksesan Reuni Akbar 212 mengumpulkan ratusan ribu massa mesti dimaknai sebagai hasil dari mobilisasi kemarahan kelompok Islam oleh para politisi sekuler oportunis dari kubu oposisi. Mobilisasi semacam ini mengombinasikan politisasi kekecewaan yang berkaitan dengan sentimen keagamaan dengan kekecewaan dalam soal ekonomi serta dikondisikan oleh respons pemerintah yang tidak hanya memperbesar kekecewaan tetapi juga mereproduksi penggunaan politik identitas.

 

Menguatnya Kekecewaan

Beberapa peserta Reuni Akbar 212 yang telah saya wawancarai mengaku bahwa motivasi utama mereka berpartisipasi dalam aksi adalah untuk membela Islam. Menurut mereka, kelompok Islam selama ini telah diperlakukan sangat buruk oleh pemerintah. Keterlibatan dalam aksi adalah bentuk solidaritas sesama Muslim yang didorong oleh kekecewaan dan kemarahan atas perlakuan buruk pemerintah itu.

Beberapa informan menyebut kasus penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Organisasi Massa dan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bentuk represi pemerintah terhadap kelompok Islam yang memicu kemarahan dan melahirkan solidaritas untuk membela Islam. Kasus pembakaran bendera HTI juga dianggap sebagai pelecehan bendera tauhid yang makin mengentalkan amarah pada pemerintah. Sebelum itu, kasus tuntutan hukum kepada Rizeq Shihab yang dipandang sebagai kriminalisasi ulama juga memicu kemarahan umat.

Seorang peserta aksi dari kalangan menengah, misalnya, mengemukakan pandangan berikut:

“Sepertinya orang banyak yang marah karena Islam selalu ditekan, seperti tulisan la ilaha illa’llah yang dilecehkan. Pada hari ini sengaja dibuat acara hari gurulah dan sebagainya, yang dikira bisa mengurangi orang yang hadir. [Padahal] semakin dibuat seperti itu, orang semakin ingin membela Islam.”

Peserta aksi lainnya, yang juga berasal dari kelas sosial yang sama, berpandangan serupa:

“Saya ikut aksi lebih karena [hendak menyampaikan] pesan damai Islam untuk dunia karena ada kesan atau labelling bahwa kelompok Islam yang aksi Reuni Akbar 212 adalah kelompok radikal.”

Informan lainnya—pengikut Muhammadiyah yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Islam modern Al Azhar, Jakarta—juga memandang bahwa ia berpartisipasi dalam aksi untuk berkontribusi pada kebangkitan Islam “sebagai anti-tesis dari kapitalisme dan liberalisme.” Baginya, kemenangan partai Islam akan bisa mengobati luka umat yang selama ini telah dipersepsikan sebagai “radikal, anti-toleransi dan teroris.”

Persepsi buruk atas pendekatan yang digunakan pemerintah dalam merespons Islam konservatif ini tidak berdiri sendiri. Ia juga berkelindan dan diperkuat oleh persepsi tentang performa pemerintahan yang buruk, terutama dalam soal ekonomi. Persepsi tentang buruknya performa ekonomi ini juga tidak muncul begitu saja, tapi hasil konstruksi dari hubungan-hubungan sosial dalam memperebutkan sumber daya politik dan ekonomi.

Masih segar dalam ingatan, sejak awal pemerintahannya, Jokowi telah dipersepsikan sebagai proxy dari kepentingan Cina. Prioritas pembangunan di bidang infrastruktur juga dianggap untuk memfasilitasi investor asing, yang sebagian besar berasal dari Cina. Di bidang ketenagakerjaan, menurut kelompok oposisi yang umumnya juga pendukung aksi 212, juga dipandang mengutamakan pekerja asing, terutama yang berasal dari Cina.

Karena Cina adalah negara komunis, maka Jokowi juga dipersepsikan memiliki hubungan ideologis dengan gerakan komunis. Dan karena komunisme di Indonesia dipersepsikan sebagai musuh agama, maka Jokowi yang diisukan komunis adalah ancaman bagi Islam. Pada titik ini, kekecewaan dalam soal ekonomi berkelindan dengan kemarahan yang bernuansa keagamaan.

Kekecewaan atas performa ekonomi ini terus direproduksi oleh lawan politik Jokowi. Hal ini juga menjadi amunisi bagi kelompok Islam konservatif dalam mengkritik pemerintah, di luar persoalan keagamaan. Pasca pendaftaran pasangan capres-cawapres, Prabowo-Sandiaga juga menegaskan akan memfokuskan pada soal ekonomi sebagai materi kampanyenya.

Sebagai strategi kampanye, pilihan ini sangat logis mengingat pada aspek lainnya, terutama soal hukum dan hak asasi manusia (HAM), Prabowo memiliki rekam jejak yang buruk. Tim kampanye Jokowi juga tidak banyak mengapitalisasi isu hukum dan HAM karena pemerintahannya juga memiliki catatan negatif terkait isu tersebut. Dari tahun ke tahun, menurut catatan Tirto.id, pidato kenegaraan Jokowi juga semakin memberikan perhatian yang minimal terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

Seorang peserta aksi mengemukakan:

“Prabowo [memang] tidak mewakili Islam secara ideologis, tetapi lebih dipersepsikan mewakili harapan orang kebanyakan yang mengalami derita ekonomi yang kebetulan orang kebanyakan itu adalah Muslim. Jadi lebih tepat mewakili kepentingan keinginan kemakmuran orang Islam yang kebetulan mayoritas.”

Merasa Dimanfaatkan?

Uraian di atas menegaskan bahwa rangkaian mobilisasi Aksi Bela Islam serta menguatnya sentimen keagamaan dalam ruang sosial dan politik tidak cukup dipahami sebagai fenomena kultural semata. Memang semakin banyak jumlah kelas menengah Muslim yang mengekspresikan kesalehan seperti telah ditunjukkan oleh berbagai studi. Komoditas-komoditas Islami juga semakin beragam menyesuaikan gaya hidup dan konsumsi kelas menengah Muslim. Gelaran dakwah ustad-ustad selebriti juga makin semarak dihadiri anak-anak muda Muslim kelas menengah yang ‘berhijrah’, upaya transformasi diri untuk menampilkan kesalehan, seperti pada acara Hijrah Fest di JCC Senayan bulan lalu. Pertanyaannya, ke mana saluran politik kelas menengah muslim yang semakin menunjukkan kesalehan ini?

Selama ini, kita tahu bahwa tidak ada saluran politik Islam tunggal yang dapat menampung aspirasi konservatisme Islam yang menguat itu. Namun, kondisi seperti ini justru memberi ruang bagi politisi sekuler dengan kapital politik dan ekonomi yang lebih mapan untuk memobilisasi dukungan dari kelompok Islam konservatif. Sebaliknya, politisi sekuler menyediakan diri sebagai saluran politik bagi aspirasi konservatisme Islam itu. Pertanyaan berikutnya, apakah hal ini mengkhawatirkan atau mengancam terjadinya formalisasi Islam dalam ruang politik atau bahkan Islamisasi negara? Konsekuensi pendekatan kultural akan mengiyakan pertanyaan itu.

Bagi kelompok Islam konservatif, beraliansi dengan politisi yang dianggap dapat menyalurkan aspirasi mereka diyakini bisa menjadi jalan menuju kemenangan Islam. Bagi pengkritiknya, gejala itu membahayakan dan mengancam keutuhan bangsa. Yang luput dalam pembahasan dari pendekatan kultural semacam itu adalah aspek politisasi yang membentuk aliansi itu.

Aliansi seperti ini hampir tidak pernah bersifat setara. Politisi sekuler dengan kapital ekonomi politik yang lebih mapan akan lebih dominan menentukan arah kebijakan jika aliansi ini memenangkan kompetisi elektoral. Kecil kemungkinan para politisi akan memenangkan kepentingan umat selain sebatas retorika dan karena itu pula hal itu bukan sesuatu yang mengkhawatirkan.

Sederhananya, gelombang konservatisme Muslim yang membesar yang tidak mampu mentransformasi diri sebagai kekuatan politik yang otonom sebenarnya sedang menyediakan diri untuk dimangsa dan dikooptasi oleh politisi oportunis. Mereka signifikan hanya dalam momen elektoral, tapi tidak akan menjadi subjek politik penting dalam pengambilan kebijakan.

Beberapa informan yang saya wawancarai juga mengakui bahwa mereka dan umat Islam yang dianggap ‘tulus membela Islam’ merasa dimanfaatkan oleh Prabowo dan politisi di sekitarnya. Beberapa di antara mereka juga khawatir Prabowo hanya tampak simpatik kepada Islam selama massa kampanye. Dalam soal ekonomi, di antara informan juga ada yang mengaku khawatir kebijakan ekonomi Prabowo kelak tidak ada bedanya dengan Jokowi yang liberal dan mengabaikan kepentingan rakyat. Tapi mereka juga percaya pada hasil ijtima’ ulama yang memilih Prabowo.

Menurut seorang informan, “keputusan alim ulama pasti sudah mempertimbangkan baik-buruknya, kalau figur ulama cenderung mengajak kita memilih itu ya itu, nggak tahu kalau ulama itu punya unsur politis.” Informan lainnya juga menyatakan bahwa pada dasarnya semua politisi sama, penuh kebohongan, tapi faktanya tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Menurut mereka, Prabowo adalah pilihan terbaik dari yang terburuk.

 

Kegagalan Kampanye Toleransi

Fakta di atas menunjukkan bahwa yang layak dikhawatirkan sebenarnya bukan kelompok Islam yang semakin menguat konservatisme keagamaannya mengingat mereka tidak mampu mentransformasikan diri sebagai kekuatan politik selain dengan beraliansi dengan politisi oportunis. Yang patut menjadi perhatian adalah upaya pembentukan aliansi yang dilakukan dengan memolitisasi sentimen-sentimen keagamaan yang rasialis.

Respons berlebihan, seperti yang selama ini ditunjukkan oleh pemerintah dan pendukungnya, yang didasarkan atas pandangan bahwa aliansi Islam populis mengancam keragaman, toleransi dan keutuhan bangsa adalah hal lain yang juga membahayakan dan mengkhawatirkan. Respons seperti itu tidak hanya mempertajam polarisasi, tetapi juga mengentalkan penggunaan identitas sebagai artikulasi politik yang dominan dalam ruang publik.

Karena itu, para pendukung pemerintah seharusnya berhenti mengampanyekan isu-isu toleransi, ‘Islam ramah’ dan Pancasila. Mereka mesti belajar dari kasus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), bahwa upaya penguatan ideologi Pancasila sekadar dalih untuk bagi-bagi sumber daya material di kalangan elite politik pendukung pemerintah.

Isu-isu fundamental yang disembunyikan oleh penggunaan politik identitas semacam ini yang mesti menjadi fokus perhatian, kecuali para aktivis ‘toleransi’ itu juga memperoleh keuntungan materiil dari kampanye-kampanye Pancasila dan ‘Islam ramah’ yang mereka kerjakan.***

 

Abdil Mughis Mudhoffir, kandidat PhD di Asia Institute, The University of Melbourne, Australia

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.