Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
PADA Revolusi Mei 1968 di Prancis, Penyair menunjukkan sikapnya melalui puisi-puisi, sebagai respon terhadap kondisi sosial-politik. Ada selebaran yang bertebaran di sepanjang dinding-dinding Kota Paris ketika itu, yang bukan sebatas slogan atau propaganda. Selebaran tersebut berisi puisi, yang hingga hari ini masih berstatus anonim.
PENYAIR-PENYAIR DI JALANAN
Aku bersikeras berpikir
Bahwa saat ini tempat penyair
Ialah jalanan
Bahwa kalian mesti menerjang
Menara-menara gading
Meratakannya
Mengumumkan keadaan darurat
Jika aku membiarkan diri
Meratapi keadaan melarat
Jika derita itu bukan pula
Deritamu
Pembaca
Tinju aku kuat-kuat
Biar tidak ada lagi
Puisi yang absen.
(Diterjemahkan oleh Wing Karjo, Sajak-Sajak Modern Perancis dalam Dua Bahasa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1972).
Puisi tersebut menjadi teror yang tidak dapat dielak oleh warga Kota Paris, puisi yang memengaruhi suasana sosial-politik ketika itu. Meski tidak diketahui siapa penulisnya, puisi tersebut terus dibaca oleh para pejalan kaki. Dibisikkan oleh orang yang diam-diam rindu pada perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim. Mengumpulkan orang-orang yang merasa senasib sepenanggungan. Baik secara langsung maupun tidak, puisi yang dipulangkan ke jalanan itu telah berhasil menjadi corong suara utama untuk “Mengumumkan keadaan darurat”. Selain itu, secara tegas puisi tersebut hadir sebagai satu penegasan, baik penegasan untuk masyarakat pada umumnya atau kepada sesama penyair, bahwa penyair tidak dapat mangkir dari kenyataan, ongkang-ongkang kaki di “Menara-menara gading” sambil berbicara berbusa-busa tentang estetika pusi atau berdebat tentang kecerdasan puitik yang tidak ada habisnya. Puisi tersebut juga menegaskan bahwa penyair tidak boleh lagi bersembunyi di balik ideologi artistik tunggal yang menolak dipengaruhi oleh apa-apa, “seni untuk seni” itu. Lantaran puisi tidak boleh lagi absen dari kemelaratan dan penderitaan (manusia dan lingkungan).
Bila dinding-dinding Kota Paris memiliki kenangan puitik pada Mei 1968, demikian juga dengan dinding-dinding sepanjang gang-gang sempit Kota Jakarta pada dua dasawarsa sebelumnya. Di dinding-dinding itu, masyarakat menulis dengan menggunakan kuas berukuran besar dan cat yang menyerukan: ‘Bung, Ayo Bung!’. Seruan itu memang tidak disebut sebagai puisi, akan tetapi seruan itu tidak lepas dari bayang-bayang puitik karena diciptakan oleh seorang Penyair kenamaan Indonesia angkatan 45’, Chairil Anwar. Seruan yang belakangan diceritakan ulang kemunculannya terinspirasi dari pengalaman puitik Si Binatang Jalang ketika bersentuhan dengan dunia prostitusi Ibukota itu, menjembatani antara semangat perlawanan terhadap kolonialisme para pendiri republik dengan dukungan masyarakat untuk menghendaki kemerdekaan. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Penyair yang ‘ingin hidup seribu tahun lagi’ itu berhasil mengabadikan hasil sentuhan puitiknya yang mempertemukan kata seruan dengan kata panggilan yang romantik. ‘Bung, Ayo Bung’ tafsirnya berkembang dari sebatas ajakan untuk melakukan hubungan badan menjadi ajakan untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kemanusiaan.
Pada angkatan setelah Chairil Anwar, muncul sosok W.S. Rendra ketika situasi politik berkembang seiring perubahan rezim seusai hegemoni proklamasi kemerdekaan menjadi perebutan kekuasaan antara paham partai politik untuk menguasai negeri. Si Burung Merak yang berlatar pendidikan di bidang politik itu, terilhami dari pergerakan penyair Prancis pada Revolusi Mei 1968. Hanya berselang waktu beberapa tahun setelahnya, virus pergerakan itu menular pada karya puisi Rendra yang turut merespon keadaan masyarakat pada rezim Orde Baru. Dapat kita simak dalam kumpulan puisinya yang bertajuk ‘Potret Pembangunan dalam Puisi’ yang diterbitkan tahun 1979. Puisi-puisi dalam antologi itu secara gamblang menggambarkan keadaan masyarakat kelas bawah.
Salah satu hal yang jadi pembeda dalam perjalanan kepenyairan Rendra ketika menyuarakan kritik lewat puisinya adalah sepak terjang dirinya di ranah selain seni sastra yang juga dia kuasai, yaitu seni pertunjukan. Kiprahnya bersama kelompok yang dinamai Bengkel Teater di Jogja dan Bengkel Teater Rendra di Jakarta berhasil mencuri perhatian melalui pertunjukan drama dan pembacaan puisi yang selalu dibanjiri penonton. Kepiawaian Rendra seolah memaksa penikmat sastra dan teater untuk datang menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan yang bermuatan tema terkait isu sosial-politik itu. Tak berhenti sampai di situ, Rendra juga merambah layar kaca lewat serial ‘Yang Muda Yang Bercinta’ di mana pada beberapa scene, Ia membacakan puisi kritiknya. Perjalanan kepenyairannya menjadi lengkap ketika Ia ikut berkolaborasi dengan grup musik Kantata Takwa yang beranggotakan Iwan Fals, Sawung Jabo, Jockie Surjoprajogo, dan sederet seniman lainnya. Puisi kritiknya digubah menjadi lirik lagu yang kerapkali diperdengarkan pada setiap konser dengan diselingi pembacaan puisi olehnya.
PAMAN DOBLANG
…
Kesadaran Adalah Matahari
Kesabaran adalah Bumi
Keberanian menjadi Cakrawala
dan Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-Kata
Puisi Rendra kala itu seolah mewakili suara para pemuda yang kewalahan mencari celah untuk menyampaikan pandangan akibat represifitas rezim yang otoriter. Puisi Rendra mengulur kembali benang merah antara kesenian dengan dunia pergerakan yang sempat kusut akibat pencekalan terhadap seniman-seniman di berbagai daerah yang karyanya dianggap dapat memengaruhi masyarakat dalam perspektif yang tidak diharapkan oleh penguasa karena dapat memancing ketidakpuasan publik terhadap kebijakan penguasa. Oleh karena itu, puisi-puisi Rendra dengan sendirinya menggema pada setiap demonstrasi Mahasiswa. Dilantangkan pada setiap forum pertemuan mahasiswa. Pencekalan dan upaya kriminalisasi yang tak luput menimpa Rendra, malah semakin melegitimasi pengakuan bahwa karyanya memberikan pengaruh yang luar biasa. Bahkan sampai hari ini, puisi-puisinya kerap diperdengarkan kembali sebagai semboyan ketika orang-orang merasakan ketidakadilan di sekitarnya.
Pada waktu yang bersamaan dengan melejitnya nama Rendra dalam jagat kesenian tanah air, di kota Solo yang kehidupan keseniannya belum mendapat sorotan secara nasional, dapat kita temukan seorang anak tukang becak yang ‘ingin jadi peluru’, Widji Thukul. Di sela perjuangannya bertahan hidup dari kemelaratan ekonomi yang dialaminya sebagai seorang buruh lepas, ia secara produktif melahirkan karya yang mengejawantahkan sikap masyarakat kelas bawah terhadap kondisi sosial-politik dalam bentuk puisi yang mengalir hampir tanpa bumbu dan gincu. Memang kala itu, nama Widji tidak dianggap sebagai sosok yang patut diperhitungkan dalam jagat kesusastraan dibandingkan dengan nama-nama besar yang sedang naik daun di kota besar layaknya W.S. Rendra atau Emha Ainun Najib. Tapi keaktifannya dalam dunia pergerakan, mengantarkan puisi-puisinya untuk menemukan wadah agar tersampaikan kepada kalangan masyarakat yang lebih luas. Puisinya hadir di antara massa aksi yang berdemonstrasi menuntut pergantian rezim. Dilantangkan dalam forum konsolidasi gerakan buruh. Bahkan keikutsertaannya berorganisasi di bawah naungan Partai Rakyat Demokratik (PRD) membuat dua label identitas tidak bisa lepas ketika orang-orang membicarakan namanya, Penyair dan Aktivis.
Pilihan kata dalam puisi Widji Thukul yang kerapkali menunjukkan ancaman terhadap perilaku penguasa, ternyata membuatnya mendapatkan perhatian lebih dari Penguasa. Perhatian lebih itu, tidak lantas mengubah cara dia dalam berkarya. Setiap penderitaan yang ia rasakan karena ketidakadilan yang menimpanya, selalu dikemas menjadi puisi perlawanan. Mungkin sebagai pembaca, yang tidak dapat kita dengarkan dari suara penderitaannya hanyalah derita yang ia rasakan setelah dinyatakan hilang pada hari-hari menjelang reformasi. Meski begitu, Thukul dan puisinya tak henti dikutip setiap kali ‘Bunga dan Tembok’ bersentuhan.
Lukisan Widji Thukul. Kredit foto: InterSastra
Puisi yang terlahir dari jalanan pada akhirnya memang ditakdirkan untuk kembali pulang pada jalanan. Puisi yang terinspirasi dari hiruk pikuk orang-orang yang bersikutan untuk mencari makan itu, akan nyaman bersahutan dengan deru mesin dan teriakan. Puisi itu setia menemani harapan kaum terancam dengan cara mengambil porsi dalam setiap demonstrasi, apabila panggung pertunjukan tak lagi didatangi penonton dan konsolidasi pada forum pertemuan tak kunjung menemukan jalan keluar. Sebab di jalanan, fungsi ruang publik dapat disiasati untuk menyuarakan kegelisahan para Penyair akan keadaan masyarakat. Puisi itu akan memaksa para pejalan untuk singgah sebentar, juga akan membuat para pengendara memperlambat laju kendaraannya, atau sekadar mengetuk pintu dan jendela gedung-gedung perkotaan. Orang-orang dalam sejenak akan tergerak untuk menikmati puisi, menghayati maknanya, dan menyatakan sikap karenanya.
Kota Paris yang identik dengan suasana romantis tentu menjadi ladang basah bagi para Penyair untuk menulis puisi cinta. Chairil menulis puisi-puisi bertemakan cinta dari yang indah sampai yang menyebalkan kepada kekasihnya. Rendra produktif menulis puisi cinta sepanjang perjalanan kepenyairannya, terutama pada buku-buku puisi awalnya. Widjipun tak lepas dari puisi cinta meski tetap lekat dengan aroma kritik sosial. Para pembaca di setiap zaman, selalu haus akan puisi bertemakan cinta. Puisi-puisi soal kasmaran, penolakan, patah hati, bahkan pengkhianatan seputar cinta selalu laku di pasaran. Tetapi, mengapa pada periode tertentu para Penyair memutuskan untuk mengeyahkan selera pasar dengan meninggalkan puisi cinta, lalu memilih untuk menyuarakan kritik yang belum tentu akan menjadi konsumsi publik?
Kalau dikaitkan dengan psikologi manusia karena Penyairpun sama halnya seperti manusia lainnya yang harus makan, bekerja, bercinta, dan tidur untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Seseorang akan kehilangan nafsu makan bila sesaat sebelum Ia memasukkan suapan ke dalam mulutnya, Ia melihat sesuatu yang ditangkap oleh indera perasanya sebagai hal yang menjijikkan semisal bangkai hewan. Seseorang akan kehilangan motivasi bekerja secara tiba-tiba pada hari di mana Ia sedang berduka karena kehilangan orang yang dicintainya. Satu pasangan akan puasa bercinta pada hari di mana mereka saling memendam emosi karena masalah yang belum terselesaikan. Begitu pula seseorang akan tidak nyenyak tidur ketika pikirannya sedang dirundung kekhawatiran. Apakah di saat-saat seperti itu, manusia tidak lagi perlu memenuhi kebutuhan sehari-harinya? Tentu mereka tetap akan merasa tidak nyaman bila kebutuhan itu tidak segera terpenuhi. Mereka hanya memerlukan waktu sejenak untuk melakukan tindakan guna menghilangkan perasaan yang mengganggu kenyamanannya dalam melakukan hal-hal tersebut. Sebagai seorang manusia pada umumnya, Penyair dalam proses kreatif penulisan puisinya juga tidak terlepas dari faktor-faktor psikologis yang memengaruhi tingkah laku manusia.
Seorang Penyair dengan kelihaiannya memilih dan merangkai kata untuk menyiratkan makna yang menggugah perasaan pembaca, pada titik tertentu, akan kehilangan hasrat untuk menciptakan puisi cinta apabila psikologisnya terganggu ketika melihat hal-hal di sekitarnya. Walau bagaimanapun juga, puisi terlahir dari realitas, meski tak luput dari pengaruh imajinatif Penyairnya. Realitas ini yang mempertemukan Penyair dengan momen puitiknya sehingga melahirkan karya. Penyair-penyair yang saya sebutkan sebelumnya, terjebak pada periode di mana realitas yang ada dalam masyarakat di sekitarnya membuat mereka kehilangan hasrat untuk menulis puisi cinta. Bagaimana mereka dapat berbicara tentang cinta ketika secara nyata di hadapannya terjadi penindasan akan hak asasi manusia. Penyair tidak memiliki ide yang berangkat dari realitas untuk menulis puisi cinta karena dalam kehidupan sehari-hari cinta tidak dapat ditemukan. Akan tetapi, kerja-kerja kreatif menulis puisi adalah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda bagi seorang Penyair. Tidak menulis puisi berarti Ia tidak hidup. Dalam periode krisis di mana ketidakadilan dapat dirasakan terjadi di mana-mana, Penyair tetap mengolah perasaan puitiknya. Hanya saja, realitas yang ada mendorong mereka untuk merespon keadaan masyarakat yang sesungguhnya dan menuangkannya dalam bentuk puisi dengan kandungan kritik sosial.
Periode krisis di masa lalu, seolah muncul kembali bila kita melihat keadaan negeri hari ini, di mana hak asasi manusia direnggut oleh sebab keserakahan sebagian kelompok. Persoalan di bidang agraria memperlihatkan perebutan tanah antara rakyat dengan pengusaha membuat para petani kehilangan lahannya. Kasus tindak pidana yang terjadi tiap harinya mulai dari pembunuhan, pemerkosaan, sampai korupsi uang rakyat oleh para pejabat dengan nominal luar biasa. Sementara lembaga peradilan selalu menunjukkan catatan minusnya oleh karena mafia yang mempermainkan proses hukum sehingga selalu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Berbagai fenomena ini menjadi kian lengkap ketika para politisi memanfaatkan keresahan masyarakat sebagai bahan bakar demi perebutan kekuasaan. Dapatkah penyair menulis puisi cinta sementara ketidakadilan yang terjadi di mana-mana seolah malah meniadakan kehidupan dari cinta?
Mungkin penyair masih dapat menulis puisi cinta dengan mudahnya di tengah-tengah ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, apabila mereka mengurung diri di kamar dan menutup mata juga telinga pada setiap fenomena yang ada. Imajinasinya tak akan terganggu oleh karena penindasan hak asasi manusia jika mereka bersikap tak peduli atas penderitaan orang-orang di sekitarnya. Tapi, ketika mereka satu langkah saja keluar dari goa persembunyiannya, lalu melihat saudaranya kelaparan di pinggir jalan, cintanya pada kemanusiaan tentu akan mengubah warna puisinya menjadi kritik dan ancaman terhadap kekuasaan yang lalim. Penyair harus keluar dari goa untuk mengembalikan realitas pada nafas puisi-puisinya. Penyair bila ingin waras, harus berada di tengah-tengah masyarakat yang tertindas. Menjadikan puisinya sebagai teror yang dapat mempengaruhi suasana sosial-politik, seperti halnya penyair-penyair terdahulu yang selalu hadir di masa-masa genting. Apalagi negeri ini sedang menghadapi tahun politik sebelum pemilihan kepala negara di mana setiap kubu menjadikan penderitaan masyarakat sebagai bahan gorengan untuk memuluskan langkah memenangi pertarungan politik.
Apakah keberadaan Penyair di tahun politik dianggap penting di negeri ini, masihkah puisi hidup di dinding-dinding kota, adakah puisi dibisikkan oleh para pejalan sebagai nafas perlawanan? Pertanyaan-pertanyaan mengandung kesangsian itu muncul beriringan dengan munculnya nama-nama baru pada helatan penghargaan sastra tahunan yang diadakan oleh berbagai lingkaran sastra kenamaan di negeri ini. Tetapi, helatan megah itu sepertinya tidak sempat diikuti kabarnya oleh anak bangsa yang setiap hari seperti menyabung nasib, dengan khayalan mereka tentang masa depan yang semakin buram. Di sela-sela orasi, para demonstran tentu merindukan pembacaan puisi perlawanan yang relevan dengan kondisi bangsa hari ini, bukan sekadar mengulang-ulang puisi yang diciptakan oleh Penyair di era sebelumnya. Dinding-dinding kota tentu muak dengan poster kampanye para politisi, dinding-dinding itu masih menyediakan sedikit ruangnya agar kritik tajam para Penyair dapat menandingi janji-janji politisi. Forum pertemuan dan konsolidasi para pemuda dalam menentukan sikapnya, tentu menantikan diksi-diksi ajaib yang dapat memecahkan kebuntuan diskusi agar dapat membuka jalan keluar. Berangkat dari kemampuan puitiknya, Penyair ditantang untuk mengolah tema-tema puisi cinta seputar kasmaran, patah hati, penolakan, dan pengkhianatan agar berubah arah maknanya menjadi puisi perlawanan seperti cinta pada kemanusiaan, rindu akan keadilan, ketabahan dalam memperjuangkan gerakan sosial dan kemarahan menyaksikan penindasan. Singkat kata, Penyair harus ikut menyelam dalam permasalahan yang ada di masyarakat agar kritik sosial yang termuat dalam puisinya tidak sekadar pandangan sekilas sebagai penghias majas, melainkan puisi yang kelak dapat menghidupi semangat perlawanan terhadap kelaliman.***
Faris Naufal Ramadhan, Pegiat Sastra Komunitas Kalimetro Malang