Membangun Tanpa Menindas

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: Geotimes

 

DUA tahun setelah Presiden Joko Widodo menjabat, pertanyaan ihwal penegakan hak asasi manusia (HAM) mulai mencuat. Kala itu, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki melontarkan sebuah pledoi: Presiden Jokowi fokus kepada bidang ekonomi karena ekonomi termasuk HAM. Ia juga berkata bahwa persoalan HAM masa lalu akan disusun kebijakannya dan dikoordinasikan oleh Pak Menko Polhukam[1].

Setahun berselang, Sang Menko Polhukam yang dimaksud, Wiranto, ternyata melontarkan jawaban yang membingungkan ketika ditanya soal mendiang Munir. “Kamu bicara sendiri saja, jangan tanya saya,” katanya[2]. Menariknya, Wiranto melemparkan isu pengganti yang—lagi-lagi—berkenaan dengan ekonomi: pembangunan.

Logika semacam ini kemudian diadopsi oleh ribuan pendukung Jokowi. Rapor penegakan HAM memang merah, TAPI pembangunan infrastruktur lancar jaya. Tragedi ’65, Tanjung Priok, Semanggi, Mei ’98, Widji Thukul, Munir, memang tidak diusut, TAPI pertumbuhan ekonomi stabil. Banyak kasus-kasus yang melanggar kebebasan sipil, TAPI peringkat ease of doing business kita tinggi. Pembelaan-pembelaan dengan beribu-ribu kata “tapi” yang tak ada bedanya dengan argumen pembela Orde Baru: Soeharto diktator, TAPI berhasil swasembada pangan.

Mengapa Wiranto ingin wartawan bertanya padanya ihwal pembangunan—meskipun ia adalah seorang Menko Polhukam? Untuk melarikan diri dari pembahasan pelanggaran HAM? Dalam proses pembangunan pun tak ada yang menjamin bahwa tangan negara bersih dari pelanggaran HAM, Jenderal.

Siapa yang menjamin bahwa negara, melalui aparatnya, tidak menjadi tukang gebuk di Kulon Progo? Siapa yang menjamin bahwa korban luka-luka di Majalengka bukan ulah aparat? Siapa yang menjamin bahwa negara tak punya peran, sekecil apapun itu, dalam pembunuhan Salim Kancil yang menolak tambang pasir?

Amartya Sen, dalam bukunya Development as Freedom, memandang pembangunan ekonomi yang sesungguhnya adalah pembangunan yang memungkinkan individu untuk memiliki seperangkat kebebasan dan pilihan. Amartya Sen memandang pembangunan sebagai perluasan dari kebebasan individu, termasuk tidak merampas hak ekonomi dan menghendaki suara individu dalam proses pembuatan keputusan politik maupun pembangunan itu sendiri[3].

Pembangunan dan HAM selayaknya dua sisi mata koin. HAM merupakan aspek yang sangat mendasar dan berkontribusi secara instrumental dalam pembangunan. Di sisi lain, pembangunan manusia yang amat krusial bagi proses pembangunan ekonomi juga tidak akan tercapai apabila hak-hak sipil dan politik ditiadakan[4].

Dalam proses pembangunan, penyelesaian dengan cara-cara tak manusiawi adalah kemunduran. Kita membutuhkan pembangunan, tak akan saya bantah premis ini. Namun, membangun dengan menindas tak akan membawa kita ke mana-mana.

Sekalipun triliunan Rupiah dihabiskan untuk membangun infrastruktur fisik, kita tak akan sampai pada kemajuan selama masih dinaungi kelembagaan yang rapuh. Pada level makro, kelembagaan dapat dipahami sebagai aturan formal (meliputi konstitusi, statuta, hukum, dan seluruh regulasi pemerintahan lainnya) yang dibentuk sedemikian rupa untuk mencapai tujuan. Seringkali negara berhasil mendesain kerangka hukum, ekonomi, dan politik yang berpihak pada rakyat dan kebebasan individu, namun nol besar dalam mekanisme penegakan. Padahal, segala aturan formal itu tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan[5].

Negara seringkali gagal mengintegrasikan kewajiban mereka untuk melindungi hak-hak dasar manusia dengan kewajiban mereka untuk melakukan pembangunan. Dalam proses pembangunan, siapapun aktor yang melanggar (negara maupun non-negara), tanggung jawab untuk menjamin hak asasi warganya tetap berada di tangan negara. Jika dan hanya jika negara memahami fungsi tersebut, seharusnya tak perlu ada warga negara yang kehilangan haknya. Yang namanya dikenal seperti Budi Pego dan Salim kancil, atau puluhan anonim di Kulon Progo dan Majalengka.

KOMNAS HAM dengan tegas menyebutkan dalam Pembangunan Berbasis HAM: Sebuah Panduan bahwa proses pembangunan tidak akan berjalan efektif tanpa adanya keamanan. Keamanan di sini tidak hanya mengenai stabilitas nasional secara luas—seperti yang ingin dibahas oleh Wiranto—tetapi juga keamanan pribadi. Jika seseorang atau kelompok mengalami ancaman pembunuhan, serangan kekerasan fisik, intimidasi, maka negara wajib memberikan standar perlindungan minimum atas hidup, integritas, dan keamanan pribadi mereka[6].

Maka apabila sebuah aktivitas yang mencederai keadilan bagi masyarakat dan melanggar hak-hak asasi manusia masih boleh mengatasnamakan pembangunan, sesungguhnya negara terjebak dalam paradigma pembangunan yang usang. Sekali lagi pembangunan itu, tuan dan puan sekalian, tidak dilakukan dengan hanya menyusun beton-beton atau menghisap sumber daya alam. Pembangunan harus ditata di atas komitmen negara untuk menghargai kemanusiaan.***

 

Fitri Ika Pradyasti adalah mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

 

———

[1] https://nasional.kompas.com/read/2016/10/21/13204731/istana.jangan.lupa.ham.juga.menyangkut.ekonomi

[2] https://tirto.id/wiranto-soal-munir-mbok-bicara-pembangunan-kita-bagaimana-cwec

[3] http://www.lse.ac.uk/internationalDevelopment/pdf/WP/WP49.pdf

[4] https://www.odi.org/sites/odi.org.uk/files/odi-assets/publications-opinion-files/2321.pdf

[5] Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Penerbit Erlangga

[6] https://www.komnasham.go.id/files/20131117-pembangunan-berbasis-hak-asasi-$SLP7PE.pdf

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.