Taman Nivea, Malang. Kredit foto: Lingkar Malang
JIKA menyempatkan untuk berkunjung ke kota Malang, selain udara dingin dan banyaknya menu pilihan makanan bakso, kita akan banyak menemui taman-taman kota hampir di setiap penjuru pusat kota. Taman-taman itu muncul dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini (2014-2017). Ada daya tarik tersendiri dari masing-masing taman tersebut. Ada yang memang menyediakan untuk hiburan keluarga seperti wahana bermain anak kecil hingga sarana olahraga orang dewasa atau taman yang hanya disediakan untuk duduk santai menikmati hiruk pikuk kota Malang yang kian memadat dan macet di mana-mana.
Awal tahun 2015, saya sempatkan untuk berkunjung pertama kali ke Bandung saat periode kepemimpinan Ridwan Kamil sebagai wali kota Bandung. Perjalanan itu hanya saya habiskan kurang lebih tiga hari untuk melihat isi kota. Ketika berjalan ke pusat kota menggunakan angkutan umum, saya menemukan istilah galau ala anak muda yang dijadikan sebagai nama taman kota. Taman jomblo. Salah satu taman kota yang saya ingat. Ingatan yang terus berputar-putar di ingatan saya, membuat saya berfikir tentang gejala apa yang sedang terjadi di kota-kota besar, khususnya pulau Jawa, atau mungkin pertanyaannya bisa dipersempit: Akan dijadikan apa taman-taman sebanyak ini di kota besar seperti Malang dan Bandung yang semakin memadat dan macet sejauh mata memandang?
Saya memulai untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu dengan cara mengunjungi beberapa taman di kedua kota tersebut. Mencoba untuk tidak berfikir berlebihan sebelum merasakannya langsung berada di sana. Waktu itu, setelah kunjungan saya ke kota Bandung, saya pulang ke kampung halaman saya di Malang dengan niat yang disengajakan untuk datang berkunjung ke taman. Saya datang ke taman Nivea di Jalan Merbabu seberang hutan kota merbabu. Menurut beberapa teman, taman itu adalah taman yang paling nyaman berdasarkan infrastrukturnya. Hal itu terbukti dengan adanya tempat duduk yang cukup nyaman untuk duduk bukan untuk tidur, ada beberapa pohon yang rindang, koneksi wi-fi gratis hingga ada sumber aliran listrik.
Aktivitas berkunjung ke taman-taman menggiring saya untuk bertemu dengan satu komunitas yang menginisiasi kegiatan di taman kota berbasis di Malang, bernama Nandur Dulur. Nandur Dulur ini diinisiasi oleh tiga pemuda lokal yang juga memiliki pertanyaan yang sama dengan saya, tentang fungsi dan kegunaan taman-taman kota di tengah kota yang semakin memadat dan macet itu. Komunitas Nandur Dulur memfokuskan aksinya dengan cara menciptakan ruang belajar bersama di taman dan membuka segala kemungkinan yang bisa dilakukan bersama di taman-taman kota yang masih segar.
Ruang belajar bersama Nandur Dulur selalu diadakan dua kali dalam sebulan, setiap hari Minggu mulai pukul 9 pagi hingga pukul 12 siang. Menyanyikan lagu anak-anak menggunakan gitar dan bertepuk tangan adalah salah satu cara untuk mengundang anak-anak yang bermain di taman untuk datang mendekat. Pagi itu saya datang tepat ketika mereka sedang bernyanyi dan beberapa dari mereka menyiapkan koper-koper yang berisi buku. Mereka tidak memiliki keanggotaan yang pasti, setiap minggu bisa saja berubah-ubah bergantung kepada siapa yang sempat. Setelah kurang lebih menyanyikan lima lagu, mereka berhenti dan mulai menyapa beberapa anak yang datang mendekat. Setiap pertemuannya mereka memiliki rencana kegiatan. Kebetulan saja ketika saya berada di sana, mereka sedang mempersiapkan untuk workshop membuat mainan bersama.
Seperti ketika kita baru saja menempati rumah baru, perasaan bingung dan canggung akan selalu ada. Sama halnya dengan taman-taman ini, mereka baru dan muncul di tengah-tengah ritme hidup kota yang kian cepat dan sudah memiliki polanya. Nandur Dulur sedang mencoba untuk memiliki ruang barunya. Mungkin yang bingung bukan hanya saya dan beberapa orang seusia saya, namun ada beberapa pengamen, tukang becak, pemulung yang dulunya tinggal di tanah tersebut harus tergusur karena kini dijadikan taman yang benderang dan dijadikan tempat singgah orang-orang dengan baju rapi. Untuk memberi bayangan, posisi taman terletak di pusat lalu lintas yang menghubungkan antara area pemukiman elit, perkantoran, kampus, dan pusat perbelanjaan. Jadi bisa dibayangkan orang-orang yang mengisi taman itu bukan hanya warga sekitar namun orang-orang dengan baju rapi selepas kerja atau mahasiswa sepulang kuliah yang mencari tempat nongkrong. Apalagi, tamannya memang diatur supaya terlihat bagus, indah dan bersih.
Taman Jomblo, Bandung. Kredit foto: YouTube
Ruang belajar bersama yang diciptakan oleh Nandur Dulur berusaha untuk memberi ruang bagi para penghuni taman terdahulu dan sekarang. Para pengamen, tukang becak, pemulung yang tempat istirahatnya tergusur sengaja diundang untuk menjadi bagian dari aktivitas tersebut. Mereka dengan sukarela membagikan pengetahuannya seperti membuat mainan, menyanyi dan memainkan alat musik. Anak-anak yang hadir adalah anak-anak yang tinggal di sekitar taman, yang mana adalah kawasan elit atau rumah dengan harga dua milyar rupiah ke atas. Walaupun jarak tersebut akan tetap ada, namun ada satu waktu dimana jarak antara si penghuni lama dan penghuni baru tampak kabur dan tak berbatas.
Upaya memanfaatkan ruang publik dan menentukan posisi di tengah pertumbuhan kota yang kian cepat, juga dilakukan di Bandung. Komunitas itu bernama Perpustakaan Jalanan Bandung. Mereka bergerak dalam aksi menciptakan ruang baca bersama di tengah taman yang indah dan kemacetan kota. Buku-buku yang mereka sediakan cukup beragam, dari buku bacaan anak hingga buku gerakan kiri dan budaya punk di Malaysia. Banyak yang datang dan mencoba untuk berdialog dengan sesama pengunjung perpustakaan. Tak heran aktivitas mereka dibubarkan oleh petugas karena dianggap mengganggu aktivitas warga di taman. Barangkali aktivitas membubarkan bisa dilihat sebagai satu gejala bahwa sebuah sistem birokrasi memiliki kontrol yang sangat kuat terhadap segala properti yang dimilikinya. Dan itu terjadi di kedua taman yang saya ceritakan ini. Baik dengan cara halus seperti tidak memberi celah untuk orang tidur di taman dan tidak memberi akses listrik untuk aktivitas belajar bersama seperti di Malang atau dengan cara membubarkannya langsung seperti di Bandung.
Pertumbuhan kota itu bersifat pasti. Segala hal memang pasti akan berubah. Segala bentuk pembangunan dan modernitas akan terus menyingkirkan hal-hal yang dianggap lambat dan tidak sesuai dengan citra yang mereka (baca: pemilik modal baik pemerintah maupun korporat besar) inginkan. Saya jadi teringat tentang apa yang ditulis oleh Steven Fold dalam kutipan pembuka bukunya yang berjudul Senses Of Places, bahwa orang datang dan pergi meninggalkan suatu tempat itu bersifat pasti tapi setiap kehadiran mereka barang sedetikpun akan menyumbang nilai bagi tempat itu. Sama dengan upaya yang dilakukan oleh Nandur Dulur atau Perpustakaan Jalanan Bandung, meskipun mereka bukan bagian dari pemilik modal atas taman-taman itu, namun mereka mampu memosisikan diri dengan tepat untuk menciptakan fungsi-fungsi berdasarkan kebutuhan ruang bersama tanpa harus berupaya untuk menyingkirkan apapun.***
Gatari Surya Kusuma, saat ini bekerja di Ruang MES 56, Yogyakarta