Harapan itu Bernama Sosialisme

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: Marxist World

 

ALEXANDRIA OCASIO-CORTEZ. Perempuan 29 tahun keturunan pasangan imigran Puerto Rico tersebut berhasil mendobrak kemapanan politik di Amerika Serikat (AS) dengan memenangkan pemilu sela untuk Dewan Perwakilan (House of Representatives) AS sebagai anggota kongres termuda dalam sejarah Amerika. Tak hanya itu, Ocasio-Cortez juga memenangi pemilu legislatif sebagai politisi progresif yang secara terbuka mendaku diri sebagai seorang sosialis. Bagaimana bisa?

Lahir dan besar dalam keluarga kelas pekerja kulit berwarna – sebuah konteks sosial yang sangat khas Amerika tetapi juga universal – Ocasio-Cortez tahu apa rasanya berjuang untuk hidup: ayahnya meninggal di tengah-tengah kuliahnya, dan selepas kelulusan, dia dan ibunya terpaksa bekerja serabutan. Sandy, begitu dia biasa dipanggil oleh keluarganya, membagi waktunya sebagai pelayan restoran di siang hari dan penjaga kedai makanan di malam hari. Ibunya jadi tukang bersih-bersih rumah dan supir bis sekolah. Tetapi, Sandy tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Dia ingat, di luar sana, ada jutaan warga kelas bawah lainnya yang juga berjuang untuk kehidupan mereka. Di sadar, ada jutaan Sandy di luar sana. Ia aktif di Democratic Socialists of America (DSA), organisasi politik sosialis terbesar di Amerika. Di sela-sela waktu dan sisa-sisa energinya, dan dengan dukungan massa dan kelompok-kelompok progresif, ia memutuskan untuk bertarung di kancah elektoral. Dan sisanya adalah sejarah.

Kemenangan Ocasio-Cortez – yang sekarang tenar dengan sebutan ‘AOC’ – beserta puluhan kandidat progresif lainnya dalam pemilu sela AS menjadi semacam ‘angin segar’ pasca fenomena Trump dan naiknya gelombang populisme kanan di berbagai belahan dunia lainnya. Di tengah-tengah berbagai permasalahan pelik yang menimpa hidup rakyat pekerja di seluruh dunia – kesenjangan sosio-ekonomi, kebuntuan saluran-saluran politik ‘demokratis’ yang ada, eksklusi dan marginalisasi sosial, serta kenaikan rasisme dan berbagai sentimen sektarian lainnya, Ocasio-Cortez, yang didukung oleh anggota tim kampanyenya, para aktivis gerakan sosial, dan puluhan kandidat politik yang lain menawarkan suatu gagasan: sosialisme jawabannya!

Ya, harapan itu bernama sosialisme, begitu kata AOC. Bersama puluhan kandidat progresif lainnya yang bertarung untuk kursi-kursi di dewan legislatif di tingkat nasional dan lokal, intervensi politik yang dibidani dan didorong secara sistematis oleh DSA akhirnya membuahkan hasil. AOC, Rashida Tlaib, seorang perempuan keturunan Palestina yang juga anggota DSA, dan banyak politisi kuda hitam baru yang didukung oleh DSA menjadi perwakilan rakyat pekerja dan wajah dari sosialisme di Kongres AS yang borjuis itu: muda, tegas, penuh energi, cekatan, dan dekat dengan massa.

Bertarung di arena politik secara terbuka sebagai seorang sosialis, bukankah ini merupakan bentuk bunuh diri karir? Bukankah sosialisme telah gagal? Masih adakah harapan bagi politik progresif, di tengah-tengah gelombang kekuatan politik populis kanan dan fasis baru yang sedang ‘naik angin’?

Persis di titik inilah, justru agenda politik sosialis menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya. Karena, ketika kekecewaan dan kemarahan terhadap kondisi politik yang ada begitu akut dan mengemuka, ketika rasa frustrasi atas kerentanan hidup kita dan penindasan yang dilakukan oleh para elit semakin tak terbendung, ketika antagonisme antara kepentingan rakyat pekerja dan kapital semakin tak terbantahkan, hanya agenda sosialis yang dapat melakukan intervensi politik yang efektif untuk memperbaiki kondisi hidup dan mempromosikan kepentingan politik rakyat pekerja. Politik sosialis dengan jelas menunjukkan bahwa sumber masalah utama yang kita hadapi hari ini adalah tatanan kapitalis-neolberal global dan solusinya adalah intervensi politik yang demokratik, terpimpin, dan militan dari massa rakyat yang sadar akan kepentingan kelasnya.

Lantas, apa yang ingin dicapai oleh sosialisme? Apa tujuan dari agenda politik sosialis? Kaum sosialis memimpikan sebuah dunia di mana semua orang terbebas dari belenggu dominasi dan penindasan berbasis kondisi materialnya – ketertindasan kelas dalam berbagai bentuknya di ranah politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sebuah dunia di mana tiap-tiap kita dapat menjalani dan menghidupi hidup kita secara merdeka, bermartabat, dan bertanggung jawab, berdasarkan semangat solidaritas kepada sesama. Berlawanan dengan kesalahpahaman yang populer di masyarakat kita, sosialisme tidak mengampanyekan kebersamaan dan kesetaraan dalam kemiskinan dan despotisme. Jauh dari itu, yang diperjuangkan oleh kaum sosialis yang berpegang kepada prinsip-prinsip ilmiah dan pembacaan yang kontekstual adalah kesetaraan dalam keberlimpahan. Sebuah situasi di mana kita bisa hidup sebagai, mengutip kata-kata kaum Kiri Arab, ‘rakyat yang bahagia’ di ‘tanah yang merdeka.’ Singkat kata, sosialisme adalah manifestasi tertinggi dari demokrasi.

Tentu saja, agenda sosialis tidak bisa berhenti di tataran slogan. Retorika memang diperlukan untuk mengetahui keadaan batin dan menyentuh hati rakyat. Retorika juga penting untuk membangkitkan imajinasi-imajinasi politik yang baru. Tetapi, retorika sosialis bukanlah sekedar slogan dan jargon – ia juga merupakan sebuah propaganda programatik yang menjabarkan butir-butir kebijakan konkrit dalam perspektif sosialis bagi segenap massa rakyat.

Apa yang dimaksud dengan kebijakan sosialis? Setidaknya ada dua prinsip kerangka kebijakan sosialis yaitu demokratisasi seluas-luasnya di ranah politik, ekonomi, dan sosial dan transformasi kapitalisme menuju sosialisme. Sejumlah contoh dari penerapan dua prinsip tersebut antara lain adalah subsidi negara dan publik atas prosedur politik elektoral, pembatasan dana kampanye dan pengaruh politik dari para oligark dan korporasinya di berbagai lini, kepemilikan sosial atas sektor-sektor ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, agenda redistribusi dan pengelolaan ekonomi secara demokratis, industrialisasi nasional, pengelolaan pertanian secara kolektif, transformasi hierarkhi relasi kerja yang eksploitatif di berbagai sektor, perebutan dunia internet dari kuasa kapital, perlindungan ekologi, feminisme, perlindungan sosial transformatif, politik luar negeri berlandaskan prinsip anti-imperialisme dan solidaritas internasional, serta apresiasi terhadap tradisi rakyat dan aliansi dengan gerakan-gerakan keagamaan progresif.

Agenda-agenda sosialis bertumpu kepada asumsi bahwa ekspansi kapital bersifat global – dan begitu juga perlawanan terhadapnya. Dewasa ini, pelan-pelan kita digiring untuk mempersempit pemahaman kita atas pengalaman ketertindasan kita – seakan-akan tidak ada hubungannya antara buruh yang ditekan manajemen pabrik, petani yang dirampas lahannya, aktivis yang direpresi aparat, dan kaum minoritas yang dipersekusi. Kita lupa bahwa ada benang merah yang mengaitkan berbagai pengalaman ketertindasan tersebut, yaitu realitas sosial dalam kapitalisme yang sama-sama kita alami. Dengan kata lain, kapitalisme bersifat universal. Karenanya, kita memerlukan sebuah bentuk perlawanan yang juga universal dan transformatif – dengan kata lain radikal – sebagai alternatif dari berbagai kerusakan dan malapetaka yang dibawa oleh kapitalisme itu sendiri. ‘Radikal’ di sini tentu bukan berarti ekstrimisme – jauh dari itu. Yang saya maksud dengan radikal di sini adalah suatu komitmen untuk melakukan perubahan secara total, sampai ke akar-akarnya.

Meski prinsip-prinsip dari sosialisme berlaku secara universal, penerapannya tentu perlu disesuaikan dengan konteks lokal di mana ia diwujudkan. Ibarat sebuah pohon, meski jenis spesies dan benihnya sama, tumbuh dan suburnya juga ditentukan oleh tanah di mana benih tersebut ditanam dan berkembang. Sosialisme bukanlah ‘resep pembangunan’ ala aparatus neoliberal seperti Bank Dunia dan IMF, gagasan ‘khilafah’ yang mengawang, atau ‘satu obat untuk seribu penyakit’ seperti yang dijajakan oleh tukang obat di alun-alun kota. Sosialisme memang bertumpu kepada prinsip-prinsip ilmiah – pembacaan realitas sosial secara materialis, dialektis, dan historis dan pengorganisasian kembali masyarakat menurut prinsip-prinsip demokratik – tetapi ia tidak membuang tradisi-tradisi baik yang ada di masyarakat sembari tidak takut untuk mengkritik secara keras dan menawarkan alternatif atas tradisi yang represif dan tidak lagi sesuai dengan semangat zaman. Tradisi seringkali menjadi reservoir catatan dan aspirasi bagi mereka yang kalah dan terpinggirkan. Tugas sosialisme adalah menggali dan merangkai catatan historis dari ‘tradisi pinggiran’ tersebut, menarik kesimpulan besar atasnya, dan menyuarakan cerita orang-orang kalah tersebut ke khalayak ramai.

Dengan kata lain, sosialisme haruslah kontekstual. Jikalau tidak, jangan harap perjuangan politik sosialis dapat meraih dukungan luas dari massa rakyat. Itu juga strategi yang diterapkan oleh Ocasio-Cortez dan kandidat-kandidat progresif dan sosialis lain yang maju dalam pemilu sela di Amerika kemarin. Dalam kampanye Ocasio-Cortez misalnya, ia bekerjasama dengan dan didukung oleh organisasi kampanye politik Justice Democrats (yang mendorong wajah-wajah baru di Kongres AS dan tidak menerima dana korporat), Black Lives Matter (yang mengampanyekan hak-hak warga Afro-Amerika), dan berbagai organisasi lain, termasuk Muslims for Progress, sebuah organisasi Islam Progresif di Amerika sana. Dalam hal pendanaan kampanyenya, sekitar 75 persen donasi yang diterima oleh Ocasio-Cortez merupakan kontribusi donasi individual.

Yang tak kalah penting – dan ini perlu menjadi catatan bagi kalangan gerakan sosial di Indonesia – adalah bahwa para legislator progresif ini tidak terjebak oleh ilusi elektoralisme. Sedari awal, tujuan mereka adalah untuk merebut basis massa Partai Demokrat dan mendongkel kepemimpinan partai yang elitis, korup, dan jauh dari aspirasi massa. Buktinya, ketika 200 aktivis isu perubahan iklim melakukan demonstrasi di depan kantor Nancy Pelosi, politisi senior Demokrat yang akan kembali menduduki jabatan sebagai Ketua House of Representatives agar partainya mendorong paket kebijakan yang lebih progresif dalam isu-isu perubahan iklim terutama di sektor energi, AOC juga turut bergabung dalam aksi tersebut dan menyatakan dukungannya kepada aksi dan usulan dari para demonstran.

 

Potret Alexandria Ocasio-Cortez, anggota Kongres termuda dalam sejarah AS

 

Naiknya kekuatan politik sosialis kontemporer di Amerika pasca-Trump memang jauh jaraknya dari kita, namun bukan berarti fenomena tersebut tidak ada relevansinya. Sebaliknya, kita bisa belajar banyak dari pengalaman tersebut dan menurut saya, setidaknya beberapa hal ini dapat kita pelajari dan terapkan di konteks Indonesia.

Pertama, dalam hal artikulasi agenda-agenda politik sosialis, sudah saatnya kita memulai berbicara secara programatik. Dengan kata lain, kita harus memulai berbicara mengenai alternatif sosialis seperti apa yang pas untuk konteks Indonesia, dalam berbagai aspek. Selemah-lemahnya iman, kita harus mencoba lebih berani untuk mengusulkan sejumlah proposal kebijakan yang riil. Dalam ranah politik, kita bisa mengajukan mengenai alternatif paket perundang-undangan yang lebih memberi ruang kepada elemen-elemen gerakan sosial untuk berpartisipasi dalam pertarungan elektoral, pembatasan donasi dana kampanye oleh jejaring oligarki, hingga restrukturisasi parlemen. Di bidang ekonomi, kita perlu menyuarakan pentingnya melakukan kontrol atas kapital, redistribusi kekayaan negara, dan mendorong perkembangan ekonomi yang tidak hanya bergantung pada sektor-sektor ekstraktif dengan segala macam eksesnya. Di dunia sosial dan kebudayaan, ini berarti memimpikan tumbuhnya balai-balai budaya dan literasi berbasis komunitas, di mana anak-anak buruh dan petani, anak-anak di kampung-kampung dan juga anak-anak di komunitas miskin kota dapat membaca sastra-sastra dunia, mengenali kebudayaan lokal, atau belajar memainkan instrumen musik klasik. Di dunia maya, kita bisa mulai berpikir mengenai bagaimana ide internet sosialis dapat diterapkan di zaman sekarang sebagai alternatif atas internet korporasi. Di berbagai pabrik, ladang pertanian, dan perkebunan, di desa maupun di kota, ini berarti mendorong tumbuhnya serikat-serikat rakyat dan dewan-dewan warga yang independen yang militan, yang dapat mendorong demokratisasi seluas-luasnya di dalam kehidupan sehari-hari bahkan di luar institusi formal negara. Di dalam praktik-praktik keagamaan dalam masyarakat, ini berarti menjadikan sesi-sesi peribadatan sebagai forum untuk membicarakan permasalahan yang menimpa lapisan-lapisan rakyat yang paling tertindas dan merumuskan apa respon dari kelompok-kelompok agama untuk menjawab permasalahan riil rakyat.

Kedua, untuk mendorong program-program tersebut, maka propaganda sosialis di tengah-tengah massa juga haruslah kontekstual. Istilahnya, ‘strategi dakwah’ di kalangan sosialis, progresif, dan gerakan sosial yang lebih luas haruslah tepat sasaran dan beresonansi dengan realitas sosial dan kegelisahan massa. Perlu diakui, inilah satu aspek di mana kaum populis kanan lebih unggul hari ini. Tanpa kampanye dan propaganda yang mengena, tanpa pesan yang khas – katakanlah sebuah versi baru dari Sosialisme Indonesia – maka mustahil ‘kabar baik’ yang dibawa sosialisme akan ditanggapi dan diyakini oleh massa rakyat.

Dalam iklim dan diskursus politik Indonesia sekarang, yang penuh dengan berbagai kekonyolan dan dagelan, yang membuat kita seringkali tidak bisa membedakan antara kenyataan, imajinasi, dan lawakan, sosialisme barangkali masih akan menjadi sebuah kata yang kotor, yang diidentikan dengan segenap label-label peyoratif khas Orde Baru: tak bermoral, menghalalkan segala cara untuk berkuasa, utopis, dan lain sebagainya. Akan tetapi, apa yang akan kira-kira terjadi dalam belasan tahun ke depan, ketika kontradiksi dalam kapitalisme semakin mengeras dan massa rakyat butuh jawaban atas persoalan tersebut? Persis di momen inilah, kita dan publik akan sadar bahwa agenda sosialisme – yang didukung oleh pemahaman yang menyeluruh dan ideologis, garis politik yang selalu setia kepada cita-cita dan aspirasi rakyat pekerja, dan organisasi yang rapi – adalah agenda yang akan menjawab berbagai permasalahan rakyat. Ya, sosialisme pelan-pelan bisa menjadi suatu istilah yang normal dalam perbendaharaan politik kita, sama seperti yang terjadi di masa-masa awal kemerdekaan kita, atau saat ini di Amerika sana.

Semua cita-cita ini terdengar sangat simplistis dan utopis di saat bersamaan. Bukankah tidak mudah untuk mengusulkan apalagi menerapkan suatu platform alternatif? Apakah mungkin untuk melampaui kapitalisme? Tentu saja, kita perlu mengakui dengan rendah hati bahwa tantangan-tantangan tersebut sulit dijawab, namun bukan berarti tidak mungkin untuk dipecahkan. Pasalnya, sebagaimana dikemukakan oleh sang fisikawan jenius Albert Einstein, kapitalisme sebagai sebuah sistem tidaklah masuk akal dan sungguh inefisien, yang akan selalu membawa berbagai permasalahan sosial yang berasal dari kontradiksi di dalamnya. Kontradiksi tersebut muncul ketika daya produksi yang dihasilkan secara kolektif oleh kita semua, rakyat pekerja, terhambat perkembangannya karena relasi-relasi sosial dan produksi yang hierarkhis, eksploitatif, dan karenanya inefisien.

Ya, cita-cita sosialisme memang sederhana, namun sungguh maju dan masuk akal: bahwa kemakmuran bisa kita kelola dan miliki bersama, bahwa kebahagiaan bersama adalah mungkin, bahwa kita bisa wujudkan demokrasi yang sejati di bumi. Ya, harapan itu bernama sosialisme.

Dan itulah tujuan dari perjuangan kita. Kawan, tak terpanggilkah kau ‘tuk turut serta?***

 

Iqra Anugrah adalah editor IndoProgress

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.