Guru dan Sikap Intoleransi Beragama Yang Sumbing

Print Friendly, PDF & Email

Toleransi Keberagaman: Anggota OSIS SMA N. 4 Batam melaksanakan Qurban di sekolah.
Kredit foto: sman4batam.blogspot.com

 

ADA perasaan sedikit malu ketika membaca hasil studi dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri tentang persentasi intoleransi yang meningkat diakibatkan oleh pendidikan yang berasal dari sekolah. Hasil survey terhadap intoleransi juga dilakukan oleh LIPI selaku pusat lembaga ilmu pengetahuan.[1] Berangkat dari beberapa studi yang dilakukan, saya ingin bicara toleransi melalui pengalaman pribadi. Sebagai guru, sedih melihat bahwa toleransi antar sesame, khususnya berkaitan dengan toleransi antar-agama, adalah barang mahal dan sulit dijumpai di kalangan masyarakat kita. Bilapun ada, umumnya disampaikan melalui media sosia yang mengunggah foto lalu akan menjadi ekspektasi kalangan tertentu. Padahal dulu toleransi antar agama gampang dijumpai dalam kehidupan sosial masyarakat. Salah satu pengetahuan berupa informasi tentang kehidupan toleransi beragama pertama kali saya dapatkan dari paparan guru sekolah.

Sekitaran tahun 1990-an, saat itu saya masih duduk di bangku SMA, guru PMP (Pendidikan Moral Pancasila) saya bercerita bagaimana harmonisasi kehidupan bertoleransi di satu kota di Sumatera Utara. Kota tersebut terkenal dengan sebutan Kota Sipirok yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Meski sepanjang saya menetap di Sumatera Utara (Sumut), tidak sekalipun saya mengetahui detailnya tentang bagaimana harmonisasi keberagamaan agama di sana kecuali pemaparan dari guru itu. Kalaupun saya mengetahui Kota Sipirok, itu hanya tertulis dalam narasi pelajaran sekolah. Informasi keberagaman menjadikan kota tersebut sebagai ikon kerukunan kehidupan beragama secara menyeluruh. Mesjid dan Gereja bisa berdiri berdampingan dilengkapi dengan aktivitas masyarakatnya yang saling bahu-membahu saat memperingati hari-hari besar agama.

Indahnya keberagaman di kota Sipirok selalu jadi acuan bagi guru untuk lebih menekankan makna toleransi di depan kelas. Ada rasa bangga dan kagum karena Sumut memiliki keberagaman yang nyata serta mewujudkan keberagaman tersebut dalam tataran informasi pengetahuan di sekolah. Biar bagaimanapun, toleransi di Sumatera Utara bukanlah hal baru. Persentase keberadaan pemeluk agama berbeda terlihat jelas di wilayah ini. Pluralisme masyarakat Sumut tidak berhenti hanya pada agama melainkan juga terdapat komposisi etnis yang sangat mewarnai aktivitas masyarakat. Sumut terasa menjadi miniatur Indonesia yang memiliki etnis dari Sabang hingga Merauke.

Pengalaman kali kedua saya bersentuhan langsung dengan wujud toleransi beragama, saya dapatkan dari ibu saya. Pengalaman tersebut dimulai dari satu peristiwa dalam keluarga saya. Sekitar tahun 1993, salah satu abang saya mengalami kecelakaan lalu-lintas yang lumayan parah. Kejadiannya tepat di wilayah Tawangmangu-Jawa Tengah. Peristiwa kecelakaan paling memilukan dalam keluarga besar kami.

Menjelang dini hari, salah satu kerabat ibu saya datang dari luar kota memberitahukan tentang adanya kecelakaan yang menimpah abang saya. Kecelakaan tersebut memakan satu korban meninggal namun siapa korban yang dimaksud, beritanya masih simpang-siur. Kebetulan di keluarga besar ibu saya punya nama yang hampir sama. Abang saya sendiri bernama depan sama dengan sepupu dari sebelah ibu saya atau nama depan anak dari kakak perempuan ibu saya.

Tidak seperti saat ini, seandainya ketika itu komunikasi telepon seluler sudah canggih seperti sekarang, sudah barang tentu kepastian informasi tentang siapa yang menjadi korban meninggal mudah dipastikan.

Perasaan campur-aduk merambah pikiran dan batin ibu saya. Dan mempengaruhi seluruh adik-beradik saya. Kebetulan saya menetap di kompleks perkebunan dimana tetangga depan rumah berasal dari etnis Batak bermarga Tampubolon. Beliau penganut Kristen yang taat. Kehadiran beliau di malam duka itu memperkuat ketabahan hati ibu saya. Beliau menyambangi kediaman kami serta mencari tahu lebih jauh peristiwa yang menimpa keluarga. Tanpa rasa canggung, tante Tampubolon (panggilan akrab penghuni kompleks kepadanya) membawa kami semua menuju rumahnya. Tanpa sungkan pula, beliau menghibur ibu saya dengan mengajak kami sekeluarga berdoa menurut agama masih-masing. Beliau langsung saja memimpin doa dengan caranya dan kami mengikuti doa tersebut dengan cara kami.

Sungguh pemandangan yang indah sebab ibu saya memerintahkan kami semua mengikuti doa tersebut dengan cara kami sendiri. Sepanjang doa dipanjatkan, rasa haru bercampur senang bisa merambat ke dalam hati kami. Tuhan seolah memberi kekuatan melalui doa meskipun caranya berbeda.

Lepas dari ritual berdoa, tante Tampubolon masih menemani ibu hingga pagi tiba. Setelah kepastian siapa yang jadi korban meninggal dalam kecelakaan, ibu saya langsung saja memberikan informasi yang akurat pada tante Tampubolon.

Sesungguhnya kejadian dini hari menjelang pagi tersebut terasa langka bila hadir pada suasana saat ini. Mungkin saja peristiwa di dini hari itu bila digambarkan kembali saat ini akan memunculkan pro dan kontra. Atau bisa jadi viral dalam media sosial yang begitu ramai mengarahkan pada berita-berita berbau negatif. Bisa jadi pula aksi tante Tampubolon dicermati sebagai bentuk misi Kristenisasi yang ditakuti sebagian besar masyarakat mayoritas kita. Tapi tidak buat saya. Bagi saya penerimaan ibu memberikan kesempatan melaksanakan ritual doa yang dipimpin tante Tampubolon adalah satu pengajaran dan pembelajaran yang membekas hingga sekarang.

Pengalaman kali ketiga masih bersinggungan dengan keluarga besar ibu saya. Ibu saya berasal dari Jawa Tengah. Pakde atau paman ibu saya beragama Katolik, istrinya seorang muslim taat. Dalam keluarga besar ibu kami, untuk mempererat tali silaturahmi biasanya dijalani dengan kegiatan arisan keluarga. Kegiatan kekerabatan ini memperkuat hubungan darah di antara kami. Pakde ibu saya sangat dituakan di keluarga besarnya sehingga penghormatan kepada beliau diwujudkan dengan saling berkunjung pada hari-hari besar agama. Saya sendiri bersama beberapa abang dan kakak tidak merasa aneh bila saat Lebaran kita berkunjung ke rumah pakde ibu dikarenakan istri pakdenya seorang muslim. Sedangkan saat Natal, bapak membawa saya dan saudara lainnya untuk mengunjungi beliau menghormati peringatan hari besar agamanya. Kebiasaan itu terus kita lakukan sampai pakde ibu saya wafat. Bahkan ketika salah satu anak perempuan pakde ibu saya menikahkan anaknya di gereja, bapak saya tetap memenuhi undangan walaupun tidak turut dalam acara pemberkatan di gereja karena resepsinya sendiri berada di luar gereja. Memang paling gampang melihat acara-acara pernikahan dimana resepsinya dilaksanakan di luar gereja. Andai kalian ke Sumatera Utara, bukan sesuatu yang aneh menyaksikan resepsi pernikahan di luar gereja yang tidak hanya dihadiri tamu sesama mereka tapi juga dihadiri tamu dari kalangan muslim, mengenakan pakaian muslim. Hal tersebut terasa makin indah dikarenakan rasa toleransi masyarakat Sumatera Utara yang cukup kuat.

 

 

Potret Gereja Katolik Stasi Santo Zakharia yang dibakar pada Maret 2018. Kredit foto: viva.co.id

 

Kekuataan masyarakat Sumut merajut keberagaman kini mulai terkikis. Beberapa peristiwa konflik agama menciderai warisan budaya masyarakat. Pembakaran Mesjid, Gereja, maupun Wihara sering terdengar. Kita seolah lupa akan keberagaman yang sudah tercipta sejak masa Kolonial Belanda. Semakin parah lagi ketika berita-berita pembakaran rumah ibadah dibumbui dengan peristiwa dramatis yang diplintir oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Selama saya bersekolah, saling mengunjungi rumah kerabat atau teman berbeda agama untuk mengucapkan selamat berhari raya sesuai agamanya tidaklah aneh. Dari SD hingga SMA, saya selalu hadir di rumah guru-guru yang beragama Kristen. Teman-teman saya yang Kristen juga melakukan hal sebaliknya.

Lalu apa yang sedang terjadi sekarang? Fenomena apa yang merambah dalam pemikiran masyarakat kita sehingga rasa untuk saling mencurigai semakin membabi-buta?

Permasalahan intoleransi dalam tataran berbangsa dan bernegara pernah dikaji oleh Kemendikbud. [2] Sekolah dianggap bagian awal alur pembentukan sikap Intoleran yang kemudian membentuk diskriminasi mayoritas kepada minoritas. Pola pengajaran sekolah seharusnya mengacu pada prinsip-prinsip kurikulum yang jelas menekankan pada sikap multikultural. Secara konseptual dan kontekstual, setiap mata pelajaran yang tersususun sistematis di Kurikulum, khususnya Kurikulum 2013[3], memuat pesan-pesan keberagaman. Dalam Kompetensi Inti setiap mata pelajaran terdapat misi dan pesan keberagaman yang wajib dipenuhi siswa dalam proses belajar dan harus disampaikan guru dalam proses pengajaran. Kompetensi Inti bentuk lain yang telah ditetapkan oleh Kurtilas dimana pesan keberagaman tercantum tegas.

Kompetensi Inti 1 dan 2 berisi perintah menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianut, menghayati dan mengamalkan prilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong-royong, kerja sama, toleran, damai), bertanggung jawab, responsif, dan pro-aktif dalam berinteraksi secara efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan alam semesta baik negara, kawasan regional, dan kawasan Internasional.

Kompetensi ini bukan sekadar diskursus yang tertera di kurikulum tanpa memaknai dan menjalankannya. Kompetensi Inti pembelajaran di sekolah idealnya dijalankan karena berlaku tetap pada setiap mata pelajaran. Persoalan menjadi tidak menentu karena dilatarbelakangi oleh ketidakseriusan dan ketidakpahaman guru bahwa pesan-pesan humanis keberagaman telah jelas dibakukan dalam kurikulum pendidikan serta kudu diamalkan dan bersifat prosedural sebelum masuk pada kompetensi dasar pelajaran. Pelaksanaannya bertahap dari tangga dasar hingga proses akhir pembelajaran yang diukur melalui instrumen penilaian.

Pada instrumen penilaian terdapat tiga ranah penilaian, yakni; kognigtif, afektif, psikomotorik. Akan tetapi seringkali guru lupa bahwa ranah afekti tidak saja berdiri sendiri melainkan juga menjadi tolak ukur keberhasilan siswa belajar di satu mata pelajaran. Ranah afektif ini tergambar serta ukurannya berbentuk angka dan deskriptif . Afektifitas siswa berbanding lurus dengan pesan Kompetensi Inti.

Sayangnya guru-guru di sekolah membuat parameter instrumen penilaian ranah afektif berpijak pada masalah-masalah sepele dimana konsepsi afektifitas siswa berlaku pada beberapa sikap yang berpola rancu, seperti; hormat atau tidak kepada guru, malas atau rajin mengerjakan tugas, terlambat atau tidak sampai sekolah, atau hal-hal yang kurang menggambarkan pesan dari KI (Kompetensi Inti). Kadang kala guru terfokus pada persoalan etika umum masyarakat di lingkungan sekolah tanpa pernah memupuk sikap toleransi. Alhasil penilaian afektif seorang siswa lari dari pesan kurikulum.

Jarang kita menemukan sikap guru yang terbuka. Di kalangan guru sendiri, masih terpampang rasa ekskusivitas di antara rekan. Contoh sederhana, guru muslim tidak akan pernah bersedia makan bersama bila makanan diolah oleh guru non-muslim. Saya pribadi pernah mendapatkan keluhan guru non-muslim yang ingin mengundang rekan-rekan guru untuk merayakan hari jadinya. Bertepatan sekali hari jadi rekan guru saya jatuh pada 1 Masehi. Perbincangan antara saya dengan rekan guru saya yang non-muslim akhirnya mendapatkan solusi dengan cara menyuguhkan makanan yang dipesan dari rumah makan Padang. Ini gambaran aneh juga membingungkan buat saya tetapi melihat kondisi sekarang yang serba penuh kecurigaan, saran saya kepada rekan guru saya tentunya pilihan terbaik.

Sekali lagi, merajut keberagaman di zaman sekarang sesungguhnya butuh kerja keras. Upaya apapun yang kita lakukan selalu mendatangkan sentimen negatif. Rasa bersaudara dalam konsep berbangsa dan bernegara semakin melemahkan integritas bangsa. Persoalan akan makin jelimet ketika sebahagian besar kita merasa lebih baik, lebih bersih, dan lebih suci. Konsep Ketuhanan serta ritualitas agama berbeda selalu jadi modal untuk mengeksklusifkan agama tertentu. Akhirnya Kebhinekaan bangsa Indonesia adalah senjata yang tidak lagi tajam merangkaikan perbedaan.

Saling menutup diri, mencurigai, atau mereka-reka maksud dan tujuan teman yang berbeda, adalah batu sandungan besar dalam pergaulan sosial kita. Keharmonisan yang dulu selalu saya lihat di kehidupan pribadi saya mulai luntur, ditambah lagi semaraknya radikalisme agama yang berpihak pada kelompok mayoritas. Kita semakin kehilangan entitas berbangsa dan bernegara. Keberpihakan pada golongan yang sama disepakati demi mencapai tujuan yang ujungnya memiliki keinginan mengubah Pancasila. Sekali lagi, Kebhinekaan bangsa Indonesa bernilai mahal dikarenakan sikap intoleransi. Benar-benar menjadi Indonesia itu susah sebab guru tak lagi menjadi pelita.***

 

Diah Wahyuningsih Rahayu, Guru Sejarah SMA N. 4 Batam

 

———-

[1] (http://www.politik.lipi.go.id/index.php/kolom/politik-nasional/697-mengukur-derajat-intoleransi-kolektif )

[2] http://litbang.kemendagri.go.id/website/asal-muasal-penelitian-kemendikbud-dan-temuan-sikap-intoleransi-di-sekolah/

[3] Silabus Kurikulum 2013

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.