Kredit ilustrasi: Megapixl
KONON, Ruang Publik adalah ruang deliberasi, yaitu ruang di mana orang mengartikulasikan kepentingan dan aspirasinya dalam suasana demokrasi. Problemnya kemudian adalah bagaimana mengafirmasi, mengemansipasi, menginklusi, dst., dsb., sebanyak mungkin orang—atau setidaknya perwakilannya—ke ruang publik ini. Setidaknya inilah yang dipercaya oleh filsuf Jurgen Habermas dan para pembela demokrasi yang bertradisikan deliberatif ini. Namun demikian, sisi lain dari ruang publik ini penting untuk juga dimaklumi dan dipertimbangkan sebagai pembelajaran politik: yaitu bahwa ruang publik juga adalah ruang deliberasi kebohongan. Saya akan hadirkan tiga kisah dari para hoaxster terkini untuk menunjukkan hal ini.
Para Hoaxsters Terkini
Kasus Ratna Sarumpaet yang mengumbar hoax bahwa dirinya dianiaya adalah salah satunya. Ke beberapa tokoh politik nasional, ia mengaku dianiaya. Sontak hal tersebut membuatnya memanen simpati dan pembelaan. Namun apa daya kebohongannya tidak dapat membendung upaya-upaya verifikasi. Alhasil, ia terdesak untuk mengakui bahwa ia adalah “pencipta hoax terbaik” di negeri ini. Ia pun akhirnya harus menghadapi UU Pidana dan UU ITE dengan tuduhan memicu kegaduhan publik.
Kasus kebohongan publik lainnya, yang juga belakangan muncul, adalah kasus Sokal Hoax jilid dua. Sokal hoax merupakan insiden hoax yang dilakukan fisikawan Alan Sokal pada pertengahan 1990an, saat ia mengirimkan artikel yang sepenuhnya bohong ke Social Text, jurnal top tentang kajian budaya (cultural studies). Alasan Sokal adalah ia ingin membuktikan betapa para ilmuwan humaniora telah serampangan dalam menggunakan istilah-istilah sains tanpa pemahaman dan penggunaan yang bertanggung-jawab. Dengan menerbitkan artikel hoax, Sokal ingin membuktikan keserampangan ini. Dan ia berhasil.
Kali ini, tiga orang ilmuan hoaxster juga melakukan hal seperti yang dilakukan Sokal dan dengan motivasi yang sama. Bedanya, menurut mereka, ilmuwan humaniora masih perlu Sokal hoax lainnya karena ternyata mereka belum “kapok” juga. Alhasil, mereka menulis total 20 artikel dan mengirimkannya ke jurnal-jurnal kajian budaya yang top. Dari 20 itu, tujuh di antaranya sudah diterima dan diterbitkan. Menyambut penerbitan hoax tersebut, mereka membeberkan aksi mereka di salah satu terbitan populer, Areo.
Kasus kebohongan ketiga terjadi di dunia fesyen. Seorang penulis VICE, terbitan populer, bernama Oobah Butler baru-baru ini mencoba menguji kekebalan industri fesyen terhadap hoax. Tidak main-main, ia menarget Paris Fashion Week (PFW), salah satu ajang fesyen ternama dunia di Prancis. Caranya, ia mengambil beberapa helai pakaian dari pasar tradisional yang menjual barang-barang “KW”; untuk aksi kali ini, ia memilih pakaian bermerek Georgio Peviani yang diduga-duganya sebagai palsuan dari merek kenamaan Giorgio Armani. Singkat cerita Butler berhasil mendapatkan nametag peserta bernamakan “Georgio Peviani”: fesyen hoax-nya berhasil diterima di PFW.
Butler dengan piawai bergaul dengan para desainer, model, dan blogger. Ia berhasil merayu model-model untuk mengenakan pakaiannya; ia pun berhasil dibahas di ulasan-ulasan para blogger fesyen populer; ia juga sukses mewarnai Instastory dari banyak pengunjung dan orang dalam PFW. Semuanya dilakukannya dengan “mengendarai” Georgio Peviani. Setelah sukses, ia pun mencari pemilik Georgio Peviani yang sesungguhnya. Ia mewawancarainya, dan akhirnya membeberkan kebohongan publiknya melalui video pendek yang diunggah di VICE.
Publik?
Ketiga cerita ini mungkin segera memantikkan pertanyaan: bagaimana mungkin para tokoh nasional, jurnal-jurnal top kajian budaya, dan Paris Fashion Week tidak menyadari hoax ini? Sayangnya, jika ini pertanyaannnya, maka kita menanyakan hal yang salah! Ketiga hoax ini, dan juga hoax lainnya di kancah publik, seharusnya mampu memantik kita untuk memikirkan ulang sifat dan watak dari ruang publik. Kali ini wataknya sebagai ruang hoax, ruang deliberasi kebohongan publik.
Memang, agak sulit bagi kita yang dibesarkan dalam tradisi yang disebut Marx sebagai Jiwa-Jiwa Cantik (beautiful soul). Jiwa cantik selalu merasa dunia ini kotor, sementara ia bersih. Dari posisi bersih ini ia meratapi, mencela, menyesalkan, dan bahkan—menggelikannya—mendoakan realita yang kotor ini. Bagi seorang jiwa cantik, masalah adalah selalu di sana; tidak pernah ia melihat dirinya di sini sebagai sang masalah. Alhasil, seorang jiwa cantik akan kesulitan untuk membiasakan dengan kenyataan objektif bahwa ternyata ruang publik adalah efek deliberasi “demokratis” akan kebohongan publik.
Setidaknya tiga hal dari cerita hoax di atas yang bisa membantu sang jiwa cantik ini siuman dari delusi ruang publiknya. Pertama, jika memang benar kata Habermas bahwa ruang publik adalah ruang deliberasi yang menjunjung tinggi rasionalitas dan kepentingan bersama, maka ketiga hoaxster di atas sebenarnya memperjelas maksud Habermas ini: yaitu bahwa rasionalitas dan kepentingan bersama ini cukup hanya seolah-olah saja. Selama argumentasi, pembawaan, dan komunikasi para hoaxster seolah-olah rasional dan seolah-olah berorientasi kepentingan publik, maka ia sah menjadi rasional dan berorientasi publik. Jika tidak, bagaimana mungkin tokoh-tokoh nasional yang mulia, jurnal-jurnal ilmiah, dan dewan PFW bisa “masuk angin” karena hoax? Hoax adalah seni tersendiri, karena ia harus mampu membungkus kebohongan secara rapi (baca: rasional dan publik).
Kedua, ruang publik ironisnya tidak memungkinkan kita untuk jujur. Sederhana: bisakah Ratna Sarumpaet mendapatkan simpati publik karena wajahnya yang sebenarnya lebam gara-gara operasi ketimbang dianiaya; atau akankah ketiga ilmuwan mendapati tulisan-tulisan hoax-nya dipublikasikan di jurnal apabila ia menyatakan bahwa artikelnya adalah kengawuran belaka yang disengaja; atau mungkinkah Oobah Butler dapat masuk PFW apabila ia jujur tentang pakaiannya yang didapat di pasar? Kita semua tahu bahwa jawabannya: tentu tidak! Hal serupa bisa kita aplikasikan ke SELURUH insan-insan publik yang menghiasi pelataran publik dengan statemen-statemen publik mereka ke publik. Mungkinkah mereka ter-publik-asi apabila mereka benar-benar menyatakan yang sebenarnya?
Ketiga, dan ini cukup menyinggung kelas pekerja, yaitu bahwa untuk menjadi publik, sesuatu/seseorang harus mengendarai banyak prasyarat yang hanya bisa diakses oleh modal-modal yang tidak kecil. Ratna tidak mungkin mendapat simpati publik apabila ia tidak memiliki modal sosial berupa jejaring tokoh-tokoh tenar; begitu pula para ilmuwan hoaxster harus mengakuisisi modal kultural pengetahuan untuk bisa secara “intelek” menyamarkan kengawuran mereka seturut standar jurnal ilmiah internasional; tak terkecuali Oobah Butler yang ditopang dana dan akses pergaulan untuk bisa menyusup dan menyelundupkan barang KW ke ajang fesyen bergengsi. Tanpa fasilitasi-fasilitasi modal, agak mustahil kita bisa menjadi “publik.” Sial nian, memperjuangkan kepentingan di ruang publik ternyata adalah berkat posisi kelas kita di masyarakat.
Tapi, rakyat pekerja sedunia tidak sebaiknya melihat perjuangan “publik” sebagai jalan buntu karena fakta dan terkaan saya ini. Pasalnya, hal ini mesti dipertimbangkan sebagai pertanda bagi kita semua untuk mulai bertobat dan menginsafi virus jiwa-jiwa cantik yang endemik di masyarakat. Sembari berlatih untuk bertobat dan insaf, kita bisa mulai menggunakan perangkat berpikir kita untuk melampaui ke-publik-an ruang publik ini.
Setelah Jiwa Cantik
Setidaknya dua hal yang bisa kita pikirkan dan diskusikan dalam rangka terus memajukan perjuangan kelas kita rakyat pekerja. Pertama, kita perlu merumuskan ‘kegunaan-kegunaan revolusioner dari hoax’; karena hanya dengan hoax saja kita bisa mengakses ruang publik dan memetik keuntungan dan fasilitas yang dimungkinkannya. Hal ini sekaligus memberikan definisi baru mengenai ruang publik yaitu bahwa memang, pada dasarnya, ruang publik adalah ruang deliberasi kebohongan. Tidak pernah ia merupakan ruang deliberasi rasional; kebenaran yang dijunjungnya adalah konsensus kebohongan publik. Oleh karena itu, jika memang kita teryakinkan bahwa ruang publik perlu untuk diperjuangkan, maka salah satu langkah awal yang perlu dipertimbangkan adalah penggunaan hoax. Tentu saja, penggunaan hoax ini bersifat revolusioner, dalam artian ia harus bisa dipertanggung-jawabkan kepada rekan seperjuangan bahwa ia merupakan batu lompatan strategis (dan bukan oportunis) menuju ide-ide revolusi.
Kedua, bagi yang ingin menjauhi ruang publik, hal yang perlu ditekankan adalah bahwa hal tersebut bukanlah karena efek dari kumatnya virus jiwa-jiwa cantik. Seringkali kita menjauh dan cuci tangan dari “politik” karena ia kotor (dan kita bersih). Tentu saja hal ini bukan hanya menggelikan, melainkan ia sama sekali gagal memberikan pendasaran rasional akan tindakannya. Karena itu, diperlukan suatu strategi kontra-, atau bahkan ekstra-publik yang sudah pasti akan berhadapan dengan kenyataan-kenyataan dan kebenaran-kebenaran objektif yang tidak akan pernah kompatibel dengan logika deliberasi kebohongan dari ruang publik. Adalah ‘penggunaan ekstrapublik akan kebenaran’ yang perlu kita pertimbangkan: bagaimana kebenaran dan kenyataan objektif (saintifik, logis) bisa digunakan untuk mengorganisir rakyat pekerja yang tercerai-berai dan mulai memikirkan strategi untuk memperjuangkan kepentingan kelas pekerja.
Dua hal ini, tentu saja, hanya bisa singgah di benak kita apabila kita sudah menengking jauh-jauh efek jelek dari jiwa-jiwa cantik, tidak hanya bagi kesehatan jiwa kita, melainkan juga bagi spirit perjuangan kelas pekerja.***
Hizkia Yosias Polimpung adalah Peneliti di Koperasi Riset Purusha dan Editor IndoPROGRESS