Pembangunan Kesehatan “Kosmetik” ala Bank Dunia (WB) dan International Monetary Fund (IMF)

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: Alamy

 

LEMBAGA keuangan internasional seperti World bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF), telah lama dianggap sebagai agen reformasi ekonomi paling kuat di dunia (Stubbs dan Kentikelenis, 2017; Babb dan Kentikelenis, 2017). Dalam empat dekade terakhir, lembaga ini, dipercaya telah berperan penting dalam menetapkan parameter fiskal kebijakan publik, termasuk kebijakan kesehatan di negara-negara berkembang tempat mereka beroperasi, melalui apa yang disebut dengan program ‘penyesuaian struktural’ (Thomson, Kentikelenis, dan Stubbs, 2017).

Di Indonesia sendiri, WB terus berupaya menjadi mitra bagi pemerintah Indonesia dalam upaya mendukung terciptanya Universal Health Coverage (UHC) yang bertujuan untuk memastikan bahwa semua orang dapat menerima pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa harus mengalami financial hardship. Komitmen ini, dibuktikan dengan pinjaman sebesar 150 juta dollar oleh bank dunia, yang dikucurkan baru-baru ini (World Bank, 2018).

 

Balutan kosmetik

Pinjaman dan kepedulian dari lembaga keuangan internasional ini, tampaknya sepintas telah menjadikan mereka sebagai juru selamat masalah kesehatan negara penerima. Namun semuanya, meminjam istilah dalam laporan the Guardian (2016) tak lebih sebagai balutan “kosmetik” pembangunan yang menggelikan. Sebagai konsekuensi dari pemberian bantuan keuangan itu, negara-negara peminjam harus menyelesaikan daftar reformasi kebijakan yang seringkali menyakitkan dan bertujuan untuk menyeimbangkan anggaran, agar proses pengembalian modal serta bunga pinjaman dapat berjalan dengan baik.

Pemerintah negara peminjam, seringkali tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat atas penyusunan dokumen kunci strategis peminjaman. Begitu pula dengan pengaruh masyarakat sipil pada substansi dokumen-dokumen kebijakan masih sangat terbatas. Padahal implementasi kebijakan strategis WB, melalui riset dan analisa, investasi proyek, serta pinjaman untuk perubahan kebijakan, sangat memengaruhi kebijakan pemerintah dan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat (Bank Information Center, 2013)

Praktik intervensi ini telah membuat lembaga keuangan internasional memiliki otoritas yang kuat terhadap pemerintah di seluruh dunia dalam beragam bidang kebijakan yang secara langsung terkait dengan hak publik. Laporan United Nations Children’s Fun (UNICEF) berjudul Adjustment with a human face (Cornia, Jolly, dan Stewart, 1987) menjelaskan bahwa reformasi kebijakan yang dipromosikan oleh organisasi lembaga keuangan internasional, alih-alih menghadirkan perbaikan justru sangat merugikan kelompok negara penerima bantuan,

 

Privatisasi
Salah satu reformasi kebijakan berbahaya yang sering dituntut oleh lembaga keuangan internasional adalah mempromosikan privatisasi sektor kesehatan yang sangat menyulitkan masyarakat miskin negara penerima. Privatisasi dalam implementasinya seringkali dikuatkan dengan undang-undang dan sistim manajerial yang diperlukan untuk memastikan bahwa penerapan setiap kebijakan di sektor kesehatan telah berjalan dengan baik. Menurut Carroll (2010) dalam soal privatisasim, lembaga keuangan internasional tidak hanya berperan sebagai penasehat kebijakan dan penyedia wacana, namun juga berperan aktif dalam memfasilitasi dan menjaga keberlangsungan proses privatisasi tersebut. Satu hal yang lumrah dalam diskursus Kemitraan Publik-Swasta (Public Private Partnership).

Lembaga keuangan internasional menggunakan pengaruh kebijakannya yang amat otoritatif di seluruh dunia untuk mempromosikan upaya privatisasi di bidang kesehatan, meskipun kurangnya bukti bahwa privatisasi mampu menghadirkan jalan keluar perbaikan masalah kesehatan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Oxfam (2009) menemukan bahwa ada banyak masalah kesehatan yang timbul dari proses privatisasi di bidang kesehatan ini. di Malawi, misalnya, 40% toko swasta yang menyediakan obat-obatan, umumnya menyediakan obat dengan kualitas yang tidak diketahui; di Chili partisipasi sektor swasta yang luas telah mendorong tingkat kelahiran tertinggi di dunia dengan metode seksio sesarea yang lebih mahal dan seringkali tidak diperlukan; sementara di Cina, cakupan imunisasi menurun hingga setengah bagian dalam lima tahun setelah adanya komersialisasi perawatan kesehatan oleh pihak swasta.

Studi yang dilakukan Waitzkin, Jasso-Aguilar, dan Iriart (2007) pada beberapa negara seperti Amerika Serikat, Argentina, Chili, dan Meksiko menemukan bahwa privatisasi yang melibatkan sektor swasta justru telah membuat beban pembiayaan kesehatan yang ditanggung individu yang sakit semakin besar.

Di Indonesia, program privatisasi bidang kesehatan secara nasional telah diambilalih oleh pemerintah daerah karena memperoleh lebih banyak kewenangan di bawah program desentralisasi dan otonomi daerah. Rencana ini, meski telah memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan basis keuangan mereka, tetapi dalam implementasinya justru membuat biaya perawatan kesehatan menjadi lebih besar (Bahagijo, 2007). Proses privatisasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berjalan sangat agresif, seiring dengan pesatnya pertumbuhan rumah sakit swasta dalam enam tahum terakhir dibandingkan rumah sakit umum. Rata-rata pertumbuhan rumah sakit umum sebesar 0.4%, sedangkan rumah sakit swasta sebesar 15.3% (Persi, 2018)

 

Penghematan anggaran

Selain melalui upaya privatisasi, proyek lembaga keuangan internasional telah melakukan kontrol ketat atas penghematan anggaran. Di Yunani, misalnya, pasca mendapat pinjaman 110 milyar Euro dari IMF, mereka diharuskan melakukan pemotongan pengeluaran publik dan reformasi struktural (reformasi pasar kerja, liberalisasi perdagangan, dan reformasi hukum). Pemotongan anggaran menyebabkan penurunan skala program penyemprotan nyamuk, yang mengakibatkan munculnya kembali malaria yang ditularkan secara lokal untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pemangkasan anggaran rumah sakit sebesar 26% telah menyebabkan peningkatan beban kerja tenaga kesehatan, meningkatkan daftar tunggu pasien, dan kekurangan obat-obatan serta peralatan medis. Yang paling terasa adalah, berkurangnya program pencegahan pengobatan untuk penggunaan narkoba sehingga memicu terjadinya peningkatan infeksi HIV oleh pengguna narkoba suntikan (Kentikelenis et al., 2011; Kentikelenis et al., 2014; Kentikelenis, 2017)

Dalam pergolakan tingkat pengangguran yang belum pernah terjadi sebelumnya, layanan kesejahteraan juga dipotong di Yunani, sehingga meninggalkan kelompok rentan tanpa akses ke pendapatan dan dihadapkan dengan sistem kesehatan yang terbebani dan semakin mahal (Karanikolos dan Kentikelenis, 2016).

 

Layanan kesehatan universal

Cakupan layanan kesehatan universal sejak awal didasari dengan penciptaan skema asuransi kesehatan yang memungkinkan orang dapat dengan mudah mengakses fasilitas perawatan kesehatan yang dijalankan oleh sektor publik, swasta dan lembaga nirlaba.

Laporan yang dibuat Lethbridge (2017) menjelaskan bahwa seringkali skema yang didukung WB justru hanya tersedia bagi orang yang bekerja di sektor formal dengan penghasilan tetap, meskipun mayoritas orang di negara berpenghasilan rendah penerima pinjaman bekerja di sektor informal dengan pendapatan kecil dan tidak menentu sehingga tidak mampu membayar skema asuransi kesehatan dalam skala kecil sekalipun. Situasi ini menjadi begitu paradoks, karena sejak awal kebijakan penyediaan layanan kesehatan universal telah menyatakan bahwa pemerintah wajib menjamin penyediaan layanan kesehatan untuk semua orang, terlepas dari pendapatan, status, dll.

Penelitian yang dilakukan oleh Oxfam (2014) pada skema kesehatan yang dibiayai oleh WB di perusahaan Nigeria untuk mensubsidi asuransi kesehatan pekerja, ditemukan bahwa biaya untuk konsumen perorangan pada awalnya dihitung $10 dolar per tahun, tetapi pada akhir tahun kelima pembiayaan ini telah meningkat menjadi $55 dolar karena subsidi WB berkurang dan skema ini dinyatakan gagal. Selain itu, skema ini tidak mencakup pengobatan kanker, perawatan intensif, keluarga berencana dan operasi besar apa pun, padahal masalah di atas adalah jenis perawatan kesehatan yang dapat memiliki efek malapetaka keuangan pada rumah tangga jika pembayaran out of pocket diperlukan. Desain skema ini dinilai cacat.

Di Indonesia, sejak tahun 2014 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bidang kesehatan terus meningkat. Pada tahun 2018 sendiri, anggaran untuk sektor kesehatan mencapai Rp. 111 triliun atau sekitar lima persen dari total belanja pemerintah senilai Rp. 2.220,7 triliun (Kemenkeu, 2018). Peningkatan anggaran belanja ini dengan tujuan untuk meningkatkan proses UHC melalui pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pada tahun 2017, total penggunaan dana Kemenkes, hampir separuhnya (43,80%) atau sekitar Rp. 25,5 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program JKN (Kemenkes, 2018).

Namun, besarnya pembiayaan yang terus meningkat setiap tahun ini ini, nyatanya tidak secara efektif berdampak langsung dalam memenuhi target UHC, karena sejauh ini masih ada disparitas layanan kesehatannya. Ketika orang kaya yang tinggal di daerah perkotaan memiliki akses ke layanan kesehatan berkualitas tinggi, sebagian besar orang yang tinggal di daerah pedesaan justru memiliki akses yang sangat terbatas terhadap layanan kesehatan yang berkualitas baik (Kemenkes, 2017)

Selain itu, IMF dan WB yang terus mendorong upaya desentralisasi layanan kesehatan untuk meningkatkan responsivitas terhadap kebutuhan lokal, yang dalam praktiknya di beberapa negara justru dapat menghambat proses perawatan kesehatan yang memadai karena kendala infrastruktur di daerah (Stubbs dan Kentikelenis, 2017). Di Indonesia, upaya desentralisasi yang didengungkan WB tengah menjadi anomali bagi implementasi UHC, dimana dalam laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) baru-baru ini, diperkirakan dana BPJS, sebagai bagian dari JKN, sekitar Rp. 1triliun, diduga menguap setiap tahun akibat dipotong atau dipungut secara ilegal oleh kepala daerah (BBC, 2018)

 

Kesimpulan

Pembangunan kesehatan ala lembaga keuangan internasional, semacam IMF dan WB dengan panji dan pretensi seperti UHC, meski bermaksud baik dan terlihat hebat, namun pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik tetapi justru menghadirkan “penyakit” dan krisis baru yang bebannya selalu ditimpakan di atas pundak rakyat. Diperlukan ketegasan dan kejelian untuk membaca dan merestrukturisasi ulang segala macam program kesehatan yang akan dan tengah dibiayai oleh lembaga keuangan internasional semacam IMF dan WB.***

 

Petrus Kanisius Siga Tage, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Citra Husada Mandiri Kupang

 

Kepustakaan:

Babb, S. L., & Kentikelenis, A. E. (2017). International financial institutions as agents of neoliberalism. The SAGE handbook of neoliberalism.

Bahagijo, S. (2007). IMF aid helping the poor?. Diunduh dari: http://www.insideindonesia.org/imf-aid-helping-the-poor

Bank Information Center. (2013). Chapter 2: Kelompok Bank Dunia di Negara Anda.

BBC. (2018). ICW: “Sekitar Rp1 triliun dana BPJS menguap karena dipotong kepala daerah”. Diunduh dari : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43048536

Carroll, T. (2010). Delusions of development: The World Bank and the post-Washington consensus in Southeast Asia. Springer.

Cornia, G. A., Jolly, R., & Stewart, F. (1987). Adjustment with a human face Vol. I: protecting the vulnerable and promoting growth.

Karanikolos, M., & Kentikelenis, A. (2016). Health inequalities after austerity in Greece. International journal for equity in health, 15(1), 83.

Kemenkes. (2018). Inilah Capaian Kinerja Kemenkes 2017. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/article/view/18011000004/performance-of-ministry-of-health-in-2017.html

Kentikelenis, A. E. (2017). The social aftermath of economic disaster: Karl Polanyi, countermovements in action, and the Greek crisis. Socio-Economic Review, 16(1), 39-59.

Kentikelenis, A., Karanikolos, M., Papanicolas, I., Basu, S., McKee, M., & Stuckler, D. (2011). Health effects of financial crisis: omens of a Greek tragedy. The Lancet, 378(9801), 1457-1458.

Kentikelenis, A., Karanikolos, M., Reeves, A., McKee, M., & Stuckler, D. (2014). Greece’s health crisis: from austerity to denialism. The Lancet, 383(9918), 748-753.

Lethbridge, J. (2017). World Bank undermines right to universal healthcare
https://www.brettonwoodsproject.org/…/world-bank-undermine…/

Oxfam. (2009). Rich countries and World Bank must stop pushing privatized health in poor countries. Diunduh dari: https://www.oxfam.org/en/pressroom/pressreleases/2009-02-12/rich-countries-and-world-bank-must-stop-pushing-privatized-health

Oxfam. (2014). Investing for the Few: The IFC’s Health in Africa initiative. Diunduh dari https://policy-practice.oxfam.org.uk/publications/investing-for-the-few-the-ifcs-health-in-africa-initiative-325654

Persi. (2018). Jumlah RS di Indonesia Pertumbuhan RS Publik.

Stubbs, T., & Kentikelenis, A. (2017). International financial institutions and human rights: implications for public health. Public health reviews, 38(1).

Stubbs, T., & Kentikelenis, A. E. (2017). How years of IMF prescriptions have hurt West African health systems. Diunduh dari: https://theconversation.com/how-years-of-imf-prescriptions-have-hurt-west-african-health-systems-72806

The Guardian. (2016). The IMF has not lived up to its own hype on social protection. Diunduh dari https://www.theguardian.com/global-development/2016/may/25/the-imf-international-monetary-fund-has-not-lived-up-to-hype-on-social-protection

Thomson, M., Kentikelenis, A., & Stubbs, T. (2017). Structural adjustment programmes adversely affect vulnerable populations: a systematic-narrative review of their effect on child and maternal health. Public health reviews, 38(1), 13.

Waitzkin, H., Jasso-Aguilar, R., & Iriart, C. (2007). Privatization of health services in less developed countries: an empirical response to the proposals of the World Bank and Wharton School. International Journal of Health Services, 37(2), 205-227

World Bank. (2018). Working Together for Better Health Care for All Indonesians. Diunduh dari https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/06/13/working-together-for-better-health-care-for-all-indonesians.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.