Kaum Sosialis Harus Berjuang Untuk Perubahan Ekonomi – Bukan Hanya Versi Lain dari Kapitalisme

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: portside.org

 

Kawan-kawan,

HARI-hari ini, “sosialisme” telah menjadi kata kunci politik baru. Senator Bernie Sanders, misalnya, telah mengejutkan banyak orang selama masa kampanye dalam perebutan jabatan presiden Amerika Serikat pada 2016, dengan memenangkan jutaan suara untuk kandidat yang secara eksplisit mendaku “sosialis”.

Pada 2018, kita menyaksikan banyak kandidat yang bertarung dengan tiket sosialis di tangannya. Salah satu yang paling menarik perhatian publik adalah Alexandria Ocasio-Cortez, yang mengusung kebijakan progresif seperti jaminan pekerjaan dan perawatan kesehatan pembayaran tunggal dan universal – menyusul kemenangannya yang tak terduga melawan veteran anggota Kongres dari Partai Demokrat Joe Crowley, di pemilihan perdana Partai Demokrat di New York.

Sebaliknya, kapitalisme, yang pernah dibela sebagai ideologi yang tak terbantahkan kebenarannya, tengah menunjukkan patahan yang dalam. Sementara ekonomi AS mengalami perkembangan pesat (booms), “para pekerja kehidupannya semakin memburuk ,” kata editorial New York Times pada Agustus lalu.

Masalah-masalah yang secara luas dirasakan akibat kapitalisme – meningkatnya ketimpangan, upah yang stagnan dan ketidakstabilan yang parah – telah menyebabkan pergeseran besar-besaran dalam politik dan budaya global. Hal ini manifestasinya tampak dalam keputusan Inggris untuk meninggalkan Eropa, terpilihnya Donald Trump, pemerintahan anti kemapanan baru Italia, dan kebangkitan populisme sayap kanan di seluruh Eropa.

Tetapi kita juga melihat, dalam pergeseran ini, meningkatnya minat untuk mencari alternatif di luar kapitalisme. Jajak pendapat Gallup bulan Agustus lalu yang melihat sikap AS terhadap sosialisme dan kapitalisme menunjukkan, untuk pertama kalinya sejak organisasi ini mulai melacak isu ini pada 2010, bahwa Demokrat memiliki citra yang lebih positif tentang sosialisme ketimbang kapitalisme. Perasaan positif mereka terhadap kapitalisme telah merosot.

Namun, ada masalah dengan meningkatnya minat terhadap sosialisme ini. Orang-orang belum bersepakat mengenai arti sebenarnya dari istilah tersebut.

Sosialisme adalah sebuah teori ekonomi yang sudah ada sejak awal abad ke-19. Teori ini semakin mendapatkan perhatian pada akhir abad itu dengan diterbitkannya buku Das Kapital, sebuah buku yang mengritik kapitalisme dan ditulis oleh pakarnya yang paling terkemuka, Karl Marx.

Ketika ide-ide tentang sosialisme kian menguat dan menyebar, teori ekonomi juga turut bermetamorfosis, mengikuti dan beradaptasi dengan berbagai sistem budaya, ekonomi, dan politik. Penafsiran orang tentang makna sejati sosialisme juga mulai menyimpang, termasuk teori tentang bagaimana cara terbaik untuk melakukan transisi dari kapitalisme ke sosialisme.

Paling tidak terdapat dua penafsiran utama – dimana keduanya saling bertentangan– dimana yang satu mendaku lebih unggul atas yang lain. Kedua penafsiran tersebut menggunakan kata yang sama, “sosialisme,” tetapi dengan pengertian yang sangat berbeda.

 

Memikirkan Kembali Keseluruhan Sistem

Di satu kamp adalah mereka yang percaya sosialisme akan melibatkan perubahan mendasar dalam struktur ekonomi kita, yang akan sepenuhnya menghapuskan sistem sekarang ini, yang membangi masyarakat ke dalam kategori buruh dan majikan.

Mereka yang mendukung interpretasi ini menunjukkan penjelasan Marx tentang kapitalisme. Dia menulis bahwa di bawah kapitalisme, buruh – yang merupakan mayoritas terbesar – menghasilkan surplus. Ini mengacu pada nilai sisa setelah memproduksi barang-barang atau jasa-jasa setelah biaya produksi dan jumlah yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsung produsen diperhitungkan. Dengan kata lain, profit.

Di bawah kapitalisme, surplus ini dengan segera dirompak oleh majikan, yang menggunakannya untuk memperkuat sistem di mana mereka mendominasi secara ekonomi, politik dan budaya.

Bagi mereka yang percaya sosialisme berarti perubahan struktural, hubungan ini akan digantikan oleh sebuah komunitas demokratis dari orang-orang yang akan memproduksi barang-barang atau jasa-jasa. Komunitas yang sama ini kemudian akan secara kolektif memiliki kelebihan yang dihasilkannya dan secara demokratis memutuskan bagaimana memanfaatkannya. Dengan kata lain, skenario ini mensyaratkan penghancuran hubungan buruh/karyawan.

 

Kuasai Negara

Merekan yang berada di sisi lain berpikir sangat berbeda. Ketika sosialisme menyebar dengan cepat selama paruh kedua abad ke-19, di seluruh Eropa dan sekitarnya, banyak dari pendukungnya tidak sabar untuk melakukan transisi dari kapitalisme ke sosialisme. Mereka menginginkan sebuah strategi, dan beberapa sosialis, termasuk Marx, menyediakan satu: Mengambilalih kontrol atas negara.

Begitu kekuasaan negara telah direbut oleh koalisi para pengritik kapitalisme dan korban-korbannya, teori dipandang selesai, negara akan mengarah pada sosialisme. Masalah dengan fokus pada negara adalah bahwa hal itu telah menyebabkan kebingungan besar tentang bagaimana negara dan sistem ekonomi berhubungan.

Dalam sosialisme yang berfokus-negara (state-focused socialism) ini terdapat dua aliran pemikiran. Beberapa percaya bahwa begitu negara dikuasai, semua bisnis swasta – yang sebelumnya dimiliki dan dikendalikan oleh individu-individu swasta – harus diserahkan ke tangan negara. Pejaba-pejabat negara akan merekrut pekerja, mengawasi pekerjaan mereka dan menjual produk-produk dan layanan mereka. Nasionalisasi industri di Soviet Rusia adalah contoh dari pemikiran ini.

Namun, yang lain percaya bahwa mengingat kondisi-kondisi historis yang, maka yang paling bisa dilakukan oleh negara yang sudah dikuasai itu adalah mengatur dan mengendalikan kapitalisme swasta, dimana sebagian besar kepemilikannya tetap berada di tangan swasta. Tujuannya paling tidak untuk melindungi, dan paling baik untuk memajukan kepentingan para pekerja dalam negosiasi dan perjuangan tanpa akhir mereka dengan para majikan kapitalis.

Kenyataannya, para pemikir ini sering bersikeras, menempatkan batasan tentang apa yang bisa dilakukan. Kaum sosialis ini menyebut posisi mereka sebagai “demokrasi sosial,” atau “sosialisme demokratis,” untuk menunjukkan suatu kapitalisme swasta yang progresif dan diatur oleh negara.

Contoh paling nyata dari pemikiran ini tampak dalam demokrasi sosial negara-negara Skandinavia, yang mempraktikkan bentuk kapitalisme yang lebih lembut dan lebih ramah. Juga dikenal sebagai model Nordik, yang didasarkan pada asuransi kesehatan nasional, pendidikan dan transportasi bersubsidi, dan kebijakan-kebijakan lain yang ditujukan untuk kesetaraan sosial.

 

Kita Perlu Berpikir Besar

Interpretasi sosialisme ini – demokrasi sosial Nordik – telah mendominasi perdebatan publik tentang sosialisme. Tapi tafsir ini kehilangan gambaran yang lebih besar. Ini adalah tafsir terbatas tentang sosialisme, yang lebih tepat dicirikan sebagai kapitalisme negara, yang gagal membalikkan hubungan menindas buruh/majikan

Semua modifikasi yang dibuat untuk kapitalisme oleh demokrasi sosial sulit untuk dicapai dan secara inheren tetap tidak aman. Pertama di Amerika Serikat dan kemudian, dengan berbagai derajat, di banyak negara Eropa Barat, demokrasi sosial yang secara kuat ditegakkan selama periode 1930-an dan 1940-an telah melemah dan melenyap. Perubahan-perubahan terhadap kapitalisme seperti itu jauh dari perubahan mendasar yang diperlukan untuk sosialisme yang sejati.

Ketika orang-orang berdebat antara kapitalisme konvensional dan kapitalisme lembut dari demokrasi sosial, maka banyak negara telah berayun dari satu sisi ke sisi yang lain. Dunia modern telah berulang kali mengamati fase-fase kapitalis swasta yang menyebabkan akumulasi ketidakpuasan warga, konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan yang akhirnya meledak.

Ketika ketegangan internal dan masalah-masalah struktural kapitalisme swasta dirasakan, misalnya setelah Depresi Besar tahun 1930-an, maka era kapitalisme yang lebih berbasis negara menyelinap masuk, yang tampak dalam wujud New Deal. Begitu sebaliknya. Transisi antara dua bentuk atau perspektif pemikiran dari ideologi ekonomi yang sama terbukti lebih mudah untuk dibayangkan dan dikejar ketimbang transisi ke sistem yang sama sekali berbeda.

Tetapi pengulangan ini menunjukkan bahwa tidak satu pun dari transisi itu telah memecahkan masalah mendasar kapitalisme.

Kritik terhadap kapitalisme membutuhkan pertanyaan mendasar kepada diri mereka sendiri. Bukankah sudah waktunya untuk mengatakan Stop, cukup, tidak ada lagi variasi lain antara ide-ide yang berbeda tentang kapitalisme? Kita perlu membawa kembali dari pinggiran sosialisme perspektif yang memprioritaskan transisi melampaui struktur produksi buruh/karyawan.

Pilihan saya jatuh pada demokratisasi bisnis – yakni transisi dari organisasi top-down, organisasi hierarkis ke organisasi koperasi pekerja yang demokratis. Ini sudah dicapai di wilayah Emilia Romagna di timur laut Italia, misalnya, di mana koperasi pekerja membentuk lebih dari 40 persen ekonomi. Kota Mondragon di utara Spanyol adalah rumah dari Mondragon Cooperative Corporation, koperasi pekerja terbesar di dunia, yang telah berhasil dan tumbuh selama setengah abad. Dan di California Bay Area, toko roti Arizmendi menawarkan kisah sukses koperasi pekerja jangka panjang lainnya.

Transisi ke bentuk-bentuk koperasi pekerja yang demokratis seperti ini akan menjadi pusat dari cara kita melampaui kapitalisme menuju sistem lain yang lebih baik.***

 

Richard D. Wolff adalah pensiunan professor ilmu ekonomi di Universitas Massachusetts, Amherst, dimana ia mengajar ilmu ekonomi dari tahun 1973 hingga 2008. Saat ini adalah profesor tamu di program pasca sarjana hubungan internasional di Universitas New School, New York City. Richard juga secara regular mengajar kelas-kelas di Brecht Forum di Manhattan. Bukunya antara lain: Capitalism’s Crisis Deepens: Essays on the Global Economic Meltdown( 2016); Democracy at Work: A Cure for Capitalism (2012); Occupy the Economy: Challenging Capitalism (2012); Contending Economic Theories: Neoclassical, Keynesian, and Marxian (2012); dan Capitalism Hits the Fan: The Global Economic Meltdown and What to Do About It (2009). Arsip penuh dari karya Richard, termasuk video-video dan podcast-podcast bisa diperoleh di websitenya . Follow Richard di Twitternya: @profwolff

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.