[Sekali lagi] Trinitas: Memaknai Di Hadapan Sosial Politik

Print Friendly, PDF & Email

TRINITAS atau ketritunggalan Allah menjadi ajaran penting kekristenan. Kendati istilah “trinitas” tidak tertera di Alkitab, ia telah dipakai dalam sejarah perkembangan gereja. Bahkan dalam kalender gerejawi, trinitas dimaknai lebih panjang dibanding ajaran lain. Peribadahan minggu-minggu belakangan ini hingga menjelang minggu advent di Desember, umat disuguh untuk memaknai ketritunggalan Allah.

Berangkat dari frasa terakhir di atas, tulisan ini mencoba memaknai trinitas dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita sudah mafhum bahwa kekristenan tidak melulu soal spritualitas, namun juga mengandung kualitas sosial politik tertentu.[1] Maka itu, saya mencoba memaknai trinitas di hadapan sosial politik hari-hari ini. Namun yang perlu digarisbawahi adalah pemaknaan ini hanyalah sebuah tawaran, bukan untuk membuat Anda sebagai tawanan tafsir.

 

Cuplikan Tulisan Sebelumnya

Sesungguhnya, IndoPROGRESS sudah mengangkat soal Trinitas. Oktober 2017, Alan Darmasaputra menulis “Trinitas: Yang Transenden Dipahami Melalui yang Material”.[2] Dalam tulisannya itu, Alan pertama-tama menyoal kekristenan yang dipahami spiritualitasnya belaka. Kekristenan direduksi sekadar penuntun pribadi agar “yang di atas terhubung dengan yang di bawah” dan melupakan kaki berpijak. Ia gugup ketika harus bersinggungan dengan kenyataan material. Alan kemudian menggugat penyingkiran yang material dari kekristenan. Gugatan ini disampaikan dengan cara menghadirkan kembali dimensi materialnya. Dalam hal ini, Alan mendiskusikan ajaran penting kekristenan, yakni trinitas.

Secara keselurahan, tulisan Alan, menurut pembacaan saya, mampu menghadirkan pemaknaan trinitas secara material. Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus sebagai tiga pribadi yang menjalin relasi, namun berasal dari esensi yang sama. Dasar pijakan ini, Allah senantiasa terhubung dengan dimensi sosial. Implikasinya adalah, tulis Alan, “Allah bukanlah pribadi yang netral dan bebas kepentingan.” Allah senantiasa berpihak kepada kaum tertentu. Oleh karenanya, orang Kristen haruslah berpihak kepada yang dipihaki oleh Kerajaan Allah, yaitu kaum miskin, tertindas, dan tak bisa bersuara.

 

Trinitas Dalam Sejarah

Secara sederhana, kita memahami trinitas sebagai Allah tritunggal. Tiga pribadi Allah, yakni Bapa, Anak, dan Roh Kudus yang berkelindan dalam kesatuan ilahi. Allah Anak ada dalam Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Allah Bapa hadir dalam Roh Kudus dan Anak. Pada pribadi Roh Kudus ada Allah Bapa dan Allah Anak. Ketiganya sehakikat (homoousios). Dengan kata lain, Allah Bapa tidaklah lebih superior ketimbang Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Roh Kudus tidak lebih inferior dibanding Anak dan Bapa.

Ajaran trinitas lahir dari pergumulan iman kristen atas kitab sucinya. Usaha ini mempertanyakan status Yesus yang hadir dalam sejarah. Orang kristen pada abad-abad pertama meyakini Yesus berbeda dari nabi-nabi yang ada. Yesus memiliki otoritas lebih dibanding para nabi. Tatkala menyampaikan sesuatu kepada umat, para nabi memulainya dengan “beginilah Firman Tuhan”. Para nabi hanya menyampaikan kebenaran Tuhan. Sekali-kali kebenaran itu tidak muncul dari pribadi sang nabi. Sementara kebenaran bisa hadir dari Yesus. Soal dendam, sebagai contoh. “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Matius 5: 38-39). Dengan ini, jelas bahwa Yesus punya otoritas.

Namun, otoritas lebih yang dimiliki Yesus itulah titik dilema kekristenan mula-mula. Kekristenan yang lahir dari tradisi Yahudi meyakini bahwa Allah itu esa. Orang kristen segera di ambang pertanyaan besar: Jikalau Yesus dan Bapa itu Allah, bukankah itu artinya orang kristen menyembah Allah yang lebih dari satu? Keadaan ini kian kusut sebab saat itu berkembang ajaran yang berasal dari persoalan serupa.[3]

Orang-orang kristen menjawab persoalan ini dengan menyakini bahwa Bapa dan Yesus itu berasal dari esensi yang sama. Demikian pula dengan Roh Kudus. Tokoh kristen yang besar pengaruhnya bagi perumusan ajaran trinitas adalah Tertullianus (120-225). Dari Tertullianus istilah substansi dikenakan kepada trinitas. Tokoh lain yang juga penting adalah Agustinus. Ia merumuskan trinitas dengan penekanan hubungan di antara ketiga pribadi Allah di dalam zat ilahi. Ketiganya dibalut kasih. Menurut Agustinus, roh bukan hanya suatu fungsi, melainkan suatu tindakan kasih. Sementara itu, Thomas Aquinas mengatakan bahwa substansi yang sama (homoousios) ketiga pribadi Allah ini adalah semacam “cara berada” yang berdiri sendiri (Hadiwijono, 2006: 104-10). Ajaran trinitas ini ditegaskan saat Konsili di Nikea tahun 325. Saat itu, gereja menentukan sahadatnya untuk mempertahankan ketritunggalan di dalam keesaan dan keesaan di dalam ketritunggalan.

 

Trinitas Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Sedikitnya kita dapat mengambil pengertian bahwa trinitas memungkinan tiga pribadi berhubungan dan derajat yang sama. Alih-alih kesendirian, trinitas menekankan relasi ketiga pribadi Allah yang berkelindan. Hubungan intim di antara tiga pribadi Allah, menjadi “satu” dalam ekspresi ketritunggalan (Boff, 2010: xvi). Meletakkan inferior atau superior salah satu dari ketiga pribadi Allah berdampak pada rusaknya harmoni trinitas. Tentu itu bukan lagi trinitas.

Kualitas trinitas memberi sinyal bagi orang kristen untuk hidup dalam relasi cinta kasih yang setara. Lebih lagi bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1: 26), yaitu memiliki bagian jasmaniah dan rohaniah Allah (Thiessen, 2003: 137). Memercayai trinitas mengantarkan orang kristen untuk menentang segala bentuk eksklusi. Ketika hari-hari ini banyak orang yang tersingkir karena berbeda identitas dari kebanyakan orang, maka trinitas menyuarakan untuk menentang penyingkiran itu. Trinitas dirajut dari perbedaan. Allah trinitas, tulis Migliore (2004: 73), bukanlah hendak berkuasa tertinggi atas yang lain, tetapi ingin persekutuan tinggi di mana kekuasaan dan kehidupan dibagi.

Percaya kepada trinitas juga berarti tidak tunduk kepada sistem yang menindas. Penindasan bukanlah tabiat relasi trinitas. Katakanlah penindasan dan pengisapan oleh model produksi kapitalisme. Dari Karl Marx kita belajar bahwa kapitalisme bernapaskan pengisapan dan akumulasi modal. Buruh yang bekerja menghasilkan komoditi digaji murah. Nilai lebih dari proses produksi –yang sering jauh lebih besar dari gaji buruh- diambil oleh pemilik modal atau sang kapitalis. Selain itu, kapitalisme niscaya tumbuh dengan akumulasi modal. Menanamkan modal kembali berarti menghitung nilai lebih yang diserap lebih banyak. Sama artinya melakukan pengisapan yang lebih. Kerangka dasar yang diberikan Karl Marx, ataupun para Marxist, maka kapitalisme berseberangan dengan trinitas.

Kualitas selanjutnya dari trinitas adalah tujuan yang sama, yakni kasih. Kendati tiga pribadi, trinitas tidak menutup diri satu dengan yang lain. Ia terbuka dan memberi hal terbaik bagi dirinya sendiri dan yang lain dalam menjalin relasi (Boff, 2010: 3). Kehidupan bermasyarakat pun tidak lepas dari beragam identitas. Imperatif trinitas bagi orang kristen adalah merawat kemajemukan bertudung perayaan kehidupan. Oleh sebab itu, saya kira, bukanlah sikap trinitas ketika individu atau kelompok mengasingkan diri. Dalam perjuangan memperbaiki kehidupan, -katakanlah melawan penggusuran, pemiskinan, penindasan- orang kristen perlu menggumuli bersama komunitas lainnya. Ia perlu berjuang bersama atau koresistensi.

Melalui pemaknaan demikian, kita membawa kembali trinitas ke yang material, sebagaimana diutarakan Alan di awal tulisan ini. Lewat trinitas, kekristenan telah mendapat gambaran sekaligus tanggung jawab menghadirkan Kerajaan Allah. Sebab, tulis Boff (2010: 109), “The Trinity in creation seeks to bring creation into the Trinity.

Jakarta, medio September 2018

 

Jasman F. Simanjuntak, Divisi Literatur dan pegiat kajian agraria Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba

 

Kepustakaan

Boff, Leonardo (2000), Holy Trinity, Perfect Community, Maryknoll, New York: Orbis Book

Brent, Allen (2009), A Political History of Early Christianity, London: T&T Clark.

Darmasaputra,Alan (2017), Trinitas: Yang Transenden Dipahami Melalui yang Material, Rubrik Kristen Progresif Indoprogress.

Hadiwijono, Harun (Cetakan ke-17, 2006), Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Migliore, Daniel L. (Second editon, 2004), Faith Seeking Understanding: An Introduction to Christian Theology, Michigan: William B. Eerdmans Publishing.

Thiessen, Henry C. (Cetakan keenam, 2003), Teologi Sistematika, Malang: Penerbit Gandum Mas.

van Til, Cornelius (2010), Pengantar Theologi Sistematik: Prolegomena dan Doktrin Wahyu, Alkitab, dan Allah, penerjemah Irwan Tjulianto, Surabaya: Momentum.

 

————-

[1] Lihat, misalnya, Brent, Allen (2009), A Political History of Early Christianity, London: T&T Clark.

[2] Darmasaputra, Alan (2017), Trinitas: Yang Transenden Dipahami Melalui yang Material, https://indoprogress.com/2017/10/trinitas-yang-transenden-dipahami-melalui-yang-material/ diakses 17 September 2018.

[3] Misalnya ajaran Arianisme dan Sabellianisme. Arianisme meyakini bahwa Yesus Kristus diciptakan bukan dari substansi Allah. Ia tidak satu substansi dengan Allah Bapa. Sabellianisme percaya bahwa Yesus satu substansi dengan Allah Bapa, namun tanpa secara memadai menekankan perbedaan pribadi-pribadi. Lihat, misalnya, van Til (2010: 407-8).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.