Teruskan Intoleransi ini Indonesia, Supaya Papua Cepat Merdeka

Print Friendly, PDF & Email

Arnold Ap (1 Juli 1946 – Dibunuh 26 April 1984). Kredit ilustrasi: Alit Ambara (nobodycorp)

 

KETIKA vonis Meliana diputuskan dan #saveMeliana mulai ramai di sosmed, seorang kawan di yang tinggal Papua mengekspresikan simpatinya. Dia, lelaki Papua Kristen, sama sekali berbeda dengan Meliana.

Kawan saya dan Meiliana sama dalam satu hal: sama-sama minoritas di negeri ini.

Ketika saya masih tinggal di Papua, saya sering lupa bahwa Kristen agama minoritas di negeri ini. Saya, seorang Protestan, umumnya dikelilingi orang-orang yang Protestan juga. Dari waktu ke waktu, kami diingatkan bahwa kami minoritas. Di Bekasi minta ijin KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) sulit, katanya. GKI Yasmin masih ibadah tanpa gedung. Ada pula cerita-cerita tentang orang yang menyembunyikan kitab sucinya dalam perjalanan ke gereja karena takut ketahuan orang Kristen. Lalu ada Ahok yang didakwa “menista agama”.

Kini giliran Meliana. Perempuan Tanjungbalai ini divonis 1,5 tahun penjara karena mengeluh tentang kerasnya suara azan masjid, sementara aktor-aktor kerusuhan di lapangan hanya divonis beberapa bulan kurungan.

Siapa di antara kita yang kaget mendengar putusan hakim?

Kita sama-sama tahu semakin sulitnya kehidupan minoritas agama, ras, dan seksual di negara ini. Lihat saja kelompok Ahmadiyah, muslim Syiah, dan kaum LGBT. Jadi benarkah Pancasila sakti adanya seperti yang diklaim oleh negara selama lima puluh tahun lebih?

Tapi belakangan orang lebih bersemangat untuk mengutuk vonis tak adil seperti yang dijatuhkan kepada Meiliana. “Ini bukan Indonesia,” ucap mereka, sambil mengutip UUD 1945, mengumumkan kepercayaan mereka terhadap nilai-nilai luhur yang dikandung Pancasila, nilai-nilai luhur yang satu dengan NKRI.

Saya bersyukur karena sejauh ini belum ada yang mengulang kata-kata kosong John F. Kennedy: “… tanyakan apa yang telah kamu berikan ke negara”. Sebagai minoritas, sejauh ini masalahnya memang “apa yang telah negara perbuat kepada saya?”

Lagipula di mana Indonesia, kalau tidak dalam perlakuan aparat penegak hukum kepada orang-orang seperti Meiliana, kelakuan pejabat dan kaum kaya ke orang miskin, dan khotbah-khotbah penebar kebencian terhadap LGBT, orang Cina, anak Papua, dan siapapun yang dianggap “tak diinginkan”?

Indonesia hari ini adalah parodi buruk dari nasionalismenya sendiri, yang berusaha mengontrol, menjajah, dan melindas siapapun yang “tidak diinginkan” dengan segala retorik anti-kolonialisme abal-abal dan sentimen kepribumian. Tapi, orang Papua tidak boleh merasa terjajah, tidak boleh merasa takut jadi minoritas, meskipun tanahnya dijarah dan penduduknya dibantai.

Jakarta dari dulu sudah tuli, bahkan ketika orang Papua asli masih mayoritas di tanahnya sendiri. Bagaimana kalau kita jadi minoritas?

Bercermin dari kasus Ahok di Jakarta, agama mungkin jadi sentimen yang paling mudah untuk mendapatkan simpati orang-orang Kristen kelas menengah ngehek seperti saya ini. Persidangan sirkus Ahok dan Meiliana pada dasarnya adalah sebuah pesan: minoritas di Indonesia harus disiplin jaga mulut.

Dan disiplin jaga mulut adalah kode keras untuk … “tutup mulut, know your place, dan ingatlah bahwa mayoritas melindungi minoritas dan minoritas menghormati mayoritas”.

Kalau Indonesia terus seperti ini, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) tak perlu susah-susah mengingatkan orang Kristen Papua akan sulitnya hidup mereka nanti di NKRI. Jadi Kristen saja sudah susah, apalagi Kristen sekaligus Papua.

Padahal Indonesia seharusnya bersyukur. Kelompok-kelompok yang berjuang untuk kemerdekaan Papua dari Indonesia jarang mengangkat isu agama. KNPB kelompok yang terhormat, perjuangan mereka berpijak gagasan dan visi yang solid akan sebuah masyarakat yang sepenuhnya terbebas dari penindasan. Setidaknya Indonesia bisa belajar. Tidakkah Indonesia, ketika masih jadi embrio, pernah seperti itu?

Sudah saatnya kita realistis dan mengakui Indonesia negara yang intoleran. Terserahlah kesadaran ini mau saudara apakan.

Kebetulan, saya tidak cinta-cinta amat sama Indonesia, jadi saya mau cuci kaos Freedom for West Papua dulu.***

 

Ligia Judith Giay adalah mahasiswa pascasarjana di Asia Research Centre, Murdoch University, Australia

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.