fight to vote, vote to fight. Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
Peran Sentral Negara dalam Penegakan HAM
SELAMA ini kita sudah terbiasa dengan definisi bahwa HAM adalah sebuah hak alamiah, hak yang “melekat” dalam diri setiap manusia begitu mereka dilahirkan. Demikian terbiasanya kita dengan definisi ini sehingga kita melupakan bahwa HAM yang kita kenal sekarang merupakan sebuah kesepakatan politik antar Negara, sebuah hukum internasional. Sejarah konseptual HAM memang panjang, bisa dirunut sampai ke John Locke, jika mau, atau bahkan ke sebuah traktat Mesir Kuno; namun tatanan HAM yang kita kenal sekarang merupakan produk dari sebuah badan internasional yang disebut Perserikatan Bangsa-bangsa, yang beranggotakan Negara-negara.
Menurut tatanan internasional ini, HAM adalah serangkaian perjanjian internasional di mana satu Negara menyatakan mengambil bagian dalam perjanjian tersebut dan bersedia menjadi pihak yang bertanggung jawab (duty bearer) untuk memenuhi isi perjanjian tersebut. Jadi, tanpa Negara, tatanan HAM yang ada saat ini tidak akan dapat dijalankan. Tanpa Negara, komunitas tidak dapat mengikatkan diri dalam perjanjian internasional dan tidak dapat menyatakan diri sebagai duty bearer untuk penegakan HAM.
Di samping itu, salah satu pilar dalam HAM itu sendiri adalah hak untuk mendapatkan hak sebagai warga Negara, hak untuk diakui sebagai bagian dari satu bangsa (pasal 15 DUHAM). Sebagaimana prinsip dasar yang diakui dalam Hukum HAM, jika ada Hak pasti ada pihak yang berkewajibanmemenuhi hak tersebut. Hak untuk berkewarganegaraan dan berkebangsaan tentunya hanya dapat dipenuhi oleh sebuah Negara.
Terlebih lagi, Negara memiliki kemampuan untuk memusatkan sumber daya dan melakukan perencanaan terpusat. Dengan kewenangan yang dimilikinya lewat hukum dan perundangundangan, Negara dapat menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan bagi pemenuhan HAM. Infrastruktur seringkali membutuhkan dana sangat besar dan merupakan “proyek rugi”, setidaknya bila dipandang murni dari sudut keuangan. Pemenuhan hak atas pendidikan membutuhkan sekolah, hak atas kesehatan membutuhkan puskesmas. Semua ini juga membutuhkan dukungan sumberdaya
manusia, yang butuh dana besar untuk mencetaknya. Hak-hak lain seperti hak mendapatkan keadilan memerlukan infrastruktur yang lebih kompleks: selain gedung-gedung di mana proses keadilan bisa didapatkan dan tenaga pengadil, dibutuhkan pula kemudahan akses baik fisik maupun informasi. Semakin kompleks watak satu hak, semakin mahal pula biaya untuk menyediakan infrastruktur bagi pemenuhan hak tersebut.
Kedua faktor ini membuat peran Negara dalam penegakan HAM tak tergantikan, setidaknya dalam tatanan HAM sebagaimana yang kita hadapi dalam realitas kita hari ini.
Negara dan Pelanggaran HAM
Sekalipun peran Negara tak tergantikan dalam hal pemenuhan HAM, sebagaimana yang dapat terjadi dalam semua bentuk perjanjian lain, termasuk perjanjian bisnis atau antar perorangan, Negara bisa saja ingkar dari janjinya untuk memenuhi HAM atau, dalam kondisi ekstrim, menolak sama sekali untuk terikat dengan kewajiban untuk memenuhi HAM.
Ada berbagai macam alasan yang mungkin menjadi penyebab Negara gagal memenuhi HAM, atau malah justru menjadi aktor utama pelanggaran HAM. Bisa jadi karena para penyelenggara Negara tidak memiliki kecakapan dalam pemenuhan HAM, bisa juga karena Negara tidak memiliki cukup sumber daya untuk memenuhi HAM secara 100% bagi semua warganya secara sekaligus (akibat kondisi perekonomian yang buruk, kepadatan penduduk, atau merajalelanya korupsi) atau, dalam kondisi tertentu, Negara ternyata dikuasai oleh individu/kelompok yang tidak ramah pada pemenuhan HAM.
Menjadi sangat penting bagi orang-orang yang berjuang demi pemenuhan HAM untuk mengidentifikasi dengan tepat, secara objektif, penyebab kegagalan Negara dalam memenuhi HAM bagi warganya. Kekeliruan dalam melakukan identifikasi ini akan menyebabkan tidak sesuainya tindakan kita dengan kondisi riil.
Jika Negara tidak memiliki kecakapan dalam penyelenggaraan pemenuhan HAM, yang harus kita lakukan adalah memberikan pelatihan pada aparatur Negara dan mendampingi mereka dalam penyelenggaran HAM tersebut.
Jika Negara tidak memiliki sumber daya untuk pemenuhan HAM, kita harus bantu agar Negara sanggup mewujudkan kapasitas memadai bagi pemenuhan HAM. Kita bisa dorong perbaikan ekonomi, atau upaya menekan pertumbuhan penduduk, atau pemberantasan korupsi.
Jika Negara dikuasai, baik parsial maupun keseluruhan, oleh individu/kelompok yang anti-HAM, kita harus mengupayakan penggantian individu/kelompok ini dengan mereka yang memiliki komitmen kuat pada HAM.
Besar kemungkinan bahwa tidak ada satu sebab tunggal untuk gagalnya Negara memenuhi HAM. Presidennya mungkin memiliki komitmen, tapi aparatur di bawahnya tidak. Mungkin hambatan justru datang dari parlemen atau system pengadilan yang korup. Pemahaman mengenai kompleksitas permasalahan HAM akan membantu kita membuat respons yang kompleks pula, respons yang proaktif bukan yang reaktif, respons yang tepat sasaran sehingga dalam tiap langkah yang kita buat kita dapat memperoleh kemajuan demi kemajuan yang akan semakin mendekatkan kita pada pemenuhan HAM yang separipurna mungkin.
Negara dan Golput
Respon kita terhadap kegagalan Negara memenuhi HAM, secara praktek, juga dipengaruhi oleh kondisi politik di Negara bersangkutan. Ada banyak faktor yang bekerja di sini, namun dua hal menjadi sangat fundamental: 1) ketersediaan cara-cara absah (diakui dalam perundang-undangan) untuk mengubah pemerintahan atau mengubah cara kerja pemerintah; dan 2) apakah tersedia cukup ruang politik untuk munculnya kekuatan politik alternatif sebagai tenaga pendorong perubahan tersebut.
Saat ini, di depan mata kita, tengah menjelang sebuah proses politik yang penting, pemilihan umum untuk memberi mandat bagi para anggota legislatif dan pemangku jabatan tertinggi eksekutif, agar menyelenggarakan pemenuhan hak warga negara Indonesia selama lima tahun mendatang. Ini adalah salah satu cara absah untuk mengubah pemerintahan atau mengubah cara kerja pemerintah.
Dalam kerangka inilah kita harus melihat fenomena Golput ini.
Pertama-tama musti dipahami bahwa makna kata “golput” pada hari ini berbeda dengan maknanya sekian puluh tahun silam, ketika ia pertama kali dicetuskan di tahun 1971 sebagai bentuk perlawanan terhadap Orde Baru. Di jaman Orba, di bawah sebuah rejim otoriter, di mana pemilu yang bebas hanya terjadi di dalam mimpi di siang bolong, di mana pemaksaan untuk memilih Golkar terjadi secara sistemik dan meluas, di mana pilihan politik seseorang dapat diketahui dan dikontrol oleh aparat keamanan, di mana partai-partai diawasi dan kemudian diharuskan menganut asas tunggal, ketika KOPKAMTIB beroperasi dengan kuasa ekstra yudisial, Golput membutuhkan keberanian dan merupakan saluran bagi pembangkangan sipil. Karena berhadapan dengan sebuah rejim otoriter, mustahil melakukan Golput sebagai upaya individual. Ia dipaksa oleh situasi untuk menjadi sebuah gerakan. Orang-orang berkumpul dan bersama-sama melakukan penolakan. Ia menjadi sebuah gerakan massa.
Di masa sekarang, di mana pemilu bebas dan rahasia telah menjadi norma, orang dapat merahasiakan pilihan politiknya tanpa perlu takut akan resiko pembalasan oleh aparatur pemerintah. Sekalipun kecurangan (termasuk penggunaan politik uang dan pemalsuan jumlah suara) dan pemaksaan masih terjadi di mana-mana, pelanggaran-pelanggaran pemilu ini tidak lagi dikomandoi oleh satu apparatus bersenajta yang bekerja secara nasional. Dalam kondisi semacam ini, golput kehilangan relevansinya. Di zaman Now, “golput” mengalami degradasi makna menjadi sekadar “memilih untuk tidak memilih”.
Dalam bentuknya yang asli, golput memelihara satu semangat pembangkangan terhadap otoriterisme. Ketika tidak ada cara yang absah untuk mengubah cara kerja pemerintah, ditambah pula tidak ada ruang untuk gerakan politik alternatif, menjaga semangat berlawan adalah satusatunya yang dapat dilakukan. Berkat keberanian gerakan Golput untuk melakukan pembangkangan terhadap pemilu Orba, ketika ruang terbuka untuk gerakan politik alternatif, gerakan alternatif itu bermekaran di mana-mana. Efektivitas gerakan golput di masa itu nampak ketika, dalam waktu kurang dari satu dasawarsa, gerakan ini telah membuka ruang bagi letusan perlawanan mahasiswa yang cukup besar di tahun 1978.
Di masa sekarang, di mana ruang untuk politik alternatif telah tersedia, di mana cara-cara abash untuk mengubah cara pemerintah bekerja juga telah tersedia, gerakan pembangkangan sipil terhadap pemilu tidak lagi relevan. Tidak relevannya gerakan golput nampak jelas dari kegagalannya untuk membangun momentum bagi pembesaran gerakan massa. Bahkan setelah dua puluh tahun lebih orang menyerukan golput gaya baru (yang maknanya telah tereduksi itu), gerakan massa tetap tidak mengalami satu ledakan yang cukup berarti. Golput gaya baru ini telah terbukti gagal menjadi mesin perubahan sebagaimana yang dapat dilakukan pendahulunya.
Memanfaatkan Ruang bagi Politik Alternatif
Rakyat Indonesia telah bersimbah darah untuk memperjuangkan terbukanya ruang bagi politik alternatif dan agar cara-cara absah bagi perubahan pemerintahan dilindungi oleh Undang-undang. Yang selama dua puluh tahun reformasi ini belum ada adalah Kekuatan Politik Alternatif itu sendiri.
Seorang revolusioner besar pernah mengatakan di tahun 1918, “Politik dimulai di tempat di mana massa berada, bukan ribuan melainkan jutaan; di sinilah politik yang serius dimulai.” Kita belum pernah membangun satu kekuatan politik yang sanggup menghimpun kehendak jutaan orang. NGO hanya mampu menghimpun ratusan orang, mungkin ribuan orang. Serikat-serikat rakyat hanya mampu menghimpun ribuan, mungkin puluhan ribu orang. Tapi belum pernah kita berhasil menghimpun jutaan orang dalam satu payung organisasi politik.
Kekuatan inilah yang harus kita bangun agar kita mulai dapat serius berpolitik. Agar kita dapat mengubah cara Negara ini memenuhi HAM rakyatnya. Apakah kita harus melatih para pegawai pemerintah agar lebih cakap menjalankan program HAM, ataukah membantu menopang kapasitas Negara dalam memenuhi HAM tersebut atau, jika diperlukan, memaksakan penggantian orang-orang yang anti-HAM dalam tubuh pemerintahan—baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Pada titik inilah kita membutuhkan partai politik. Karena pada saat ini, hanya partai politiklah bentuk keorganisasian yang kita kenal sanggup menghimpun dan menyelaraskan gerak jutaan orang, dari sekian banyak latar belakang dan lapisan masyarakat. NGO jelas tidak diperlengkapi dengan kapasitas untuk menggerakkan jutaan orang. Serikat-serikat rakyat, sekalipun berpotensi memiliki keanggotaan sampai jutaan orang, merupakan organisasi yang fokus pada kepentingan satu sektor saja dalam masyarakat. Hanya partai politik yang dapat bekerja lintas sektoral, menggerakkan jutaan orang dalam satu langgam.
Kita pun harus beri tekanan, cetak tebal dan garis bawah pada kata “alternatif”, karena situasi yang terbuka ini memberi kita peluang untuk tidak sekedar mengritik, tapi menghadirkan cara pengelolaan negara yang berbeda dari yang ada di depan mata kita. Misalnya, jika saat ini Negara Republik Indonesia menghadirkan perlindungan sosial dalam skema asuransi, kita harus mendorong maju perwujudan sebuah perlindungan sosial yang transformatif (PST). Perlindungan Sosial Transformatif mengangkat kapabilitas rakyat dalam mengakses jaminan sosial, mengubah relasi sosial antar rakyat, antara rakyat dan negara. PST mengedepankan perlindungan berbasis kolektivitas, membangun kapabilitas organisasi-organisasi rakyat. PST meninggalkan paradigma “pembela HAM”, mengubahnya menjadi “penjamin HAM”. Program HAM yang sudah bisa dikelola negara, kita dukung dan dorong makin maju; yang negara belum lakukan, atau tak sanggup atau tak mau, kita ambil alih jadi kerja kolektif rakyat. PST mengutamakan jaminan hidup layak, akses pada keadilan hukum, akses pd kebutuhan dasar, perlindungan atas hak perempuan dan minoritas, dan peningkatan partispasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik dan anggaran. Beberapa di antara konsep yang menjadi batu penyusun PST ini telah dilakukan, baik oleh NGO ataupun serikatserikat rakyat, namun masih dalam bentuk sporadik. PST meningkatkan level keteroganisiran, bahkan memperjuangkan penggantian cara pelaksanaan perlindungan sosial ini.
Negara menempati posisi sentral dalam pemenuhan HAM. Dengan berpolitik secara serius untuk membangun kekuatan alternatif, kita akan memiliki cukup kekuatan untuk mengubah Negara ini.***
Ken Budha Kusumandaru adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP) Jakarta Raya
Artikel ini sebelumnya Disampaikan dalam Diskusi Diponegoro “Bagaimana Kita Menyikapi Golput”, LBH Jakarta, 31 Agustus 2018.
Artikel lain terkait debat pilpres 2019:
Muhammad Ridha, Posisi Sosialis untuk Pemilu 2019: Golput Bukan Pilihan
Abdul Mughis Mudhoffir, Boikot Pemilu dan Masa Depan Gerakan Progresif: Kritik atas Pendekatan Personalistik
Martin Suryajaya, Tesis Agustus Tentang Gerakan Kiri dan Pilpres 2019
Airlangga Pribadi Kusman, Empat Tesis Intervensi Pilpres 2019: Mengusung Kembali Nawacita Sebagai Gugatan Politik
Roy Murtadho, Tesis September: Perihal Kekaburan Kaum Intelektual Kiri Dalam Pilpres 2019