Kredit ilustrasi: Remaja Islam Hebat
Tanggapan untuk Ken Budha Kusumandaru
MENYOAL negara memang tidak akan pernah lepas dari soal hak asasi manusia. Sebab negara ada untuk menjamin terselenggaranya penegakan HAM. HAM yang diatur secara konstitusional itu pada akhirnya melahirkan berbagai kebijakan sebagai cara untuk memenuhi HAM. Adapun pembiayaan dalam pelaksanaan HAM dibebankan kepada masyarakat melalui pajak. Karena itulah impilkasi dari kewajiban kita dalam membayar pajak adalah terpenuhinya HAM kita. Lalu bagaimanakah pelaksanaan HAM di negara kita selama ini?
Hakikat Negara
Sebagai pijakan barangkali perlu diuraikan terlebih dahulu tentang hakikat negara itu sendiri. Jika mengacu pada teori yang dikemukakan oleh John Locke, filsuf asal Inggris, maka kita akan menemukan bahwa negara adalah ekspresi dari adanya kontrak sosial. Kontrak sosial adalah perjanjian-perjanjian di antara masyarakat untuk menciptakan kondisi artifisial (buatan). Adanya kontrak sosial ini berangkat dari hak alamiah yang dimiliki setiap manusia. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah manusia sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk di dalam pergaulan antar sesama dengan dipandu akal murninya. Mereka juga sadar untuk memenuhi hasratnya tanpa mengganggu orang lain.
Masalah kemudian hadir karena; pertama, manusia yang terlalu membiarkan kepentingan pribadi sehingga menerjang hak-hak orang lain; dan kedua, tidak adanya kesepakatan sanksi yang tegas terhadap pelanggar hak tersebut. Inilah yang dikatakan Thomas Hobbes bahwa manusia sebelum adanya negara adalah homo homini lupus, serigala bagi manusia lainnya. Maka perlulah adanya kontrak sosial sebagai kesepakatan bersama dalam menjamin dan membatasi hak setiap manusia.
Setelah menyadari perlunya kontrak sosial, selanjutnya dibentuklah negara dengan suatu pemerintahan yang bertugas menegakkan kontrak sosial tersebut. Dalam hal ini, masing-masing negara berbeda dalam pengoperasiannya. Ada yang berbentuk monarki, demokrasi, juga teokrasi. Namun demikian, maksud dan tujuannya tetaplah sama, yakni mengharapkan kehidupan masyarakat yang selaras, tenteram, dan damai. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya.
Penegakan HAM di Indonesia
Memaknai HAM sebagai sesuatu yang melekat dari diri manusia merupakan pondasi dari pemahaman lain yang lahir setelah itu, seperti peraturan perundang-undangan dsb. Pemahaman ini tidak lantas berarti melupakan kesepakatan politik antar negara, yang melahirkan sebuah hukum internasional mengenai HAM. Justru dari definisi itu kita tidak akan lupa untuk apa negara ini didirikan, yakni untuk mengatur dan memberikan batasan hak, menghukum para pelanggar HAM, dan memberikan pelayanan pemenuhan HAM.
Negara memiliki tiga peran penting berkenaan dengan HAM, yaitu memenuhi (to fullfil), menghormati (to respect), dan melindungi (to protect). Oleh karenanya pelanggaran HAM hanya terjadi dalam dua kondisi, negara yang melakukannya atau negara melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM. Pada titik ini, saya tergelitik untuk memberikan tanggapan atas tulisan Ken Budha Kusumandharu yang mengatakan bahwa kita butuh negara untuk mendapatkan HAM karena tanpa negara HAM tidak akan dapat ditegakkan. Tapi sepertinya Ken Budha lupa bahwa pelaku pelanggaran HAM yang banyak terjadi ini juga dilakukan oleh negara.
Barangkali memang kita memerlukan hak menjadi warga negara, dan untuk itu diperlukan sebuah negara. Tetapi banyak juga masyarakat kita yang tidak meminta pengakuan warga negara dapat hidup tenteram tanpa negara. Sampai akhirnya negara datang dan mengusik kehidupan mereka. Negara datang seolah ingin menyelamatkan mereka dari kehidupan yang sengsara, padahal justru negaralah yang membuat hidup mereka sengsara. Contohnya masyarakat adat di Jambi dan di Kendeng. Lalu apa yang menjadi alasan pentingnya kita bernegara, jika ketiga perannya dalam HAM di atas tidak dilaksanakan oleh negara?
Mari kita kembali refleksikan bagaimana negara melakukan pelanggaran HAM secara sistemik di masa orde baru. Jutaan orang menjadi korban atas peristiwa yang dituduhkan kepada PKI sebagai dalangnya. Ada yang dibunuh dan dibuang begitu saja mayatnya, ada pula yang diasingkan dan dipenjara bertahun – tahun tanpa proses pengadilan. Jangankan mendapatkan pemulihan nama baik dan ganti rugi atas direnggutnya hak-hak para penyintas, pelakunya saja tidak pernah diadili. Bahkan sampai saat ini PKI masih menjadi momok yang ditakuti, yang sebenarnya orde barulah yang patut diwapadai. Kemudian penghilangan paksa di peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Tanjung Priok, Kedung Ombo, dan Papua Barat juga tak pernah mendapatkan keadilan.
Berbicara soal pemenuhan HAM bukan hanya bagaimana negara membangun pendidikan lewat pendirian sekolah formal, insfastruktur maju, dan perumahan layak huni. Lebih dari itu HAM adalah bagaimana negara menyediakan fasilitas pendidikan yang terjangkau oleh rakyatnya, akses kesehatan yang murah, dan pelayanan hukum yang adil, dsb. Apakah negara sudah melaksanakan itu atau justru sebaliknya?
Kita juga dapat melihat bagaimana negara melakukan banyak pembiaran atas berbagai pelanggaran. Banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi di sektor agraria hingga kini tak kunjung menuai keadilan bagi masyarakat. Lalu kasus pelanggaran yang dilakukan di sektor industri ekstraktif di banyak tempat, baik itu oleh perusahaan swasta maupun nasional masih sering terjadi. Kasus PLTU yang juga menimbulkan dampak negatif dari segi lingkungan dan kesehatan bahkan perekonomian masyarakat sekitar juga diabaikan. Bahkan PT. Perhutani yang suka mencaplok dan mendaku tanah perkebunan baik di Jawa maupun Sumatera seringkali menuduh dan membunuh masyarakat sekitar sebagai pencuri tak dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Dan masih banyak lagi pelanggaran HAM dari banyak sektor yang dapat merefleksikan bahwa negara kita tidak pernah serius menangani persoalan HAM.
Apakah Negara Tidak Mampu?
Ken Budha dalam tulisannya menyebutkan bahwa jika negara tidak memiliki kecakapan dalam penyelenggaraan pemenuhan HAM, yang harus kita lakukan adalah memberikan pelatihan pada aparatur negara dan mendampingi mereka dalam penyelenggaran HAM tersebut. Pertanyaannya adalah, siapa kita memberikan pelatihan kepada aparatur negara tentang HAM? Barangkali kata ‘kita’ ini hendak ditujukan kepada para pimpinan partai politik sehingga dapat melahirkan kader yang paham mengenai persoalan HAM. Atau solusi lain mau mengganti orang-orang yang (katakanlah) tidak ramah pada pemenuhan HAM dengan mereka yang komitmen dengan HAM. Apa indikatornya, dan siapa yang dapat melakukan itu? Lagi-lagi husnudhon saya barangkali tulisan itu hendak ditujukan pada para pimpinan parpol.
Alasan lain yang ia tuliskan adalah karena korupsi yang merajalela, tidak ada komitmen aparatur, dan kepadatan penduduk maka negara tidak mampu secara 100% memenuhi HAM. Tetapi begini, saya cenderung tidak bisa menerima alasan itu untuk menolerir kegagalan negara dalam memenuhi HAM warga negaranya. Bagaimana bisa kita memaklumi korupsi sebagai penghambat pemenuhan HAM?
Dalam pelaksanaan HAM negara juga diberi amanat untuk menghukum orang atau kelompok tertentu yang melakukan pelanggaran. Karena itulah ada seperangkat alat penegak hukum yang berwenang memberikan hukuman dan sanksi kepada para pelanggar. Namun faktanya, hukum ini justru banyak disalahgunakan untuk menghukum masyarakat dan memenangkan yang bersalah.
Memang tidak mudah memberikan solusi atau saran taktis dalam pemenuhan HAM, selain menuntut negara melakukan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Warga negara seperti saya memang hanya mampu menuntut dan membela hak yang dilanggar oleh negara. Sebab negaralah yang seharusnya melakukan pemenuhan terhadap HAM dan memberikan proses peradilan yang seadil-adilnya terhadap setiap pelanggar HAM.
Relevansi Golput
Tahun depan kita akan melaksanakan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, dimana dua kandidat presiden tahun 2014 lalu akan kembali bertarung untuk pemilu 2019. Bagi warga negara biasa seperti saya, menyaksikan pemilu yang tak jauh berbeda dengan sebelumnya adalah hal yang menjemukan. Pasalnya kita telah melihat sendiri kepemimpinan Jokowi selama empat tahun ini tak memberikan dampak signifikan terhadap pemenuhan HAM dan pengusutan kasus pelanggaran HAM berat masa lampau. Yang ada justru memperbanyak deret kasus pelanggaran HAM oleh negara dengan berbagai kasus perampasan lahan dan kriminalisasi aktivis pejuang lingkungan.
Salah satu aksi yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk menuntut haknya adalah melakukan boikot. Di zaman penjajahan Belanda, Samin pernah mempropagandakan untuk memboikot membayar upeti kepada Belanda. Setelah Samin, ada pula Tirto Adi Suryo yang mengampanyekan aksi boikot untuk melawan Belanda. Aksi boikot memang terbilang efektif karena dilakukan secara kolektif dan tanpa kekerasan, sehingga jika negara hendak menghukumnya tentu akan sulit. Syaratnya hanya satu, dilakukan secara masif oleh massa banyak.
Pemilu bisa dijadikan momentum oleh seluruh masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap pemerintahan dengan melakukan gerakan golput. Golput tidak hanya relevan untuk zaman otoriter macam orde baru, karena golput tidak dilakukan untuk menumbangkan satu rezim tertentu. Akan tetapi golput adalah sebentuk protes yang dilakukan oleh masyarakat secara terorganisir untuk mendapatkan perhatian atas apa yang mereka alami. Saya setuju dengan Abdil Mughis Mudhoffir bahwa golput adalah perlawanan terhadap dominasi jaringan, aliansi, relasi dan kepentingan-kepentingan predatoris yang tidak hanya menghasilkan kandidat yang buruk, tetapi juga membuat sebaik apa pun kandidat akan memiliki ruang yang sangat terbatas dalam memenangkan kepentingan kelompok marginal.
Golput bukan soal Jokowi atau Prabowo, tetapi bagaimana pemerintah dapat komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang selama ini terjadi. Jika semua elemen masyarakat tertindas, lemah dan dilemahkan secara ekonomi politik bersatu dalam gerakan boikot pemilu ini, bukankah akan lebih menampar negara untuk melakukan pemenuhan HAM ketimbang melakukan penekanan terhadap pertumbuhan penduduk?***
Umi Ma’rufah adalah mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Artikel lain terkait debat pilpres 2019:
Muhammad Ridha, Posisi Sosialis untuk Pemilu 2019: Golput Bukan Pilihan
Abdul Mughis Mudhoffir, Boikot Pemilu dan Masa Depan Gerakan Progresif: Kritik atas Pendekatan Personalistik
Martin Suryajaya, Tesis Agustus Tentang Gerakan Kiri dan Pilpres 2019
Airlangga Pribadi Kusman, Empat Tesis Intervensi Pilpres 2019: Mengusung Kembali Nawacita Sebagai Gugatan Politik
Roy Murtadho, Tesis September: Perihal Kekaburan Kaum Intelektual Kiri Dalam Pilpres 2019
Ken Budha Kusumandaru, Negara, HAM dan Tidak Relevannya Pilihan Golput
Suarbudaya Rahadian, Menggugat Minus Malum: Mengapa Golput Perlu Dipertimbangkan