Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
Tanggapan untuk Umi Ma’rufah
MEMBACA tanggapan Umi Ma’rufah (selanjutnya Umi), saya ragu hendak mulai menanggapi dari mana? Karena semua jawaban atas keberatan-keberatan yang diajukan Umi sebenarnya telah ada dalam tulisan yang dia tanggapi itu. Namun demikian, ada satu atau dua hal yang dapat diperdalam dari tulisan saya sebelumnya, dan inilah tanggapan terhadap tulisan Umi dalam empat babak.
1. Teliti Melihat Argumen Lawan Bicara adalah Kunci Perdebatan yang Baik
Satu hal yang akan sangat melemahkan argumen kita adalah kalau argumen yang kita gunakan dalam membantah lawan bicara ternyata bersandar pada anggapan yang keliru. Terutama jika keberatan yang kita ajukan ternyata sudah dinyatakan oleh lawan bicara. Salah satunya ini: “Tapi sepertinya Ken Budha lupa bahwa pelaku pelanggaran HAM yang banyak terjadi ini juga dilakukan oleh Negara.”
Kenyataannya, dalam tulisan saya sudah dinyatakan demikian:
Sekalipun peran Negara tak tergantikan dalam hal pemenuhan HAM, sebagaimana yang dapat terjadi dalam semua bentuk perjanjian lain, termasuk perjanjian bisnis atau antar perorangan, Negara bisa saja ingkar dari janjinya untuk memenuhi HAM atau, dalam kondisi ekstrim, menolak sama sekali untuk terikat dengan kewajiban untuk memenuhi HAM.
Ada berbagai macam alasan yang mungkin menjadi penyebab Negara gagal memenuhi HAM, atau malah justru menjadi aktor utama pelanggaran HAM. Bisa jadi karena para penyelenggara Negara tidak memiliki kecakapan dalam pemenuhan HAM, bisa juga karena Negara tidak memiliki cukup sumber daya untuk memenuhi HAM secara 100% bagi semua warganya secara sekaligus (akibat kondisi perekonomian yang buruk, kepadatan penduduk, atau merajalelanya korupsi) atau, dalam kondisi tertentu, Negara ternyata dikuasai oleh individu/kelompok yang tidak ramah pada pemenuhan HAM.
Jadi saya sama sekali tidak “lupa” sebagaimana yang dituduhkan, tapi Umi yang tidak teliti membaca argumen saya.
2. Pelanggaran HAM oleh “Negara” atau oleh “Aparatur Negara”?
Berangkat dari kelalaian memperhatikan argumen lawan bicara inilah, Umi lantas berargumen tentang sekian banyak pelanggaran HAM yang dilakukan, menurutnya, dilakukan oleh “Negara”. Namun demikian, Umi gagal memberi satu parameter yang akan membuat absah pernyataan bahwa satu pelanggaran HAM tertentu dilakukan oleh “Negara”; padahal Umi telah dengan jitu mengidentifikasi bahwa pelanggaran HAM sistemik berlangsung selama era Orde Baru.
Kunci dari keabsahan klaim kita bahwa satu pelanggaran HAM dilakukan oleh “Negara” adalah jika Negara memiliki institusi yang diberi wewenang (bahkan tugas) untuk melakukan pelanggaran HAM. Orde Baru adalah sebuah “Negara Polisi” (police state) di mana kekuasaan hukum tertinggi secara de facto berada di tangan sebuah institusi polisi rahasia—dari mulai Kopkamtib sampai Bakorstanas. Institusi polisi rahasia ini mengoperasikan kamar-kamar penyiksaan, pembunuhan sewenang-wenang, penghilangan paksa; serta menjamin kekebalan hukum dari para pelakunya.
Lembaga polisi rahasia yang memiliki kewenangan ekstra-yudisial inilah yang membedakan Negara Indonesia di zaman Orde Baru dengan Negara Indonesia di zaman Reformasi. Saat ini HAM telah diakui secara resmi oleh Negara, keterbukaan informasi dijamin pula dengan UU, pengarusutamaan HAM telah dijalankan bahkan sampai ke lembaga-lembaga keamanan. Tidak ada lagi institusi yang memiliki kewenangan ekstra-yudisial seperti di zaman Orde Baru.
Walau demikian, pelanggaran HAM terus saja terjadi. Mengapa bisa begitu? Pada titik inilah kita harus tanggalkan sikap a priori kita dan masuk dalam telaah yang objektif tentang sebab-musabab terus terjadinya pelanggaran HAM.
Saya akan memutar sedikit. Ada semacam konsensus di kalangan ahli HAM bahwa hak sipil dan politik (Sipol) dapat didahulukan daripada hak ekonomi-sosial-budaya (Ekosob); karena pemenuhan terhadap hak Ekosob membutuhkan sumberdaya, sementara hak Sipol tidak. Pandangan ini keliru besar.
Mari kita ambil contoh kebebasan beragama, sebagai salah satu hak yang dilekati status non-derogable. Untuk dapat menegakkan hak ini, kelompok-kelompok yang anti terhadap kebebasan beragama harus dinyatakan sebagai kriminal, ujaran kebencian harus dicegah, dan hoax harus terus ditangkal. Semua ini membutuhkan jumlah penegak hukum yang memadai, dengan tingkat kecakapan dan keberanian yang berlimpah. Untuk menciptakan apparatus yang semacam ini, kita membutuhkan sumberdaya.
Belum lagi kita pertimbangkan bahwa para pembuat Undang-undang yang kini bercokol di legislatif dan para pelaksana UU di eksekutif juga masih banyak yang berpandangan negatif terhadap kebebasan beragama (dengan berbagai cap “liberal”, ateis, kafir). Kita butuh sekian banyak orang untuk menggantikan orang-orang ini dari jabatan mereka sekarang; untuk menciptakan orang-orang yang sanggup menjaga kebebasan beragama, kita butuh sumberdaya besar; untuk menggusur orang-orang lama yang anti kebebasan beragama, kita mungkin butuh sumberdaya lebih besar lagi.
Jadi, jangan percaya bahwa penegakan HAM hanya sekadar membutuhkan “political will” dari pemerintah. Itu ilusi. Pertarungan untuk penegakan HAM adalah sebuah pertarungan politik, yang imbasnya juga pada persoalan pertarungan anggaran dan sumberdaya.
3. Apakah Rakyat “Hanya Bisa Menuntut”?
Berhadapan dengan kompleksitas penanganan permasalahan HAM, sebagaimana diakui sendiri oleh Umi, kita sampai pada satu posisi politik di mana saya berdiri berseberangan dengannya.
Umi mengatakan,
Memang tidak mudah memberikan solusi atau saran taktis dalam pemenuhan HAM, selain menuntut negara melakukan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Warga negara seperti saya memang hanya mampu menuntut dan membela hak yang dilanggar oleh negara. Sebab negaralah yang seharusnya melakukan pemenuhan terhadap HAM dan memberikan proses peradilan yang seadil-adilnya terhadap setiap pelanggar HAM.
Saya berpendapat sebaliknya. Justru posisi seperti inilah yang melanggengkan pelanggaran HAM, entah oleh Negara (secara sistemik) ataupun oleh aparatur Negara (secara insidental). Menurut saya gerakan rakyat memiliki dua tugas yang saling berkelindan: tugas sosial-ekonomis (mempertahankan kepentingan sosial-ekonomi rakyat jangka pendek) dan tugas demokratik (mempertahankan ruang demokrasi yang sudah ada dan memperdalam struktur demokrasinya).
Saya akan bicara secara lebih teoritik tentang “tugas demokratik” ini di tulisan lain. Singkatnya: tugas demokratik itu adalah satu tugas untuk terus-menerus mendorong maju tingkat partisipasi rakyat pekerja dalam pengambilan keputusan politik dan keputusan publik lainnya. Dengan demikian, gerakan Rakyat Pekerja harus mendorong situasi politik dari 1) sama sekali tidak membolehkan partisipasi rakyat pekerja menjadi ada ruang bagi suara rakyat pekerja; dari situ memajukannya lagi agar 2) suara itu menjadi semakin didengar; lalu mendorong agar 3) rakyat pekerja ambil bagian dalam pembuatan keputusan politik/publik; dan, sebagai tujuan pamuncak, mendorong agar 4) rakyat pekerja mendominasi atau berhegemoni dalam proses pengambilan keputusan politik/publik.
Perhatikan bahwa tujuan akhir dari tugas demokratik ini adalah perebutan kekuasaan politik oleh rakyat pekerja. Sekarang tinggal caranya: apakah sistem politik yang ada memberi ruang untuk perebutan kekuasaan secara damai dan konstitusional, atau tidak?
Pada titik ini kita dipaksa memilih satu di antara dua pandangan: 1) Negara itu setan, titik; tidak ada Negara yang akan memenuhi HAM, maka Negara harus dihancurkan, titik; bahkan sekalipun gerakan rakyat berhasil merebut Negara, gerakan rakyat itu akan menjadi pelanggar HAM baru; atau 2) gerakan rakyat adalah yang paling berkepentingan dengan pemenuhan HAM; sehingga, ketika berkuasa, ia akan bekerja banting tulang untuk memenuhi HAM dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM.
Jika Umi berada di posisi pertama, jelas kita bertentangan secara ideologis. Sebanyak apapun kita bertukar argumen, kita tidak akan pernah berada dalam posisi sepaham. Jika Umi berada di posisi kedua, apapun perbedaan paham di antara kita akan saya abaikan karena itu hanya soal remeh; saya akan ulurkan tangan untuk bersama bekerja mewujudkan kedaulatan rakyat itu (yang arti harafiahnya adalah “kekuasaan rakyat”).
4. Jadi, Golput Hendak Menampar Siapa?
Pada titik ini kita sampai pada persoalan penting, mana yang akan semakin mendekatkan rakyat pekerja pada kekuasaan: mengikuti proses pemilu atau Golput?
Saya akan bicara dari sudut pandang teori revolusioner tentang pemilu. Pertama-tama, gerakan revolusioner tidak mengenal “Golput” atau “memilih untuk tidak memilih”. Yang dikenal adalah “boikot pemilu”. Apa artinya “boikot pemilu”?
Lenin menyatakan demikian dalam rangka pemboikotan terhadap Duma (parlemen Kerajaan Rusia) yang pemilihannya dilakukan di tahun 1906,
Active boycott does not merely mean keeping out of the elections; it also means making extensive use of election meetings for Social-Democratic agitation and organisation. Making use of these meetings means gaining entry to them both legally (by registering in the voters’ lists) and illegally, expounding at them the whole programme and all the views of the socialists, exposing the Duma as a fraud and humbug, and calling for a struggle for a constituent assembly. [Should We Boycott the State Duma, Januari 1906].
(Boikot itu bukan sekedar tidak mengikuti pemilu; ia berarti menggunakan perhelatan pemilu untuk melakukan agitasi dan pembangunan organisasi Sosial-Demokratik. Menggunakan perhelatan ini berarti memasukinya secara legal (dengan mendaftar sebagai pemilih) dan illegal, memapar khalayak pada seluruh program dan pandangan kaum sosialis, membongkar kepalsuan Duma dan menyerukan perjuangan untuk pembentukan Majelis Konstituante.)
Perhatikan bahwa ada perbedaan mendasar antara boikot dan Golput. Boikot itu memasuki kalangan pemilu, bergabung dengan para pemilih dan mendorong program tandingan untuk menghasilkan organisasi. Sangat beda dengan Golput yang sekadar “memilih untuk tidak memilih”, tidak memiliki program tandingan dan tidak bertujuan menghasilkan satu organisasi yang berkelanjutan.
Lagipula, boikot hanya pilihan taktik. Ketika Duma Pertama dibubarkan akibat meluasnya boikot, Lenin mengubah taktiknya terhadap Duma Kedua karena pada saat itu gerakan rakyat memperoleh sekutu liberal yang dapat diandalkan di dalam Duma (yakni partai Trudovik),
Hence the conclusion: it would be ridiculous to shut our eyes to realities. The time has now come when the revolutionary Social-Democrats must cease to be boycottists. We shall not refuse to go into the Second Duma when (or “if”) it is convened. [The Boycott, Agustus 1906]
(Maka dari itu kesimpulannya: sungguh menggelikan jika kita menutup mata terhadap kenyataan. Telah tiba waktunya bahwa kaum Sosial-Demokrat revolusioner untuk menghentikan status boikot. Kita tidak akan menolak untuk masuk ke dalam Duma Kedua ketika (atau “jika”) pemilunya diadakan.)
Maka jelaslah, bagi seorang revolusioner, Golput bukan pilihan. Pilihannya adalah boikot, dengan analisa yang objektif tentang bagaimana memasuki perhelatan pemilu untuk menggagalkan pemilu. Menggagalkan pemilu, ya…. Bukan sekadar “menampar rejim”.
Seorang yang serius membangun gerakan rakyat tidak akan terlena dengan ilusi-ilusi semacam “menampar rejim”, karena ilusi ini memang menggelikan.
Pertanyaan saya sederhana: rezim mana yang mau ditampar?
Jika yang mau ditampar adalah pemerintahan Jokowi, maka kita harus menggalang jutaan pemilih Jokowi agar tidak memilih dalam pemilu 2019. Resiko dari aktivitas ini adalah menyerahkan kemenangan kepada Prabowo. Jokowi boleh tertampar, tapi Prabowo akan mendapat elusan sayang penuh kemesraan.
Sebaliknya, jika lebih banyak pemilih Prabowo yang kemudian tidak memilih dalam pemilu 2019, Jokowi akan semakin di atas angin dan mungkin akan memberi jabatan Komisaris bagi para penggalang Golput.
Agar dapat “menampar rezim” secara efektif, gerakan Golput harus dapat membujuk sebanyak-banyaknya pemilih Jokowi untuk tidak memilih pada Pemilu 2019, sekaligus tetap memastikan bahwa Jokowi terpilih lagi. Barulah “menampar rejim” bisa menjadi kenyataan.
Penutup
Demikianlah keempat babak tanggapanku pada Umi. Buat Umi, teruslah menulis. Beradu pandangan lewat tulisan adalah sebaik-baiknya perdebatan, karena terdokumentasi dan bisa jadi panduan bagi generasi aktivis berikutnya.***
Jakarta, 25 September 2018
Ken Budha Kusumandaru adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP) Jakarta Raya
Artikel lain terkait debat pilpres 2019:
Muhammad Ridha, Posisi Sosialis untuk Pemilu 2019: Golput Bukan Pilihan
Abdul Mughis Mudhoffir, Boikot Pemilu dan Masa Depan Gerakan Progresif: Kritik atas Pendekatan Personalistik
Martin Suryajaya, Tesis Agustus Tentang Gerakan Kiri dan Pilpres 2019
Airlangga Pribadi Kusman, Empat Tesis Intervensi Pilpres 2019: Mengusung Kembali Nawacita Sebagai Gugatan Politik
Roy Murtadho, Tesis September: Perihal Kekaburan Kaum Intelektual Kiri Dalam Pilpres 2019
Ken Budha Kusumandaru, Negara, HAM dan Tidak Relevannya Pilihan Golput
Suarbudaya Rahadian, Menggugat Minus Malum: Mengapa Golput Perlu Dipertimbangkan
Umi Ma’rufah, Negara, HAM dan Relevansi Boikot Pemilu
Abdil Mughis Mudhoffir, Ilusi Nawacita dan Kegagapan Kaum Intelektual Kiri
Muhammad Ridha, Intervensi Pemilu dan Strategi Politik Gerakan Rakyat